Selasa, 15 November 2011

Mengapa Sedih?

Actually, posting ini tidak berisi cerita sedih yang membuat termewek-mewek. Ini lebih merupakan sebuah pemikiran yang belum tentu memiliki jawaban. Hanya sekedar bertanya-tanya.

Pertanyaan ini berawal dari diskusi santai saya dengan seorang teman saat kuliah Psikologi Emosi tadi siang. Saat itu dosen kami yang unik menyuruh kami membentuk kelompok dan berdiskusi tentang apa saja yang terjadi dalam diri kami ketika mengalami emosi marah, senang, sedih, takut, dan jijik. Ya, 5 emosi dasar itu.
Hasil diskusi kelompok kami menyatakan reaksi-reaksi tubuh yang terjadi ketika mengalami emosi tertentu dapat saja sama, misalnya jantung berdetak keras ketika marah dan takut, dada sesak ketika marah dan sedih. Yang membuat kita dapat membedakan mereka adalah kombinasi dari reaksi-reaksi tubuh yang lain, misalnya saat kita sedih, dada terasa sesak, lemas, dan tenggorokan tercekat, sementara saat kita marah biasanya dada sesak disertai kepala yang berat dan jantung berdebar, serta otot yang menegang. Selain itu yang dapat membuat kita membedakan antara 2 emosi yang bisa saja ditandai dengan reaksi tubuh yang sama adalah ekspresi wajah yang menyertainya. Walaupun saat senang maupun marah wajah kita sama2 memerah, tetapi ekspresi marah jelas berbeda dengan ekspresi senang. Melotot dengan wajah merah dan tersenyum dengan wajah merah kesenangan jelas berbeda.

Oke, cukup sampai di situ. Sehabis diskusi kelompok, saya dan teman saya iseng2 ngobrol tentang reaksi2 tubuh tadi. Entah kenapa kami menulis banyak sekali reaksi tubuh yang kami rasakan ketika sedang sedih. Seakan-akan dari kelima emosi dasar tersebut, sedih-lah yang paling kami kenali.
Lalu saya berkata, "Rasanya kalau sedih itu intense banget gitu ya. Misalnya kalau cerita tentang kejadian yang membuat kita sedih, rasa2nya pengen nangis lagi, pokoknya kayak kebawa lagi ke keadaan itu...padahal kalo disuruh cerita tentang kejadian yang membuat kita senang, aku pribadi sih ga sampai terbawa ke situasi itu, gimana ya, rasanya ga terlalu "nyata" gitu lho emosi senang-nya..."
Teman saya juga menimpali, "Iya e, rasanya kalo senang tuh ya "lepas" gitu aja...sementara kalo sedih tuh entah kenapa "kerasaaaa" banget gitu. Trus menurutku kita juga cenderung suka terlarut dalam kesedihan itu, misalnya dengerin lagu sedih lah, menyendiri lah..."

Well, mengingat cuplikan percakapan kami tadi, saya juga bertanya-tanya: Mengapa emosi sedih itu begitu kuat, begitu dalam bekasnya, daripada emosi senang? (at least menurut pengamatan saya pribadi dan curhatan temen saya tadi sih). Saya sendiri merasakan hal itu. Seringkali ketika saya mengingat sesuatu yang membuat saya sedih, mata saya terasa panas dan kelenjar2 air mata mulai siap berproduksi, serta tenggorokan saya terasa sakit, tercekat, tidak bisa bicara, seperti keselek bola golf. Entah kenapa, situasi yang membuat saya sedih itu begitu nyata dan begitu kuat mempengaruhi saya. Sebaliknya, ketika mengingat-ingat hal yang menyenangkan, ya, saya kadang-kadang tersenyum sendiri juga, tetapi perasaan senang yang menguasai saya pengaruhnya tidak sehebat ketika perasaan sedih mendatangi saya. Seakan-akan kesedihan itu meninggalkan torehan yang jauh lebih dalam, bekas yang jauh lebih awet, di dalam diri saya. Sementara genangan dari guyuran hujan kesenangan perlahan-lahan mengering dan akhirnya lenyap di atas tanah yang kembali bertemu kemarau.
Selain itu, saya dan teman saya juga sepakat bahwa kami sangat merasakan reaksi-reaksi tubuh kami ketika sedih, kami sangat menyadarinya dibandingkan ketika kami senang. Kami merasakan sakit yang nyata ketika sedih, namun ketika kami senang, kewaspadaan kami akan perasaan senang itu entah kenapa rendah sekali. Seperti halnya orang yang terlambat untuk mengambil gambar seekor kupu-kupu cantik yang sedang hinggap di atas bunga.

Mungkinkah, kurangnya rasa syukur atas kebahagiaan dalam hidup kita menjadi penyebab mudahnya perasaan bahagia menguap lenyap dalam beberapa saat? Mungkinkah, kecenderungan untuk mengasihani diri, menyalahkan kehidupan, menyalahkan Tuhan, dan tidak menerima ketentuan-Nya adalah alasan dibalik awetnya kesedihan menggerogoti hidup kita? Jika begitu, maka kata-kata "syukur adalah inti dari kebahagiaan" itu sungguh benar adanya :)
Ya, mungkin kurangnya kita menghargai setiap detik anugerah yang Tuhan berikan kepada kita adalah penyebab kebahagiaan terasa seperti sesuatu yang biasa saja. Sesuatu yang tidak berharga. Mungkin saat kita tersenyum, kita lupa bahwa di lain waktu, ketika kita sedang bersedih dan menangis, kemampuan untuk menarik otot2 bibir dan wajah kita merupakan sesuatu yang luar biasa sulit. Masih bisa tersenyum adalah sebuah anugerah. Betapapun sepelenya itu. Kebahagiaan memang pilihan, dan bersyukurlah jika kita masih diberi kekuatan untuk memilih kata itu, dan masih diberi kekuatan untuk membahagiakan diri kita sendiri.
Saya jadi ingat kata2 seorang teman: "Be grateful. Too many things in our life are taken for granted."

Mungkin ini hanyalah asumsi dari pengalaman pribadi saya. Bisa jadi, kalian merasakan yang sebaliknya: Bahwa kesenanagan/kebahagiaan lebih berbekas dalam kehidupan kalian. Dan jika begitu, bersyukurlah. Semoga kebahagiaan selalu menyertai kalian, atau lebih tepatnya, semoga kalian selalu bisa menemukan kebaagiaan, menciptakan kebahagiaan, tak peduli seberapa pun buruknya dunia ini.

Semoga akan selalu ada merah di tengah kelabunya lukisan hidup kita :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar