Kamis, 28 Juni 2012

Tentang Mimpi

Saya pernah mengikuti kuliah Dasar-dasar Intervensi. Saya ingat waktu itu pembahasan tentang Freud dan Interpretation of Dreams yang ia tulis. Di sela kuliah, dosen saya memutarkan film tentang Freud dan interpretasi mimpi. Dalam film itu, dapat saya ambil kesimpulan bahwa mimpi adalah salah satu cara alam bawah sadar merepresentasikan isinya dengan imej yang bisa kita terima. Dalam bermimpi pun ternyata ada sitem sensornya, saudara-saudara. Mengapa? Karena kadang-kadang yang tersembunyi di alam bawah sadar kita tidak bisa kita terima. Mungkin terlalu mengerikan. Mungkin terlalu kasar. Karena itulah di dalam mimpi biasanya ceritanya tidak gamblang menggambarkan apa yang kita tekan ke alam bawah sadar; konten mimpi seringkali berupa simbol, tidak eksplisit. Kita harus menerjemahkan sendiri.

Dosen saya sempat bilang bahwa ada pentingnya memahami mimpi, agar kita bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi di dalam diri kita. Mengungkap rahasia diri (ceile). Kemudian beliau beralih dengan menanyakan soal Johari Window. "Ada yang tahu?" tanyanya. Kemudian saya dengan spontan -karena pernah membaca soal itu sebelumnya- berkata, "Oh, yang itu." Sang dosen menoleh ke arah saya dan berkata puas sambil sedikit tersenyum. "Kalau begitu tolong dijelaskan nanti ya. Saya beri break dulu."
Sial.

Saat Pak Dosen keluar dan memberi break 5 menit untuk kelas, saya langsung meminjam laptop teman saya yang sedang onlen untuk memastikan ingatan saya akan teori itu. Hmm, oke, ya. Saya mengerti. Pak Dosen masuk kelas. Kelas kembali tenang. Kemudian ia berkata: "Silakan mbak dipresentasikan soal Johari Window."

Saya maju, meminjam spidol yang dipegang Pak Dosen, dan menggambar 4 kotak seperti jendela. "Kepribadian kita terdiri atas 4 bagian," ujar saya keras, "yang pertama ada bagian: Saya Tahu, Orang Lain Tahu" sambil menulis, lalu melanjutkan lagi, "...lalu Saya Tidak Tahu, Orang Lain Tahu," spidol saya bergerak cepat di papan tulis, "kemudian ada bagian Saya Tahu, Orang Lain Tidak Tahu, dan terakhir...yang paling terpendam, adalah bagian Saya Tidak Tahu, Orang Lain Tidak Tahu." Saya menambahkan contoh untuk tiap bagian kemudian mengalihkan pandangan ke Pak Dosen dan bertanya, "Boleh saya sambungkan dengan teori mimpi, Pak?" Pak Dosen menjawab, "Oh ya, boleh, silahkan."

Saya menarik napas. "Tadi disebutkan bahwa mimpi berguna sebagai cara kita memahami diri sendiri. Kalau saya hubungkan dengan Johari Window ini, mimpi mungkin dapat membantu kita untuk bergerak dari area ini," saya menunjuk bagian Saya Tidak Tahu Orang Lain Tidak Tahu, "...ke area ini." Spidol saya berhenti di area Saya Tahu Orang Lain Tidak Tahu. "Dengan mimpi, mungkin kita bisa mencoba mengenali bagian diri kita yang mungkin tidak kita dan orang lain sadari. Setelah kita sadar akan bagian tersembunyi itu, kita bisa melangkah ke area Saya Tahu Orang Lain Tidak Tahu. Paling tidak, kita menjadi tahu apa yang tadinya tersembunyi, walaupun orang lain tidak perlu tahu akan hal itu. Kita menjadi lebih sadar akan siapa diri kita sebenarnya." Vin. Pak Dosen mengangguk. Kelas bertepuk tangan. Saya kembali ke tempat duduk saya.

Ya. Itu yang saya katakan di kelas beberapa bulan lalu. Tapi sebenarnya saya belum benar-benar paham akan mimpi dan kepribadian. Saya harus lebih banyak membaca, terutama tentang Psikoanalisa / Psikodinamika. Ah, pokoknya berbau Freudian. Memang sih, teori itu sudah kuno dan dinilai tidak empiris, tapi buat saya, teori mbah Freud itu sebenarnya menarik dan mengasyikkan.

Setelah itu, dosen pun memberi saya dan teman-teman saya tugas yang sangat unik: interpretasi mimpi selama seminggu! Nah loh. Ini jadi masalah buat saya. Karena saya jarang bermimpi. Jarang. Kalaupun iya, saya biasanya agak lupa mimpi saya seperti apa, tentang apa, karena ceritanya sama sekali tidak jelas. Bahkan imejnya pun tidak terlalu jelas atau vivid. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk mencatat mimpi saya begitu saya terbangun. Demi tugas ini.


Dan hasilnya nihil.
Pertama, saya malas mencatatnya dan lebih memilih ngebo lagi setelah terbangun.
Kedua, saya juga cuma ingat samar-samar saja isi mimpi saya -__-


Anyway, saya jadi berpikir. Bodohnya saya tidak terpikir untuk menanyakan hal ini ke dosen waktu itu: Apakah jarang bermimpi itu adalah tanda bahwa tidak banyak hal ditekan ke alam bawah sadar? Saya jadi penasaran. Suatu saat saya akan menanyakan hal ini kepada mereka yang mengerti.

Psikoanalisa memang mengasyikkan. Hal yang berbau alam bawah sadar selalu menarik untuk dibahas, karena kita akan banyak menebak-nebak di situ, haha. Sesuatu yang tidak bisa kita lihat akan selalu membuat penasaran :3

Rabu, 27 Juni 2012

Balada Jaket

Jogja begitu dingin malam ini. Jaket yang kupakai ketika bermotor tadi tak mempan menangkis sengatan beku yang kini menyerangku, membuatku bergelung seperti trenggiling di atas tempat tidur. Ah, aku rindu kehangatan jaket yang kau pinjamkan padaku -atau lebih tepatnya, aku pinjam darimu- beberapa hari lalu. Aku tahu jaket itu berbahan tebal, mungkin sengaja didesain untuk suhu di pegunungan (karena kau pernah memakai jaket itu saat mendaki). Tapi aku curiga jaket itu terasa lebih hangat karena kau yang memakainya.
Hmm, akankah jaket itu sama hangatnya untukku ketika orang lain yang memakainya dan bukan dirimu? Haha. Aku jadi terlalu sentimentil, sepertinya. Jogja yang dingin ini membuatku galau.
Aku rindu jaket hitam-hijau itu. Dan orang yang memakainya :)

N.B. Tampaknya aku mengerti mengapa jaket itu begitu hangat. Ia menyelimutiku dari dalam. Terima kasih.

Senin, 25 Juni 2012

Sebuah Monolog Tentang Sesuatu

Aku pernah berpikir bahwa, seandainya, suatu saat kau akan meninggalkanku lagi, aku tidak akan merasa sedih dan kehilangan. Toh aku sudah pernah kehilanganmu sekali waktu. Kita berdua sudah pernah merasakan pahitnya perpisahan, bukan?
Namun tetap saja, tiap kali ingatanku kembali ke waktu itu, masih ada sedikit nyeri yang menusuk jantungku, walau rasa sakitnya tak setajam dulu. Hanya sedikit nyeri, sedikit sekali. Bagaimanapun, aku mensyukuri rasa sakit itu. Rasa sakit itulah tanda bahwa aku sangat menyayangimu. Dan mungkin itulah tanda bahwa kau masih, dan akan selalu, menjadi bagian dari diriku.
Masih banyak misteri tentang bagaimana kita bisa kembali seperti saat ini. Aku pun tak mengerti; entah itu adalah kesadaran yang tulus untuk memperbaiki semuanya, atau sekedar kegilaan. Namun kegilaan pun bisa jadi sebuah kejujuran. Ah, tapi di antara deru pertanyaan yang kadang-kadang kita lontarkan, kita tampaknya sepakat bahwa tak ada gunanya mencari alasan. Percayalah bahwa ini adalah takdir.
Aku tidak tahu bagaimana perasaanku nanti, jika -aku sungguh tak berharap ini terjadi- kita berpisah untuk yang kedua kalinya. Namun aku bisa membayangkan akan ada kekosongan menyedihkan di salah satu ruang di hatiku; seperti melihat sebuah rumah tua yang dulunya berpenghuni. Akan selalu ada jejakmu dalam sejarahku.
Bola kristal sejernih apapun tak akan bisa meramal masa depan yang penuh tanya. Yang aku tahu, aku ingin selalu ada untukmu. Ku harap itu cukup bagimu.

