Rabu, 05 Juli 2017

Between The Lines, by Sara Bareilles

Time to tell me the truth
To burden your mouth for what you say
No pieces of paper in a way
'Cause I can't continue pretending to choose
These opposite sides on which we fall
The loving you later, if at all
No right minds could wrong be this many times

My memory is cruel
I'm queen of attention-to-details
Defending intentions if he fails
Until now, you told me her name
It sounded familiar in a way
I could've sworn I'd heard him say it ten thousand times
Oh, if only I had been listening

Leave unsaid, unspoken
Eyes wide shut, not open
You and me
Always between the lines
Between the lines.

I thought I, thought I was ready to bleed
That we'd move from the shadows on the wall
And stand in the center of it all
Too late, two choices to stay or to leave
Mine was so easy to uncover
He'd already left with the other
So I've learned to listen through silence

Leave unsaid, unspoken
Eyes wide shut, not open
You and me, always be...
You and me
Always be...

I tell myself all the words he surely meant to say
I talked until the conversation doesn't stay on
Wait for me I'm almost ready...
When he meant "let go"

Leave unsaid, unspoken
Eyes wide shut, not open
You and me, always be...
You and me
Always between the lines...
Between the lines.


Sabtu, 18 Februari 2017

Tentang Sebuah Nama yang Tak Bisa Diucapkan


Pada awalnya kupikir aku hanya membutuhkan sedikit hiburan dari kesepian. Sekedar pengalih perhatian akan tuntutan yang menekan, melihat begitu banyak teman yang sudah berlabuh di pelaminan. Ah, tidak. Mungkin itu bukan tuntutan; diriku saja yang merasa tak aman. Tapi gelombang was-was kerap menyapa, dan itu nyata adanya.

Pada awalnya kuyakinkan diriku bahwa aku hanya mencari pelarian; tidak ada yang namanya cinta. Temanku pun bilang aku hanya kesepian saja, jadi aku enyahkan suara kecil yang kerap berbisik, "Hei, memang begini rasanya jatuh cinta." Yah, lebih aman rasanya mendengar nasihat temanku karena diriku sendiri kadang ragu dengan perasaanku. Lagipula, aku takut dipandang terlalu percaya diri. Menakutkan memang, betapa lemahnya persepsi kita terhadap perasaan dan pikiran kita sendiri. 

Jadi, aku menjauh darimu, dan berharap perlahan-lahan bayanganmu akan semakin samar dan hilang. Aku tantang diriku untuk merasa biasa saja. Aku paksa diriku untuk percaya bahwa tidak ada apa-apa di antara kita. Aku hanya takut kehilangan logika. Kau tahu, logika adalah caraku bertahan untuk tetap waras selama mengalami hantaman-hantaman emosi yang luar biasa beberapa tahun belakangan. Aku tak mau kehilangan logika yang menjadi kekuatanku selama ini. 

Tidakkah kau lihat ironinya? Aku paksa diriku untuk biasa saja. Bukankah itu sebuah penyangkalan? Tidak, aku tidak merasa biasa saja. Aku memikirkanmu hampir setiap hari. Butuh kesibukan ekstra untuk membuatku mengalihkan fokusku dari khayalan babu yang sebagian besar berupa bayangan masa depan kita, yang kita lalui bersama.

Tapi, tentu saja, aku tak punya pilihan yang lebih aman selain berusaha biasa saja. Kau sudah menjadi milik orang lain. Aku bisa apa? Kadang-kadang aku ingin tertawa, betapa aku merasa takdir telah membuat lakon komedi parah dalam hidupku, dengan kita sebagai pemeran utamanya. Betapa perasaan yang begitu indah dan menghangatkan ternyata bisa menimbulkan luka yang mengerikan, hanya karena waktu yang tidak tepat. Seperti menyalakan api unggun dan tiba-tiba angin kencang membuat serpihan kayu yang menyala masuk ke bola matamu, membuatnya perih dan mengeluarkan air mata.

Tidak, aku tidak merasa biasa saja. Semakin sering aku menyangkalnya hanya membuatnya semakin merajalela. Seperti mencabut bulu kaki saja; mereka malah tumbuh lebih lebat, bahkan semakin cepat jika semakin sering dicabut. 

Jadi, kuputuskan untuk menerimanya saja. Menerima kondisiku yang membingungkan dan terkatung-katung. Menerima perasaanku yang tidak biasa saja. Menerima pikiran tentangmu yang kerap mengetuk kepalaku. Menerima bahwa sesungguhnya aku mencintaimu di waktu yang salah. Lalu memaafkan diriku karena toh perasaan ini tak akan muncul tanpa kekuasaan Tuhan. 

Maka aku maafkan diriku yang lemah, dan menerima bahwa perasaan ini mungkin adalah suatu ujian dari-Nya. Entah aku tak tahu apa mata kuliahnya. Mungkin tentang kesabaran? Aku masih berharap penantian diam-diam ini kelak berbuah manis. Atau mungkin lagi-lagi tentang merelakan? Jika memang begitu, aku berharap suatu hari Ia akan mempertemukanku dengan yang terbaik, setelah aku merelakanmu. Dan karena aku sendiri tidak tahu ini ujian tentang apa, kusimpulkan bahwa ini kemungkinan besar tentang penerimaan terhadap ketidakpastian.

Jadi, beginilah sekarang. Aku berjalan pelan-pelan di atas jembatan rapuh yang bergoyang. Menjaga perasaan dan pikiranku tetap dalam keseimbangan agar diriku tidak terpeleset dan terjatuh. Menjaga rasa cintaku agar tetap dalam kadar sedang-sedang saja, dengan selalu mengingat bahwa semua ini, termasuk perasaan yang kupendam ini, adalah milik Tuhan, jadi tak perlu rasanya kutelan semua bulat-bulat. Sembari aku menyeberang, aku akan tetap mencintaimu dengan cara yang paling santun yang bisa aku lakukan. Cukuplah kau merasakan bahwa bagiku kau lebih dari sekedar teman. Aku tak begitu peduli bagaimana akhirnya. Aku telah melepaskan semua ekspektasi. Aku hanya akan hidup untuk saat ini: membiarkan cintaku untukmu tetap menyala, tanpa membakar.