Minggu, 14 September 2014

Teruslah Berjalan (Masa Bodoh dengan Apa yang Menantimu Di Depan)

Aku menatap layar laptop dan air mataku meleleh seketika. Sudah beberapa hari ini mataku seperti kantong penyimpan air dan dengan mudah bocor ketika aku harus melihat layar laptop. Aku tidak bisa melakukannya. Aku benci menulis semua laporan dan aku rasa laporan-laporan itu juga sama membenciku. Aku telah menghabiskan berhari-hari bahkan berminggu-minggu sebelumnya mencoba melarikan diri dari tugas yang menghantui ini.

Tapi sekarang sudah tidak ada lorong kecil yang bisa kugunakan untuk keluar hidup-hidup tanpa laporan. Mau tidak mau aku harus mengerjakannya saat ini karena besok aku harus mempresentasikan 5 kasus yang sudah aku tangani. Tapi aku malas, amat sangat malas sampai-sampai aku tidak tahu lagi apa ada padanan kata malas yang bisa menggambarkan betapa malasnya aku saat harus mengerjakan laporan.

Ah, kenapa semua terasa begitu sulit? Aku merutuki nasibku, bertanya-tanya apa yang bisa membuatku bertahan sampai sejauh ini. Terbersit pula keinginan untuk keluar dan meninggalkan semua usaha yang telah kulakukan kurang lebih setahun ini. Persetan dengan uang SPP yang telah aku dan orangtuaku bayarkan. Jika terus melanjutkan hal bodoh ini, akan lebih banyak uang yang keluar bukan? Entahlah, apakah ini adalah kelemahan, atau sebuah kekuatan, karena sekarang aku dengan jujur dapat mengatakan kepada diriku sendiri: Aku tidak mampu. Aku tidak kuat. Dan aku tidak tahu bagaimana harus melewati semua ini.

Susah untuk tidak membenci setiap aspek dalam hidup ketika roda sedang berada di bawah. Jika jiwaku adalah roda itu, ia sekarang tidak hanya berada di bawah, namun juga bocor dan berat untuk dibawa berjalan. Jiwa yang tak bisa memutar dirinya sendiri dan membutuhkan tangan untuk menambalnya.

Aku sadari semua kesulitan ini sedikit banyak berasal dari dalam diriku. Diriku yang belum selesai dengan masalahnya sendiri, sehingga terlalu lelah ketika harus mengatasi masalah orang lain. Diriku yang belum benar-benar pulih dari prokrastinasi yang ia lakukan sebagai wujud sikap pasif-agresif terhadap perintah yang tidak ia sukai (salah satu perintah itu adalah menulis laporan). Diriku yang lalai memproses dirinya sementara ia tahu ada beban emosi yang masih ia simpan terhadap ibunya, dan belum berhasil ia keluarkan dalam beberapa sesi humanistik dengan teman sekelasnya sebagai terapis.

Mataku terasa berat. Beban di pundakku rasanya tak tertanggung lagi. Aku ingin istirahat dari semua ini. Mungkin keadaan koma adalah istirahat terbaik yang aku butuhkan sekarang. Sakit yang cukup parah, sampai aku punya alasan yang lebih hebat daripada sekedar rengekan malas dan sentimental. Sialnya aku tahu bahwa pikiranku ini adalah distorsi kognisi dan tidak menyelesaikan apa-apa. Hhhh, salah satu sisi negatif dari belajar Psikologi adalah kau jadi lebih peka terhadap apa saja yang terjadi dalam dirimu. Ego defense mechanism apa yang kau gunakan, distorsi kognisi apa yang sedang bermain dalam pikiranmu, beban apa yang kau miliki dan belum teratasi. Dengan kata lain: kau tak bisa lagi bersembunyi dari dirimu sendiri. Ya, aku tak bisa lagi bersembunyi dari diriku sendiri.

Aku tak bisa bersembunyi dari diriku yang harus menyelesaikan 5 laporan ini. Dalam waktu semalam. Sambil masih tetap menangis, aku mengirim pesan singkat ke ibuku. Aku jarang mengeluh, dekat pun tidak, pada ibuku. Well, pada kedua orangtuaku sebenarnya. Tapi malam itu aku rasa aku butuh untuk mencurahkan sedikit saja dari kelelahan yang menghantamku tanpa ampun. Aku katakan bahwa kerja praktik ini begitu sulit, bahwa aku takut aku tidak akan lulus ujian psikolog. Aku malas mengerjakan laporan.

Send.

Beberapa menit kemudian  handphoneku berbunyi. Suara ayah terdengar dari ujung timur Indonesia. Ayah ternyata hanya jadi perantara saja karena setelah itu ia berkata, "Ibu mau ngomong," dan akhirnya suara ibuku terdengar di telinga kananku.

Tugasnya susah?
Ya begitulah. Puskesmasku sepi. Aku harus berusaha keras mencari klien yang bisa aku tangani. Jamku tidak memenuhi target. Aku ditinggal psikolog supervisorku cuti selama 2 minggu. Kasusnya susah. Laporan belum aku kerjakan. Besok laporan harus dikumpulkan.

Susah payah aku menahan isak agar suaraku tidak terdengar seakan aku habis menangis. Entah kenapa sulit sekali rasanya menangis di depan (di depan? ini bahkan hanya lewat telepon) ibuku. Aku tetap ingin terdengar menguasai diri.

Setelah sekitar 10 menit, ibuku memberi wejangan. Aku mengiyakan. Sambungan diputus. Dan perasaanku sudah lebih tenang. Untuk pertama kalinya, malam itu, aku sadar bahwa aku benar-benar membutuhkan sosok ibu. Kenyataan yang selama ini mungkin kunafikan, dan selama ini aku percaya bahwa hubunganku dengan ibu hanya sebatas hubungan finansial dan teknis, namun miskin secara emosional.

Aku telah menurunkan sedikit ego untuk memberi tahu ibu tentang kerapuhanku. That's enough. Aku sudah berproses. Proses yang harusnya aku lakukan sejak sebelum kerja praktik, karena dosenku selalu mewanti-wanti tiap mahasiswa untuk menyelesaikan masalah dan urusan mereka sebelum terjun ke lapangan. Aku tidak menduga seperih ini rasanya ketika kau memiliki unfinished business saat kerja praktik. Rasanya seakan-akan semua tenagamu tersedot habis karena sebenarnya kau hanya memiliki separo dari tenagamu; sisanya masih berpusar pada masalah yang belum kau selesaikan berhari-hari, berbulan-bulan, berminggu-minggu, bertahun-tahun yang lalu.

Mataku sembab, tapi aku tak bisa lari. Aku mulai mengetik dan mengetik, entah bagaimana jadinya. Teman-teman sekelompokku yang besok harus mengumpulkan laporan juga bernasib sama. Aku tidak sendirian. Aku terus mengetik dan mengetik, masa bodoh dengan hasilnya...

Aku rasa hidup ini pun sama. Kita akan terus berjalan dan berjalan, masa bodoh dengan apa yang menanti kita di depan. And knowing that, in that long journey, you are loved and you can love, is the best feeling ever...