Minggu, 24 Juni 2012

Emosi Cerdas, Hidup Sejahtera: Antara Emotional Intelligence dan Well-Being

Rasa-rasanya, sayang juga kalau apa yang saya tulis di waktu kuliah tidak saya bagikan di sini. Tulisan ini memang banyak kurangnya, namun saya rasa bisa memberi manfaat, paling tidak sedikit, bagi yang ingin belajar ataupun sekedar iseng-iseng cari tahu tentang IQ, EQ, dan Well-being. Selamat menikmati tulisan yang sejatinya adalah tugas ujian tengah semester ini. Yuuk mari...


Emosi Cerdas, Hidup Sejahtera:
Antara Emotional Intelligence dan Well-Being

Nadya Anjani Rismarini
09/283173/PS/05735

 Sekian tahun lamanya, kita telah dibuat percaya bahwa kecerdasan intelektual seseorang (yang diukur sebagai IQ- intelligence quotient) adalah prediktor utama kesuksesan. Masyarakat menilai bahwa orang yang ber-IQ tinggi akan memiliki pencapaian lebih banyak dalam hidup. Bagaimanapun, 10 tahun terakhir ini para peneliti menemukan bahwa kecerdasan emosional (EQ- emotional quotient) seseorang bisa jadi menjadi prediktor kesuksesan yang lebih utama dari IQ (Thibodeaux & Bond, 2007).
Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan kecerdasan emosional? Pada awal tahun 90an, Dr. John Mayer, Ph.D. dan Dr. Peter Salovey, Ph. D. memperkenalkan  istilah tersebut di dalam Journal of Personality Assessment. Kecerdasan emosional digambarkan sebagai kemampuan seseorang untuk memahami emosinya sendiri dan emosi orang lain, dan bertindak dengan tepat/sesuai berdasarkan pemahamannya tersebut. Pada tahun 1995, psikolog Daniel Goleman mempopulerkan istilah kecerdasan emosional dalam bukunya, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. Kecerdasan emosional adalah tentang memiliki empati bagi orang lain; membela apa yang anda yakini dengan cara yang terhormat; tidak langsung melompat ke kesimpulan, melainkan mendapatkan gambaran keseluruhan sebelum bertindak.  Kunci dari kecerdasan emosional adalah memahami emosi anda dan emosi orang lain, dan bertindak dengan cara yang paling sesuai berdasarkan pemahaman anda tersebut.
Goleman (2001) membandingkan IQ dan EQ dalam ranah emosi dan kognitif. IQ, menurutnya, adalah kemampuan yang murni bersifat kognitif. Sedangkan kemampuan lainnya mengintegrasikan pemikiran dan perasaan dan masuk ke dalam domain “kecerdasan emosi”, sebuah istilah yang menekankan pentingnya peran emosi dalam pelaksanaannya. Semua kemampuan terkait kecerdasan emosional melibatkan keterampilan pada domain afektif, dan juga mengandung elemen-elemen kognitif. Kecerdasan emosional telah diajukan sebagai prediktor fungsi manusia yang positif (Mayer & Salovery, 1997, dalam Spences, Oades, & Caputi, 2004). Kecerdasan emosional telah dihubungkan dengan beberapa faktor seperti kepuasan hidup, psychological well-being, kesuksesan dalam pekerjaan dan performansi kerja (Adeyemi & Adeleye, 2008; Bar-On, 1997 & 2005; Salovey & Mayer, 1990).
Memiliki kecerdasan emosi yang sehat merupakan hal yang penting agar manusia dapat hidup bahagia dan sukses (Thibodeaux & Bonds, 2007). Kecerdasan emosional berhubungan dengan aksi manusia yang efektif dan aktualisasi diri, yang berhubungan pula dengan aksi manusia yang optimal (Bar-On, 2001 dalam Spences, Oades, & Caputi, 2004). Pernyataan-pernyataan tersebut menegaskan bahwa kecerdasan emosional memang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan manusia, bagaimana manusia menjalani kehidupannya dengan positif dan optimal.
Konsep “fungsi optimal manusia” ini ternyata berkaitan dengan konsep well-being atau kesejahteraan. Para psikolog klinis seringkali mendiskripsikan well-being melalui beberapa teori (Ryff & Keyes, 1995), di antaranya adalah teori needs (kebutuhan) dari Maslow (1968) yang mana aktualiasi diri (self-actualization) menjadi needs yang berada di tingkat paling tinggi. Selain itu ada pula teori dari Rogers (1961) tentang fully functioning person. Menurutnya, terdapat beberapa ciri manusia yang berfungsi optimal, antara lain terbuka terhadap pengalaman, bebas mengekspresikan perasaan, bertindak secara independen, kreatif, dan memiliki hidup yang “kaya”; the good life. Bagi Rogers, inilah kondisi manusia yang ideal. Seperti Maslow, Ia juga menyatakan adanya tendensi manusia untuk mengaktualisasikan diri.
Secara umum, well-being adalah sebutan bagi kualitas hidup yang bagus (good life). Well-being juga dapat dirumuskan sebagai apa yang diperbuat oleh seseorang dalam kondisi aktual kehidupannya. Apa yang diperbuat orang terhadap kondisi tersebut (Michalos, 2007). Apa yang mereka persepsi dari kondisi tersebut, apa yang mereka rasakan dan pikirkan dari kondisi tersebut adalah fungsi dari well-being mereka. Jika tindakan, persepsi, perasaan, dan pemikiran mereka negatif, maka kualitas hidup mereka akan rendah, dengan kata lain: well-being yang rendah.
Apapun definisi tentang well-being, pada umumnya semua merujuk ke satu arah, di mana seseorang memiliki hidup yang berkualitas tinggi. Hidup bahagia, sukses, atau “kaya” seperti yang dikatakan Rogers. Konsep the good life ini tidak hanya meliputi faktor materi saja, tetapi juga psikologis: emosi yang positif, hubungan interpersonal yang berkualitas, dll. Dalam semua aspek ini, yang melibatkan banyak domain afektif, kecerdasan emosional menunjukkan pengaruhnya.
Ada satu contoh sederhana yang diutarakan oleh Martins, Ramalho, dan Morin (2010) tentang bagaimana kecerdasan emosi dapat menghambat kesuksesan. Misalnya saja seorang siswa yang merasa cemas karena akan megikuti ujian. Jika ia tidak bertindak tepat dalam mengatasi emosinya tersebut, ia akan benar-benar sakit. Jika ia tidak bisa melakukan tindakan yang tepat terhadap rasa cemas yang ia rasakan, ia bisa gagal ujian. Saya jadi membayangkan contoh seorang pelamar kerja yang akan mengikuti wawancara. Jika ia tidak memahami bagaimana harus menyiasati rasa cemasnya, performanya dalam wawancara bisa separah rasa cemas yang ia rasakan, dan hasilnya? Bisa saja ia gagal diterima. Ia gagal mengaktualisasikan dirinya. Tidak heran jika kecerdasan emosional juga banyak dihubungkan dengan kesuksesan dalam pekerjaan, yang lagi-lagi, juga termasuk salah satu aspek dalam well-being.
Tanpa kemampuan untuk mengetahui dan memahami emosi pribadi dan emosi orang lain (empati), tanpa kemampuan untuk bertindak berdasarkan pengetahuan tersebut, akan sulit bagi seseorang untuk menjalin hubungan interpersonal yang memuaskan. Tanpa kemampuan untuk menimbang, seseorang akan menjadi ceroboh dalam bertindak. Tanpa kecerdasan emosi, bahkan hanya ketiadaan beberapa aspek kecerdasan tersebut, kesejahteraan dan kepuasan hidup seseorang akan terganggu. Maka, tidaklah berlebihan jika kepopuleran EQ sebagai prediktor kesuksesan hidup yang mengarah kepada well-being kini mengalahkan popularitas IQ. Dengan emosi yang cerdas, hidup pun akan sejahtera.
Referensi:
Goleman, D. (2001). The Emotionally Intelligent Work[place (Chapter Two: Emotional Intelligence: Issues in Paradigm Building). Jossey-Bass
Martins, A; Ramalho, N; Morin, E. (2010). A Comprehensive Meta-Analysis of The Relationship Between Emotional Intelligence and Health. Personality and Individual Differences, 49, 554-564

Michalos, A. C. (2007). Education, Happiness and Wellbeing. Paper written for the International Conference on “Is Happiness Measurable and What Do Those Measures Mean for Public Policy?

Ryff, C. D; Keyes, C.L.M. (1995). The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69(4), 719-727

Spences, G; Oades, L.G; Caputi, P. (2004). Trait Emotional Intelligence and Goal Self-Integration: Important Predictors of Emotional Well-Being? Personality and Individual Differences, 37, 449-461

Thibodeaux, J.B; Bond, D.S. (2007). What is Your Emotional Intelligence Quotient? (article) retrieved from http://www.nenetwork.org/roundtables/EmotionalIntelligenceQuotient.pdf on April 11, 2012, 13.38


diakses 12 April 2012, 21.56

Sabtu, 23 Juni 2012

Aku Ingin Melebur Bersama Gerimis

Adakah gerimis yang mengering luka, membasah tawa?
Maka aku ingin melebur bersama tetesannya.

Kamis, 21 Juni 2012

(Not) Just A Little Conversation

A: How much do you love me?
B: Very much :3
A: (laughing) Kok ga nanya aku sih?
B: Mmmm...how much do you love me?
A: Infinite :)

:")

Rabu, 20 Juni 2012

Forgetful

It isnn't time that heals the pain. It is our own inability to remember everything that does. How great Lord is. He has created us to be such forgetful creatures. In one side, it means that we, humans, are not smart enough to retain important informations and make better changes; but in the other side, it means that we are smart enough to forget, even just in a single minute, all of those bad memories. And because humans forget, they can survive from conscious nightmares.

Sabtu, 16 Juni 2012

Tentang Introvert

Kemarin saya sempat ngobrol dengan teman saya. Teman saya ini sedang berspekulasi tentang kepribadian seseorang. "Hmm...dia orang introvert, tapi sufficient," gumamnya.
Saya penasaran, melihat gambar yang dipegangnya, dan...ya, terlihat bahwa orang ini benar-benar percaya diri. Aspek ini terlihat dari bentuk dan caranya menggambar.
"So, you wanna say that...walaupun dia introvert, dia tetap merasa cukup dengan dirinya, dan itu tidak membuatnya kesepian?" tanya saya.
Teman saya mengangguk. "Ya, dia introvert karena itu pilihannya."
"Jadi begini: Dia introvert dan dia merasa nyaman, bukan tipe orang yang tertutup lalu terasing dan merasa sedih karena tidak terlibat dengan orang lain?" tanya saya memastikan.
"Kira-kira begitu."

Di sini saya tidak akan melanjutkan membahas kelanjutan obrolan kami.

Setelah percakapan itu, saya jadi merenung lagi tentang apa itu introvert. Terlepas dari definisi ilmiah dan psikologisnya, buat saya sendiri, seorang introvert adalah orang yang lebih nyaman sendirian. Merenung sendirian, bermain dengan alam pikiran dan perasaannya. Mungkin tidak begitu banyak membuka "pintu" dunianya, dirinya, kepada orang lain. Seorang introvert mungkin bisa diibaratkan dengan sebuah rumah yang pintunya lebih sering tertutup sehingga jarang ada seseorang yang bisa masuk begitu saja tanpa mengetuk. Bahkan kalau pun ada orang yang mengetuk, belum tentu boleh masuk.

Saya cukup yakin bahwa aslinya, saya adalah orang yang introvert. Sangat. Tapi seiring berjalannya waktu, saya semakin sering bersosialisasi, ikut organisasi, kegiatan ini itu, banyak hal, yang menuntut saya untuk membuka diri. Dan ya, saya membuka diri saya. Saya memilih untuk membuka diri saya. Kalau ada introvert yang bisa menekan tombol "ekstrovert" pada dirinya manakala diperlukan, mungkin saya orangnya.

Tapi tetap, saya punya ruang kecil di dunia saya sendiri, yang tidak boleh diusik orang lain. Bagi saya, itu adalah hak istimewa setiap manusia: memiliki rahasia. Seorang guru besar pernah berkata ketika saya kuliah: "Mengapa kita punya rahasia? Karena nyaman! Mana ada orang yang ga punya rahasia? Semua punya. Rahasia membuat kita seimbang."

Beliau tidak menjelaskan apa arti seimbang. Tapi saya sendiri mengartikan seimbang itu adalah: kamu punya sisi yang tidak sepenuhnya dimiliki orang lain. kamu masih punya bagian yang "asli milikmu sendiri". Kalau bagian ini tidak ada, rasanya aneh. Tidak nyaman. Seperti telanjang. Jadi wajar kan kalau orang punya rahasia. Ini sesuatu yang alami, dari sononya.

Nah, karena trait alami saya adalah introvert, saya punya kebutuhan yang lebih besar daripada orang ekstrovert, untuk berduaan dengan diri saya alias menyendiri. Dan saya tidak keberatan. Apalagi dulu, sebelum saya masuk kuliah dan aktif kemana-mana. Saya sering ke kantin sendirian waktu SMA. Lalu teman-teman bertanya: "Kok sendirian?" Jujur sejujur-jujurnya, saya jengkel ditanyain seperti ini. Memangnya tidak boleh ya kalau sendirian? Apa itu sebuah hal yang aneh? Apa yang salah? Saya memilih untuk pergi ke kantin sendirian karena saya memang lagi ingin makan sendirian. Titik.

Hal inilah yang membuat saya kembali merenung ketika teman saya bilang "introvert yang suffiicient". Hmm, mungkin inilah tipe saya. Introvert yang memang cukup dengan dirinya sendiri. Self-sufficient. Bukan berarti tidak suka berteman. Saya cukup ramah (kayaknya). Saya bisa berteman. Kebutuhan afiliasi saya masih tergolong sedang. Tapi saya tidak terlalu "attached" atau "nempel" mungkin dengan teman saya. Sahabat saya yang paling amat sangat dekat hanya ada beberapa orang, termasuk pacar saya. Saya nyaman dengan mereka, saya merasa tercukupi. Saya tidak memaksakan diri untuk mengoleksi teman.

Ngomong-ngomong, saya pernah mencoba tes kepribadian yang sama dua kali. Hasil pertama menunjukkan bahwa saya orang ekstrovert. Saya ingat waktu itu saya mengerjakan dengan suasana ramai, dengan teman-teman saya. Tapi yang kedua kalinya, saya mengerjakan sendirian...dan hasilnya introvert. Oke, mungkin faktor suasana juga bisa mempengaruhi. But, after all, saya ga terlalu ambil pusing sih. Saya sudah nyaman dengan diri saya, mau intorvert, ekstrovert, tengah-tengahnya juga boleh. Tes kepribadian sebenarnya ga terlalu penting.

Selasa, 05 Juni 2012

Akhir Dari Kegalauan 7 SKS

Setelah kemarin menulis tentang galau skripsi...saya terjerat dalam percakapan-percakapan galau di antara teman-teman yang juga galau skripsi:

"Nad...ambil sekarang aja. Kalau kamu mau mendalami Psikologi dan aplikasinya lebih jauh, di S2 Mapro aja, bareng aku, hehe. Aku juga ngambil semster 7 kok...biar lulusnya bareng temen-temen. Rasanya tuh sedih juga kalo kita telat lulus, asing...teman-teman udah pada ga ada di kampus..."

Itu ujar seorang teman saya.

"Aku ngambil semester 8 aja deh...mau nyantai dulu nih, hehe."

Itu kata teman saya yang lain.

"Kamu kan pinter Nad."

Pintar tidak menjamin saya bakal tekun menyelesaikan skripsi. Lagian pernyataan ini juga bukan saran.

"Aku masih bingung nih....kamu mau ngambil kapan Naaaad?"

Ini malah balik nanya.

Kemudian saya ingat wejangan seorang anak S2 yang saya kenal:

"Kamu mau ambil semester 8? Pikirin lagi deh. Iya kalau kamu dalam 1 tahun bisa nyelesaiin skripsi tanpa hambatan, kalau nggak? Lulusnya bisa tambah lama lagi...lebih dari 4 tahun. Ambil semester 7 aja dek...kita kan ga tahu apa yang bakal terjadi. Jangan ditunda-tunda, lebih cepat lebih baik."

Oke, Mbak. Saya memang belum makan asam garam. Dan akhirnya....

Pagi ini, beberapa menit sebelum menulis post ini, saya menuliskan "Penulisan Skripsi" di lembar KRS saya. Ditambah 1 mata kuliah lain (Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja Berkebutuhan Khusus) untuk nambah-nambah kegiatan, hehe.

Bismillahirrahmanirrahim.

Perjuangan baru saja dimulai. Perjuangan menyelesaikan mata kuliah 7 sks.

Semangaaaaaaat!!! :D