Senin, 19 Maret 2012

Penat: 24 SKS

Menjadi mahasiswa semester 6 ternyata luar biasa. Luar biasa lelahnya. Saya akui, 24 sks yang saya ambil sekarang berbalik menyerang diri saya sendiri. Tugas-tugas tiada henti (tapi bisa-bisanya saya tetap posting di sini), urusan persiapan KKN bahkan terkadang mengorbankan tugas-tugas itu dan juga mengorbankan hal-hal lainnya.

Mau tidak mau, saya harus menghadapi konsekuensi dari pilihan saya sendiri. Pada titik inilah saya merasa, saya masih perlu dilatih tentang kedewasaan. Tentang berpikir panjang. Oh, 24 sks, bisa-bisanya saya memilihmu!

Tetapi, well, pada titik ini pula 24 sks itu sekaligus mengajarkan saya suatu hal yang sangat berharga: Pertama, manajemen waktu. Kedua, kesehatan. Fisik saya drop belakangan ini. Dan sekarang saya sadar bahwa kesehatan itu penting sekali.

Lagi-lagi, hanya sekedar postingan basi yang berisi keluhan cemen. But whatsoever, ini adalah salah satu terapi bagi saya. Menuliskan masalahmu a.k.a "mengeluh dalam bentuk tulisan" itu terapi. Masih lebih baik daripada dipendam terus, menurut saya sih...

Yasudahlah, mengeluh tidak boleh lama2. Ntar jadi lupa bergerak. Jadi saya cukupkan sampai di sini. Saya mau kuliah, hehe...

Everything will be alright :)

Sabtu, 17 Maret 2012

Kucing


Saya suka kucing. Semua kucing di mata saya terlihat lucu. Mau dia kucing kampung atau kota, nasional atau internasional, semuanya lucu. Tapi sekarang saya tidak memelihara kucing. Ancaman toxoplasma cukup membuat saya lebih berhati-hati. Ibu saya juga tidak suka kalau ada kucing di rumah. Jadi ya sudahlah, saya cukup menikmati kelucuan kucing-kucing jalanan dan kucing-kucing kampus yang saya temui sehari-hari.


Dulu, waktu saya kecil dan masih tinggal di Pontianak, saya punya seekor kucing. Sebenarnya hanya kucing liar yang suka mampir untuk makan di rumah. Lama-lama semakin sering dan akhirnya menganggap rumah keluarga saya adalah rumahnya sendiri. Akhirnya tanpa ada kesepakatan dan ijab qobul, kucing tersebut menjadi peliharaan saya.

Warna bulunya kuning kecoklatan dengan garis-garis berwarna coklat agak tua. Bulunya –mungkin karena telah mengalami kehidupan yang liar dan keras semesa hidupnya- kasar dan pendek-pendek, tidak sehalus dan sesubur bulu kucing pada umumnya. Mukanya bulat dan ekornya terlihat seperti sikat botol pendek yang kaku. Ya, dia bukan kucing  biasa.

Saya biasanya memandikan si kucing bersama adik saya. Tapi sia-sia karena segera saja dia akan berjalan-jalan di halaman rumah kami –yang lebih pantas disebut hutan mini di belakang rumah- lalu membuat lumpur dan tanah di situ menempel di telapak kaki dan bulu-bulu di badannya. Urusan makan, dia tidak rewel. Sepiring nasi dan ikan, bahkan sisa sayur kangkung yang dicampur nasi, tetap dilahapnya sampai habis. Saat ibu saya menggoreng ikan, lucu sekali melihat matanya yang biasanya menyipit itu berbinar-binar.

Dia memang sudah tua. Mungkin itu yang membuatnya agak ceroboh. Beberapa kali ia tersedak duri ikan yang dimakannya. Bagi saya, itu konyol sekali. Sebagai seekor kucing yang sudah biasa makan ikan yang berduri, harusnya peristiwa kesedak dan semacamnya tidak perlu terjadi. Beberapa kali pula duri ikan menyangkut di sela giginya. Saya pernah membuka mulutnya dan mencabut duri ikan itu dengan bantuan adik dan ibu saya.

Tua-tua begitu, dia juga bisa menjadi pahlawan. Pada suatu malam, ayah saya tidur di kasur di depan TV. Paginya, ayah saya menemukan bangkai kalajengking yang sudah mati (ya iyalah udah mati, namanya aja bangkai -_-) tergeletak di samping kasur dan si kucing duduk di depannya, bulu-bulu di sekitar mulutnya bernoda kehitaman. Ternyata, ia membunuh kalajengking berbahaya itu. Maklum, halaman belakang rumah saya memang mengandung banyak binatang berbahaya termasuk kalajengking dan ular kobra, secara dekat semak-semak, kebun rambutan, dll (makanya saya bulang hutan mini), dan biasanya binatang-binatang tersebut mampir ke rumah saya. Untunglah, berkat aksi heroik si kucing, kalajengking itu tidak sempat menggigit satu pun orang di rumah yang sedang tidur.

Tapi terkadang pula dia menjengkelkan seisi rumah. Tempat favorit si kucing adalah di atas kulkas. Biasanya dia akan duduk di situ sambil memejamkan mata, persis seperti sebuah patung kucing yang sedang duduk. Dan ketika dia melompat ke atas kulkas, atau turun dari kulkas, tak jarang ia menjatuhkan beberapa keramik kecil yang diletakkan di atas kulkas untuk pajangan. Akhirnya, atap kulkas dikosongkan menjadi singgasananya, daripada ada beberapa keramik yang pecah lagi.

Ketika saya pindah ke Jogja, tante saya di Pontianak bilang akan menyempatkan diri ke rumah saya dan menjenguk si Labon –akhirnya ia diberi nama sesuai usulan tante saya- dan membawakan makanan. Tapi entahlah, mungkin segera saja insting liarnya kembali lagi seiring ia melihat rumah kami yang biasanya terbuka untuknya kini tertutup, lalu dia kembali ke jalan. Tante saya tidak melihatnya lagi. Si Labon pergi entah ke mana.

Sekarang, ketika saya bertemu kucing berwarna kuning dengan garis-garis coklat di manapun, saya pasti ingat si Labon, walaupun di antara kucing-kucing kuning tersebut tidak ada yang benar-benar mirip Labon. Ekor mereka juga tidak ada yang berbentu aneh dan pendek seperti ekor Labon. Muka mereka juga tidak ada yang sebulat Labon. Bagaimanapun, saya jadi kangen masa-masa masih punya kucing peliharaan yang bisa jadi temanmu saat kamu lelah dan ingin hiburan, hehe.

Saya jadi ingin memelihara kucing lagi. Mungkin akan saya namai Labon.