Jumat, 30 Desember 2011

"Sudah lama, Pak."

Tiba-tiba inget kejadian pas SMP ini dan saya tertawa sendiri.

Di suatu siang, ketika pembagian hasil ujian Tarikh (Sejarah Islam).
Guru          : "Ini ada murid yang ngisi jawaban nyeleneh..."
Seisi kelas  : "Apa, Pak?" (penasaran)
Guru          : (mengambil salah sau kertas dari tumpukan, membacakan soal) "Kapan Nabi Muhammad SAW wafat? Jawabannya: 'Sudah lama, Pak.' Ckckck."

Ckckck -.-"

NB: Murid itu bukan saya lho.

Kamis, 29 Desember 2011

Menjelang UAS (Ujian Agak Serem)

Hah..lama kali diriku tak posting di blog sendiri!
Kembali menyapa. Dengan membawa beban di dada *sigh.

Ya, tidak sampai 2 minggu lagi saya harus menghadapi Ujian Agak Serem a.k.a UAS.
Walaupun saya sudah memanfaatkan sekitar 2,5 tahun di universitas, sudah ter-habituasi dengan yang namanya UAS, tapi UAS kali ini sepertinya membuat saya agak khawatir. Tugas yang dikumpulkan ketika UAS masih banyak yang menumpuk. Jadi kekhawatiran saya terhadap UAS tidak hanya berkaitan dengan UAS tersebut, tetapi juga tugas-tugas yang mendampinginya. Let's say, yang serem itu tugas-tugasnya, bukan UAS-nya -,- Inilah alasan kenapa saya jadi jarang posting. Pikiran saya dipenuhi oleh tugas dan tanggung jawab lain, serta masalah pribadi --->curcol

Untuk hari H-UAS sendiri, saya tidak begitu merasa terbebani. Makanya saya bilang "agak" serem aja. Yang penting saya udah berusaha semampu saya. Lalu tinggal berdoa, hahaha ---> sungguh seorang hamba pemalas dan tak terpuji -___-

Tugas-tugas ini harus saya kalahkan. Saya pasti bisa. PASTI!

Paling tidak saya masih punya aktivitas hiburan untuk memompa semangat (baca: latihan paduan suara :)) So, nikmati sajalah hidup ini....

Maaf kalo cuma numpang ngeluh. Saya butuh mengeluh dulu untuk membuang penat, lalu baru memompa semangat. Selamat datang UAS! :D

Sekian. Terima kasih.
*gapenting

Sabtu, 24 Desember 2011

Monolog Galau

Tidak ada gunanya kamu memendam amarahmu.

Kamu tahu, semua sudah berakhir. Jangan simpan apapun, apalagi yang jelek-jelek, dalam hatimu.
Tidakkah kamu sadar bahwa semua ini hanya membuatmu semakin menderita?
Dengan tidak memaafkannya, tak ada lagi yang bisa kamu dapatkan kecuali wajah yang semakin terlihat tua dan hati yang semakin penuh dendam.

Kebencian yang kamu pelihara selama hampir 3 bulan ini tidak akan membuatnya kembali, tidak pula membuatnya peduli. Tidak pula membuat waktu terhenti atau berjalan mundur. Dia akan tetap bersenang-senang, melanjutkan hidupnya, mencari cinta yang lain, sementara kamu tetap sengsara karena menunggu saat-saat ia menderita untuk membuatmu bahagia. Kapan itu? Kapan? Kamu tidak mungkin mempertaruhkan seluruh hidupmu yang berharga hanya demi melihatnya menderita di depan matamu. Kamu lah yang akan menderita jika seperti itu. Waktumu akan banyak terbuang sia-sia.

Maafkan dia.

Maafkan.

Seperti tulisan yang kamu buat bulan yang lalu, ajarilah dirimu sendiri untuk memaafkannya. Jangan pernah ingat-ingat lagi kesalahannya. Begitu kamu merasakan panas dan sesak di dada tiap kali melihatnya, tutup matamu. Tarik napas. Ingatlah kebaikannya. Kamu akan merasa lebih baik. Dengan memaafkannya, kamu akan mendapatkan kedamaian dan kebahagiaan. Kebahagiaanmu akan menarik seseorang yang dijanjikan, entah siapa gerangan, yang sama bahagianya denganmu, untuk menjadi pengganti yang lebih baik.

Maafkan dia.

Maafkan.

Demi kebaikan dirimu sendiri.

Jumat, 23 Desember 2011

Faking Bad

"Kamu faking bad, Nad," ujar Haris, temen saya sejak SMA sampai sekarang setelah saya menjadi mahasiswa.
Itulah kalimat yang dikatakannya ketika saya bilang bahwa saya diterima di universitas yang katanya beken ini dengan hanya bermodal keberuntungan. Saya percaya bahwa ada 2 kaum yang diterima di universitas tersebut: kaum pinter sekali, atau, kaum beruntung sekali.
Dan saya selalu bilang bahwa saya tergolong yang kedua.

Faking bad. Pura-pura jelek. Merendah, lebih lembutnya. Hmm. Saya sebenarnya tidak bermaksud merendah. Saya hanya mengatakan pemikiran saya yang sangat realistis. Ya, saya adalah orang yang beruntung. Mungkin saya memang pintar. Tapi tidak ada yang bisa saya banggakan dan saya jaminkan dari kepintaran saya itu. Banyak yang lebih pintar. Kenapa harus bangga? Biasa ajalah. Jadi saya tidak benar-benar yakin bahwa kepintaran-lah yang membuat saya masuk ke universitas lalala~~tiiiiiit ini.

Tidak merendah. Tapi memang itu yang saya yakini. Saya beruntung. Kalau di Psikologi, ada istilah atribusi eksternal. Artinya, seseorang cenderung mempersepsi bahwa hal-hal yang dialaminya berada di luar kendali dirinya; misalnya, karena keberuntungan. Sepertinya saya tergolong orang yang memiliki atribusi eksternal.

Bukan berarti saya tidak pernah berusaha hanya karena saya menganggap semua itu di luar kendali saya. I am a hardworker. Apalagi kalau memang menginginkan sesuatu yang menjadi impian saya, saya mau menderita demi itu. Saya mau berusaha. Tapi, selalu, ujung2nya, saya menganggap semua usaha saya itu sampai di depan sebuah pintu yang masih belum diketahui apakah akan terbuka atau tetap tertutup ketika saya mengetuk. Ya, ketika saya mengetuk dengan membawa seperangkat usaha dan ikhtiar saya, toh akhirnya saya harus berhadapan dengan Sang Pembuka Pintu. Jika Ia tidak membukakan pintu, maka saya tidak akan sampai ke tempat yang saya tuju, walaupun saya sudah membawa sekeranjang kerja keras. Jika Ia membuka pintu, maka ya sudah, lolos lah saya.

Bagi saya, Sang Pembuka Pintu itu adalah Tuhan. Ya, saya mengetuk pintunya, sekitar 2,5 tahun yang lalu, dengan membawa hasil belajar saya, hasil kerja keras saya selama 1 tahun dididik untuk masuk ke jurusan yang saya dambakan. Bagaimana jika Ia tidak membukakan pintu itu untuk saya? Jelas, saya tidak akan berada di universitas lalala~~tiiiiit ini sekarang. Nyatanya, alhamdulillah, Ia membuka pintu itu. Dan di sinilah saya sekarang. Seperti inilah saya sekarang. Seperti...ah, lupakan.

Makanya, saya tersenyum kecut atau malah tertawa terbahak-bahak kadang2, ketika ada senior MOS atau dosen yang memotivasi mahasiswa baru dengan kata-kata "Kalian pasti pintar sekali. Hanya orang-orang terpilih yang masuk ke sini!" Ada yang bertepuk tangan bersemangat, ada yang diam saja, ada yang tersenyum kecut sambil mengeluarkan suara "eehhhhmmm...ga yakin deh." Saya orang terakhir itu.

Tidak bisa. Ujung-ujungnya, Tuhan selalu ada dalam tiap persimpangan garis hidup saya. Saya tidak berani mengatakan bahwa saya pintar maka saya bisa seperti ini. Saya tahu saya berusaha, tapi saya lebih tahu lagi bahwa ini semua terjadi karena Ia mengizinkan. Karena itu, semua kembali pada-Nya. Kekuatan saya sangat kecil. Ketidaktahuan saya akan masa depan sama kecilnya. Saya hanya punya keyakinan, bahwa barangsiapa berusaha, Allah pasti akan mengabulkan doanya. Mungkin masuk ke universitas lalala~~tiiiiit bukanlah disebabkan kepintaran saya. Mungkin ini adalah hasil dari perbuatan saya yang lain, selain mengerjakan ujian, tugas, dan sebagainya. Maka saya mendapatkan imbalan ini.

Dan saya katakan kepada Haris, "Masalahnya Ris, kalo Tuhan ga meridhoi aku untuk masuk ke sini, ya aku juga ga bakalan masuk to? Jadi semua akhirnya diserahkan lagi pada-Nya."
Haris manggut-manggut.
Saya kembali melanjutkan aktivitas membaca saya.
Itulah keyakinan saya.
Bukan faking bad.

It is real :)

Selasa, 20 Desember 2011

Cry

Singkat ya judulnya. Cry. Menangis. Tapi posting ini bakalan panjang kayaknya. Karena saya akan menceritakan sebuah kisah. Here we go.

Ada seorang anak yang terlahir sebagai anak yang cengeng alias gampang nangis. Diganggu dikit, nangis. Tersinggung dikit, nangis. Sedih dikit, nangis. Kebiasaan mewek ini membuat orangtua dan keluarga anak itu terganggu. Kata ortunya, "Cengeng itu ga baik, jangan sedikit2 nangis". Kata keluarga besarnya, "Ya ampun, segitu aja nangis, kenapa sih?" Jelas si anak ga bisa menjawab. Memang temperamennya seperti itu. Lagian umurnya juga belum nyampe 7 tahun. Masa sih ditanya tentang kenapa dia suka nangis. Ya ga tau ya, dia juga ga tau siapa yang menurunkan bakat ini ke dia. Pertanyaan seperti itu kadang menyiksanya, karena hampir bernada seperti "Kamu kok jelek sih? Hidungmu kok pesek sih?" Ya ga tau lah ya....

Menjelang usia sekolah, kelas 1 SD, giliran teman-temannya yang marah, "Kamu tuh kok dikit2 nangis sih, entar ga punya temen loh." Dan dia ingat ketika mengambil rapot bersama ibunya, wali kelasnya berkomentar, "Anaknya pinter, Bu, tapi cengeng." Ibunya membela, "Oh, dia memang anak yang punya perasaan sangat halus Bu, jadi jangan dikerasin ya." Tapi tidak selamanya orang-orang terdekatnya membela dia, malah seingatnya sejak kecil dia selalu dikritik karena gen mewek tak tahu diuntung yang terpaksa mengalir dalam darahnya ini. Pernah seorang teman tantenya berkomentar, "Ih lucu adek, giginya rongak tuh." Saat itu memang si anak baru aja cabut gigi. Spontan, si anak merasa ada pisau yang menancap jleb di dadanya, rasa ngilu yang familiar, lalu rasa panas yang mulai menjalari mata dan kelenjar2nya, sehingga...tada! Air mata keluar dan dia pun menangis. Ortunya menghardiknya. Ibunya berkata, "Kamu jangan nangis to. Kasihan si om-nya kan jadi ngerasa bersalah."

Oh, jadi, menangis memang tidak pernah menjadi sebuah hal yang diharapkan, pikir si anak. Menangis itu mengganggu ketertiban umum. Dan entah mulai kapan, alam bawah sadarnya mungkin menanamkan paham "anti-tears" di jiwanya dan, singkat kata, walaupun tetap menjadi orang yang cengeng, si anak tumbuh menjadi orang yang keras terhadap dirinya sendiri. Jangan nangis, jangan nangis, malu. Bahkan ketika ia sendirian, ia masih mengontrol tangisannya, sampai kadang2 lehernya terasa sakit untuk mengampet sesenggukan tangisnya. Dia jarang menangis, jarang. Kalaupun matanya sudah panas dan basah, sebisa mungkin tidak ia tumpahkan air pelumas itu. Dia jadi sekeras batu. Agak mengerikan malah, karena terkesan tak punya perasaan. Ketika temannya menangis, ia malah merasa tidak nyaman dan tidak sabaran karena ia langsung men-cap orang itu lemah. Cih. Gitu aja nangis, pikirnya.

Tapi pengalaman membawanya kepada teman-teman yang emosional, yang mampu membuat emosi dinginnya mulai mencair. Ia menangis saat temannya menangis. Ia bisa merasakan rasa sakit temannya. Ia tak lagi punya paham bahwa air mata itu nista, menangis itu hina. Ia belajar menerima dan mengelola dukanya, dengan menangis seperlunya, saat ia butuh. Belajar jujur kepada dirinya sendiri bahwa ia merasa sedih dan air mata mungkin dapat membuat perasaannya membaik.

Ya, dan anak itu menangis sekarang. Menangis karena orang yang dulu begitu meguatkannya pada akhirnya hanya mebuatnya menangis tersedu-sedu, bahkan setelah mereka berpisah. Menangis karena luka yang telah dibalutnya dengan hati-hati kini terbuka lagi dan terasa sangat sakit. Menangis karena galau *eeeaaaa*.  Menangis karena ia akhirnya tersadar bahwa orang yang telah melepaskannya ternyata memang pantas untuk ia lupakan. Tidak perlu diceritakan detail kejadian yang membuatnya kembali menangis. Yang jelas, ia sadar bahwa sebab ia menangis adalah melihat si seseorang, Tuan X, bersimpati dan peduli pada orang-orang lain untuk sebuah hal yang sama dengan yang dulu pernah ia alami (dulu si Tuan X ini tidak memberikan dukungan emosional yang cukup padanya-bahkan pernah hanya berkata "ga usah bicarain itu deh"-; tidak seperti yang diberikan Tuan X pada orang lain saat ini, sebuah ekspresi wajah yang sangat menunjukkan kepedulian, sementara dulu saat menangis ia hanya disodori ekspresi wajah datar).


Menangis karena merasa apa yang telah ia lalui hampir satu tahun itu ternyata tidak begitu bermanfaat baginya, dan Tuan X mungkin. Menangis karena pada detik ini, matanya akhirnya benar-benar terbuka, dan membuka mata lebar-lebar saat matamu masih lengket tertutup itu rasanya cukup menyakitkan. Menangis karena ia menyadari bahwa ia harus membuang jauh-jauh infeksi yang menggerogoti dirinya, dan cara terbaik adalah mengamputasinya sebelum membusuk. Dan amputasi itu sakit. Dan ia baru saja melakukan amputasi :')

Anak itu sudah mulai tua. Anak itu tahu sekarang, bahwa menangis dapat membantunya melanjutkan hidup; semacam bentuk survival. Ia mungkin akan banyak menangis, sampai akhirnya bagian yang diamputasi itu benar-benar tidak dianggapnya lagi sebagai bagian dari dirinya.

Anak itu adalah saya.

Senin, 19 Desember 2011

Superhero

Apa yang terlintas dalam benak Anda ketika saya bilang "Superhero" ? Bisa jadi Superman, Spiderman, Batman, Ultraman, dan man-man lainnya. Lalu secara otomatis otak Anda akan memvisualisasikan man-man tersebut: Huruf S di dada, warna biru-merah, dan tentu saja, celana dalam yang dipake di luar saking rempongnya si pahlawan menyelamatkan nyawa penduduk bumi; laba-laba yang hanya punya dua kaki dan dua tangan dan berkostum ketat; kelelawar yang lebih suka naik mobil ketimbang bergelantungan di pohon; dan pahlawan kurus berwarna merah-perak yang kalo mengalahkan musuh juga sekaligus menghancurkan seisi kota (oh iya, merhatiin ga? musuhnya selalu meledak setelah terdiam dalam beberapa detik yang dramatis).

Oh...well. Begitulah bentukan pahlawan super yang sering kita saksikan. Selalu dengan kostum. Selalu dengan kekuatan khusus yang diperoleh karena terpapar bahan kimia tertentu, terkena kekuatan ajaib yang membuatnya "berubaaaaah! cling!" atau bahkan sekedar digigit serangga doang. Anyway, gapapa sih. Itu kan film. Ga asyik lah kalo ga ada gitu-gitunya (gitu-gitu tuh apaaan lagi -_-).

Tapi, kadang-kadang, saya merasa superhero itu ga selalu kayak gitu. Maksud saya, superhero itu bisa muncul dalam wujud manusia biasa. Bahkan terlalu biasa, kalo dilihat secara fisik. Atau mungkin cenderung memelas. Hmmm...misalnya aja bapak2 tukang sol sepatu yang biasanya lewat di depan rumah saya (saya tulis bapak2 karena tukang sol yang lewat ga hanya satu). Kadang-kadang saya berpikir betapa beratnya beban mereka. Mereka tentunya punya tanggungan. Mereka tentunya merasa capek, mengengkol sepeda mereka di tengah panasnya matahari dan riuhnya hujan. Mereka tentunya harus menghadapi kenyataan bahwa mungkin hari ini tidak ada satu orang pun yang ingin sepatunya di-sol.

Dan saya pikir, mereka lah superhero. Superhero buat anak-anak mereka. Buat istri mereka. Buat siapapun yang jadi tanggungan dan membutuhkan mereka. Superhero dengan keteguhan mereka dalam menghadapi kerasnya hidup, tidak lari dari kesulitan melainkan bangkit dan berusaha mengais rezeki. Superhero dalam keikhlasan mereka menjalani peran sebagai tukang sol, dan dengan peran tersebut berusaha sekuat tenaga membuat kehidupan mereka membaik. Hfft, saya jadi iba. Dan saya lebih iba kepada diri saya yang tidak bisa apa-apa selain merasa iba -_-

Haaaah, banyak mungkin yang lebih memilih nganggur dan mabuk-mabukan dibanding kerja dengan penghasilan tidak seberapa seperti bapak2 tukang sol itu. Mungkin ada pula yang lebih memilih terjun dari lantai tertinggi untuk menyelesaikan masalah keuangan (sekaligus menyelesaikan hidupnya). Ada pula mungkin yang membunuh keluarganya karena stres. Jadi, bapak2 tukang sol, kalian hebat. Kalian mau HIDUP. Saya salut sama kalian. Lebih salut lagi ketika saya nge-sol sepatu saya di suatu hari, lalu saya tanya biayanya berapa, dan salah satu dari kalian berkata, "Seikhlasnya aja..."

Buat para superhero lainnya yang biasa lewat depan rumah saya -ibu2 penjual sayur, ibu2 penjual ayam, bapak2 penjual siomay, mas2 penjual mie dokdok yang uenaaaak banget (yang enak mas-nya atau mie-nya coba, kalimat ambigu =.=)- kalian adalah superhero! Superhero! Dan saya, yang berangkat kuliah naik motor, di rumah ada AC, baju bisa gonta-ganti tiap hari, makan terjamin (tapi malah males makan), duit jajan cukup...tidak seharusnya saya mengeluh. Saya juga ingin jadi SUPERHERO! :D

Salam semangat! :D

Rabu, 14 Desember 2011

A Better Today

Akhir-akhir ini saya dipusingkan dengan berbagai macam urusan. Tidak perlu disebutkan satu persatu karena hanya membuat semakin pusing. Intinya, saya sedang capek jiwa raga dan mood saya unfortunately juga tidak begitu bagus. Saya berulang kali "menyemprot" rekan-rekan saya ketika saya merasa terbebani. Saya berbicara dengan intonasi tinggi ketika perintah-perintah dan rencana yang sudah saya buat gagal dilaksanakan. Saya sering melewatkan makan malam karena langsung jatuh tertidur. Wheww, pokoknya saya seperti gelandangan di rumah sendiri. Sama sekali ga terorganisir.

Tapi hari ini keadaan membaik. Praktikum saya hari ini selesai hanya dalam waktu 1,5 jam dan langsung diambil lagi oleh asprak untuk dikoreksi. Rencana berkunjung untuk minta izin observasi wawancara ke SLB ternyata berakhir dengan wawancara langsung kepada guru tanpa perlu minta izin yang rempong2 itu. Observasi anak bisa langsung dilakukan, walau saya dan teman saya yang ikut, Dhio, tidak punya persiapan. But at least, we made it :)

Sebelum pulang kuliah saya sempatkan mengobrol dengan beberapa teman, supaya semangat saya kembali naik. Ya, mendengar suara tawa mereka, melihat senyuman mereka, ngobrol ngalur ngidul ga jelas itu membuat saya merasa mendapat transfer kekuatan batin. Friends are amazing :)

Saya mulai menata kembali "kerapian hidup" saya. Berdandan rapi dan cantik saat ke kampus membuat perasaan saya membaik. Saya merasa lebih tertata, walaupun hanya dari penampilan luar, tapi cukup berpengaruh untuk kesehatan mental saya. Ya, di tengah kacau balaunya keadaan saya pas bangun tidur, sebisa mungkin, setiap hari saya memakai bedak atau sedikit lipstik dan blush-on supaya terlihat segar. Saya tidak mau terlihat capek dan kuyu karena hanya membuat saya merasa lebih kacau dan membuat orang yang melihat saya merasa tidak nyaman dan iba. Paling tidak, komentar tentang kantung mata dan kepucatan serta kekurusan saya semakin berkurang :D Manfaat tampil rapi itu benar-benar saya rasakan.

Saya berkata "terima kasih" sambil tersenyum ketika siapa pun memuji saya "cantik". I do feel better. Saya berusaha menyelesaikan tugas-tuigas saya yang sempat terbengkalai karena mengerjakan urusan lain. Hari ini luar biasa. Sudah berapa kali saya mendengar komentar "cantik" dll dan saya bersyukur bahwa paling tidak, ada yang memperhatikan saya dan ternyata wajah saya tidak sekusut agenda-agenda saya, alhamdulillah :p Tugas-tugas selesai lebih cepat dari target. Ah, pokoknya lega. Saya bisa menarik napas.

Saya berharap esok akan lebih baik dari hari ini. Saya tidak mau marah-marah lagi, mendamprat orang lagi, teledor lagi. Tarik napas dalam-dalam. Lepaskan. Yang kuat ya, diriku :)

(Masih) Waras

Baru kali ini saya merasa begitu sulit memaafkan.
Baru kali ini saya merasa begitu membenci.
Baru kali ini saya merasa begitu marah.
Baru kali ini saya merasa begitu ingin melihat orang menderita.
Baru kali ini saya membutuhkan waktu begitu lama untuk lupa.
Dan baru kali ini, saya merasa semua itu normal.
Ya, saya baik-baik saja...
Setidaknya, saya masih bisa merasa.

Minggu, 11 Desember 2011

Seorang Kuli dan Nurani Yang Berbisik

Gurat-gurat purba di kulitmu tunjukkan padaku: hidup bukan sekedar menunggu waktu
Dan ketika telapakmu terbuka aku menatap banyaknya jalan yang kau lalui, keras dan getir tergambar di sana
Dari peluhmu aku belajar bahwa sesuatu layak diperjuangkan.
Kehormatan, mungkin? Atau sekedar keinginan untuk bahagia? Atau hanya sepotong lauk yang masuk ke perut?
Ah, apa pun itu, kau bukanlah pembuang waktu yang sibuk bermain dengan mimpi.
Bagimu, tak satu detik pun berharga untuk sekedar mengocehi ilusi.

Betapa pun karangnya dirimu, aku tahu:
Hatimu ada dalam tiap beban yang kau pikul di bahumu.

Sabtu, 10 Desember 2011

Dalam Diam Yang Abadi

Wajahku berpaling dalam diam yang membekukan di sela keramaian: orang-orang yang tak melihat bahwa matahari belum bisa memaksa musim dingin lelehkan saljunya.
Panasnya tak cukup mengusir sang gigilan renta.
Dan suara kecil itu berkata:
"Di sini musim dingin adalah abadi."

Rabu, 07 Desember 2011

The Diffrence Between "Speak" and "Fart"

Kata seseorang yang saya hormati, ngomong tuh ga jauh beda sama kentut. Bedanya, ngomong itu suaranya keluar dari mulut, tapi kalo kentut keluar dari "kau-tahu-darimana". Yang bisa membuat ngomong menjadi jauh berbeda dan bermutu dibanding kentut adalah tindakan yang mengikutinya. Kalo cuma bisa ngomong doang, well, kata-kata itu akan menguap hilang tak ubahnya kentut yang lama kelamaan gone with the wind. Kalo ngomong itu direalisasikan dengan tindakan, itu baru bermutu.
"Saya ga pernah kagum sama orang yang pinter ngomong, saya liat perbuatannya aja," kata beliau.
Saya setuju. Tapi masalahnya saya juga sekarang masih menjadi orang yang mengeluarkan kentut dari mulutnya alias cuma bisa omong kosong biasa.

Ah, semoga saya bisa menjadi seorang actor, ga hanya speaker.

Senin, 05 Desember 2011

Apartment?

Selintas muncul pemikiran di dalam kepala saya yang kecil ini: Apakah apartemen (English: apartment), hunian elit dengan jaminan privasi luar biasa sampai-sampai kamu terlindungi dari berita kematianmu sendiri, memang ada hubungannya dengan usaha untuk memisahkan kita dengan lingkungan sosial?
Dari kata apartment sendiri, saya sudah mencium bau-bau antisosial yang samar.
Apart artinya terpisah; terlepas; tersendiri; berjauhan; bercerai-berai.
Bila ditambah dengan imbuhan -ment di belakangnya, kata sifat apart berubah menjadi sebuah kata benda baru, apartment. Walaupun kata tersebut berarti "apartemen", saya rasa sifat apartemen yang terpisah dan individual itu ada kaitannya dengan kata sifat apart.
Ya, saya curiga, apartment tidak hanya memiliki arti "apartemen" tetapi juga "sebuah keadaan terpisah; terlepas; tersendiri; berjauhan; tercerai-berai; pemisahan; pelepasan; penjauhan; dan penyendirian."

Sepertinya saya tertarik mempelajari Psikolinguistik.

Sabtu, 03 Desember 2011

The Power of Choice

"It is our own choice, Harry, that shows what we truly are, far more than our abilities."
~ Dumbledore, Harry Potter and The Chamber of Secrets

Bagi kalian yang suka sama novel Harry Potter, pasti inget ketika Dumbledore mengucapkan kalimat ini kepada Harry yang baru saja selamat dari Tom Riddle, a.k.a Voldemort pas masih jadi murid di Hogwarts. Kalimat ini berhubungan dengan hasil Topi Seleksi yang menempatkan Harry di asrama Gryfindor, walaupun jelas-jelas Topi Seleksi berbisik di telinga Harry bahwa ia bisa menjadi seorang penyihir masyhur di Slytherin. Harry menolak; jangan Slytherin...jangan Slytherin...batinnya ketika Topi Seleksi menimbang-nimbang untuk menempatkannya di Slytherin, asrama yang terkenal sebagai tempat berkumpulnya penyihir hitam; asrama yang penghuninya mempunyai karakteristik pintar, panjang akal, namun licik (sly). Namun akhirnya, begitu mendengar ketakutan Harry, Topi Seleksi pun memasukkan Harry ke Gryffindor.

Di dalam Harry Potter and The Chamber of Secrets, diceritakan bahwa Harry adalah seorang Parseltongue, yakni penyihir yang bisa berbicara dengan ular. Semua ini tidak lain karena kutukan kematian Avada Kedavra yang diarahkan Voldemort ketika Harry masih bayi. Kutukan itu gagal membunuh Harry, dan alih-alih membunuh, kutukan itu malah membuat Harry terkenal sebagai Anak Yang Bertahan Hidup, dan Voldemort secara tidak sengaja malah men-transfer sebagian dari dirinya ke dalam diri Harry, salah satunya adalah kemampuan Parseltongue tersebut.

Ya, Harry, selain menjadi musuh terbesar Voldemort, juga menjadi penyihir yang paling menyerupai Voldemort. Inti tongkat sihir mereka dibuat dari bulu seekor Phoenix yang sama. Mereka terhubung, karena, seperti yang kita ketahui di seri terakhir, Harry Potter and The Deathly Hallows, Harry sendiri adalah Horcrux terakhir dari Voldemort. Dan Voldemort adalah alumni asrama Slytherin. Wajar saja jika Harry juga dipertimbangkan masuk ke asrama yang sama.

Namun nyatanya Harry dimasukkan ke Gryffindor. Karena apa? Karena pilihannya sendiri. Harry memilih menjadi seorang Gryffindor yang memiliki karakteristik pemberani, sangat jauh dari sihir hitam, walaupun Harry memiliki kemampuan Parseltongue yang sangat identik dengan sihir hitam (tidak ada penyihir "baik-baik" yang bisa Parseltongue). Dan di akhir cerita, Harry membuktikan bahwa ia adalah seorang Gryffindor sejati, seseorang yang pemberani sangat loyal kepada apa yang benar, bukan apa yang mudah. Karena Harry memilih menjadi seperti itu. Tidak peduli apa yang dikatakan Topi Seleksi.

So, I just wanna say that, you are what you choose to be.
Memang, ada beberapa hal yang sudah menjadi karaketristik biologis yang tidak bisa atau sukar diubah, misalnya: saya seorang pemarah, sebuah sifat buruk yang sudah menjadi karakteristik keluarga saya hingga tujuh turunan (ini misalnya lho yaaa... -_-), akan tetapi, saya punya pilihan: mau menjadi orang yang terus menerus marah atau menjadi orang yang mampu mengendalikan amarahnya?
Atau, saya memiliki kecerdasan pas-pasan. Dengan tingkat kecerdasan seperti ini memang sulit untuk menjadi seorang ilmuwan sekaliber Einstein, namun lagi-lagi ini pilihan: Apakah saya mau menyerah dengan IQ biasa-biasa dan eneded up menjadi orang yang biasa-biasa saja, atau, belajar, lambat tapi pasti, berusaha menguasai satu bidang yang mana saya bisa memberikan performa yang sangat baik di dalamnya, fokus di situ, dan menjadi orang luar biasa di bidang tersebut? Terserah mau pilih yang mana :)

Saya tidak bilang SEMUA bisa terjadi karena pilihan. Tetap ada faktor-faktor lain yang tidak bisa diubah, dan pengaruhnya jelas besar dalam hidup kita, dan itu pun mempengaruhi pilihan kita. Tapi saya pikir ketika kamu INGIN, kamu MEMILIH suatu arah, suatu tujuan, maka pada akhirnya toh kamu akan berusaha melenyapkan semua faktor penghambat. Pilihan membuat kita mempunyai sense of power dalam hidup, tapi kita pun harus sadar bahwa pilihan-pilihan juga terbatas. Pilihlah pilihan yang ada, yang paling baik, yang paling mungkin. Bahkan saat kita merasa terjebak dalam situasi di mana kita merasa "there is no choice left", SEJATINYA ini bukanlah acara gosip, eh, sejatinya, kita masih tetap punya pilihan kok: pilihan untuk tidak melakukan apa-apa atau membuat peluang lain. Dan saya yakin dalam situasi segenting apapun kita masih punya pilihan. Orang yang dikejar pembunuh bersenjata gergaji mesin mungkin terkesan "tidak punya pilihan selain lari". Tapi nyatanya, lari itu sendiri adalah sebuah pilihan kan? Dia bisa diam saja dan membiarkan dirinya dibunuh, tapi jelas tidak ada orang waras yang bakal pasrah doang kayak gini, bahkan orang yang merasa hidupnya ga berharga pun masih berusaha lari dari kejaran pembnuh, yakin deh -_-
So, there are always choices for us.

Kalimat yang ada di buku Harry Potter itu benar-benar menginspirasi saya. Tidak peduli apakah saya masih menjadi orang yang meledak-ledak, kekanak-kanakan, kadang pesimis, tidak stabil, saya memilih menjadi seorang psikolog klinis. Ya, itu pilihan saya. Dan saya akan berusaha menjadi seperti apa yang saya pilih. Sebisa mungkin, saya akan memperbaiki diri saya, walaupun tidak berarti saya akan mengeliminasi kelemahan saya. Sebisa mungkin, karena saya tahu ada hal-hal yang sulit diubah 100%. Saya bisa memilih menjadi tetap meledak-ledak, kekanak-kanakan, kadang pesimis, tidak stabil, dll, Tapi saya memilih untuk mengejar cita-cita saya. Dan otomatis pilihan itu menuntun saya untuk memperbaiki diri saya, because I don't wanna be a bad psychologist who cannot help herself.


So, make a choice. Pilihan bisa mengarahkanmu kemana saja kamu mau. Jadi buatlah pilihan yang baik. Nadya, buatlah pilihan yang baik *ngomong sama diri sendiri*

Mari memilih. Buatlah pilihan terbaik untuk diri kita :)

Rabu, 30 November 2011

Manajemen Lensa Kontak

Beberapa hari ini, saya menjadi pengguna lensa kontak. Ternyata bermanfaat juga untuk memodifikasi perilaku saya.

  • Pertama, saya harus bangun tidur lebih awal karena memakai lensa kontak butuh persiapan ekstra. Well, mungkin ini karena saya belum ahli, tapi yang jelas memakai lensa kontak tidak segampang memakai kacamata.
  • Kedua, saya jadi lebih bersih karena setiap mau memasang lensa kontak, saya harus mencuci tangan saya sampai bersih, jadi sekarang saya selalu bawa tissu dan kadang-kadang juga sabun, di tas saya.
  • Ketiga, saya jadi lebih disiplin. Tiap 6 jam sekali saya harus melepas lensa kontak dan membersihkannya dengan cairan khusus. Cairan khusus ini ada di dalam wadah lensa yang berarti saya tidak boleh lupa membawa wadah tersebut di tas saya. Selain itu saya juga harus memastikan botol kecil cairan itu masih ada isinya yang berarti saya juga harus rajin mengecek dan memindahkan cairan dari botol besar ke botol kecil di wadah itu agar saya punya persediaan di jalan.
  • Keempat, saya jadi lebih hati-hati dalam melakukan gerakan motorik halus ketika memasang dan melepas lensa. Saya harus hati-hati agar mata saya tidak kecolok telunjuk sendiri.
  • Kelima, saya harus ingat kapan harus mengganti cairan agar tetap segar, sampai kapan cairan tetes mata boleh dipakai (30 hari/1 bulan setelah dibuka), sampai kapan cairan pembersih boleh dipakai (3 bulan setelah dibuka), sampai kapan lensa boleh dipakai (6 bulan setelah dibuka).

    Yang jelas saya lebih pandai mengatur diri, disiplin, dan tidak mudah lupa. Bagus untuk melatih kerja otak.

Minggu, 27 November 2011

Egois

Suatu hari saya pernah berandai-andai: Tidak ada satu pun kegiatan bertema "terikat" dan "bertanggungjawab" dan "jabatan" di dalam kehidupan saya sebagai mahasiswa kecuali kuliah reguler di kelas. Saya seringkali berpikir seandainya saya tidak jadi Pemimpin Redaksi di Psikomedia. Saya sering mangkel karena waktu bermain saya yang tersita, waktu mengerjakan tugas kuliah yang berkurang, waktu untuk mencoba hal-hal baru yang terbatas, dan waktu untuk bertanggung jawab atas sebuah jabatan yang sebenarnya tidak saya sukai dan semakin tidak saya sukai karena saya tidak bisa melawan "kesepakatan bersama". Saya suka menulis, tapi saya tidak suka menjadi seorang pemimpin redaksi di sebuah badan pers. Saya suka tulisan saya yang tanpa teknik, polos, asli bikinan saya tanpa diedit-edit, berantakan, meloncat-loncat, ga berteknik, kacangan, murahan, bodoh, dll. Tidak bagus memang, tapi itulah saya. Tulisan saya ketika harus menjadi seorang anak redaksi haruslah berbobot, cerdas, berteknik, terstruktur, dan "wah". Bagus, saya mengakui hal itu bagus. Tapi itu bukan saya. Saya bisa menulis ilmiah, tapi akhir-akhir ini saya semakin menyadari bahwa jurnalistik bukanlah dunia saya. Saya bahkan merasa jauh lebih enjoy menulis tugas kuliah berupa paper, apalagi jika saya tertarik dengan topiknya. Saya suka jika orang menyukai tulisan saya, tapi bukan dalam bentuk tulisan jurnalistik.

Menyesal? Hmm, tidak. Saya memang ingin masuk Psikomedia, karena saya suka menulis dan ingin tulisan saya bertambah bagus. Saya dapat itu. Saya banyak dapat ilmu di sini. Atau mungkin saya menyesal terpilih sebagai PimRed? Bisa jadi. Ya, bisa jadi hal itu membuat saya sedikit muak dengan tetek bengek kepenulisan. Bisa jadi saya mengalami fatigue seperti di dalam teori belajar Guthrie. Bisa jadi ketika saya semakin disodori materi-materi keredaksian. semakin saya mual karena sebenarnya saya tidak sedoyan itu. Aslinya, saya suka menulis diary, puisi, cerpen/novel gagal...yeah, things like that. Hhh, ironis. Ketika jabatanmu tergolong penting kamu seharusnya semakin menyukai bidangmu, tapi tidak untuk saya. Malah jabatan inilah yang membuat saya ingin lepas.

Sudah hampir setahun. Deadline, brainstorming, editing, evaluasi, dll saya jalankan dengan semangat sintetis dan motivasi mainan. Ketegasan jadi-jadian ketika saya sebenarnya merasa tidak kuat. Ga, ga, ga kuat...

Ckckck, saya aktor yang buruk setahun belakangan ini karena di banyak waktu wajah saya yang asli menampakkan diri dan saya naik pitam di beberapa evaluasi karena saya merasa beban itu ada di saya dan saya mengacaukannya dan kenapa kenapa kenapa tidak orang lain saja yang dipilih padahal masih banyak yang lebih pintar dari saya lebih sabar dari saya tapi kalau saya melimpahkan tanggung jawab kepada mereka itu berarti saya pengecut dan tidak amanah jadi saya jalankan semua kepura-puraan ini di tengah ketidakmampuan dan kurangnya kompetensi saya dibanding anggota redaksi lain dan jreng..jreng..beginilah hasilnya. Saya merasa kinerja saya tidak maksimal. Selalu. Selalu ada yang salah. Dan meskipun bukan murni kesalahan saya, saya merasa bertanggung jawab.

Dan di penghujung tahun ini saya harus membuat LPJ dll dan saya membayangkan saya akan menulis bahwa saya sebenarnya tidak beperan apa-apa karena saya lebih banyak ngikut suara mayoritas karena saya sendiri bingung apa yang harusnya saya putuskan saking banyaknya masukan yang diberikan kepada saya dan saya tidak bisa menafikannya karena yang memberi masukan adalah orang yang lebih kompeten jadi saya adalah pemimpin yang ngambang dan gampang disetir. Dan proyek majalah tahun ini masih menunggu dan saya tidak mau memikirkan hal itu karena saya sudah cukup banyak berakting bahwa saya fine-fine saja tapi kalau tidak saya pikirkan dan saya pantau itu adalah berarti saya pemimpin yang buruk tapi memang saya bukan pemimpin sekaliber Soekarno atau Obama jadi...FINE! Saya tidak mau berpikir. Saya tidak mau diganggu. Saya cuma ingin nyantai menunggu lengser awal tahun depan. Betapa egoisnya saya. Dan saya juga menjadi tumbal keegoisan sebuah suara yang katanya suara bersama.
Tapi sayangnya bukan suara saya.

Egois. Saya sedang egois sekarang. Saya tidak sempurna. Izinkan saya menjadi orang egois.

*ditulis dengan penuh keegoisan dan ledakan emosi secara tiba-tiba yang berbahaya jika tidak diledakkan dalam blog karena jika meledak di luar blog akan menghasilkan sumpah serapah yang sangat tidak elegan*

Jumat, 25 November 2011

Silly Conversation

Ini adalah reka ulang dari sebuah percakapan yang diceritakan adik saya. Silakan dinikmati.


X: Wah, aku belum sholat asar nih!
Y: Tapi udah jam segini je...
X: Iya ya. Duh, udah abis dong waktunya, ga bisa sholat deh :(
Y: Ya udah, diikhlasin aja...


Ada hal aneh di kalimat terakhir yang diucapkan oleh Y.
-______-"

Rabu, 23 November 2011

God's Handmade is Perfect..

beach trace

Foto ini diambil oleh teman saya waktu main-main di pantai. Atas suruhan saya, haha.
Ini kaki yang langka. Susah banget nyari sepatu untuk ukuran kaki seperti ini.
Kalo kata adik saya sih, ukuran kaki saya itu M a.k.a micro -____-

Anyway, I love my tiny feet. My tiny head also. God's handmade is perfect :)

Selasa, 22 November 2011

Tentang Kualat

Pernah denger yang namanya kualat? Kualat adalah sebuah kata yang digunakan untuk menggambarkan sebuah kondisi di mana karma terjadi, lebih tepatnya, ketika kalian melakukan sesuatu yang buruk dan menuai keburukan dari tindakan kalian tersebut. Dan kualat really does work. It is real and it exists.
Saya akan menceritakan salah satu kejadian kualat ketika saya masih menjadi siswa kelas 3 SMA, yang saya alami bersama teman SMA saya, Nuzul.

Siang itu, belum selesai jam sekolah, sekitar pukul 13-an, cuaca panas dan kami akan segera menghadapi kebosanan mematikan di mata pelajaran Sosiologi. Berhubung kami sedang malas dan ada tugas lain yang belum dikerjakan dan ingin bermain-main, maka kami memutuskan untuk pergi ngadem ke warnet sekalian nyari bahan buat tugas sekalian bolos 8) Karena saya belum bisa naik motor, saya nebeng Nuzul.

Sebelum kami berada dalam perjalanan ke warnet yang hanya berjarak sekitar 300 meter itu, saya sempat bercanda sama Nuzul, "Wahai, Bu X, izinkanlah kami membolos siang ini..." sambil tertawa-tawa. Kami berusaha minta maaf dan minta izin secara tidak langsung kepada guru kami.

Lalu apa yang terjadi?

Untuk mengefektifkan tulisan, saya tulis saja langsung:
KAMI KECELAKAAN.
Menabrak motor yang sedang menyeberang.
Saya ga kenapa-napa, Nuzul kakinya agak memar ketimpa motor.
Tapi berhubung jarak kami lebih dekat ke warnet daripada ke sekolah, kami lanjutkan saja perjalanan ke warnet :p

Sesungguhnya membolos itu adalah perbuatan tidak terpuji dan pasti kami tidak di-ridhoi.
Buat yang mau mbolos, hati2 ya. Jangan jadikan membolos menjadi perbuatan terakhir yang kamu lakukan. Itu sangat tidak elegan. Membolos bisa menyebabkan kematian; kalo setelah membolos itu kamu tabrakan.

Alhamdulillah saya dan teman saya ga kenapa-napa, ga luka parah lah.
Tuhan masih memberi kami kesempatan bertobat -.-

Minggu, 20 November 2011

Face to Face

Kata salah seorang dosen saya, ga ada itu yang namanya "jauh di mata dekat di hati".
Hmm, saya setuju kala beliau mengucapkannya, at least saya ikutan tertawa terbahak-bahak bersama teman-teman lain sementara ada beberapa orang yang tampangnya langsung suram dan bilang, "Duh, menohok banget sih, gue LDR nih T.T"

Dan sekarang, saya yakin itu benar. Paling nggak dalam hubungan antar-manusia. Kalo hubungan manusia-Tuhan sih, beda kasus. "Jauh di mata dekat di hati" itu harus, berhubung kita ga bisa melihat wujud Tuhan.
Oh ya, kenapa saya yakin omongan itu benar? Karena saya mengalaminya. Ini subjektif sih, tapi whatever. Saya tidak akan bisa terus menerus menjadi orang objektif kalo menyangkut perasaan. Perasaan bukan nalar yang cenderung objektif. Ah, tapi nalar pun biasanya subjektif, terbukti dengan pikiran orang yang berbeda-beda.

Balik ke titik tadi. Saya sadar bahwa intensitas bertemu dengan seseorang itu benar-benar mempengaruhi hubungan. Saya baru saja mengalaminya dengan teman-teman paduan suara saya. Sudah sebulan lebih saya tidak ikut latihan bersama mereka. Pertama, saya batuk. Kata pelatih saya, nyanyi itu harus fit, jangan dipaksain, ntar produksi suaranya malah jelek. Oke deh, demi kesehatan dan daripada merusak harmoni, saya ga ikut latian. Kedua, saya sibuk dengan tugas kuliah dan tugas organisasi lainnya. Ah, saya jadi merasa berantakan.

Nah, tadi saya ikut ngisi job pembukaan Porsenigama bareng teman-teman saya. Ternyata yang ikut cuma 8 orang. Ini sih vokal grup namanya =_=
Yaudin, dengan personil yang sedikit banget itu akhirnya kami harus tetap maju. Untung acaranya ga formal-formal banget, jadi ga banyak tuntutan. Kami hanya harus nyanyi Indonesia Raya dan hymne, serta Bagimu Negeri. Sempat ada issue kalo lagunya ditambah 1 lagu pop, jadi untuk jaga2 kami nyiapin lagu "Looking Through The Eyes of Love".

Nyanyi lagi deh saya dengan temen2. Rasanya....amazing. Ga bermaksud lebay, tapi ini jujur. Terserah kalo mau bilang lebay. Rasanya bahagia bisa ngumpul sama mereka lagi. Dengerin suara kami menyatu satu sama lain itu sesuatu banget. Mungkin karena saya jarang latihan sebulan belakangan. Apalagi pas latihan "Looking Through The Eyes of Love", saya benar-benar menghayati dan rasanya nyaman banget mendengar nada-nada sopran, alto, tenor, dan bass bergabung di lagu itu.

Saya merasakan betapa saya menyayangi teman-teman saya ketika kami bersama (jiahh). Sementara kalo sedang tidak ikut latihan, sibuk sendiri, dll saya merasa yaaa...kangen sih, tapi saya tidak begitu menyadari bahwa saya sangat bahagia memiliki teman2 seperti mereka, karena mungkin rasa sayang itu teralihkan oleh kesibukan2 yang menuntut otak bekerja dominan di atas hati nurani.

Apa yang mau saya utarakan di sini sebenarnya adalah BERTEMU ITU PENTING. Bagaimana saya bisa menunjukkan kalau saya loyal pada PSM dan saya peduli pada PSM kalau saya tidak ikut latihan, tidak ikut nge-job, dll? Duh, saya ditonjok oleh tulisan saya sendiri.
Jadi, selama masih ada waktu, cobalah bertatap muka dengan teman-temanmu. Tidak perlu terlalu sering, sekedar cukup untuk mengingatkan bahwa mereka itu temanmu, kalian terhubung, dan kamu peduli pada mereka.

Sebelum kamu mulai melupakan mereka.
Sebelum mereka mulai melupakanmu.

Sabtu, 19 November 2011

About The So-Called "Self-Confidence"

Self-confidence for me, it's not to idol yourself and believe that you're the best in the entire world. It's more to accept yourself and believe that you can do things well with your own capacity. If you say that "Look, I'm the most beautiful girl in the world...noone else compares!" it's not a self-confidence; it means that you're a damn snob. But if you say, "I know I'm not beautiful but that's okay. I feel good with myself and I believe that I can do things well without being so consumed with beauty-thingies" then you have a good self-confidence. It can be possible that my concept of self-confidence ain't true, but I'm pretty sure of what I've said. Can I say that I've got a great bunch of self-confidence? LOL.
(Rismarini, 2011)

*
ditulis dengan membingungkan oleh orang yang bingung terhadap kebingungan yang membingungkan*

Ever Been in A Situation Like This?


*digambar dengan penuh perasaan*

 

Jumat, 18 November 2011

Renungan Random

Pernah ga sih kalian merasakan hidup kalian itu adalah sebuah skenario yang luar biasa? Saya kerap merasakannya. Jujur, saya bukanlah tipe orang pemikir dan perenung. Wajah saya tergolong awet muda. Mana mungkin bisa begitu kalo kerjaan saya mikir melulu =_=
Tapi, well, ada saat-saat di mana saya terbaring diam sebelum tidur di malam hari, di siang hari juga kadang2, dan saya tersenyum sendiri melihat film kehidupan saya diputar di dalam otak saya. Kadang-kadang saya juga menangis sendiri ketika menonton film itu. Film yang luar biasa. Yang disutradarai oleh Tuhan yang saya sembah, Allah, pemilik semua keindahan dan kebaikan.

Saya merasa, tidak ada kebetulan yang terjadi dalam hidup saya. Semuanya misteriously-beuatifully-planned. Saya tidak bisa menceritakan secara keseluruhan hidup saya (blog bukan tempat menulis autobiografi). Namun ada beberapa bagian, seperti benang merah, yang saya yakin merupakan rencana Allah yang terbaik, yang akhirnya membentuk siapa saya sekarang.

Saya pernah naksir banget sama teman SMP saya. Selama 2 tahun, saya tidak pernah berusaha menyatakan perasaan saya. Saya ingat, saya jadi rajin belajar karena orang yang saya suka itu pintar. Saya tidak mau kelihatan bodoh di depannya. Pas kelulusan, eh, malah NEMnya yang jauh di bawah saya. Dia akhirnya masuk SMA negeri yang berbeda dengan saya. Sempat ada niat untuk masuk ke SMA yang sama dengan dia, tapi saya pikir itu bukanlah hal yang rasional. Jadi saya masuk SMA yang berbeda dengan dia. Tidak lama setelah itu saya dengar dia sudah punya pacar. Saya sedih, tapi saya relakan saja :')

SMA saya adalah SMA favorit. Banyak link untuk berprestasi. Tapi tidak berarti saya selalu sukses. Saya pernah kecewa. Waktu kelas 1 SMA, saya pernah mendaftar program pertukaran pelajar. Saya ingin ke Prancis waktu itu. Menjelang tahap akhir, saya tereliminasi. Kecewa sih, tapi tidak sampai membuat saya sedih banget kok. Saya yakin, pasti ada sesuatu di balik ini. Mungkin terungkapnya tidak sekarang. Mungkin nanti. *ups, kayak judul lagu salah satu band domestik :p
Akhirnya, saya jalani kehidupan saya. Saya juga naksir seseorang yang menurut saya almost perfect. Tapi lagi2, saya bukan orang yang mampu bicara. Saya pun membisu, menyimpan cinta membara dalam hati (ampun deh bahasanya porno banget =_=)
Kelas 2 SMA, saya masuk IPS, jurusan yang memang saya rencanakan akan saya ambil sejak kelas 3 SMP. Mengapa? Tentu saja karena saya ingin jadi Psikolog. Fakultas Psikologi yang paling bagus adalah di UGM. Masuknya harus lewat jalur IPS. Jadi saya pilih IPS, walaupun saat itu saya kecanduan Kimia. Pelajaran Kimia loh, bukan kecanduan minuman beralkohol atau sejenisnya -.- Jadi saya say goodbye pada nilai Kimia saya yang bersinar di rapot itu...
Kelas 3. Saya makin mantap dengan pilihan saya, Psikologi. Saya ingat saya berdoa supaya apa yang saya cita2kan memang apa yang telah ditakdirkan untuk saya. Sebelum ujian masuk, saya sempat panik dan saya menangis. Untuk menenangkan diri saya shalat Dhuha. Saya pasrahkan semua pada-Nya. Dan ternyata, tangan Tuhan membawa saya ke jalan yang memang saya dambakan: Fakultas Psikologi :'D

Ketika kuliah, saya mulai membuka diri. Saya aktif berorganisasi. Saya bertransformasi dari seorang murid pengangguran yang pendiam menjadi mahasiswa penuh energi, mahasiswa siluman kura-kura (kuliah-rapat-kuliah-rapat). Di tahap inilah saya mulai menjadi Nadya yang baru. Saya mulai melupakan orang saya sukai sejak SMA karena tampaknya dia tidak menangkap perasaan saya. Sakit rasanya, tapi ya sudahlah memang bukan jodoh kayaknya. Namun takdir mempertemukan saya dengan seorang laki-laki baik hati. Saya mulai berteman, bahkan saya cerita tentang orang yang saya sukai ke dia. Begitu pun dia. Tapi siapa sangka, akhirnya malah kami yang jadian. Pacar pertama saya! Wow! Hidup begitu indah rasanya. Setiap hari spesial. He's amazing. Saya bersyukur kepada Tuhan bahwa saya dapat mengenal seseorang seperti dia. Saya bahkan bersyukur karena menyukai orang sebelum dia, karena jika saya tidak menyukai orang yang saya sukai sebelum dia, mungkin curhat2an galau kami tidak akan terjadi dan saya tidak akan mengenal orang sekeren pacar (eh, sekarang mantan dink) saya. Saya berharap dapat berlangsung lama....tapi ternyata tidak sesuai harapan. Hati saya porak poranda. Ya, itulah hidup. Tidak terduga.

Lihat? Tidakkah itu skenario yang indah? Jangan lihat per episode. Lihat benang merah di antaranya.

# Seandainya ketika saya SMP Tuhan tidak menaruh perasaan suka di hati saya terhadap cowok pintar itu, mungkin saya akan tetap jadi murid biasa yang malas belajar. Tapi karena ingin mengejar dia, saya jadi rajin belajar dan akhirnya masuk SMA favorit. Hmm, walaupun tidak satu SMA dengan orang yang saya kagumi itu...

# Masuk SMA favorit adalah gerbang luar biasa untuk mencapai cita2. Di sini saya banyak bertemu orang yang menginspirasi, teman-teman luar biasa, cowok luar biasa (ehem). Walaupun ada dukanya, masa-masa SMA tetap menyenangkan. Masuk SMA favorit juga membantu saya belajar lebih giat. Teman2 saya rajin belajar dan pintar2, saya jadi ketularan. Dengan bantuan Tuhan, saya akhirnya bisa mengoptimalkan usaha dan keberuntungan sehingga diterima di Fakultas Psikologi sebuah PTN ternama.

# Masuk PTN ternama memudahkan saya dalam menggapai cita2 saya, yang sekarang sudah lebih mengerucut: Psikolog Klinis. Di sini saya bertemu dosen2 yang hebat, teman2 yang hebat, pacar yang hebat. Kalau saya keterima pertukaran pelajar waktu itu, saya mungkin ga akan jadi mahasiswa Psikologi angkatan 2009. Saya mungkin ga akan kenal dengan teman2 saya yang luar biasa ;') Saya mungkin ga akan bisa merasakan masa2 ketika pacaran dengan si dia. Tapi ternyata pacar berubah bentuk menjadi mantan...dan ya, saya masih menunggu hikmah di balik kejadian tersebut terungkap sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Ya, saya masih bertanya-tanya ada apa gerangan di balik skenario putusnya saya dan mantan saya.

God's hands work in a very misterious way. Meski begitu saya percaya ada satu aturan yang harus diikuti: That everything happens for reasons. Allah hanya ingin melihat saya menemukan hikmah dalam hidup saya, karena hidup adalah belajar. Saya akui banyak skenario yang saya protes, ada saat-saat di mana saya menjadi hamba yang begitu egois dan bodoh, karena saya tidak tahu mengapa sesuatu yang tidak menyenangkan harus terjadi, karena saya tidak tahu kemana semua ini bermuara, karena saya khawatir. Karena saya takut. Karena saya manusia.
Namun, ada suara kecil dari dalam hati saya yang berkata: God will never abandone His creatures.
Never
.
Dan di tengah renungan acak tentang kehidupan saya, saya sudah melihat hikmah-hikmah itu sedikit terungkap, muncul ke permukaan dari bawah lautan takdir-Nya yang penuh rahasia. Ada pula hikmah yang belum terungkap. Ada perasaan yang masih mengganjal. Hati yang belum ikhlas dan masih saja bertanya "Kenapa?". Namun, pasti suatu saat nanti, seiring berjalannya waktu, saya bayangkan Tuhan tersenyum (boleh ga sih membayangkan Tuhan tersenyum?) dan berkata kepada saya: "Kamu ingin tahu kenapa? Karena ini." Dan jawaban itu muncul ketika teka-teki masa depan terkuak dan saya dengan wajah tersenyum memandang ke masa lalu sambil berkata: "Ya, karena ini. Karena di sinilah aku sekarang. Dan aku tidak akan dapat berada di sini tanpa melalui jalan yang gelap itu."

Dan itulah yang terjadi ketika film kehidupan saya diputar kembali di lain waktu. Saya akan dengan ringan berkata: "Ya, karena di sinilah saya sekarang. And it feels good. Betapapun kacaunya jalan yang saya lewati dulu. Saya tidak menyesal. Terima kasih Ya Allah, atas skenario yang hebat ini."

Hidup saya akan terus menerus begini. Berjalan, dan terkadang menoleh ke belakang sejenak, hanya untuk melihat betapa sebenarnya semua kesuraman itu merupakan gambar yang indah dari jauh. Selalu seperti ini. Menemukan hikmah dan menunggu hikmah lain terungkap seiring waktu membuka tabirnya. Selalu seperti ini. Sampai ajal mendatangi saya. Ketika akhirnya film berakhir. Ketika akhirnya behind the scene ditampilkan dan saya menangis sambil tertawa melihat betapa Sang Sutradara Kehidupan benar-benar menyiapkan sebuah film yang hebat.

And it must be beautiful :)

Kamis, 17 November 2011

A Rat Story

Sekedar mengabarkan: Hari ini saya melihat tikus, saudara2!

Kronologinya:
Sekitar pukul 16.50, saya dan teman saya, Iconx, sedang menonton video SHINee di Psikomed -markas organisasi yang saya ikuti- sambil nyantai2 habis kuliah. Saat kami berdua sedang asyik nonton, saya menangkap bunyi kresek-kresek di telinga saya. Curiga, saya menoleh ke arah sumber suara, dan ternyata....oh tidak....


tidak ada apa-apa.


Heran, saya kembali menonton. Paling cuma perasaan aja, pikir saya. Beberapa menit kemudian, bunyi itu muncul lagi. Penasaran, saya menoleh ke arah yang sama dan melihat....

Seekor tikus.
Berukuran M.
Berwarna coklat comberan.
Sedang nangkring di atas meja kecil tempat menyimpan kotak-kotak makanan ringan.
Awalnya saya cuma bengong, dan beberapa detik kemudian baru teriak:
"AAA...TIKUUUSSS!!!!"

Iconx ikut heboh, Si tikus juga ga kalah heboh, Hewan kecil itu mulai memanjati dinding. Saya hanya menontonnya tanpa bergerak dari tempat saya duduk. Iconx malah heboh nyari2 handphone buat motret binatang itu. Tapi si tikus dengan lihai meloncat ke bawah, lari, masuk ke dalam krat-krat tempat menyimpan botol minuman ringan. Saya dan Iconx masih teriak-teriak, walaupun tidak dengan suara melengking karena kami berdua bukan penyanyi sopran.

Saya dan Iconx masih panik (atau lebih tepatnya, kegirangan mungkin) dan kami menunggu si tikus keluar untuk difoto. Iconx udah siap tempur dengan sapu di tangannya. Menyadari bahwa si tikus tidak akan keluar kalo tidak dipancing, saya mengambil sapu dari tangan Iconx dan menyodok-nyodokkannya ke dalam krat itu. Ga ada hasil. Saya sodok lagi, lagi, dan...jreng, si tikus keluar dari persembunyiannya, lari, dan keluar dari ruangan. Hanya dalam beberapa detik.
Dan apa yang saya dan Iconx lakukan?
Hanya berteriak, "WAAAA..."

Tapi syukurlah si tikus udah keluar dari markas tercinta.

Merasa wow aja bisa ngeliat tikus itu.
It's not a thing that you can see everyday -_-

Well, that's all. A rat story. Bye.
#krik#



Bagi yang belum pernah lihat tikus, ini gambarnya :p
Ini bukan foto tikus yang kami lihat, berhubung kami terlalu panik untuk memotretnya.
Tapi kurang lebih tampang si tikus sama dengan tikus model di atas, ehm...sedikit lebih kusam dan kurang gizi, sih -_-"
Sepertinya gizi buruk juga menimpa tikus-tikus Indonesia.

Trouble Really Is A Friend

Akhir-akhir ini saya banyak terlibat diskusi pintar bersama orang-orang pintar. Alhamdulillah, paling tidak waktu saya tidak habis percuma hanya dengan bengong di pojok kamar. FYI, diskusi pintar bisa berlangsung di mana saja dan kapan saja, bahkan ketika kamu merasa bodoh dan terjebak di sebuah situasi yang bodoh, seperti yang saya alami bersama teman saya, Novia.

Kami adalah contoh orang-orang pintar (amin) yang terlibat diskusi pintar di situasi yang bodoh. Ceritanya nih, tadi habis maghrib kami mau nonton Tintin di Empire XXI. Ngincernya sih jam 18.30, biar pulangnya ga kemaleman. Nah, ternyata, pas kami sampai di sana, kami langsung merasa terintimidasi dengan antrian panjang yang berisi orang-orang yang mau menonton film yang sama. Mulai ketar-ketir >.<

Firasat kami benar: Ternyata tiket untuk jam 18.30 cuma tinggal empat, dan duduknya di barisan paling depan, pojok lagi. Selain itu, filmnya juga udah mulai, jadi kita telat. Karena kami ogah rugi, akhirnya palu hakim pun berbunyi: Dua tiket untuk Tintin 3D jam 20.40 dibayar tunai! *eh, ini kayaknya bukan kata-kata hakim deh =_= Well, kami memutuskan untuk menunggu sekitar 2 jam lagi sebelum bisa menyaksikan aksi si detektif unyu. Di situasi bodoh yang rentan terhadap aksi ndomblong dan bengong serta penantian yang membosankan, kami memutuskan untuk makan malam di JogChick dekat situ, sekalian menghabiskan waktu. Dan dimulailah diskusi pintar kami.
Sambil makan, kami ngobrol-ngobrol tentang dosen, kuliah, kehidupan, dan semacamnya. Random sih, tapi ada bagian dari diskusi santai kami yang ingin saya share di sini, yaitu tentang rasanya menjadi mahasiswa, lebih tepatnya buat kami, mahasiswi, Psikologi, yang biasanya dianggap bebas masalah dan sangat bijaksana.

Ya, pernahkah kalian, yang kuliah di Psikologi, merasakan adanya tanggung jawab, atau tuntutan, untuk berperilaku selayaknya manusia setengah dewa? Saya merasakannya. Karena saya biasa mendengar mahasiswa, atau orang lain, nonPsikologi mengomentari mahasiswa Psikologi yang mereka pikir tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Salah satu yang pernah saya dengar adalah, "Anak Psikologi kok ngomongnya kayak gitu (nyelekit)" atau "Anak Psikologi kok bermasalah" dan banyak lagi. Saya merasakannya, seriously. Saya merasakan adanya image yang harus saya tampilkan sebagai seorang mahasiswi Psikologi. Sabar. Pengertian. Pendengar yang baik. Ramah. Stabil. Anti-galau. Saya merasakannya. Karena saya juga terkadang memiliki ekspektasi serupa terhadap dosen-dosen saya. Jadi, ketika saya mendengar cerita seorang teman tentang dosen yang ngomongnya mak jlebb sampai membuat mahasiswa sakit hati dan merasa dipermalukan, saya geram sekali. Karena apa? Karena saya berharap dosen yang mengampu saya adalah orang yang baik! Orang yang menghargai manusia! Humanis! Psikolog handal yang menyenangkan, bukan menyeramkan! Ketika saya mendengar ada dosen seperti itu, saya kecewa dan sedih. Ya, ekspektasi. Dan kadang hal ini terlalu berlebihan.

Saya pernah ikut terapi kelompok. Di situ ada bermacam-macam orang yang belum saya kenal. Saya termasuk salah satu peserta paling muda di kelompok itu. Kebanyakan adalah orang-orang dewasa yang sudah mapan dengan pendidikan dan pekerjaannya. Dari luar mereka terlihat biasa saja, bahkan cenderung terlihat seperti orang yang bahagia tanpa ada satu cacat pun dalam kehidupan mereka, begitulah yang saya pikir. Mereka juga berlatar belakang pendidikan Psikologi. Jadi saya sempat neyeletuk dalam hati, "Buat apa ya mereka ikut terapi kelompok? Mereka tidak terlihat mebutuhkan bantuan."
Dan ternyata saya salah.
Mereka punya masalah yang jauh lebih berat daripada saya. Masalah yang jauh lebih kompleks. Padahal, seperti yang saya bilang, mereka berlatar belakang Psikologi. Sudah lebih senior daripada saya. Tapi ternyata, mereka juga penggemar Lenka. Trouble is a friend...
Ya, manusia tidak bisa lepas dari masalah. Dan sempat terlintas juga di benak saya, saat saya berada dalam terapi kelompok itu, bahwa masalah itu pula lah yang membuat kita manusiawi. Masalah adalah bagian dari hidup manusia. Tidak menyenangkan memang, namun kita juga tidak bisa hidup tanpa masalah. Trouble makes us human.
Bahkan mahasiswa Psikologi pun tidak bisa lepas dari masalah. Hei, kami juga manusia. Bahkan mungkin beberapa di antara kami memutuskan masuk fakultas ini karena ingin rawat jalan. Kami malah mungkin lebih rentan terhadap masalah, karena kami belajar untuk mengenal manusia lebih dalam, dan otomatis mengenal diri kami lebih dalam, dan hasilnya? Banyak di antara kami mungkin harus menghadapi kenyataan bahwa ada banyak hal yang salah, yang mungkin harus kami perbaiki, sementara orang lain mungkin berpikir itu adalah hal biasa. Ya, itu salah satu resiko ketika kita memutuskan mengenal siapa kita lebih dalam: Kita akan berhadapan dengan sisi mengerikan yang ada dalam diri kita sendiri.

Masalah itu normal, dalam artian semua makhluk hidup pasti pernah berhadapan dengannya. Tapi masalah itu tidak normal ketika membuat kita overwhelmed. Saya rasa, psikolog mungkin memiliki sebuah keahlian yang tidak dimiliki orang lain, yaitu menjadikan masalah sebagai bagian dari hidup mereka dan memandangnya secara positif. Mereka punya masalah, tetapi masalah itu tidak mendominasi mereka, dengan kata lain, mereka bisa me-manage masalah sehingga tidak mengganggu dan menimbulkan banyak kerugian bagi diri mereka mau pun orang lain. Novia berkata, "Kok rasanya jadi psikolog itu....kayak bukan manusia. Kayaknya udah jadi manusia setengah dewa." Saya manggut-manggut. Ya, manusia setengah dewa. Bukan berarti para psikolog layak menjadi model video klip atau backing vocal lagunya Iwan Fals. Tapi entah kenapa, psikolog itu seperti memiliki hal yang lebih dari orang kebanyakan. "Berat ya," tambah Novia.

Hhh, ekspektasi. Mungkin kata berat itu muncul karena ekspektasi. Bagi kalian yang punya teman anak Psikologi, kalian mungkin berharap bahwa teman kalian bisa jadi teman curhat yang baik. Tapi lagi-lagi, masalah itu selalu ada. Masalah muncul karena adanya kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan. Mungkin, teman kalian yang anak Psikologi tadi malah oramg yang menyebalkan, bisa saja, kan? Saya yakin banyak juga anak Psikologi yang menyebalkan. Termasuk saya.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa psikolog itu bebas masalah atau psikolog itu sebenarnya ga ada bedanya dengan pedagang kaki lima, tidak. Saya hanya ingin menghadirkan realita. Bahwa masalah itu manusiawi. Psikolog itu juga manusia. Tapi psikolog punya tanggung jawab berkaitan dengan profesinya yang mengurusi manusia. Ya, jelas dia harus lebih ahli, ahli dalam menangani dirinya sendiri karena dirinya sendiri juga termasuk objek yang ia pelajari. Walaupun terkesan seperti manusia setengah dewa, psikolog tetap manusia. Sama seperti dosen yang saya ceritakan tadi. Beliau juga pernah menyakiti hati mahasiswa. Beliau pastinya juga punya masalah. Tak ada yang sempurna; dan justru ketidaksempurnaan itulah yang menyempurnakan hidup kita sebagai seorang manusia. Karena sudah sewajarnya hidup kita itu penuh lika-liku, maka kalau lurus melulu itu tidak baik :p Masalah membuat kita sadar bahwa kita adalah manusia.

So, bertemanlah dengan masalah. Bukan berarti kita harus menambah-nambahi masalah dan mencari-cari masalah bagi diri kita, tapi "berteman" di sini maksud saya "berusaha mengenal dan berdamai dengan masalah itu". Jangan memusuhinya. Kalian tahu kan bagaimana caranya menyelesaikan masalah? Kenali masalah itu. Mengenal dengan baik sebuah masalah tidak akan berhasil jika kita memusuhinya...jadi bertemanlah. Pahamilah ia. Dan pasti akan ada solusinya :D #ceileh

Untuk menutup posting random ini, saya mau bercerita sedikit. Suatu hari di kelas Psikologi Klinis, dosen saya menyuruh seorang mahasiwa untuk maju dan membantunya mengilustrasikan sesuatu. "Coba pegang gelas ini," kata beliau. Teman saya dengan tampang pasrah agak bingung memegang gelas itu dengan tangan kanannya. "Berat?" tanya beliau. "Tidak," kata teman saya. Dosen saya pun menyuruhnya terus memegang gelas itu dengan sebelah tangannya.
Beberapa menit kemudian, dosen saya bertanya, "Gimana?" Teman saya meringis, "Pegal," jawabnya. "Itulah masalah," timpal dosen saya. "Terkadang hanya sesuatu yang tidak berat, tapi kita membawanya tiap menit, tiap hari, bertahun-tahun...dan akhirnya kita lelah. Tugas psikolog adalah menyuruh seseorang meletakkan gelas tersebut untuk sejenak."
Saya tersenyum. Ya, letakkan. Lemaskan tangan kita yang tegang, dan lihatlah, hei, itu cuma gelas kok, bukan barbel seberat 3 kg. Ya, itu cuma gelas. Saya pasti bisa menemukan cara untuk membuat gelas itu tidak mencederai tangan saya. Mungkin menaruhnya, menyimpannya di suatu tempat, membuang, memecahkannya, atau sekedar meletakkannya, menunggu tangan saya kembali kuat untuk memegangnya lagi...

Rabu, 16 November 2011

"Celoteh Ngawur Menjelang Tidur"

Mataku berat melihat
Mimpi-mimpi bergentayangan, pikiran laknat
Antara di dunia dan kahyangan
Bedanya tipis, Kawan
Saat dunia mulai kabur
dan khayal menggempur
Lalu, batinku sambil menguap:
"Apa yang lebih baik selain tertidur?"

Yogyakarta, Januari 2011

*Berhubung sedang ngantuk saya post saja puisi lama ini :3 Sepertinya saya menulis puisi ini ketika akan berangkat tidur*

Selasa, 15 November 2011

Mengapa Sedih?

Actually, posting ini tidak berisi cerita sedih yang membuat termewek-mewek. Ini lebih merupakan sebuah pemikiran yang belum tentu memiliki jawaban. Hanya sekedar bertanya-tanya.

Pertanyaan ini berawal dari diskusi santai saya dengan seorang teman saat kuliah Psikologi Emosi tadi siang. Saat itu dosen kami yang unik menyuruh kami membentuk kelompok dan berdiskusi tentang apa saja yang terjadi dalam diri kami ketika mengalami emosi marah, senang, sedih, takut, dan jijik. Ya, 5 emosi dasar itu.
Hasil diskusi kelompok kami menyatakan reaksi-reaksi tubuh yang terjadi ketika mengalami emosi tertentu dapat saja sama, misalnya jantung berdetak keras ketika marah dan takut, dada sesak ketika marah dan sedih. Yang membuat kita dapat membedakan mereka adalah kombinasi dari reaksi-reaksi tubuh yang lain, misalnya saat kita sedih, dada terasa sesak, lemas, dan tenggorokan tercekat, sementara saat kita marah biasanya dada sesak disertai kepala yang berat dan jantung berdebar, serta otot yang menegang. Selain itu yang dapat membuat kita membedakan antara 2 emosi yang bisa saja ditandai dengan reaksi tubuh yang sama adalah ekspresi wajah yang menyertainya. Walaupun saat senang maupun marah wajah kita sama2 memerah, tetapi ekspresi marah jelas berbeda dengan ekspresi senang. Melotot dengan wajah merah dan tersenyum dengan wajah merah kesenangan jelas berbeda.

Oke, cukup sampai di situ. Sehabis diskusi kelompok, saya dan teman saya iseng2 ngobrol tentang reaksi2 tubuh tadi. Entah kenapa kami menulis banyak sekali reaksi tubuh yang kami rasakan ketika sedang sedih. Seakan-akan dari kelima emosi dasar tersebut, sedih-lah yang paling kami kenali.
Lalu saya berkata, "Rasanya kalau sedih itu intense banget gitu ya. Misalnya kalau cerita tentang kejadian yang membuat kita sedih, rasa2nya pengen nangis lagi, pokoknya kayak kebawa lagi ke keadaan itu...padahal kalo disuruh cerita tentang kejadian yang membuat kita senang, aku pribadi sih ga sampai terbawa ke situasi itu, gimana ya, rasanya ga terlalu "nyata" gitu lho emosi senang-nya..."
Teman saya juga menimpali, "Iya e, rasanya kalo senang tuh ya "lepas" gitu aja...sementara kalo sedih tuh entah kenapa "kerasaaaa" banget gitu. Trus menurutku kita juga cenderung suka terlarut dalam kesedihan itu, misalnya dengerin lagu sedih lah, menyendiri lah..."

Well, mengingat cuplikan percakapan kami tadi, saya juga bertanya-tanya: Mengapa emosi sedih itu begitu kuat, begitu dalam bekasnya, daripada emosi senang? (at least menurut pengamatan saya pribadi dan curhatan temen saya tadi sih). Saya sendiri merasakan hal itu. Seringkali ketika saya mengingat sesuatu yang membuat saya sedih, mata saya terasa panas dan kelenjar2 air mata mulai siap berproduksi, serta tenggorokan saya terasa sakit, tercekat, tidak bisa bicara, seperti keselek bola golf. Entah kenapa, situasi yang membuat saya sedih itu begitu nyata dan begitu kuat mempengaruhi saya. Sebaliknya, ketika mengingat-ingat hal yang menyenangkan, ya, saya kadang-kadang tersenyum sendiri juga, tetapi perasaan senang yang menguasai saya pengaruhnya tidak sehebat ketika perasaan sedih mendatangi saya. Seakan-akan kesedihan itu meninggalkan torehan yang jauh lebih dalam, bekas yang jauh lebih awet, di dalam diri saya. Sementara genangan dari guyuran hujan kesenangan perlahan-lahan mengering dan akhirnya lenyap di atas tanah yang kembali bertemu kemarau.
Selain itu, saya dan teman saya juga sepakat bahwa kami sangat merasakan reaksi-reaksi tubuh kami ketika sedih, kami sangat menyadarinya dibandingkan ketika kami senang. Kami merasakan sakit yang nyata ketika sedih, namun ketika kami senang, kewaspadaan kami akan perasaan senang itu entah kenapa rendah sekali. Seperti halnya orang yang terlambat untuk mengambil gambar seekor kupu-kupu cantik yang sedang hinggap di atas bunga.

Mungkinkah, kurangnya rasa syukur atas kebahagiaan dalam hidup kita menjadi penyebab mudahnya perasaan bahagia menguap lenyap dalam beberapa saat? Mungkinkah, kecenderungan untuk mengasihani diri, menyalahkan kehidupan, menyalahkan Tuhan, dan tidak menerima ketentuan-Nya adalah alasan dibalik awetnya kesedihan menggerogoti hidup kita? Jika begitu, maka kata-kata "syukur adalah inti dari kebahagiaan" itu sungguh benar adanya :)
Ya, mungkin kurangnya kita menghargai setiap detik anugerah yang Tuhan berikan kepada kita adalah penyebab kebahagiaan terasa seperti sesuatu yang biasa saja. Sesuatu yang tidak berharga. Mungkin saat kita tersenyum, kita lupa bahwa di lain waktu, ketika kita sedang bersedih dan menangis, kemampuan untuk menarik otot2 bibir dan wajah kita merupakan sesuatu yang luar biasa sulit. Masih bisa tersenyum adalah sebuah anugerah. Betapapun sepelenya itu. Kebahagiaan memang pilihan, dan bersyukurlah jika kita masih diberi kekuatan untuk memilih kata itu, dan masih diberi kekuatan untuk membahagiakan diri kita sendiri.
Saya jadi ingat kata2 seorang teman: "Be grateful. Too many things in our life are taken for granted."

Mungkin ini hanyalah asumsi dari pengalaman pribadi saya. Bisa jadi, kalian merasakan yang sebaliknya: Bahwa kesenanagan/kebahagiaan lebih berbekas dalam kehidupan kalian. Dan jika begitu, bersyukurlah. Semoga kebahagiaan selalu menyertai kalian, atau lebih tepatnya, semoga kalian selalu bisa menemukan kebaagiaan, menciptakan kebahagiaan, tak peduli seberapa pun buruknya dunia ini.

Semoga akan selalu ada merah di tengah kelabunya lukisan hidup kita :)

Ever Been A Wise Girl :)

"Contemplating my previous journey. Many things happened, the good and the bad. The bad ones might have left a desire for me to regret; but I won't. Life is like a puzzle, each part completes another. If I changed even only a single part of it, my life would never be complete."
(Rismarini, 2009)

It happened that, wow, I've ever been a wise girl! I found these sentences on my diary. I wrote it when I was in the middle of being an ex-high-school-student and a-college-student-wannabe. I just could not believe how mature I sounded from that quote.
I've ever been a wise girl. So how can't I be, right now?
I need that wisdom.
I had it. I've always had it, deep in my soul.
I just have to find it back.

:)

Minggu, 13 November 2011

"Release Yourself From The Prison of Hatred"


"The wound does still exist. But it will never dominate my life. No more."
(Rismarini, 2011)

NGAYOGJAZZ 2011: Girls' Night Out!

Kemarin, tepatnya Sabtu, 12 November 2011, sebuah event musik jazz tahunan digelar di Jogja. Tepatnya, di Kotagede. Berhubung malam minggu identik dengan hang-out, ditambah lagi kebutuhan untuk bersenang-senang setelah mid semester, saya beserta 3 orang temen saya (Lia, Elin, Novia) pergi nonton bareng Ngayogjazz.
Sabtu paginya saya juga ada acara jalan2 di Amplaz sama temen SMP saya yang masih akrab sampai sekarang, Nawang. Jam setengah 12 siang sampai jam 4 sore lewat sedikit kami habiskan di mall dengan makan, ngobrol, cuci mata ke butik, ke Gramedia, dll. Habis itu, saya langsung capcus ke kos-nya Lia dan sekitar jam setengah 5 sore saya nyampe sana, soalnya pada sepakat ngumpul jam segitu, tapi ternyata pada belum ngumpul. Jadilah saya dan Lia menunggu kedatangan Elin dan Novia.
Ga berapa lama kemudian, Elin datang. Trus akhirnya saya, Elin, dan Lia nungguin Novia sambil ngaca2, ngobrak-abrik kamarnya Lia, and bantuin Lia buat milih baju yang cakep buat Ngayogjazz. Biasalah, kan mau ngeceng juga. Pada jomblo lagi :p Akhirnya Lia pun memutuskan pake dress selutut bermotif seperti macan tutul dengan warna hitam-putih, plus cardigan hitam. Sip lah pokoknya...
Menjelang maghrib, Novia datang dengan tampang kecapekan karena habis dari Solo. Berhubung udah mau adzan maghrib, kita pun sholat dulu sebelum cuss ke Ngayogjazz. Setelah semuanya pada sholat, ngaca, dll, berangkatlah kita pake mobilnya Elin. Di perjalanan, kami mampir makan dulu ke Warung Steak di Taman Siswa, dengan pertimbangan perut udah lapar dan pasti bakalan sampe malam. Habis makan kita juga masih sempat mampir ke Indomaret buat beli bekal minum and snack, siapa tau ntar haus and laper di tengah lautan manusia. Berasa piknik aja -_-
Beberapa detik kemudian, nyampe lah kami di kawasan Kotagede. Waktu itu di Lapangan-nya. Tapi kok sepi? Hmm, berarti bukan di lapangan. Kami pun mencari keramaian yang biasanya jadi penanda adanya panggung terbuka....dan....ketemu! Mobil dan motor pada seliweran di daerah dekat PKU Kotagede. Elin nanya ke seorang mas yang memakai kaos bertuliskan "Ngayogjazz" dan katanya untuk mencapai lokasi harus berjalan kaki paling ga 5 menit. Akhirnya kami nyari2 tempat parkir di dekat situ dan berujung pada pemarkiran mobil Elin di sebuah halaman terbuka di dalam gang yang sempit. Dari situ kami jalan kaki ke lokasi.

Yang katanya 5 menit.

Tapi kami udah berjalan 10 menit, lebih malah kayaknya. Dan, well, kok ga keliatan rame2 gitu ya? Orang-orang pada jalan sih di sekeliling kami, tapi ga ada kedengeran ada suara dam-dum-dam-dum-jreng-jreng-duk-duk-ngiiing sama sekali. Kami pun sempat mengalami kecelakaan. Bukan kami sih, Lia tepatnya yang kena. Dia jatuh di trotoar gara2 kepleset mas2 (maksudnya bukan kesandung mas2 yang berlagak jadi polisi tidur gitu). Ceritanya, dia sama Novia lagi jalan trus ada mas2 yang nyalip atau gimana gitu lah sampe Lia bingung ngambil rute, kepleset, dan duuk...jatuh deh. Lututnya lecet dan berdarah. Kami pun berhenti sebentar, duduk di teras sebuah toko yang tutup, sambil nungguin dan bantuin Lia bersihin lukanya pake air dan tissue. Habis itu kami jalan lagi dan menemukan sebuah rumah yang terbuka. Ada seorang ibu lansia di situ. Novia nanya apa ibunya punya obat merah atau ga, dan, alhamdulillah, ibunya punya. Lia pun ngobatin lukanya pake obat merah. Setelah berterima kasih pada si ibu yang baik hati, kami lanjut jalan lagi, mampir ke warung buat beli Hansaplast, trus jalan lagi, sampe akhirnya...(akhirnya!) kami menemukan panggung Ngayogjazz. Tepatnya, satu dari 7 panggung yang ada.

Kita nonton sebentar. Ada penampilan dari komunitas jazz dari Pekanbaru, lumayan menghibur. Habis itu kami coba jalan ke panggung lain yang deket situ. Ketemu. Nonton sebentar, trus pergi lagi. Bener2 ngeluyur deh. Sampe kami stay agak lama di sebuah panggung yang dibangun dekat, wow-mistis-banget, makan raja2. Panggungnya dibangun di samping tembok kompleks makan, di bawah sebuah beringin yang gede banget. Novia pun nyeletuk "Eh, jangan liat ke atas ya..." tapi biasalah kalo dibilangin kayak gitu respon saya malah "Mana?" sambil liat ke atas beringin. Untung ga ada sosok yang bergantung, terbang, duduk, atau sejenisnya.

Puas nonton penampilan di situ plus ngeliatin seorang bule unyu, kami mulai lagi menganut gaya hidup nomaden. Pindah lagi ke sebuah panggung yang ada informasi jadwal plus lokasi penampilan dan kami mengamati nama2 bintang tamu yang pengen kami tonton. Wah, itu dia! Trie Utami! Di mana? Di Panggung Gaog. Jam berapa? 10. Wah, sekitar 1 jam lagi! Tapi...Panggung Gaog-nya di mana? Mata kami menelusuri peta yang ada dan kami sadar: Itu adalah panggung pertama yang kami datangi =_=
Balik lagi deh...

Sesampainya di Panggung Gaog, kami bertransformasi menjadi cendol beraneka warna. Gila, sumpek banget. Pengen duduk, capek keliling2, tapi tempat duduk yang tersisa adalah di tikar-nya sang penjual ronde, yang berarti kita ga bisa duduk tanpa sekaligus minum dan membayar ronde -_-"
Yaudin, kami berusaha menembus kerumunan. Tapi akhirnya stuck di tepi tenda mini. Di sana kami bertemu teman2 se-kampus, se-organisasi dan se-angkatan, Lupi dan Iffah, lalu ada senior juga di Psikologi, Mas Galih, dan beberapa orang anak Psikologi lainnya.
Berhubung pengap dan rame bgt, kami mundur lagi deh ke belakang (ya iyalah masa ke depan). Alhamdulillah, ada teras toko yang kosong! Akhirnya kami duduk selonjoran di situ sambil ngemil. Wah, nikmatnya dunia kala itu 8) Kepuasan hanya dapat diukur ketika meluruskan kaki dan merasakan otot2 Anda meregang dan rileks...

Tidak berapa lama kemudian, Rika Roeslan tampil! Kami bangkit dari posisi pewe kami dan bergabung dengan kumpulan manusia, yang akhirnya pada duduk semua di depan panggung. I couldn't say anything much. It was cool! Rika Roeslan rocked that stage (uhm, well, I mean, "jazzed" that stage :p) Suaranya oke banget, gayanya juga asik. Improvisasinya oke punya. Seniman sejati laaaah...
Yang lucu adalah ketika Rika menyanyikan lagunya yang "Dahulu..semua indah...dahulu...terasa menggelora..." gila, tuh lagu pas banget sama kami (ga semuanya sih, haha) yang lagi galau :p
Rika juga sempat mengajak penonton bernyanyi "Ayo, yang cewek, biasanya yang ngerasain kayak gini nih yang cewek, mana suaranyaa!" saya dan penonton perempuan yang ada di situ tertawa dan langsung ikut bernyayi, "Dahulu..."
Trus Rika ngajak penonton yang laki-laki nyanyi, "Ga semuanya begitu sih, cewek juga ada yang ninggalin. Ayo yang cowok mana suaranya...!" para laki-laki tertawa dan ikut bernyanyi, dengan oktaf yang turun drastis. "Dahulu..." jadi terdengar agak mellow karena suara bass para lelaki -_-"

Setelah Rika tampil, giliran Trie Utami. Suaranya oke, tapi karena lagunya nggak familiar, saya jadi agak bosen. Teman-teman saya pun berpikiran sama. Akhirnya, sebelum pertunjukan berakhir, kami udah berjalan pulang ke lokasi parkir. Alasan: 1) Udah capek 2) Kalo nunggu sampai selesai, pasti rempong banget deh jalan dari panggung ke parkiran. Pasti jadi cendol lagi -,-

Jalan-jalan besar di Jogja luar biasa lengang ketika kami pulang. Jarum jam menunjukkan waktu hampir tengah malam. Sesampainya di kos Lia, ternyata pintunya dikunci! Padahal, rencananya saya mau nginep di kos-nya Lia. Motor saya dan Novia juga ada di situ. Yaudinmarudin, saya, Lia, dan Novia memutuskan untuk nginep di kos-nya Novia. Elin mundurin mobilnya dan kami kembali menempuh perjalanan sekitar 2 kilogram ke kos-nya Novia. Pas nyampe sana, Elin pamitan dan say goodbye. Setelah itu saya, Lia, dan Novia langsung dengan bernafsu menyerbu kamar Novia dan ambruk di atas kasur. Kami sempat nonton Amelie bareng sebelum akhirnya satu persatu tepar, dan saya adalah orang terakhir. Jam setengah 4 subuh saya baru nempelin muka ke bantal dan langsung....welcome to the Dreamland!

What a night! Menunggu momen seperti ini lagi bersama kalian, teman2. Terkadang hal-hal seperti ini bukan berarti hedon semata, tetapi banyak hal lain yang bisa diambil selain rasa senang itu sendiri. Teman itu luar biasa. Waktu itu luar biasa. Saya bersyukur memiliki kesempatan seperti malam ini.
Saya senang :D

Jumat, 11 November 2011

Batuk yang Tak Berujung

Sepertinya ini akibat suhu Jogja yang belakangan ini duinguiiin banget kalo pagi hari. Padahal siangnya puanuaaass banget. Udah berasa iklim kontinental padang pasir aja nih, ckck. Global warming.
Cuaca yang agak ekstrim ini bikin sistem imun saya down. Beberapa minggu yang lalu bersin-bersin (semoga bukan karena digosipin) sekarang tenggorokan gatel dan batuk tiap beberapa menit sekali (kalo saya tahan) dan tiap satu menit (kalo saya biarkan).

Ya, jadi sekarang saya lagi batuk. Ga parah2 amat sih, paling nggak suara saya nggak ilang kayak yang saya alami pas waktu SMP dan SMA dulu (bener2 ilang blass sampe2 saya berkomunikasi lewat kertas dan itu sangat tidak efektif dan efisien). Sekarang suara saya masih ada, alhamdulillah, padahal kemaren dibawa karaoke, lagu2 My Chemical Romance pula -_- Alhamdulillah bener suara saya ga ilang.

Tapi, pernahkah kamu merasakan betapa mengganggunya suara "ahak-uhuk-ehem" yang muncul tiap beberapa menit di ruang kelas? Nah, saya terganggu dengan diri saya sendiri karena saya pikir suara batuk saya yang seksi itu pasti mengganggu proses belajar. Pingin sih nahan batuk, tapi tenggorokan saya jadi gatal sekali kayak ada nyamuk beranak di dalamnya dan akhirnya keluarlah suara "ahak-uhuk-ehem" itu.

Cuma, saya perhatikan sih, kalo saya lagi semangat ngomong, biasanya HIB (Hasrat Ingin Batuk) itu ga muncul. Contohnya tadi pas presentasi di kelas. Saya ga terbatuk-batuk pas lagi jelasin teori belajarnya Guthrie, Gestalt, dan Bandura. Tapi pas saya lagi nganggur di kursi pas nunggu giliran presentasi, masya Allah batuknya awet banget. Batuk yang tak berujung. Otot perut saya sampe capek karena ikut berkontraksi pas batuk2 keras. Giliran maju presentasi, eeeh, batuknya sembunyi. Alhamdulillah :D

Kenapa ya kira2? Apakah ada sesuatu yang bisa menahan HIB? Dan apakah sesuatu itu berupa stimulus yang secara psikologis lebih kuat daripada HIB itu sendiri? Misalnya, karena saya presentasi tadi saya ingin tampil maksimal, stimulus internal ini mengalahkan stimulus biologis berupa rasa gatal di tenggorokan? Entahlah. Menarik juga kayaknya untuk didalami 8)

Anyway, karena saya batuk2, batuk yang tak berujung, segini dulu aja deh postingnya #ga nyambung.
Seperti biasa, hanya ingin berbagi perasaan, berbagi cerita.
Share it all with joy! ;)
Dan tidak lupa berdoa: Ya Allah, berikanlah saya kesehatan, jasmani dan rohani. Amin.
Get well soon for myself... 

Rabu, 09 November 2011

"Forgive" and "Forget"

Sebenernya apa sih bedanya "memaafkan" dan "melupakan"?
Seorang teman berkata, "Memaafkan berarti juga melupakan. Kalo masih mengingat kesalahan berarti belum memaafkan." Saya jadi bingung.
Kalo gitu, kenapa harus ada kata "maaf" dan "lupa" segala?
Kalo gitu, pas hari raya Idul Fitri kita bilang aja "Lupakan semua kesalahanku ya" atau "Lupakan aku ya..(?!)" alih-alih "Maafkan semua kesalahnku" dan "Maafkan aku".
Nah, saya curiga, ada bau-bau tidak mengenakkan di sini. Pasti ada bedanya antara "memaafkan" dan "melupakan".

Mari kita mulai dengan membahas "lupa" (English: forget).
Lupa, bagi saya, ada dua jenis: tidak disengaja dan disengaja.
Lupa tidak disengaja mungkin disebabkan kapasitas memori yang pas2an, jadi (kalo kata salah satu temen saya yang kocak dan pintar) pake sistem input-delete gitu, karena otaknya ga muat kalo dikasih banyak informasi -_-". Lupa tidak disengaja mungkin juga disebabkan umur yang bertambah (baca: pikun), atau penyakit parah seperti Alzheimer.
Contoh adegan "lupa tidak disengaja/ lupa tulen/ lupa asli":
Saya: "Tolong dong aku ditunjukin jalan pulang...ntar aku nyasar...aku ga inget jalan ke sini T_T"
Teman: "Hahaha..."
Nah, ga mungkin kan saya SENGAJA melupakan jalan pulang? Ngapain juga? Emang saya PENGEN nyasar gitu? Ini memang karena ingatan spasial saya tergolong "jongkok". Seandainya IQ dihitung dari ingatan spasial, saya pasti sudah masuk kelas retarded.
Kalo lupa jenis ini, berdasarkan Oxford English Dictionary berarti bisa didefiniskan "fail to remember or recall; lose the memory of sth/sbd."

Kalo lupa disengaja? Nah, ini yang unik.
Lupa jenis ini menurut saya lebih ke arah menafikan, meniadakan, tidak mempedulikan, mengesampingkan, pura2 tidak melihat/mendengar/merasa, atau bahkan (kata Simbah Freud) me-repress sebuah ingatan ke alam bawah sadar. Tapi kalo represi ini biasanya melibatkan trauma yang amat sangat berat, misalnya korban perkosaan yang tiba2 "amnesia" tentang detail2 ketika dia diperkosa. Si korban menekan dalam2, menolak mengingat karena baginya kejadian itu TMTH (too much to handle). Proses "menolak mengingat" ini sebenarnya terjadi tanpa sadar...tapi, tetap ada motivasi untuk lupa.
Lupa disengaja ini, berdasarkan Oxford English Dictionary, didefinisikan "stop thinking about sth/sbd; not thinking about sth/sbd; put sth/sbd out of one's mind."
Contoh adegan lupa disengaja:
Cowok: "Mengapa engkau mengembalikan semua pemberianku, adinda?"
Cewek: (menangis tersapu-sapu) "Ah, kakanda...bukannya aku tak menghargai pemberianmu...aku hanya ingin melupakan dirimu!" (berlalu, menangis terseok-seok)
CATATAN: Adegan ini hanyalah rekayasa. Jika ada kemiripan saya mohon maaf, itu pasti kebetulan.

Sekarang mari beralih ke "memaafkan" (English: forgive)
"Memaafkan" adalah kata kerja (verb). Menurut Oxford English Dictionary (lagi), kata ini berarti "stop being angry or bitter towards sb or about sth; stop blaming or wanting to punish sbd."
Hmm...berarti, sepenangkap saya, "memaafkan" ini butuh usaha ya. "Memaafkan" itu intentional alias disengaja. Berhenti marah dan bersikap dingin. Berhenti menyalahkan dan menghentikan keinginan ingin menghukum seseorang. Ah, tidak gampang ternyata. Pantas saja orang yang bisa memaafkan itu sangat mulia :) Saya ingin jadi ahli memaafkan :(


Proses memaafkan membutuhkan proses melupakan secara sengaja. Mereka berjalan beriringan. Ketika kamu ingin memaafkan seseorang, kamu harus berhenti "mengenang" kesalahannya. Mengenang sedikit berbeda dengan mengingat. Mengenang, bagi saya, punya makna repetisi, yaitu mengulang-ulang mengingat, mengingat dengan intensitas lebih tinggi, dengan kesadaran penuh, sampai seakan-akan kamu kembali lagi ke saat kamu terluka, sampai kamu bisa merasakan rasa sakit itu begitu nyata. Itu mengenang. Ada makna lebih di situ. Makanya kan ga lazim kata ini dipake kalo kita mau bilang, "Aku mengenang materi ujian yang diberi ibunya kemarin." What a sentence =_=
Kalo mengingat, intensitasnya kurang dari mengenang, dan biasanya dampak psikologisnya tidak sehebat "mengenang". Mengingat lebih menitikberatkan kemampuan kognitif. Misalnya: "Saya ingat kemaren dia pakai baju warna abu-abu."
Jadi, kalau kamu masih ingat sama kesalahan orang, it's okay. Selama kamu tidak "mengenangnya" alias mengingatnya terus menerus sampai kamu ga sembuh2 hanya gara2 luka itu berdarah kembali. Bagi saya, ingatan akan kesalahan orang itu penting; bukan untuk menghukumnya, tetapi untuk memastikan kita tidak akan berbuat kesalahan serupa kepada orang lain :)

Selanjutnya, untuk memaafkan, kamu harus berhenti menyimpan kemarahan. Kamu harus berhenti bersikap dingin. Kamu harus berhenti menghukumnya. Dan ini adalah proses yang disengaja. Jadi, kalau saya simpulkan, ketika kamu melupakan secara tidak sengaja kesalahan seseorang (misalnya: lupa kalo temanmu masih berhutang duit sama kamu), kurang tepat kalo disebut kamu memaafkannya . Kamu aja ga inget kalo dia punya hutang -.-"
Sebaliknya, ketika kamu ingat, kamu tahu, kamu sadar seseorang pernah berbuat salah ke kamu, namun kamu dapat tersenyum lepas pada kesalahannya itu, tidak mengungkit-ungkitnya, tidak membalas perbuatannya, tidak menghukumnya, dan kamu rasakan hatimu menjadi ringan dengan penerimaan, keikhlasan, harapan, dan senyuman, tanpa ada lagi beban amarah yang menggelayut di wajah kamu sampai terlihat seperti orang yang bertambah tua 30 tahun dalam 1 malam, nah, selamat, bisa jadi kamu telah sukses memaafkan :D

Berarti, memaafkan itu tidak bisa disamakan secara sederhana dengan melupakan saja. Ada usaha untuk membalasnya dengan kebaikan. Ada usaha untuk menghentikan amarah yang  bergejolak, mengelola kemarahan dan kebencian menjadi penerimaan, menjadi keikhlasan. Lalu saya sadar satu hal penting: Ada usaha untuk membiarkan Tuhan mengobati perasaanmu, dengan cara melepaskan beban sakitmu, mengembalikan semua kepada-Nya. He will heal yourself, if you come back to Him :')

Saya jadi merasa malu. Saya belum punya skill memaafkan sama sekali... T.T
Yaah, tulisan ini memang otokritik sih. Saya jadi tertohok dengan tulisan saya sendiri. Inilah gunanya self-talk (atau self-write ya? Soalnya saya nulis sih -.-), sehingga kita bisa mengenal lebih jauh perasaan kita, gejolak jiwa kita, serta melihat dan memahaminya secara lebih objektif. Dialog dengan diri sendiri, jika dilakukan dengan benar, membawa banyak manfaat. Asal jangan keseringan, nanti malah dikira gila dan jadi asosial.

Mulai sekarang saya (dan siapapun yang membaca tulisan ini) harus belajar memaafkan, harus. Berhenti melihat kesalahan orang lain dengan wajah masam. Tetap tersenyum dan lepaskan sakit hatimu. Tarik napas dalam-dalam. Ah, pasti tambah cantik deh saya kalo bisa begitu :3
Jadi...MARI BELAJAR MEMAAFKAN! :D
Be pretty, inside and outside :)

Senin, 07 November 2011

Kangen Konser

Akhir-akhir ini saya lagi suka dengerin musik sambil nyanyi2. Ehmm, itu memang hobi saya sih, jadi sebenarnya ga pantas dibilang "akhir-akhir ini". Ah, sudahlah. Pokoknya, intensitas saya mendengarkan musik meningkat dibanding bulan-bulan sebelumnya. (Apakah saya terdengar galau? zzzz)
Bisa jadi karena perasaan saya masih terluka. Dan musik adalah salah satu hiburan ampuh bagi saya. Bukan sekedar hiburan, tapi juga sesuatu yang bisa jadi semacam mood-booster buat saya. Dari yang tadinya ga semangat jadi semangat. Dari yang tadinya sedih jadi gembira. Dari yang tadinya waras jadi "gila".
Saya ingat waktu saya masih diklat Paduan Suara di kampus saya. 3 bulan, belajar musik dari 0. Mulai dari belajar pernapasan diafragma, mengeluarkan headvoice alih2 suara tenggorokan, belajar not, belajar nari sambil nyanyi. Pulang jam 10 malam udah biasa. Bahkan pernah sampe jam 11 lewat.
Dan saya enjoy. Kadang2 capek sih, tapi setelah latian entah kenapa perasaan saya jadi gembira.
Musik. Hmm, salah satu alasan saya memilih berkecimpung di Paduan Suara hanyalah karena saya hobi nyanyi dan dengerin musik. Saya berharap kegiatan ini tidak membuat saya stress. Dan ternyata memang tidak. Capek ya, saya akui. Tapi saya merasa gembira menjadi anggota Paduan Suara :)
Saya berpikir, mungkin kegiatan seperti inilah yang cocok buat saya. Sesuai hobi, menyenangkan, dan membuat saya banyak belajar.
Saya senang bisa bergabung dengan Paduan Suara UGM. Sudah 2 tahun, tapi saya tidak bosan. Selalu ada orang2 baru yang unik, dengan sebuah persamaan yang mengikat erat, yaitu sama2 hobi menyanyi.
Jadi ga jelas gini ya postingannya -_-"

Cuma pengen mencurahkan perasaan aja. Saya kangen konser lagi. Miss that night gown and make-up, miss that vocalizing before stage, miss that exhausting-late-at-night-rehearsal, miss the songs I used to sing in choir.
Udah ah tidur aja. Buonanotte.

Minggu, 06 November 2011

"Telan Kembali Semua Kata-kata Itu"

Aku berkemas pergi dari kehidupan yang dulu kau tawarkan padaku.
Membawa semuanya; kecuali surat cinta dan kenangan-kenangan kecil yang kau berikan saat euforia masih membuatmu terlena.
Silahkan, ambillah, dan telan kembali semua kata-kata yang ada di dalamnya.
Sampai tinta hitam itu hilang dan kertas itu kembali putih seperti sedia kala.

Yogyakarta, 30  Oktober 2011

Menyapa: Selamat Idul Adha!

Hai, para Muslim dan Muslimah di Indonesia dan di mana saja..selamat hari raya Idul Adha :)

Seperti biasa, menu yang disajikan akan melibatkan santan dan daging. Dan saya sukaaaa sekali.
Sampai detik ini saya sudah makan dua kali. Satu piring diisi beraneka lauk dan sayur. Lontong + lodeh + gulai + semur. Alhamdulillah :D

Sekian dan terima kasih.

Maaf kalau kurang penting -_-"

Sabtu, 05 November 2011

Saya Butuh Jampi Memori

Benci. Ya, itu yang saya rasakan. Sama siapa? Sama mantan saya. Kenapa? Entah. Karena saya sering teringat masa-masa (halah bahasane..) ketika saya masih bersamanya. Karena akhirnya saya jadi teringat kesalahan-kesalahan yang pernah dia buat (yang dulunya sudah saya lupakan tapi sekarang naik lagi ke permukaan. Ternyata ada Hukum Kekekalan Ingatan. Ingatan yang kamu lupakan tidak pernah benar-benar hilang...ia hanya pergi untuk sementara ke suatu tempat bernama "ketidaksadaran"). Karena saya jadi ingat kata-kata manis yang dulu dia ucapkan ke saya, tapi akhirnya...TAADAAA!

Karena saya ingat. Dan ingatan saya cukup kuat. Akhirnya saya jadi sakit hati. Akhirnya saya jadi benci. Karena saya ingat betapa saya berusaha berubah untuknya, dan ya, saya melepaskan beberapa prinsip saya, dan ternyata itu tidak memuaskannya. Saya jadi merasa bodoh. Dan saya jadi benci. Saya rela berubah, ya saya benar-benar mencintainya waktu itu. Tapi setelah dia bilang "kita beda pandangan hidup" saya merasa ditampar, ditonjok malah, di muka. Dia tidak pernah menghargai usaha saya...setidaknya begitulah yang saya tangkap. Dan saya jadi sakit hati. Dan saya jadi benci. Baginya, ternyata, kami tetaplah dua alien yang hidup di planet berbeda..sekeras apapun saya berusaha memahaminya. Karena di lain kesempatan, beberapa hari setelah kami putus, kami sempat makan bareng, ngobrol-ngobrol soal kehidupan, dan dia bilang "kita cocok kok". Padahal saat putus dia bilang apa? Beda pandangan hidup? C'mon. Hanya butuh waktu beberapa hari ya buat mengubah pandangan hidup? Ah, betapa mudahnya ia mengatakan "cocok" dan "tidak cocok", betapa mudahnya ia melepas saya karena kegamangannya sendiri akan prinsip hidup yang abstrak. Dan saya jadi sakit hati. Dan akhirnya jadi benci.

Karena ada yang bilang ke saya kalau dia sebenarnya masih ada perasaan sama saya. Saya jadi benci. Kenapa? Karena yaaa...saya jadi ingin teriak: "Makanya, kalo mau putus, pastikan kamu udah ga suka lagi sama orang itu! Makanya kalo masih sayang jangan dibuang!" Pengen banget rasanya teriak kayak gitu. Sumpah, pengen banget. Tapi sekarang udah ga ada gunanya. Dan ini membuat saya tambah sakit hati. Jadinya benci. Ya ampun, ini jadi seperti rantai setan.

Tadinya saya merasa netral. Tapi lama-lama memori saya seperti merembes keluar dari tempat penyimpanan yang seharusnya, tanpa saya berusaha untuk mengungkit-ungkit. Dan rembesannnya itu beracun. Racun buat hati saya. Jadinya saya benci. Tapi saya tidak butuh kata maaf. Sama sekali tidak. Jutaan kata maaf darinya pun tidak berguna. Saya sadar, sesadar-sadarnya, benci ini bukan lagi urusan saya sama mantan saya, tapi lebih ke urusan saya dan emosi saya. Saya harus lebih dapat mengontrolnya. Harus. Oh God, it's very hard to forgive actually T_T
Luka itu masih kerasa sampai sekarang. Saya memang sudah bergerak maju, tapi masih dengan membawa rasa sakit yang entah kapan sembuhnya. It feels like a pain on my chest. Sakit yang tumpul dan nyeri. Ah, memang, bahasa tubuh tidak pernah bohong. Rasa sakit itu nyata.

Seandainya Jampi Memori kayak di Harry Potter itu benar-benar ada.

Rabu, 26 Oktober 2011

What Is Freedom?

Hari ini seusai kuliah pengganti Metode Penelitian Kualitatif yang menyenangkan, saya beserta seorang teman saya, Afi, yang juga menyenangkan, ngobrol-ngobrol ngalur ngidul di kantin Psikologi. Awalnya kita cuma ngerencanain teknik wawancara ke Sexshop, gimana caranya supaya si penjual mau ngasih tau hal-hal yang dianggap tabu tanpa kita harus mengaku sebagai mahasiswa yang lagi ditugasin bikin laporan tentang Sexshop, hiks :'( (jadi inget tugas ini belum selesai).

Akhirnya, nyasar deh obrolan kami ke hal-hal lain yang ga ada hubungannya dengan toko yang menjual obat kuat dan alat-alat seks itu (-.-)
Kami diskusi soal rokok, perokok, dan merokok. Entah kenapa rokok identik dengan kepribadian seorang perokok yang bebas, keren (kayak di iklan2 rokok yang biasanya berbau adventure itu), dan tampak intelek dengan asap mengepul dari mulut mereka. Peran media. Lalu kebebasan.

Kebebasan. Masih terkait soal rokok juga sih sebenernya. Entah ini cuma asumsi saya atau memang realita, entah ini benar atau tidak, saya merasa orang2 yang merokok itu menganggap diri mereka merdeka. Rokok membuat mereka lepas, bebas (jelas lah asapnya kemana-mana). Bahkan kata salah seorang temen saya yang perokok, rokok membuatnya nggak lapar. Dia seakan sudah "kenyang" hanya dengan menghisap rokok. Masalah untuk sementara terlupakan. Pokoknya hore.
Tapi...saya melihat ironi di sini. Andaikata mereka memang merdeka dari masalah, andaikata emosi negatif lenyap menguap bersama asap dari rokok mereka yang menyala, lalu apa yang terjadi ketika mereka tidak mengkonsumsi rokok dalam 1 hari? Uring-uringan.
Inilah ironi. Bagi saya, seorang pecandu rokok harusnya dikasihani. Mereka tak ubahnya anak kecil yang merasa uring-uringan ketika selimut kesayangannya ketinggalan. Kemerdekaan yang mereka rasakan sama tipisnya seperti asap rokok yang tertiup angin, karena akhirnya mereka terpenjara dalam kebiasaan merokok itu sendiri. Ga ada rokok, stress. Ga ada duit buat beli rokok, stress. Justru, mereka menjadi manusia yang terikat oleh zat candu batangan. Kecanduan bukanlah kebebasan.

Kemudian diskusi kami meliputi konsep kebebasan yang lebih luas lagi. Kebebasan seorang manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Saya terkadang heran melihat orang-orang yang menganggap dirinya merdeka, tanpa norma dan nilai. Please deh, kita hidup dalam realita. Kita terikat norma. Walaupun saya tidak mengatakan saya adalah orang yang selalu patuh pada aturan masyarakat, saya sadar bahwa saya tidak bisa lepas dari itu. Bagi saya, dalam hidup, kita memang punya kebebasan. Kebebasan untuk memilih. Kebebasan untuk melanggar. Cukup itu saja. Tapi kita tidak bisa bebas dari konsekuensi atas pilihan kita, perbuatan kita. Kalo dikaitkan ke soal rokok, ya, kita bebas mau menjadi perokok atau tidak. Tapi kita tidak bebas dari akibat kebiasaan merokok kita. Jelas, dompet menipis. Mulut jadi bau tembakau. Gigi jadi kuning. Memang sih, konsekuensi ini tidak menimpa perokok dalam waktu dekat. Rasa sakit itu akan muncul nanti, setelah mereka cukup dewasa untuk sadar akibat apa yang ditimbulkan rokok bagi diri mereka.
Contoh lagi yang ga ada hubungannya dengan rokok. Ujian aja deh. Kita bebas mau belajar atau tidak. Tapi kita tidak bebas dari konsekuensi kemungkinan mendapat nilai jelek. Tidak ada kebebasan mutlak.

Jadi, kalo ada yang bilang dirinya merdeka, kasihan sebenernya. Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa tetap ada hal-hal yang membuat kita 'terbatas'. Takdir itu ada. dan pilihan pun berlaku untuk menentukan takdir kita. Menurut saya, Tuhan sudah memberikan kita beberapa pilihan di setiap episode hidup. Kalau kita pilih A, jalan hidup kita seterusnya akan begini; kalau pilih B, selanjutnya akan begitu; dan seterusnya. Kita bebas bergerak di dalam sebuah ruangan, namun kita tidak bisa keluar dari ruangan tersebut. Itulah takdir. Dan saat saya yakin bahwa Tuhan itu sudah mengatur hidup saya sedemikian rupa, saat itulah saya bebas. Karena saya yakin ada kekuatan di luar diri saya, dan saya bisa bersandar pada-Nya.

Oke. Kayaknya sudah mblandang terlalu jauh ini diskusinya. Jam sudah menunjukkan pukul 10.30. Afi mau kuliah lagi, dan saya mau bersemedi bersama tugas interpretasi tes grafis saya. Sungguh, tugas ini lebih baik dikerjakan dalam keheningan dan kesunyian =(o___o)= Jadi kami say goodbye dan melanjutkan aktivitas masing2. Dan salah satu hasil semedi saya bukan hanya tugas yang hampir selesai, tapi juga postingan ini, hahaha..share it all with joy! ;)

Selasa, 25 Oktober 2011

Random Week

This week is...I don't know. I cannot give my judgement because it's only Tuesday. There are still 5 days awaiting before I can say "This week. These 7 days I've lived through." But, in these 2 days, I just feel like crap. I get mad easily when I'm disappointed. I blow up when things just don't work as I want it to. I've become a grenade with victims are multiplying just because they unintendedly "touched" me. I've become a time-bomb that I just suddenly blow up anytime and anywhere.
Well, I can say that it's just the symptoms of PMS as I'm a fertile women. But I'm afraid if I have to say that it might be the symptoms of mood disorder. Oh yeah that sounds terrible =______=
Nope. It's only for these 2 exhausting days, right? Maybe tomorrow I'll get much better. Amen.
Still, I name it 'Random Week' because it's one week before we as university students have to face the "wow-it's a lil bit scary" UTS or Ujian Tengah Semester. So, I've predicted these week to be a "Galau Week", but I hope that I won't be "galau" too. I'm ready for the mid semester. Not that "ready" with an image of A-scores written on your exam paper, but it's more like that "ready" with a plain-face and empty hands. I'm ready to be whatever in my mid semester. I'm ready to have all those A-B-C possibilities -...-
Oh, c'mon girl. Be more optimistic.

WELCOME MID SEMESTER! I CAN'T WAIT TO SEE YOU! :*
Give me all those As, baby! :D
Wish me luck.