Kamis, 17 November 2011

Trouble Really Is A Friend

Akhir-akhir ini saya banyak terlibat diskusi pintar bersama orang-orang pintar. Alhamdulillah, paling tidak waktu saya tidak habis percuma hanya dengan bengong di pojok kamar. FYI, diskusi pintar bisa berlangsung di mana saja dan kapan saja, bahkan ketika kamu merasa bodoh dan terjebak di sebuah situasi yang bodoh, seperti yang saya alami bersama teman saya, Novia.

Kami adalah contoh orang-orang pintar (amin) yang terlibat diskusi pintar di situasi yang bodoh. Ceritanya nih, tadi habis maghrib kami mau nonton Tintin di Empire XXI. Ngincernya sih jam 18.30, biar pulangnya ga kemaleman. Nah, ternyata, pas kami sampai di sana, kami langsung merasa terintimidasi dengan antrian panjang yang berisi orang-orang yang mau menonton film yang sama. Mulai ketar-ketir >.<

Firasat kami benar: Ternyata tiket untuk jam 18.30 cuma tinggal empat, dan duduknya di barisan paling depan, pojok lagi. Selain itu, filmnya juga udah mulai, jadi kita telat. Karena kami ogah rugi, akhirnya palu hakim pun berbunyi: Dua tiket untuk Tintin 3D jam 20.40 dibayar tunai! *eh, ini kayaknya bukan kata-kata hakim deh =_= Well, kami memutuskan untuk menunggu sekitar 2 jam lagi sebelum bisa menyaksikan aksi si detektif unyu. Di situasi bodoh yang rentan terhadap aksi ndomblong dan bengong serta penantian yang membosankan, kami memutuskan untuk makan malam di JogChick dekat situ, sekalian menghabiskan waktu. Dan dimulailah diskusi pintar kami.
Sambil makan, kami ngobrol-ngobrol tentang dosen, kuliah, kehidupan, dan semacamnya. Random sih, tapi ada bagian dari diskusi santai kami yang ingin saya share di sini, yaitu tentang rasanya menjadi mahasiswa, lebih tepatnya buat kami, mahasiswi, Psikologi, yang biasanya dianggap bebas masalah dan sangat bijaksana.

Ya, pernahkah kalian, yang kuliah di Psikologi, merasakan adanya tanggung jawab, atau tuntutan, untuk berperilaku selayaknya manusia setengah dewa? Saya merasakannya. Karena saya biasa mendengar mahasiswa, atau orang lain, nonPsikologi mengomentari mahasiswa Psikologi yang mereka pikir tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Salah satu yang pernah saya dengar adalah, "Anak Psikologi kok ngomongnya kayak gitu (nyelekit)" atau "Anak Psikologi kok bermasalah" dan banyak lagi. Saya merasakannya, seriously. Saya merasakan adanya image yang harus saya tampilkan sebagai seorang mahasiswi Psikologi. Sabar. Pengertian. Pendengar yang baik. Ramah. Stabil. Anti-galau. Saya merasakannya. Karena saya juga terkadang memiliki ekspektasi serupa terhadap dosen-dosen saya. Jadi, ketika saya mendengar cerita seorang teman tentang dosen yang ngomongnya mak jlebb sampai membuat mahasiswa sakit hati dan merasa dipermalukan, saya geram sekali. Karena apa? Karena saya berharap dosen yang mengampu saya adalah orang yang baik! Orang yang menghargai manusia! Humanis! Psikolog handal yang menyenangkan, bukan menyeramkan! Ketika saya mendengar ada dosen seperti itu, saya kecewa dan sedih. Ya, ekspektasi. Dan kadang hal ini terlalu berlebihan.

Saya pernah ikut terapi kelompok. Di situ ada bermacam-macam orang yang belum saya kenal. Saya termasuk salah satu peserta paling muda di kelompok itu. Kebanyakan adalah orang-orang dewasa yang sudah mapan dengan pendidikan dan pekerjaannya. Dari luar mereka terlihat biasa saja, bahkan cenderung terlihat seperti orang yang bahagia tanpa ada satu cacat pun dalam kehidupan mereka, begitulah yang saya pikir. Mereka juga berlatar belakang pendidikan Psikologi. Jadi saya sempat neyeletuk dalam hati, "Buat apa ya mereka ikut terapi kelompok? Mereka tidak terlihat mebutuhkan bantuan."
Dan ternyata saya salah.
Mereka punya masalah yang jauh lebih berat daripada saya. Masalah yang jauh lebih kompleks. Padahal, seperti yang saya bilang, mereka berlatar belakang Psikologi. Sudah lebih senior daripada saya. Tapi ternyata, mereka juga penggemar Lenka. Trouble is a friend...
Ya, manusia tidak bisa lepas dari masalah. Dan sempat terlintas juga di benak saya, saat saya berada dalam terapi kelompok itu, bahwa masalah itu pula lah yang membuat kita manusiawi. Masalah adalah bagian dari hidup manusia. Tidak menyenangkan memang, namun kita juga tidak bisa hidup tanpa masalah. Trouble makes us human.
Bahkan mahasiswa Psikologi pun tidak bisa lepas dari masalah. Hei, kami juga manusia. Bahkan mungkin beberapa di antara kami memutuskan masuk fakultas ini karena ingin rawat jalan. Kami malah mungkin lebih rentan terhadap masalah, karena kami belajar untuk mengenal manusia lebih dalam, dan otomatis mengenal diri kami lebih dalam, dan hasilnya? Banyak di antara kami mungkin harus menghadapi kenyataan bahwa ada banyak hal yang salah, yang mungkin harus kami perbaiki, sementara orang lain mungkin berpikir itu adalah hal biasa. Ya, itu salah satu resiko ketika kita memutuskan mengenal siapa kita lebih dalam: Kita akan berhadapan dengan sisi mengerikan yang ada dalam diri kita sendiri.

Masalah itu normal, dalam artian semua makhluk hidup pasti pernah berhadapan dengannya. Tapi masalah itu tidak normal ketika membuat kita overwhelmed. Saya rasa, psikolog mungkin memiliki sebuah keahlian yang tidak dimiliki orang lain, yaitu menjadikan masalah sebagai bagian dari hidup mereka dan memandangnya secara positif. Mereka punya masalah, tetapi masalah itu tidak mendominasi mereka, dengan kata lain, mereka bisa me-manage masalah sehingga tidak mengganggu dan menimbulkan banyak kerugian bagi diri mereka mau pun orang lain. Novia berkata, "Kok rasanya jadi psikolog itu....kayak bukan manusia. Kayaknya udah jadi manusia setengah dewa." Saya manggut-manggut. Ya, manusia setengah dewa. Bukan berarti para psikolog layak menjadi model video klip atau backing vocal lagunya Iwan Fals. Tapi entah kenapa, psikolog itu seperti memiliki hal yang lebih dari orang kebanyakan. "Berat ya," tambah Novia.

Hhh, ekspektasi. Mungkin kata berat itu muncul karena ekspektasi. Bagi kalian yang punya teman anak Psikologi, kalian mungkin berharap bahwa teman kalian bisa jadi teman curhat yang baik. Tapi lagi-lagi, masalah itu selalu ada. Masalah muncul karena adanya kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan. Mungkin, teman kalian yang anak Psikologi tadi malah oramg yang menyebalkan, bisa saja, kan? Saya yakin banyak juga anak Psikologi yang menyebalkan. Termasuk saya.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa psikolog itu bebas masalah atau psikolog itu sebenarnya ga ada bedanya dengan pedagang kaki lima, tidak. Saya hanya ingin menghadirkan realita. Bahwa masalah itu manusiawi. Psikolog itu juga manusia. Tapi psikolog punya tanggung jawab berkaitan dengan profesinya yang mengurusi manusia. Ya, jelas dia harus lebih ahli, ahli dalam menangani dirinya sendiri karena dirinya sendiri juga termasuk objek yang ia pelajari. Walaupun terkesan seperti manusia setengah dewa, psikolog tetap manusia. Sama seperti dosen yang saya ceritakan tadi. Beliau juga pernah menyakiti hati mahasiswa. Beliau pastinya juga punya masalah. Tak ada yang sempurna; dan justru ketidaksempurnaan itulah yang menyempurnakan hidup kita sebagai seorang manusia. Karena sudah sewajarnya hidup kita itu penuh lika-liku, maka kalau lurus melulu itu tidak baik :p Masalah membuat kita sadar bahwa kita adalah manusia.

So, bertemanlah dengan masalah. Bukan berarti kita harus menambah-nambahi masalah dan mencari-cari masalah bagi diri kita, tapi "berteman" di sini maksud saya "berusaha mengenal dan berdamai dengan masalah itu". Jangan memusuhinya. Kalian tahu kan bagaimana caranya menyelesaikan masalah? Kenali masalah itu. Mengenal dengan baik sebuah masalah tidak akan berhasil jika kita memusuhinya...jadi bertemanlah. Pahamilah ia. Dan pasti akan ada solusinya :D #ceileh

Untuk menutup posting random ini, saya mau bercerita sedikit. Suatu hari di kelas Psikologi Klinis, dosen saya menyuruh seorang mahasiwa untuk maju dan membantunya mengilustrasikan sesuatu. "Coba pegang gelas ini," kata beliau. Teman saya dengan tampang pasrah agak bingung memegang gelas itu dengan tangan kanannya. "Berat?" tanya beliau. "Tidak," kata teman saya. Dosen saya pun menyuruhnya terus memegang gelas itu dengan sebelah tangannya.
Beberapa menit kemudian, dosen saya bertanya, "Gimana?" Teman saya meringis, "Pegal," jawabnya. "Itulah masalah," timpal dosen saya. "Terkadang hanya sesuatu yang tidak berat, tapi kita membawanya tiap menit, tiap hari, bertahun-tahun...dan akhirnya kita lelah. Tugas psikolog adalah menyuruh seseorang meletakkan gelas tersebut untuk sejenak."
Saya tersenyum. Ya, letakkan. Lemaskan tangan kita yang tegang, dan lihatlah, hei, itu cuma gelas kok, bukan barbel seberat 3 kg. Ya, itu cuma gelas. Saya pasti bisa menemukan cara untuk membuat gelas itu tidak mencederai tangan saya. Mungkin menaruhnya, menyimpannya di suatu tempat, membuang, memecahkannya, atau sekedar meletakkannya, menunggu tangan saya kembali kuat untuk memegangnya lagi...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar