Jumat, 28 Desember 2012

Kebenaran yang Abu-abu?

Saat ini, sulit rasanya memutuskan mana yang benar dan mana yang salah, relativitas suatu kebenaran kadang-kadang membuat pusing. Atau mungkin sebenarnya kebenaran itu tidak relatif? Mungkin kebenaran tampak relatif hanya karena manusia selalu menggunakan pembenaran versi mereka sendiri? Bisa jadi. Tapi toh belum tentu pendapat saya ini benar. Ah, zona abu-abu yang semakin melebar.

Kini, hampir semua hal berwarna abu-abu. Abu-abu. Ke mana si putih? Ke mana si hitam? Mereka kerap disalahkan. Si putih disalahkan karena terlalu bersih tanpa noda. Si hitam disalahkan karena jelas-jelas tanpa cahaya. Ekstrim. Maka, berbondong-bondong kita pindah ke zona yang tampaknya paling bijaksana, yakni abu-abu. Namun sampai kapan kita nyaman memakai warna abu-abu ini? Gamangkah kita jika terus menerus menjadi abu-abu? Berada di antara hitam dan putih, kadang-kadang terkesan tidak memberikan kejelasan sama sekali.

Ya, mungkin memang benar (mungkin, lagi-lagi karena bisa saja ini tidak benar) bahwa tidak ada hal yang 100% benar dan 100% salah. Tapi apakah kalimat "tidak ada kebenaran 100% dan kesalahan 100% ini benar? Bisa jadi salah. Jadi, intinya, apa itu kebenaran? Apa kebenaran itu adalah sesuatu yang utopis, bahwa sebenarnya dunia yang payah ini tidak menawarkan sedikit pun kebenaran? Jadi, mana yang benar, sebenarnya? Tidak ada? Bingung. Ya, bingung.

Akhir kata: Apakah semua kebingungan saya ini benar atau salah? Kalau ada yang menjawab relatif (suatu komentar abu-abu yang paling mainstream), apakah jawabannya itu benar atau salah?

Saya yakin pertanyaan ini tidak akan bisa dijawab, karena manusia sendiri sedang krisis dalam membedakan benar dan salah. Kita ternyata belum akil-baligh. Oh, tunggu sebentar. Belum tentu yang saya nyatakan ini benar. Mungkin saya hanya memberikan pembenaran atas perkataan saya...

Yah, mungkin inilah sebabnya manusia membutuhkan petunjuk dalam hidupnya. Seperti yang bisa dilihat, semua kebingungan ini sungguh menyesatkan....

Kamis, 20 Desember 2012

Karena Manusia Itu Begitu Kecil

Manusia memang kecil.
Kalau saya melihat langit di luar sambil melamun, membayangkan atmosfir yang membungkus bumi, planet lain, rasi bintang lain, galaksi lain....BAM! Saya merasa sangaaaaaaaaat kecil. Tapi saya tidak sedih. Kadang-kadang saya tersenyum sendiri.
Karena kita begitu kecil dan ringan, buat apa kita merasa berat?

Minggu, 16 Desember 2012

Menjelang Tahun Ketiga

Saat bersamamu, aku tidak merasakan jantungku berdegup kencang; tidak pula lidahku tiba-tiba kelu dalam berkata. Wajahku tak memerah, darahku pun tak berdesir. Tapi aku merasakan kedamaian dalam diamnya kita memandangi rintik hujan, saat kita bahkan tak berkata-kata, hanya saling tersenyum dan menatap saja. Kita bukan lagi cinta yang panas memabukkan seperti sebotol wiski; melainkan cinta yang hangat seperti secangkir teh yang menemani setiap pagi, manis seperti coklat hangat di musim dingin. Kita bukan lagi pasangan muda yang menggebu; kita telah menua dalam teduh.

Sabtu, 15 Desember 2012

Aku Ingin Mengusap Air Matanya Diam-diam

Aku merasa aku mendengar wanita itu menangis. Entahlah, mungkin hanya dugaanku yang salah; bisa saja udara dingin ini membuatnya sakit dan isak tadi bukanlah isak tangis, hanya suaranya ketika menarik nfas yang disumbat flu. Lagipula, dia menangis ataupun tidak, aku merasa tidak punya hak untuk bertanya padanya. Aku bukanlah orang terdekatnya; sehingga aku tak berhak menanyainya jika ia tak meminta. Kadang-kadang, membiarkan seseorang menangis sendirian, sampai ia puas dan menuntaskan air matanya, lebih baik daripada mengusik kesendiriannya sehingga ia harus memasang topeng yang melindungi egonya. Setelah ia selesai menangis, mungkin aku akan menyampaikan beberapa lelucon sampai ia tersenyum kembali.

Kalaupun ia benar menangis, aku ingin mengusap air matanya diam-diam.

Minggu, 09 Desember 2012

Catatan Menjelang Pengasingan

Mungkin keenggananku berkumpul bersama kalian tidak begitu kalian rasakan. Lagipula, di balik sebutan "satu" yang dulu kita banggakan, aku tahu telah muncul banyak kelompok kecil dalam ke"satu"an kita itu. Jangan bilang aku terlalu sensitif dulu; aku telah menjadi pengamat cukup lama. Aku merasakan dan aku pun menggunakan logikaku sebagai seorang pengamat yang diam di sudut sambil memperhatikan kalian bercengkrama dan tertawa, dan entah kenapa kadang-kadang merasa bukan di sanalah tempatku. Jika ada yang bilang diri mereka terasing, paling tidak mereka masih kelompok terasing; bukan individu. Aku? Entah. Jangan paksa aku untuk memulai percakapan karena itu bukan keahlianku. Euforia tawa kalian kadang membuatku lelah; itulah alasannya kenapa aku paling cepat tertidur ketika kalian masih berusaha menantang malam. Seringkali, aku merasa tidur lebih baik daripada terjebak dalam gegap gempita obrolan yang hampa makna. Tidak bermaksud kasar, lagipula itu hanya pandanganku yang subjektif.

Kini aku akui lelah dan ingin menjauhi kalian dulu. Bukan karena kalian jahat, sungguh kalian adalah orang-orang yang baik. Tapi mungkin memang terlalu berbeda dariku. Terlalu berbeda dalam banyak selera. Selera tak dapat dipaksakan, bukan? Lagipula, aku memang orang yang butuh banyak waktu untuk sendiri, atau setidaknya, menghabsikan waktu hanya dengan beberapa orang terdekat saja. Tenang saja, aku akan tetap bersikap ramah. Maafkan aku jika menolak beberapa ajakan; selain karena kesibukan yang memang kuprioritaskan melebihi ajakan bermain kalian, aku juga ingin beristirahat dari dunia yang dulu sempat kita jalani bersama, dunia yang kuakui, sangat membuatku lelah. Lelah yang dulu tak sempat kurasakan, tapi sekarang, setelah kita tak bertemu sesering dulu, baru kurasakan menggerogotiku. Keengganan untuk bertemu yang datang secara perlahan.

Mungkin masalahnya di kalian, mungkin pula di aku. Tapi entahlah, mungkin karena kita memang terlalu berbeda, baik dari pemikiran sampai selera humor, dan menyesuaikan diri kadang melelahkan.

Untuk sementara, aku akan menjauh. Namun aku tahu ada saatnya ketika aku akan berlari mendekati kalian. Lagipula, aku yakin kalian sudah cukup berbahagia dengan kelompok kecil yang tersisa.
Salam hangatku untuk kalian :)

P.S.: Aku menyayangi kalian. Hanya saja aku agak sulit dalam menunjukkannya secara eksplisit. Seperti yang kalian tahu, aku bukan orang yang hangat, haha

Minggu, 02 Desember 2012

(Not) Just A Little Conversation #2

Siang itu, di sebuah resto di Taman Siswa...

S: "Aku boleh bilang sesuatu ga?"
N: "Hah? Apa?" (sibuk memotong steak yang agak keras)
S: "Aku boleh bilang sesuatu ga?"
N: "Iya...apa?"
S: "Aku sayaaaaaaaang banget sama kamu :)"


:")

Rabu, 28 November 2012

Untuk Ayah

Ayah mengenalkanku pada bahasa.
Di sela jeda tanpa koma, hanya titik dalam ruang hampa kata.
Duniamu, ayah.

Kamus bahasa Inggris bergambar pemberianmu kusantap ketika aku masih berseragam putih merah.
Kumpulan sajak Rendra yang kau selipkan di rak buku jadi bahan bacaanku ketika remaja.
Umar Kayam, Ahmad Tohari, Jostein Gaarder yang ada di rak bukumu ikut menjadi bahan bacaanku ketika beranjak dewasa.

Kau lah awal mula aku jatuh cinta pada bahasa.
Pada kata-kata.
Pada sajak yang tak bisa kuucapkan;
membara dalam tulisanku yang menyala dalam jurnal harian.

Ayah jarang berkata-kata, bukan?
Kecanggungan selalu ada tiap memulai percakapan.
Mungkin terlalu susah bagimu untuk mengajariku secara lisan.
Kau pun memberi kompensasi lewat buku-buku yang kau berikan.

Tapi kini aku menggali satu makna:
Ayah telah mengenalkanku pada bahasa, tanpa berkata-kata.

Dan untuk itu:
Terima  kasih, ayah.



Yogyakarta, 28 November 2012


Sabtu, 24 November 2012

Illusion of Ignition

Malam ini hujan.

Gadis itu mendengarkan rinai hujan mengiringi nafasnya.

Ia nyalakan perapian. Hangat, namun hanya sekejap. Kau tahu kenapa? Ia takut terbakar. Api yang cemerlang itu telah menjadi ketakutan sekaligus hal yang ia dambakan, kadang-kadang, apalagi jika dinginnya hujan masuk lewat jendela hatinya yang terbuka, membuat isi hatinya membeku seperti sekarang. Ngilu di dalam.

Kadang pula, ia nyalakan api itu cukup lama, cahaya dan panasnya membuatnya lupa bahwa hujan masih menari di luar. Atap logikanya bocor, dan air hujan menetes masuk ke rumahnya. Ketika ia lengah, ia bisa terpeleset, jatuh terjerembab di atas lantai kenangannya yang licin. Entah licin karena rembesan air hujan, atau air mata kesakitannya sendiri.


Gadis itu menatap perapian yang tak menyala. Menahan keinginan untuk membuat api dan ikut membakar dirinya.


Hujan masih menyelesaikan tangisannya.


Rabu, 21 November 2012

Coraline Contemplation

"Ayolah. Siapa namamu?" tanya Coraline pada si kucing. "Namaku Coraline. Oke?"
Si kucing menguap perlahan-lahan dengan hati-hati, memperlihatkan mulut dan lidahnya yang sangat merah jambu. "Kucing tidak punya nama," katanya.
"Tidak punya?" kata Coraline.
"Tidak," sahut si kucing. "Kalian, manusia, punya nama. Sebab kalian tidak tahu siapa diri kalian. Kami tahu siapa kami, jadi kami tidak butuh nama."

 .....


"Udara penuh dengan tawon-tawon kuning. Tadi kami pasti menginjak sarang tawon yang ada di ranting yang sudah busuk, waktu kami berjalan. Sementara aku lari mendaki bukit, ayahku tetap di tempatnya, disengati tawon, supaya aku sempat melarikan diri. Kacamatanya terjatuh waktu dia lari."
"Nah," kata Coraline, "menjelang sore itu, ayahku kembali ke lapangan kosong tadi, untuk mengambil kacamatanya. Katanya kalau kacamata itu dibiarkannya di situ sehari saja, dia tidak bakal ingat di mana kacamatanya itu jatuh."
"Tidak lama kemudian, dia pulang, sudah menegnakan kacamatanya. Dia bilang dia tidak takut waktu berdiri di sana, disengat tawon-tawon, sambil melihat aku lari. Sebab dia tahu dia mesti memberi cukup waktu padaku untuk kabur, kalau tidak tawon-tawon itu pasti menyerang kami berdua."
"Dam kata ayahku, dia berbuat begitu bukan karena dia berani, berdiri saja di situ, membiarkan tawon-tawon menyengatnya," kata Coraline pada si kucing. "Katanya itu tidak bisa disebut berani, sebab dia tidak merasa takut: hanya itu yang bisa dia lakukan. Tapi tindakannya kembali ke tempat itu untuk mengambil kacamatnya, padahal dia tahu tawon-tawon itu ada di sana, dan dia merasa ketakutan...nah, itu baru berani."
"Kenapa bisa begitu?" tanya si kucing yang kedengarannya tidak terlalu berminat.
"Sebab," kata Coraline, "kalau kau merasa takut, tapi tetap nekat maju terus, itu namanya berani." 

....


Si kucing menjatuhkan si tikus di antara kedua kaki depannya. Sambil mendesah, dia berkata dengan nada teramat halus, "Ada yang menganggap kebiasaan kucing mempermainkan mangsanya sebagai kebiasaan yang baik hati- mangsa kecil yang lucu itu jadi punya kesempatan melarikan diri, sekali-sekali. Coba, seberapa sering kau memberi kesempatan kabur pada makan malammu?"

....


Coraline. Sebuah novel karangan Neil Gaiman, yang sebenarnya digolongkan novel untuk anak-anak. Tetapi novel ini membuat saya terkesima; salah satu novel yang paling saya sukai. Novel ini membuat saya banyak merenungkan hal-hal yang tampaknya sepele, tetapi dalam maknanya.

Yang paling membuat saya tergelitik adalah dialog Coraline dengan si kucing tentang manusia. Saya jadi berpikir: Human. Why do we have names? Simply because we cannot recognize who we are. We're lost without names. Menarik, dan menyentil dengan cara yang jenaka.

Kemudian, arti keberanian. Saya belajar bahwa keberanian bukannya keadaan tanpa rasa takut. Berani bukan berarti tidak merasa takut. Bukan manusia namanya jika tidak memiliki rasa takut. Berani adalah melawan ketakutanmu, menolaknya menyeretmu mundur dari arena pertempuran, dan dengan gagah berani mendorong dirimu ke depan untuk menghadapi tantangan. Itulah keberanian.
Sebagai contoh, orang yang tidak takut dengan laba-laba bukan belum tentu seorang pemberani. Bisa jadi, baginya, laba-laba hanyalah sekedar serangga. Di lain sisi, seseorang yang fobia laba-laba, namun berusaha menyembuhkan ketakutannya dengan menghadapi laba-laba...saya kira kita semua tahu mana yang memerlukan kekuatan lebih besar antara dua orang tersebut. Itu hanya contoh kecil yang konkret.

Bagian terakhir, yang juga membuat saya terkekeh sendirian ketika membaca novel ini, adalah bagian tentang "makan malam". Seberapa sering kita membiarkan makanan kita kabur? Manusia jauh lebih ganas daripada hewan. Kita merupakan "pembunuh" yang paling efektif dan efisien.


Oh iya, bagi yang suka dengan seni rupa, saya cukup yakin akan menyukai ilustrasi Dave McKean dalam novel ini. Gothic, dan agak "seram"; tidak seperti ilustrasi buku anak-anak pada umumnya.  Dark, but it's beautiful. I love it :) Sangat cocok dengan ceritanya yang juga dark.

Anyway, saya sangat menyukai buku ini dan merekomendasikan kepada siapapun yang ingin menemukan hiburan yang bermakna di waktu senggangnya. Tidak tebal, hanya 228 halaman.
Selamat membaca! Ingat, Co-ra-line, bukan Ca-ro-line ;)


Minggu, 18 November 2012

Tajamnya Dukamu

Beling-beling berhamburan pecah ke lantai dari kristal matamu dan kupungut mereka satu per satu.
Sayang seribu kali sayang.
Tak ada yang mampu merekat lagi serpihan-serpihan itu.
Jadi kusimpan beling-beling tajam itu dalam sapu tanganku:
Aku memilih mengabadikanmu dalam genggamanku yang terluka kena tajamnya dukamu.

Yogyakarta, 18 Januari 2011



---


Aku berdoa semoga tanganku masih kuat menggenggamnya :)
 

Jumat, 16 November 2012

About Death

Baru saja membuka Twitter dan melihat banyak tweet duka yang membanjiri linimasa. Seperti air mata yang mengaliri pipi mereka yang kehilangan. Aku termangu tanpa tahu harus berkata apa, bahkan untuk menuliskan satu tweet pun. Aku terlalu kaget untuk menentukan apa yang harus aku lakukan.

Walaupun aku belum mengenalnya dengan baik, hanya sekedar obrolan singkat, beberapa kali berbagi tawa dan bertemu di beberapa tempat di luar kampus, aku masih saja terperangah tentang betapa cepatnya maut menghampiri, memutus jarak di antara kami. Aku masih saja terperangah tentang kematian, suatu hal yang menurutku lumrah namun tetap menjadi sebuah misteri besar, tanda tanya bagai lorong gelap yang kamu tak tahu menuju ke mana. Lumrah karena semua melumrahkan itu. Karena tidak ada yang tahu apa yang ada di seberang jurang kematian.

Ini bukan pertama kalinya aku mendapati berita tentang seseorang yang berumur sama denganku, belajar di tempat yang sama denganku, meninggalkanku lebih dulu. Namun seperti yang kubilang tadi, kematian tetap menjadi sebuah hal yang mengejutkan, seberapapun lumrahnya itu.Seperti keajaiban yang mengerikan. Keindahan yang menakutkan. Keagungan yang penuh misteri. Karena melalui kematianlah kita akan menuju sebuah kehidupan yang kekal, yang abadi. Kematian adalah satu-satunya jalan menuju kehidupan yang sebenarnya.

Untukmu kawan, kuucapkan selamat tinggal, dan juga selamat karena diberi giliran lebih dulu untuk melihat apa yang tak bisa kami lihat di balik tabir kefanaan. Kami yang lain sebenarnya hanya menunggu antrian; di punggung kami telah menempel nomor antrian yang kami tak tahu kapan akan dipanggil.

Aku tak bisa menutup tulisan tentang kematian dengan akhir yang puitis. Pada akhirnya, aku, kami hanya bisa berkata:

"Semoga kau tenang di sana."

Kami pun diam-diam berdoa, di balik kesibukan yang menutupi rasa takut kami, bahwa ketika tiba nomor kami dipanggil, kami telah meninggalkan sesuatu yang bukan sekedar nama di batu nisan untuk orang-orang di sekeliling kami. Kami berharap kematian kami nanti tidak ikut membunuh harapan orang-orang yang kami cintai, melainkan menumbuhkan kembali semangat mereka untuk menjalani hidup yang fana ini sebaik-baiknya. Amin.


“The fear of death follows from the fear of life. A man who lives fully is prepared to die at any time.”
- Mark Twain

Senin, 12 November 2012

The Story of Blanket and Jacket

I

Dia pernah menyelinap di hatiku ketika kau sedang pergi. Dia memberiku selimut untuk membungkus lukaku dan melelapkan diriku sejenak. Dan aku yang sedang lelah menunggumu pun tertidur beberapa saat, bermimpi tentang dia yang sejenak menghapusmu dari pikiranku.

II

Dia menyelinap pergi ketika pagi datang membawamu kembali. Aku tak bisa melihat jejaknya, kupikir pemberi selimut itu pun hanya tokoh dalam mimpi. Kau tersenyum padaku dan kehangatan itu nyata benderang di depan mataku; ya, pasti sang pemberi selimut itu hanya imajinasiku.

III

Aku berdiri di depan cermin, melihat diriku terbungkus jaket yang kau pakaikan untukku, dengan tanganku menggenggam selimut yang ia pinjamkan padaku. Perlahan, aku melipat selimut itu dan berniat tertidur kembali, menunggu malam tiba dan sang pemberi selimut itu datang.

Tidak, aku tak ingin dia menyelimutiku. Aku hanya ingin mengembalikan selimut yang ia pinjamkan. Dan aku pun tertidur memakai jaketmu, sementara sang pemberi selimut itu mengambil selimutnya dari genggamanku.

Aku sadar bahwa kehangatan yang aku inginkan sudah kau berikan padaku sejak dulu. Hanya karena suhu musim dingin turun beberapa derajat, bukan berarti aku memerlukan tambahan selimut, bukan?
Lagipula, aku sudah pernah berkata, jaketmu menghangatkanku dari dalam.
Aku tidak perlu selimut yang hanya menghangatkanku dari luar.

Kamis, 08 November 2012

Holding On

Beberapa hari ini, kau berbeda.
Senyum dan tawamu lebih lepas.
Kau pun beberapa kali mengirimiku sms lebih dulu.
Sikapmu lebih hangat.
Dan aku lebih bahagia.

Mungkinkah semua terasa berubah karena pandanganku terhadap semua permasalahanku berubah?
Akhir-akhir ini aku mencoba untuk lebih rileks.
Aku mencoba menerima keadaanku, dan keadaanmu.
Mungkin, selama ini, aku belum seikhlas yang aku bayangkan.

Atau mungkinkah perubahan itu memang nyata?
Bahwa kau mulai menjadi apa yang kau harapkan?
Kembali menjadi dirimu yang dulu pernah kita kenal.

Aku tak tahu banyak.

Aku hanya tahu bahwa perubahan itu tak bisa berjalan sendirian.

Kita harus berjalan bersisian.

Tidakkah kau lihat?
Di balik semua kerumitan ini, kita telah membuat satu sama lain lebih dewasa.

Tanpa kita sadari, kita telah menyembuhkan satu sama lain.

Mungkin karena itulah kita bertahan :)

Kamis, 01 November 2012

Diskusi Malam Hari

Saat itu sekitar jam enam menjelang malam, sepulang kerja, saya dan Mbak Sari (senior dan atasan saya yang sangat humble) berjalan kaki menuju lembah. Kami pulang berdua karena kebetulan kos Mbak Sari searah dengan arah saya pulang. Saya lupa awalnya bagaimana, tapi kami sampai pada percakapan mengenai skripsi. Saya pun bertanya kepada Mbak Sari.

N: "Skripsi Mbak Sari dulu tentang apa?"
S: "Tentang kebahagiaan pada remaja."

Mbak Sari pun menjelaskan bahwa skripsinya menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif, serta bersifat eksploratif. Penelitian eksploratif maksudnya penelitian yang semata-mata bertujuan mengetahui sesuatu di balik sesuatu; menjelajah suatu tema. Semata-mata mencoba menemukan. Tergolong rumit.

Saya semakin penasaran.

N: "Trus hasilnya gimana Mbak?"
S: "Nah, hasilnya itu...."

Selagi kami berjalan melewati pos satpam, Mbak Sari mulai memaparkan hasil skripsinya.

Ternyata, komponen kebahagiaan pada remaja banyak melibatkan hubungan dengan orang lain. Leisure time, misalnya. Remaja bahagia bila leisure time-nya melibatkan orang lain, seperti bermain dan jalan-jalan dengan temannya. Pandangan orang lain terhadap dirinya, bahkan penggunaan uang yang melibatkan orang lain, misalnya memberikan kado atau hadiah kepada teman, dll. Pokoknya banyak melibatkan orang lain, melibatkan hubungan sosial. Khas budaya Timur yang kolektif.

Kemudian Mbak Sari melanjutkan:

S: "....tapi bukankah itu seperti penyakit? Kebahagiaanmu tergantung pada orang lain?"
N: "Iya sih...aku pernah denger sebuah teori -walaupun ini yang mengatakan memang ilmuwan Barat, jadi aku ga tau ini berlaku di Indonesia atau ga- bahwa kebahagiaan itu harusnya kamu temukan di dalam diri kita sendiri, tidak tergantung orang lain. Jadi "kalo orang lain menderita, kamu tidak perlu ikut menderita", begitu kan? Kamu bisa tetap bahagia."
S: "Iya..."

Kami menyeberang jalan sambil melanjutkan obrolan.

S: "Nah, kalau di Barat, kebahagiaan itu banyak melibatkan achievement. Tapi menurutku, itu juga semacam penyakit juga kan, Dek? Ketika berhasil baru bahagia."
N: "Iya, semacam...you have to be something to be happy, you have to achieve something to be loved. Haruskah ada pengakuan untuk bahagia?"

Kami berdua tertawa ketika melewati pos satpam lembah. Seraya saya dan Mbak Sari berjalan ke arah motor, saya nyeletuk sambil tertawa: "Jadi, apa sebenarnya kebahagiaan itu?". Mbak Sari terkekeh.

Diskusi acak kami belum selesai. Ketika di lampu merah dan motor saya berhenti, Mbak Sari nyeletuk.

S: "Freud bilang agama itu menimbulkan kecemasan lho."
N: "Iya sih. Contohnya saja ketika berdoa. Di agamaku, harus berbaik sangka terhadap Tuhan bahwa doa akan terkabul. Tapi di lain sisi, ada kecemasan yang timbil, karena tidak boleh dengan sombong yakin bahwa doa akan terkabul. Gimana ya itu?"
S: "Hmm...kalau ga sholat, kamu cemas ga?"
N: "Hehe, iya lah, takut dosa."
S: "Ya, mungkin Freud jadi atheis karena menganggap agama banyak membuat manusia menjadi cemas ya, haha..."

Lampu hijau menyala, kami melanjutkan perjalanan.

N: "Tapi Mbak, walaupun mungkin Freud menganggap orang beragama tidak sehat karena cemas, aku merasa lebih baik menjadi orang beragama daripada orang yang tidak cemas. Kadang-kadang kecemasan itu kan berguna juga dalam taraf tertentu."
S: "Iya. Oh, iya, atheis itu sebenarnya percaya Tuhan lho, Dek."
N: "Haha, betul Mbak. Karena dengan menyangkal keberadaan Tuhan, berarti dia berusaha menegasikan keberadaan Tuhan yang mungkin pernah dia rasakan, kan? Toh dia belajar tentang Tuhan juga."
S: "Iya. Nah, malah orang-orang di pelosok yang belum pernah mendengar agama, yang tidak pernah mendengar apa sebenarnya Tuhan, mungkin mereka lah atheis."
N: "Ya, atheis yang murni karena ketidaktahuannya."

Mbak Sari meminta saya berbelok ke kiri dan beberapa saat kemudian, kami sampai di kos Mbak Sari, namun Mbak Sari minta diturunkan di rumah makan beberapa meter dari situ.

S: "Makasi ya Dek, udah dianterin dan berdiskusi..."
N: "Sama-sama Mbak..."

Di sepanjang perjalanan pulang, saya berterima kasih kepada Tuhan bahwa saya memiliki teman diskusi sehebat Mbak Sari :)

Obrolan seperti ini membuat hidup terasa sarat dengan makna.

Terima kasih :)

:)

Awal-awal saya bertugas, salah seorang psikolog berkata:

"Selamat menikmati hari-hari penuh makna ya, Nadya... :)"

Saya tidak perlu menunggu lama untuk itu.

Di sinilah tempat saya bisa menimba ilmu sebanyak-banyaknya sebelum melanjutkan ke Magister Profesi (amin). Saya benar-benar merasa beruntung. Ya Allah, Engkau tahu betul apa yang terbaik untukku, dengan mengizinkanku untuk diterima di lembaga ini.

Di sinilah tempat saya bisa belajar menyembuhkan diri saya sendiri. Di sinilah saya belajar dengan sebenar-benarnya, apa itu kerja sama. Di sinilah saya merasa menemukan keluarga, yang terasa seperti keluarga.

Dan di sinilah saya pertama kali di-framing oleh seorang psikolog. Dan hal ini membuat saya sadar, saya masih memiliki trauma yang mendalam, yang selama ini mungkin saya sangkal. Saya ingin sembuh. Saya ingin "beres" dengan diri saya sendiri, sebelum saya memberikan jasa untuk orang lain secara profesional.

Above all, walaupun banyak pekerjaan, lama-lama saya merasa hal ini sungguh menyenangkan. Sebuah tantangan yang sesuai dengan passion saya.

Yes, I'm happy :)

Senin, 29 Oktober 2012

Puisi yang (Lagi-lagi) Terbuat dari Tahu

Kau pikir kau tahu apa yang aku tahu dan apa yang aku tak tahu dan aku pun tak tahu apakah aku harus membiarkanmu tahu bahwa kau SOK TAHU.
Kau pikir kau tahu apa yang ia tahu dan apa yang ia tak tahu dan aku tahu tak ada gunanya membiarkanmu tahu bahwa kau SOK TAHU.
Yang aku tahu adalah aku harus tetap terbiasa dengan ke-SOK TAHU-an mu dan biarkan waktu menampar wajahmu yang SOK TAHU itu.

Senin, 22 Oktober 2012

Unfinished Business

Salah satu hal yang saya pelajari dari Psikologi dan ingin saya aplikasikan terhadap diri saya sendiri adalah: jangan terlalu banyak menimbun unfinished business. Kalo pake teori Mbah Freud, jangan terlalu banyak me-repress. 

Apa itu unfinished business? Apa itu repressing?

Unfinished business itu literally ya...urusan yang belum selesai. Jelas.
Well, contohnya banyak. Kekecewaan yang terpendam. Perasaan yang bergejolak namun disembunyikan. Kata-kata yang belum sempat terucap dan membuat tidurmu tak lelap. Amarah yang tertahan dan tak menemukan pelampiasan. Tangisan yang tak kunjung menemukan muaranya; tak kunjung jadi air mata, malah menguap, memenuhi udara dan atmosfir kehidupan dengan aroma duka yang pahit. Banyak sekali. Kita alami semua hal yang "menggantung" dalam hidup kita, detik demi detik, hari demi hari, tahun demi tahun, dari kita anak-anak sampai kita dewasa dan mungkin sudah berkeluarga dan merasa "selesai".

Repressing adalah mekanisme "perlindungan" yang kita lakukan ketika mengalami peristiwa atau merasakan hal yang tidak mengenakkan; yakni "mengubur" dalam-dalam memori kita terkait peristiwa tersebut ke alam bawah sadar. Menekannya sehingga tak muncul ke permukaan.

Unfinished business ini jelas masuk ke alam bawah sadar, kita repress, dan kita bahkan tak sadar ketika kita menutup pintu besar bergembok tebal antara alam bawah sadar dan alam sadar kita, unfinished business itu masih menggedor-gedor, mendorong-dorong pintu itu agar terbuka.

Bahayanya adalah: kita tak pernah tahu kapan semua kekuatan dahsyat dari unfinished business yang kita penjara dalam diri kita sendiri itu kemudian mendobrak keluar, melukai jiwa kita yang tadinya sudah diperban sedemikian rupa sehingga terkesan utuh. Mengalirkan kembali darah dari luka yang kita pikir sudah kering.

Kekecewaan. Amarah. Tangisan. Semuanya ternyata masih menunggu saat di mana kita lengah dan rapuh. Kemudian, mereka meledakkan kita dari dalam.

Kita tak pernah tahu kapan mereka akan meledak.

Selagi masih bisa kau selesaikan, selesaikan. Lampiaskan selagi kau masih kuat. Ucapkan kata-kata itu selagi kau masih bisa berkata. Tumpahkan air matamu selagi masih belum membeku. Marahlah, ketika kau memang sudah merasa keadaan sudah keterlaluan. Marahlah ketika memang diperlukan. Bilanglah kalau kau kecewa, biarkan ia tahu bahwa kau kecewa.

Atau mungkin kau bisa pilih jalan lain.

Let it go. Bukan ditekan, tapi diikhlaskan. Kau sakit, ya, hidup memang menimbulkan banyak luka, tapi biarlah. Relakan. Jabat tangannya, dan biarkan ia pergi. Inilah yang sulit. Letting go is one of the hardest arts to learn; one of the hardest parts of living.

Pilihlah antara melampiaskan, atau mengikhlaskan.


Finish your business. Do not wait until your business "finish" you.

Puisi yang Terbuat dari Tahu

Aku tahu bahwa kau tahu bahwa kita tahu apa yang mereka tidak tahu. Dan mereka mungkin tak akan pernah tahu apa yang kita tahu. Tapi aku tahu kau tak tahu sesuatu yang aku tahu. Kau pun mungkin tahu sesuatu yang aku tak tahu. Mungkin ada "tahu" yang kita sembunyikan agar tak ketahuan. Dan mungkin kita sama-sama tak tahu sesuatu yang mereka tahu. Tapi yang penting adalah kita tahu sesuatu yang mereka tak tahu. Dan aku tak peduli apakah mereka tahu sesuatu yang kita tak tahu. Pada akhirnya kita dan mereka akan tahu bahwa setiap orang punya hak untuk tahu dan hak untuk tak ketahuan.

Rabu, 17 Oktober 2012

Pagi Ini

Pagi ini :

Pergi ke dapur, memasak nasi, mencincang seledri, daun bawang, bakso, dan ayam.
Memasak nasi goreng untukmu.

Pagi ini :

Menyambangi kos-mu, melihat wajahmu yang baru saja bangun tidur, rambutmu yang tebal acak-acakan, matamu setengah terpejam.
Mengantarkan nasi goreng untukmu.

Pagi ini begitu istimewa.

Aku ingin pagi-pagiku yang berikutnya istimewa dengan membuatkanmu sarapan....

Minggu, 14 Oktober 2012

Messages and Calls

Messages and calls.

Messages and calls.

Still, no answer.

Messages and calls.

Messages and calss.

Still, no answer.

One day it gets better; the next day it turns back to the same pattern.

Messages and calls, mesaages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls...

No text-back, no call-back.

Messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and...

"The number you are calling might have forgotten you. Please try untill you die, sooner or later."

Rabu, 10 Oktober 2012

Bimbang

Terngiang kata teman-teman saya:

"Aku takut kamu kenapa-napa, Nad. Aku takut kamu jadi kena dampak negatif."

"Kamu juga berhak bahagia."

"Jangan merasa kasihan."

"Kamu masih suka atau masih sayang?"

Dan saya bimbang.

Sudah beberapa hari ini, menangis dan menangis tiap malam sehabis kerja ataupun asistensi.

Membuat basah bantal dan seprai dengan air mata dan ingus yang tak kalah derasnya.

Memperparah pemanasan global dengan menghabiskan tisu berlembar-lembar.

Memperlambat pengerjaan skripsi karena saya tidak kuat untuk membuka laptop dan menatap hamparan jurnal-jurnal asing yang semuanya berbicara tentang masalah kesehatan mental dan beban caregiver.

Ah, saya perlu menarik napas dalam-dalam:

Jangan-jangan saya sudah tenggelam.

Kata-kata itu muncul lagi:

"Kamu hidup juga untuk kebahagiaanmu sendiri kan? Bukan hanya orang lain kan?"

Dan terakhir:

"Hatimu itu memilih, bukan dipilih."

Dan sekarang saya tidak tahu saya berada dalam posisi memilih atau dipilih.

Semua begitu kacau.

Dan saya bimbang.

Minggu, 23 September 2012

Friend-ship

Pas lagi main The Sims di PS 2 jaman SMA dulu (jadul banget yak) tidak sengaja membaca kata-kata ini di salah satu notif kebutuhan Sim. Lebih tepatnya di kebutuhan sosial.

"What ship never sinks? Friendship of course!"


Ya, persahabatan bisa diibaratkan sebuah kapal yang tak pernah tenggelam.


Persahabatan yang sebenar-benarnya cukup kuat untuk bertahan di saat ombak besar mengombang-ambingkannya. Namun tidak pula berlayar dengan keangkuhan seperti Titanic. Ia adalah kapal yang tak harus besar dan mewah, namun mampu melindungi, memberikan rasa aman, dan membawa orang-orang di dalamnya sampai ke tujuan masing-masing dengan selamat.
Persahabatan yang sebenar-benarnya tidak akan terbebani oleh kesalahan-kesalahan masa lampau. Tidak akan pernah tenggelam karena kelebihan beban. Selalu 0-0, bahkan sebelum Lebaran.


Karena sebuah persahabatan hendaknya dinahkodai oleh rasa sayang, keinginan untuk memaafkan, ketulusan, kesabaran, dan penerimaan.

Selamat berlayar dengan friend-ship Anda masing-masing :)


Kamis, 20 September 2012

Alhamdulillah :)

One big step ahead.  One step closer to my life purpose. One wish now comes true.

Thanks, Allah.

I couldn't say much :)

When I read the letter and found that word, I could not speak anything instead of Your name.

It's my plan for my future. One of the plans that I set to reach my biggest dream. And You've made it real. What else could I say?

Alhamdulillah :)

Senin, 03 September 2012

Status

Kadang-kadang ketika melihat orang memasang status "in a relationship" di FB-nya, aku tersenyum sendiri. Betapa aku ingin pula seperti mereka. Tapi sampai sejauh ini, kau tampaknya masih tidak menyukai ide status "in a relationship" dipajang di FB (tapi anehnya kau menuruti permintaanku ketika aku memintamu mengganti status menjadi "single" setelah kita putus). Bahkan permintaanku untuk sekedar foto bersama pun seringkali kau tolak. "Memangnya penting" katamu ketika kutanyakan hal itu beberapa hari yang lalu.

Tapi...mungkin memang harus begitu.

Lagipula aku pun bingung dengan tanggal jadian kita. Kita sudah dua kali jadian.

Haha, yasudahlah :)

Rabu, 29 Agustus 2012

Don't Worry :)

Secuil percakapan ketika sedang makan bakso kemarin siang:

A: "Gimana, dapet pacar baru gak kamu setelah KKN 2 bulan?" (pake tampang & intonasi sok galak)
B: "Hahaha, gak lah. Temen-temen udah pada tahu kok aku udah ada yang punya."

Pertanyaan itu membuatku tertawa. Bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu hanya dalam 2 bulan ketika aku sedang menjalin hubungan denganmu? Sementara dulu saja aku butuh waktu lebih dari 2 bulan untuk meyakinkan diriku bahwa aku baik-baik saja setelah kita berpisah.

So, don't worry, dear. You're still the one and only.

Dan aku harap besok kamu akan menjawab persis sama denganku ketika aku tanyakan hal itu :p

Jumat, 17 Agustus 2012

KKN: Antara Mitos dan Fakta

Setelah sebulan KKN, ada beberapa hal yang harus saya benahi kembali dalam otak saya, terkait skema awal saya tentang KKN. Ternyata, KKN itu...

#1
Mitos:
KKN biasanya di daerah terpencil dan sangat terbelakang. 
Fakta: 
Lokasi KKN saya tidak jauh dari kota. Memang sih, di atas bukit dan jalanannya turun-naik curam gitu, berbatu, banyak lubang, becek, dan licin kalo hujan. Tapi keluar dari gerbang kelurahan, belok dikit, turun bukit, sreeet...15 menit kemudian sampe deh ke kota besar. Saya sudah sempet beberapa kali ke swalayan terdekat :p Sempet juga mampir ke ATM dan ngambil duit buat jajan2 di swalayan itu...hahaha

#2
Mitos:
Biasanya kalo KKN itu satu tim ga tinggal di berdekatan, pada disebar ke rumah penduduk-penduduk.
Fakta:
Tim saya tinggal di sebuah pondokan milik Pak Dusun. Beliau punya 2 rumah. Nah, rumahnya yang baru dibangun ini dijadiin pondokan buat tim KKN saya, beliau tinggal di rumahnya yang lain. Rumah ini ada 2 bagian (bentuknya kayak rumah couple gitu). Satu bagian dipake sama anggota KKN yang cowok (ada 16 orang). Yang cewek (ada 7 orang termasuk saya) tinggal di sebelahnya, yang ditinggali sama anak Pak Dusun sekeluarga. Ehm, lebih tepatnya, yang cewek-cewek ini tinggal di kamar, bukan rumah. Berhubung yang cewek-cewek ini harus berbagi dengan keluarga anaknya Pak Dusun, kami tinggal di satu kamar dan keluarga Pak Dusun di kamar yang lain.
Jadi, bisa dibilang, tim kami hanya terpisah satu tembok aja, haha. Dan uniknya, ga ada plafon di rumah yang kami tinggali. Di langit-langit langsung keliatan seng dan kayu-kayu. Akibatnya, suara dari satu ruangan ke ruangan lain kedengeran jelas, udah kayak siaran langsung. Kalo ada yang lagi gosipin temennya, langsung kedengaran ke kamar sebelah. Kalo ada yang lagi mandi sambil nyanyi-nyanyi, kedengeran juga. Kalo ada yang boker, hmm...kadang-kadang kedengeran. Komunikasi kami berjalan dengan sangat mudah.

#3
Mitos:
Biasanya mahasiswa KKN itu ga masak sendiri. Dimasakin sama pemilik pondokan. Atau beli langsung.
Fakta:
Salah besar! Berhubung KKN saya di Kalimantan, yang notabene harganya mahal-mahal, kalau mau beli makanan yang langsung jadi itu minimal per orang menghabiskan Rp30.000 dalam sehari, untuk 3 kali makan. Belum sama minum. Memang sih, saya KKN selama bulan puasa, tapi jelas butuh makan buat sahur dan buka juga, itu pasti. Ada temen saya yang survei kalo-kalo ada warga yang bisa masakin, ternyata agak berat juga. Dan jatuhnya juga mahal. Akhirnya, untuk menghemat, hampir setiap hari kami masak sendiri. Baik buat sahur dan buat buka. Untung ada teman-teman se-tim saya yang asli Kalimantan. Mereka udah kayak toko kelontong dan supermarket logistik. Di dapur kami sudah ada modal minyak, beras, indomie, dll :') Hitung-hitung, belanja dan masak sendiri jatuhnya memang lebih hemat lho, apalagi setelah adanya sumbangan logistik dari para genk Kalimantan di tim saya. Selain itu, skill memasak para anggota tim pun mulai terasah. Udah muncul bibit-bibit jagoan bikin sambel, es dan koktail, bubur manado, sup jagung, bakwan jagung, tumis kangkung, sanggar (pisang garing a.k.a pisang goreng), fuyunghai, dan banyak jagoan lagi.   
Pernah juga sih, beberapa kali kami ikut buka bersama di sekolah dan di rumah tetangga. Ada juga tetangga yang -bahkan hampir menjelang malam buta- nganterin makanan dan cemilan buat kami :') Bener-bener rezeki yang tak terduga di malam hari.
Pas buka bersama di rumah tetangga juga asyik. Kami dijamu dengan berbagai macam makanan (saya sampai bingung milih lauk dan sayurnya, semua pengen disikat). Nah, ada satu momen yang ga akan saya lupakan waktu nyiapin buber di rumah tetangga ini: NGULITIN BEBEK! Agak ga tega juga sih awalnya, nyabutin bulu binatang sampai botak. Padahal beberapa minggu sebelum buber saya masih melihat itu bebek berenang-renang di empang :'(

#4
Mitos:
KKN itu pasti sibuk.
Fakta:
Ah...yang bener? Banyak kesempatan di mana saya mengalami 'mager day' alias malas gerak seharian. Seharian cuma guling-guling di kasur, ke kiri, ke kanan, roll depan, roll belakang. Trus siangnya bantuin masak atau belanja ke pasar tradisional, turun ke kota dengan aroma tubuh khas orang belum mandi (di lokasi KKN saya air susah, cuma ngalir 3 kali seminggu, dan warnanya kayak cofeemix, jadi mandi dihemat-hemat lah yaa). Trus sorenya TPA. Udah, gitu aja.
Tapi ada juga sih hari-hari di mana saya bener-bener merasa berguna. Kayak pas nyiapin acara Bioskop Edukasi di sekolah, koordinasi dengan Pemerintah setempat, ikut bantuin temen ngajarin ibu-ibu bikin kerajinan dari kain flanel, ikut arisan pemuda sampai tengah malem (walaupun ga ngapa-ngapain, ngantuk di pojokan), nyiapin penyuluhan buat warga dan pernah jadi pembicara juga pas penyuluhan, ngajar TPA plus ta'jilan bareng anak-anak TPA, ngajarin anak2 SD berhitung dan membaca...(well, percaya atau ga, di lokasi KKN saya, anak-anak banyak yang belum bisa baca walaupun udah SD...ngitung pun masih pake jari...dan masih sering salah...tambah kurang pun belum bisa...perkalian apalagi...ngajarinnya harus ekstra sabaaar T~T)
Ya...paling nggak, masih ada kesempatan di mana saya merasa ga jadi sampah KKN.

#5
Mitos:
Salah satu hal yang berkesan di hati mahasiswa KKN adalah: warganya ramah-ramaaaah <3
Fakta:
Hmm...hal pertama yang tim saya rasakan di sini adalah: kok dicuekin dan ga dianggep ya?
Jujur aja, pas kami dateng ke lokasi, ga ada yang bantuin kami packing barang ke pondokan. Penduduk yang melihat cuma sekedar melihat di depan rumah mereka, ga ada yang ikut bergerak. Paling cuma Pak Dusun sekeluarga.
Suatu saat, saya dan teman-teman saya berjalan-jalan keliling dusun, dan menebar senyuman serta sapaan ke warga. Dan warga yang kami sapa hanya menatap kami dengan ekspresi datar .__.
Pas penghijauan, teman saya yang ikut melakukan kegiatan dari awal sampai akhir, cerita kalau ga banyak warga yang membantu mereka menyangkul dan menanam. Hanya menonton saja. Yang bantu malah anak-anak kecil :)
Tapi pada akhirnya, selemah dan serapuh apapun itu, tetap ada ikatan yang kami rasakan terhadap warga-warga yang telah banyak membantu kami di lokasi, pada anak-anak yang hampir tiap hari memenuhi pondokan kami (yang kadang-kadang membuat kami kelimpungan juga karena sudah seperti day-care untuk balita dan anak-anak). Tetap ada kenangan yang indah bersama warga, secuek apapun kesan pertama yang kami dapatkan saat pertama kali menginjakkan kaki di dusun berbukit itu :)

#6
Mitos:
KKN adalah saat di mana benih-benih cinta muncul karena terbiasa.
Fakta:
Nah...kalo yang ini sih, saya percaya! Sebenarnya saya bukan orang yang cepat percaya soal pepatah, kalo belum ada buktinya. Tapi berhubung di tim KKN saya sudah mulai tercium bau-bau orang jadian, well, saya mengakui, pepatah itu memang benar. Banyak temen-temen saya yang jomblo yang digosipin dan dijodoh-jodohin. Ada yang ga digosipin, eh ujung-ujungnya jadian, ahahaha....ada-ada aja romansa KKN ini...  
N.B: Buat sepasang temenku, entah kalian beneran jadian atau tidak, hanya Tuhan dan kalian yang tahu. Aku hanya berdoa semoga apa pun yang terjadi adalah yang terbaik bagi kalian :3

Yak...itulah sekilas mitos dan fakta selama KKN. Pengalaman tiap orang bisa berbeda, maka harap maklum jika mitos dan fakta versi saya ini sangat subjektif...namanya juga versi saya, dari pengalaman saya.
Yang belum pernah KKN, mungkin bisa dijadiin bahan persiapan menghadapi medan KKN, haha :p
Banyak hal tak terduga menanti kalian.
Trust me :p

Rabu, 04 Juli 2012

Love is Forgiveness

"Nobu-san melepasmu, Sayuri. Aku tak mengambil apa-apa darinya."

Dalam kebingungan perasaanku, aku tak bisa cukup memahami apa yang dimaksudkannya.

"Ketika aku melihatmu di sana bersama Pak Menteri, tatapanmu menyiratkan sesuatu yang persis seperti yang kulihat bertahun-tahun lalu di tepi Sungai Shirakawa," dia memberitahuku. "Kau tampak sangat putus asa, seakan kau akan tenggelam kalau tak ada yang menyelamatkanmu. Setelah Labu memberitahuku bahwa kau memaksudkan adegan itu untuk dilihat Nobu, aku memutuskan untuk memberitahunya apa yang telah kulihat. Dan ketika dia bereaksi sangat marah... yah, jika dia tidak bisa memaafkanmu untuk apa yang telah kaulakukan, jelas bagiku dia bukan takdirmu yang sesungguhnya."

Percakapan antara Sayuri dan Ketua, dikutip dari novel "Memoirs of A Geisha", karya Arthur Golden, 1997.  

Selasa, 03 Juli 2012

Karena Ibu Tidak Perlu Minta Maaf Soal Ulang Tahun

Hari ini, dua teman di kelompok KKN saya ulang tahun. Beberapa hari yang lalu, adiknya pacar saya ulang tahun. Akhir-akhir ini banyak ya yang berulang tahun *mikir*

Ah, ngomong-ngomong soal ulang tahun...

Ulang tahun saya bulan April. Dan biasanya dilalui dengan biasa-biasa saja. Mengadakan traktiran dengan beberapa sahabat. Simpel. Pernah dirayakan sampai saya berumur 12 tahun. Sebelum usia 12 tahun, orang tua saya pernah lupa sama ulang tahun saya. Sekali. Terungkapnya ketika saya menelpon beberapa teman SD saya untuk main-main di rumah. Ibu saya bertanya: "Kenapa besok pada mau main?". Saya menjawab: "Kan Rini ulang tahun."

Setelah usia 12 tahun, orang tua saya lupa lagi kalau saya berulang tahun. Kali ini saya biarkan saja. Saya tidak mengungkit-ungkit apapun di depan mereka. Teman-teman SMP saya yang tahu saya berulang tahun, dengan bercanda meminta saya mentraktir mereka. Saya bilang: "Duh, kapan-kapan lah ya. Orang tuaku aja ga inget kalau aku ultah." --> berusaha terdengar cool walau merasa nggerus dalam hati.

Salah satu teman saya, Putri namanya, sampai geram mendengar bahwa ada orang tua yang lupa ulang tahun anaknya. Teman saya mengirim sms ke orang tua saya, bernada memprotes kenapa mereka bisa lupa ulang tahun saya, teman karibnya. Sepertinya, sms Putri itu menjadi shock therapy buat orang tua saya. Sampai sejauh ini, walaupun masih tetap tidak bisa bersikap hangat dan manis, serta cenderung kikuk ketika mengucapkan "selamat ulang tahun", orang tua saya tidak pernah lupa ulang tahun saya. Makasih ya, Putri :)

Tapi, sebenarnya, bukan ulang tahun yang menjadi inti posting saya ini. Kita belum sampai di klimaks, saudara-saudara. Klimaksnya terjadi ketika, tidak sengaja, saya menemukan buku agenda milik ibu saya yang biasa digunakan untuk mencatat kerjaan kantor dan semacamnya. Saya melihat, saat itu sekitar seminggu sebelum ulang tahun saya, ada catatan:

Bentar lagi Mbak In ulang tahun. Belum sempat cari kado. Maafin ibu ya, Mbak.

Saya tersenyum kecil, sendu, ketika membacanya.

Ibu, engkau tidak perlu minta maaf, batin saya saat itu.

Semua yang Ibu berikan sudah cukup, mungkin lebih. Hanya lupa hari ulang tahun, tidak memberi kado, ah, semua urusan sepele itu bukan ukuran besar kecilnya kasih sayangmu.

Ibu sudah memberikan yang terbaik yang bisa ibu berikan. Walaupun kadang-kadang aku tak puas, itu semua cukup. Percayalah :')

Itu klimaksnya saudara-saudara.

*nangis, ngambil tisu, ngusap air mata, mem-publish, keluar dari Blogger*

...Tenyata, Ada Yang Melihat Saya :)

Sore itu, ketika mau keluar dari tempat parkiran, saya menyerahkan STNK kepada Pak Penjaga Parkiran. Tiba-tiba beliau tersenyum lebar dan terjadilah percakapan ini:

"Mbak, ikut paduan suara, kan?" :D
"Iya Pak...kok Bapak tahu?" :O
"Saya sering lihat Mbak kalo wisuda, di barisan paduan suara. Saya biasanya main gamelan..." :)
"Ooh..." :)

Ternyata, ada yang melihat saya. Sebuah percakapan yang sangat pas terjadi, ketika saat itu saya merasa tertekan, kesepian, dan terasing :')

God does have a perfect timing.

Senin, 02 Juli 2012

Pendekatan Instrumental Dalam Regulasi Emosi: Emosi Positf vs Emosi Negatif

Lagi-lagi, saya iseng memposting hasil tulisan saya untuk UTS. Kali ini tentang emosi. Saya yakin semua sudah tahu apa itu emosi positif, apa itu emosi negatif. Tapi, sebenarnya bukan hal simpel dalam menggolongkan bahwa marah itu negatif, bahagia itu positif. Ada pertimbangan yang lebih dalam terkait penggolongan emosi. Monggo disimak kalau mau tahu lebih lanjut, kalau tidak tertarik ya nggak papa... :)


Pendekatan Instrumental Dalam Regulasi Emosi: Emosi Positif vs Emosi Negatif

Nadya Anjani Rismarini
09/ 283173/ PS/ 05735

Abstrak
Selama ini kita mengenal istilah emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif biasanya mengacu pada kebahagiaan, sedangkan emosi negatif mengacu pada kesedihan, ketakutan, atau kemarahan. Akan tetapi tidak selamanya manusia ingin merasakan emosi positf dan tidak selamanya emosi positif itu bernilai positif. Studi telah menunjukkan adanya pendekatan instrumental dalam regulasi emosi, ketika seseorang mungkin ingin merasakan emosi negatif tertentu agar tujuannya tercapai. Di sisi lain, emosi positif seperti kebahagiaan pun tidak selamanya bernilai positif.

Regulasi Emosi: Sebuah Pendekatan Instrumental
Dalam kesehariannya, manusia seakan diarahkan untuk merasakan emosi yang bernilai positif. Wajah-wajah tersenyum dan memancarkan kesenangan lebih diharapkan dan lebih bisa diterima oleh lingkungan daripada wajah-wajah murung yang memancarkan kesedihan, atau, wajah-wajah marah yang memancarkan permusuhan. Emosi, yang aslinya bersifat refleks, alami, dan bebas dari penilaian, layaknya menjadi sesuatu yang dapat dibedakan dan dinilai berdasarkan dua kubu: positif dan negatif, di mana yang negatif haruslah dihindari.
Akan tetapi, anggap saja emosi positif itu memang berdampak positif, dan emosi negatif itu memang berdampak negatif, bagaimana kita dapat menjelaskan orang yang merasa senang dan lega sehabis menangis? Bukankah menangis (bersedih) itu emosi negatif? Mengapa ada orang yang marah dan mengumpat lalu setelah itu merasa lega? Tampaknya, orang-orang tidak selalu ingin merasakan emosi yang positif.
Di dalam teori psikoanalisa, dikenal istilah pleasure principle, yang mana manusia dipandang sebagai makhluk hedonis, cenderung mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit. Pertanyaan yang muncul adalah: Benarkah begitu jika dikaitkan dengan emosi? Apakah manusia ingin selalu merasakan kesenangan atau emosi-emosi lain yang tergolong positif? Jika benar, lalu apa gunanya kapasitas alami kita untuk merasakan berbagai macam emosi selain emosi positif? Kita dapat berpikir ulang mengenai makna positif dan negatif yang biasanya dilekatkan pada emosi: bisa jadi, positif dan negatif itu situasional dan tidak sesederhana yang dipaparkan dalam seminar-seminar motivasi diri.
Regulasi sendiri berarti “mengatur”, sehingga jika dikaitkan dengan emosi, regulasi emosi dapat berarti pengaturan, pengelolaan emosi. Regulasi emosi sering kita kaitkan dengan kestabilan emosi, adaptasi, dan lain-lain. Hal ini tidaklah salah, karena regulasi emosi memiliki konsekuensi yang penting bagi kesehatan dan fungsi adaptif (Tamir, 2011). Bagaimana pun, paradigma regulasi emosi yang ditinjau dari pendekatan instrumental barangkali membawa angin segar bagi pengetahuan kita akan emosi.
Pendekatan instrumental terhadap regulasi emosi menyatakan bahwa manusia mengatur emosi mereka agar dapat sukses meraih tujuan instrumental (Bonanno, 2001; Parrott, 1993; Tamir, 2009a dalam Tamir, 2011). Jadi, regulasi emosi bukanlah semata-mata ditujukan untuk merasakan emosi tertentu, akan tetapi regulasi ini digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan ini dapat diartikan sebagai target perubahan pada fisiologi, kognisi, motivasi, perilaku, atau lingkungan sosial. Maka tidak dapat kita simpulkan secara sederhana bahwa regulasi emosi berarti mengubah perasaan menjadi positif. Ada hal-hal yang jauh lebih kompleks daripada sekedar mencari kesenangan.
Lebih jauh lagi, emosi apa yang ingin dirasakan oleh seseorang tergantung pula oleh pleasure dan utility. Pleasure merujuk pada emosi yang positif, kesenangan; sedangkan utility merujuk pada manfaat emosi tertentu untuk pencapaian tujuan. Ketika manusia ingin mencapai tujuan instrumental, yang bersifat jangka panjang (long-term benefits), manusia rela menunda pleasure demi mendapatkan apa yang mereka inginkan. Dengan kata lain, manusia tak hanya mengejar pleasure, tetapi juga cenderung memilih emosi yang dirasa bermanfaat bagi mereka, dan emosi ini tidak harus selalu positif.
Tamir (2011) mencontohkan situasi ketika mahasiswa belajar untuk ujian. Mereka rela merasakan emosi tidak menyenangkan seperti stres dan lelah, menunda rencana bermain mereka, dengan harapan mendapatkan hasil yang baik. Mereka juga menginginkan pleasure, namun mereka mengutamakan ‘penderitaan’ terlebih dulu agar mendapatkan long-term benefits, yakni pleasure yang tertunda sebagai hasil dari kesuksesan dalam mencapai tujuan. Istilahnya, “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”.

Preferensi Emosi dan Personality Trait
Setiap individu mempunyai kepribadian yang berbeda. Kepribadian yang berbeda-beda ini pun menyebabkan adanya perbedaan kecenderungan dalam berperilaku, dan tentunya perbedaan kecenderungan preferensi emosi. Seseorang mungkin senang menyendiri di kamar yang tertutup sambil mendengarkan lagu-lagu sedih, sementara seorang lainnya berkelana di pesta-pesta sambil bercanda dan tertawa.
Berdasarkan Behavioral Concordance Model oleh Cote & Moskowitz, 1998, orang-orang cenderung lebih menyukai pengalaman yang konsisten dengan personality trait mereka. Individu mencari validasi self-theory mereka karena teori tersebut membuatnya mengerti dan dapat mengontrol realitas sosialnya, dengan kata lain indvidu akan mencari pengalaman yang konsisten dengan aspek karakteristiknya (Epstein, 1973, dalam Tamir, 2009). Preferensi emosi merupakan salah satu fungsi dari personality trait.
Sebagai bukti, data terbaru menunjukkan bahwa neoroticism berasosiasi dengan preferensi trait-consistent (Tamir, 2005 dalam Tamir, 2009) yang mana individu dengan neuroticism tinggi cenderung memiliki kekhawatiran dan kecemasan yang lebih tinggi (Watson, 2000 dalam Tamir, 2009) dan lebih termotivasi menghindari ancaman. Di lain sisi, individu yang memiliki extraversion tinggi merasakan emosi positif (misalnya kebahagiaan) yang lebih besar (Costa & McCrae, 1980 dalam Tamir, 2009) dan termotivasi untuk mendapatkan reward (Carver, dkk., 2000; Elliot & Thrash, 2002 dalam Tamir, 2009). Orang dengan extraversion rendah mengalami yang sebaliknya.
Adanya preferensi emosi yang terkait dengan personality trait ini dapat kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Bayangkan jika Anda adalah seorang introvert. Berada di tengah orang banyak dalam suatu pertemuan tidak membuat Anda merasa nyaman. Maka emosi yang ingin Anda rasakan adalah emosi yang sekiranya membuat orang ingin menjauhi Anda, misalnya jengkel. Sebaliknya, jika Anda adalah seorang ekstrovert yang suka keramaian dan suka bertemu dengan orang-orang baru, Anda cenderung merasakan emosi yang membuat orang-orang ingin berada di dekat Anda. Anda akan merasakan semangat dan kesenangan, yang terpancar dari sikap yang ramah dan luwes, sehingga akhirnya banyak orang yang mendekati Anda.      
Selain itu, kita cenderung merasakan emosi yang mendukung ekspektasi kita terhadap sesuatu atau situasi tertentu. Misalnya, emosi marah yang muncul ketika kita diremehkan seseorang. Kita tanpa sadar ingin merasakan emosi marah karena adanya perasaan ingin melawan. Emosi marah ini diperlukan sebagai “bahan bakar” dalam menghadapi lawan. Atau ketika seseorang baru saja putus dari kekasihnya. Ia mungkin lebih suka merasakan kebencian karena emosi ini barangkali dapat membantunya untuk berhenti mencintai dan mengharapkan pasangannya untuk kembali.


Emosi Negatif dan Positif: Kapan?
            Emosi adalah respon bagi keadaan-keadaan tertentu. Orang-orang merasakan kebahagiaan sebagai respon dari tercapainya tujuan, ketakutan sebagai respon dari adanya ancaman, dan kemarahan sebagai respon dari hinaan (Lazarus, 1991 dalam Gruber, Mauss, & Tamir, 2011). Bisa dibilang, emosi itu situasional. Ketika kita merasakan emosi yang tidak sesuai dengan situasi, emosi tersebut bisa saja bernilai negatif. Ketakutan dan kemarahan dapat bernilai positif jika muncul di situasi yang tepat. Hal yang sama pun dapat terjadi pada kebahagiaan.
Kebahagiaan akan bernilai negatif ketika tidak lagi berada dalam derajat yang normal, tidak lagi berada dalam situasi yang tepat, diraih dengan cara yang tidak semestinya, dan termasuk ke dalam tipe kebahagiaan yang salah. Seorang maniak merasa bahagia, namun tidak dalam derajat yang sewajarnya. Merasa bahagia ketika seorang teman menderita tentu bukan hal yang terpuji. Bahkan sebuah studi menunjukkan, pengejaran kebahagiaan (pursuit of happiness) dapat berujung pada hasil yang maladaptif karena dapat menyebabkan kekecewaan. Menginginkan kebahagiaan bukan saja dapat menurunkan kesejahteraan (well-being) seseorang, tetapi juga dapat membuatnya kesepian (Gruber, Mauss, & Tamir, 2011). Kata-kata bijak “yang terlalu itu tidak baik” berlaku di sini. Terlalu bahagia bukan hal yang menyehatkan, sama halnya dengan berusaha terlalu keras mengejar kebahagiaan.
Jika ditinjau dari pendekatan instrumental yang sudah dibahas di atas, tampaknya nilai positif dan negatif itu sendiri juga tergantung dari dampak emosi tersebut terhadap pencapaian tujuan instrumental individu. Jika merasakan sebuah emosi dapat mendukung tujuannya, maka emosi tersebut bernilai positif, dan sebaliknya. Saya membayangkan seorang anak yang menangis agar orang tuanya mau memberikan barang yang ia inginkan, yang mana emosi negatif (sedih, menangis) menjadi cara agar ia dipedulikan dan keinginannya dituruti. Di sini, emosi negatif bernilai positif.
             Tidak selamanya emosi yang dianggap positif itu memang positif dan emosi yang dianggap negatif itu memang negatif. Pemberian label positif terhadap emosi-emosi seperti senang dan bahagia, serta pemberian label negatif terhadap emosi-emosi seperti marah dan takut sebenarnya merupakan pembatasan yang sempit akan dimensi emosi manusia yang sesungguhnya sangat luas. Jika ditanya apakah marah itu emosi negatif, atau apakah senang itu emosi positif, jawabannya adalah “tergantung”. Tergantung situasi, tergantung derajatnya, serta tergantung apakah emosi tersebut berguna bagi pencapaian tujuan kita atau tidak.
             

DAFTAR PUSTAKA

Tamir, M. (2011). The Maturing Field of Emotion Regulation. Emotion Review,  3, 1, 3-7. Retrieved September 14, 2011, from  https://www2.bc.edu/~tamirm/download/Tamir_2011.pdf

Gruber, J., Mauss, I. B., Tamir, M. (2011). A Dark Side of Happiness? How, When, and Why Happiness Is Not Always Good. Perspectives on Psychological Science, 6, 3, 222-233. Retrieved November 7, 2011 from  http://yalepeplab.com/pdf/GruberMaussTamir_2011_DarkSideHappiness.pdf

Tamir, M. (2009). What Do People Want to Feel and Why? Pleasure and Utility in Emotion Regulation. Current Directions in Psychological Science, 18, 2, 101-105. Diakses pada Retrieved September 14,  2011 from https://www2.bc.edu/~tamirm/download/Tamir_CDir_2009.pdf

Tamir, M. (2009). Differential Preferences for Happiness: Extraversion and Trait-Consistent Emotion Regulation. Journal of Personality, 77, 2, 447-470. Retrieved September 14,  2011 from  https://www2.bc.edu/~tamirm/download/Tamir_JP_2009.pdf

Minggu, 01 Juli 2012

Mendadak Mellow

Kepadamu, sayangku:

Aku pernah berkata padamu, bahwa terkadang aku merasa mual melihat jejeran nilai A yang memenuhi riwayatku sebagai mahasiswa. Semua itu tak berarti apa-apa ketika aku tak bisa membuatmu mendapatkan kembali semangatmu. Kau tahu, aku merasa gagal. Walaupun kau pernah bilang kau tak pernah membandingkan diriku dengan kuliahku. Kau bilang kau melihatku hanya sebagai "aku". Namun, dalam cuaca dingin yang rentan menebarkan virus mellow ini, aku merasakan kembali perasaan yang pernah kurasakan dulu: Bahwa aku merasa gagal.

Aku merasa gagal ketika aku tak bisa membuatmu tersenyum dan memandang dunia dengan lebih positif. Sebagai seorang mahasiswa psikologi, aku merasa gagal.

Aku merasa bersalah karena ketidakmampuanku dan ketidakpekaanku sehingga kau terjatuh.
Bahkan sesekali ada ragu untuk menggapai citaku: Pantaskah seseorang seperti aku menjadi psikolog?
Aku merasa tidak berdaya ketika aku tak bisa menjawab pertanyaanmu, kapan semua ini berakhir, kapan kau bisa keluar dari terowongan dan melihat cahaya. Aku tidak tahu, sayang. Aku hanya memiliki keyakinan bahwa keadaan akan menjadi lebih baik. Tuhan pasti akan memberi jalan.

Jadi, tidakkah kau lihat, bahwa kita sebenarnya sama-sama sedang membangun rasa percaya diri? Perasaanmu bahwa masa depan akan semendung mega di kala hujan dapat aku rasakan, kadang-kadang. Masa depanku pun akan terlihat gelap bagi diriku sendiri, jika aku tidak bisa membantumu menghapus semua kepesimisanmu.

Maafkan aku jika kadang berhenti menyemangatimu. Maafkan aku kala itu, ketika aku marah karena lelah menggandengmu. Maafkan aku, karena terkadang aku begitu lemah dan tak sabaran.

Aku hanya bisa memberimu doa dan menyediakan, selalu, waktu untukmu. Untuk kita. Aku berharap di setiap pertemuan kita, hatimu terisi kebahagiaan dan keyakinan bahwa hidup tidaklah semuram itu. Sekali lagi, jangan pernah menyerah. Kata-kata ini pun kutujukan kepada diriku sendiri.
Kita sama-sama berjalan, bukan? Walau kau melihat waktu berlalu begitu cepat di sekelilingku; percayalah sebenarnya aku berjalan di sampingmu.

Aku tak akan kemana-mana jika kau menghendakiku menunggu.


Kamis, 28 Juni 2012

Tentang Mimpi

Saya pernah mengikuti kuliah Dasar-dasar Intervensi. Saya ingat waktu itu pembahasan tentang Freud dan Interpretation of Dreams yang ia tulis. Di sela kuliah, dosen saya memutarkan film tentang Freud dan interpretasi mimpi. Dalam film itu, dapat saya ambil kesimpulan bahwa mimpi adalah salah satu cara alam bawah sadar merepresentasikan isinya dengan imej yang bisa kita terima. Dalam bermimpi pun ternyata ada sitem sensornya, saudara-saudara. Mengapa? Karena kadang-kadang yang tersembunyi di alam bawah sadar kita tidak bisa kita terima. Mungkin terlalu mengerikan. Mungkin terlalu kasar. Karena itulah di dalam mimpi biasanya ceritanya tidak gamblang menggambarkan apa yang kita tekan ke alam bawah sadar; konten mimpi seringkali berupa simbol, tidak eksplisit. Kita harus menerjemahkan sendiri.

Dosen saya sempat bilang bahwa ada pentingnya memahami mimpi, agar kita bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi di dalam diri kita. Mengungkap rahasia diri (ceile). Kemudian beliau beralih dengan menanyakan soal Johari Window. "Ada yang tahu?" tanyanya. Kemudian saya dengan spontan -karena pernah membaca soal itu sebelumnya- berkata, "Oh, yang itu." Sang dosen menoleh ke arah saya dan berkata puas sambil sedikit tersenyum. "Kalau begitu tolong dijelaskan nanti ya. Saya beri break dulu."
Sial.

Saat Pak Dosen keluar dan memberi break 5 menit untuk kelas, saya langsung meminjam laptop teman saya yang sedang onlen untuk memastikan ingatan saya akan teori itu. Hmm, oke, ya. Saya mengerti. Pak Dosen masuk kelas. Kelas kembali tenang. Kemudian ia berkata: "Silakan mbak dipresentasikan soal Johari Window."

Saya maju, meminjam spidol yang dipegang Pak Dosen, dan menggambar 4 kotak seperti jendela. "Kepribadian kita terdiri atas 4 bagian," ujar saya keras, "yang pertama ada bagian: Saya Tahu, Orang Lain Tahu" sambil menulis, lalu melanjutkan lagi, "...lalu Saya Tidak Tahu, Orang Lain Tahu," spidol saya bergerak cepat di papan tulis, "kemudian ada bagian Saya Tahu, Orang Lain Tidak Tahu, dan terakhir...yang paling terpendam, adalah bagian Saya Tidak Tahu, Orang Lain Tidak Tahu." Saya menambahkan contoh untuk tiap bagian kemudian mengalihkan pandangan ke Pak Dosen dan bertanya, "Boleh saya sambungkan dengan teori mimpi, Pak?" Pak Dosen menjawab, "Oh ya, boleh, silahkan."

Saya menarik napas. "Tadi disebutkan bahwa mimpi berguna sebagai cara kita memahami diri sendiri. Kalau saya hubungkan dengan Johari Window ini, mimpi mungkin dapat membantu kita untuk bergerak dari area ini," saya menunjuk bagian Saya Tidak Tahu Orang Lain Tidak Tahu, "...ke area ini." Spidol saya berhenti di area Saya Tahu Orang Lain Tidak Tahu. "Dengan mimpi, mungkin kita bisa mencoba mengenali bagian diri kita yang mungkin tidak kita dan orang lain sadari. Setelah kita sadar akan bagian tersembunyi itu, kita bisa melangkah ke area Saya Tahu Orang Lain Tidak Tahu. Paling tidak, kita menjadi tahu apa yang tadinya tersembunyi, walaupun orang lain tidak perlu tahu akan hal itu. Kita menjadi lebih sadar akan siapa diri kita sebenarnya." Vin. Pak Dosen mengangguk. Kelas bertepuk tangan. Saya kembali ke tempat duduk saya.

Ya. Itu yang saya katakan di kelas beberapa bulan lalu. Tapi sebenarnya saya belum benar-benar paham akan mimpi dan kepribadian. Saya harus lebih banyak membaca, terutama tentang Psikoanalisa / Psikodinamika. Ah, pokoknya berbau Freudian. Memang sih, teori itu sudah kuno dan dinilai tidak empiris, tapi buat saya, teori mbah Freud itu sebenarnya menarik dan mengasyikkan.

Setelah itu, dosen pun memberi saya dan teman-teman saya tugas yang sangat unik: interpretasi mimpi selama seminggu! Nah loh. Ini jadi masalah buat saya. Karena saya jarang bermimpi. Jarang. Kalaupun iya, saya biasanya agak lupa mimpi saya seperti apa, tentang apa, karena ceritanya sama sekali tidak jelas. Bahkan imejnya pun tidak terlalu jelas atau vivid. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk mencatat mimpi saya begitu saya terbangun. Demi tugas ini.


Dan hasilnya nihil.
Pertama, saya malas mencatatnya dan lebih memilih ngebo lagi setelah terbangun.
Kedua, saya juga cuma ingat samar-samar saja isi mimpi saya -__-


Anyway, saya jadi berpikir. Bodohnya saya tidak terpikir untuk menanyakan hal ini ke dosen waktu itu: Apakah jarang bermimpi itu adalah tanda bahwa tidak banyak hal ditekan ke alam bawah sadar? Saya jadi penasaran. Suatu saat saya akan menanyakan hal ini kepada mereka yang mengerti.

Psikoanalisa memang mengasyikkan. Hal yang berbau alam bawah sadar selalu menarik untuk dibahas, karena kita akan banyak menebak-nebak di situ, haha. Sesuatu yang tidak bisa kita lihat akan selalu membuat penasaran :3

Rabu, 27 Juni 2012

Balada Jaket

Jogja begitu dingin malam ini. Jaket yang kupakai ketika bermotor tadi tak mempan menangkis sengatan beku yang kini menyerangku, membuatku bergelung seperti trenggiling di atas tempat tidur. Ah, aku rindu kehangatan jaket yang kau pinjamkan padaku -atau lebih tepatnya, aku pinjam darimu- beberapa hari lalu. Aku tahu jaket itu berbahan tebal, mungkin sengaja didesain untuk suhu di pegunungan (karena kau pernah memakai jaket itu saat mendaki). Tapi aku curiga jaket itu terasa lebih hangat karena kau yang memakainya.
Hmm, akankah jaket itu sama hangatnya untukku ketika orang lain yang memakainya dan bukan dirimu? Haha. Aku jadi terlalu sentimentil, sepertinya. Jogja yang dingin ini membuatku galau.
Aku rindu jaket hitam-hijau itu. Dan orang yang memakainya :)

N.B. Tampaknya aku mengerti mengapa jaket itu begitu hangat. Ia menyelimutiku dari dalam. Terima kasih.

Senin, 25 Juni 2012

Sebuah Monolog Tentang Sesuatu

Aku pernah berpikir bahwa, seandainya, suatu saat kau akan meninggalkanku lagi, aku tidak akan merasa sedih dan kehilangan. Toh aku sudah pernah kehilanganmu sekali waktu. Kita berdua sudah pernah merasakan pahitnya perpisahan, bukan?
Namun tetap saja, tiap kali ingatanku kembali ke waktu itu, masih ada sedikit nyeri yang menusuk jantungku, walau rasa sakitnya tak setajam dulu. Hanya sedikit nyeri, sedikit sekali. Bagaimanapun, aku mensyukuri rasa sakit itu. Rasa sakit itulah tanda bahwa aku sangat menyayangimu. Dan mungkin itulah tanda bahwa kau masih, dan akan selalu, menjadi bagian dari diriku.
Masih banyak misteri tentang bagaimana kita bisa kembali seperti saat ini. Aku pun tak mengerti; entah itu adalah kesadaran yang tulus untuk memperbaiki semuanya, atau sekedar kegilaan. Namun kegilaan pun bisa jadi sebuah kejujuran. Ah, tapi di antara deru pertanyaan yang kadang-kadang kita lontarkan, kita tampaknya sepakat bahwa tak ada gunanya mencari alasan. Percayalah bahwa ini adalah takdir.
Aku tidak tahu bagaimana perasaanku nanti, jika -aku sungguh tak berharap ini terjadi- kita berpisah untuk yang kedua kalinya. Namun aku bisa membayangkan akan ada kekosongan menyedihkan di salah satu ruang di hatiku; seperti melihat sebuah rumah tua yang dulunya berpenghuni. Akan selalu ada jejakmu dalam sejarahku.
Bola kristal sejernih apapun tak akan bisa meramal masa depan yang penuh tanya. Yang aku tahu, aku ingin selalu ada untukmu. Ku harap itu cukup bagimu.

Minggu, 24 Juni 2012

Emosi Cerdas, Hidup Sejahtera: Antara Emotional Intelligence dan Well-Being

Rasa-rasanya, sayang juga kalau apa yang saya tulis di waktu kuliah tidak saya bagikan di sini. Tulisan ini memang banyak kurangnya, namun saya rasa bisa memberi manfaat, paling tidak sedikit, bagi yang ingin belajar ataupun sekedar iseng-iseng cari tahu tentang IQ, EQ, dan Well-being. Selamat menikmati tulisan yang sejatinya adalah tugas ujian tengah semester ini. Yuuk mari...


Emosi Cerdas, Hidup Sejahtera:
Antara Emotional Intelligence dan Well-Being

Nadya Anjani Rismarini
09/283173/PS/05735

 Sekian tahun lamanya, kita telah dibuat percaya bahwa kecerdasan intelektual seseorang (yang diukur sebagai IQ- intelligence quotient) adalah prediktor utama kesuksesan. Masyarakat menilai bahwa orang yang ber-IQ tinggi akan memiliki pencapaian lebih banyak dalam hidup. Bagaimanapun, 10 tahun terakhir ini para peneliti menemukan bahwa kecerdasan emosional (EQ- emotional quotient) seseorang bisa jadi menjadi prediktor kesuksesan yang lebih utama dari IQ (Thibodeaux & Bond, 2007).
Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan kecerdasan emosional? Pada awal tahun 90an, Dr. John Mayer, Ph.D. dan Dr. Peter Salovey, Ph. D. memperkenalkan  istilah tersebut di dalam Journal of Personality Assessment. Kecerdasan emosional digambarkan sebagai kemampuan seseorang untuk memahami emosinya sendiri dan emosi orang lain, dan bertindak dengan tepat/sesuai berdasarkan pemahamannya tersebut. Pada tahun 1995, psikolog Daniel Goleman mempopulerkan istilah kecerdasan emosional dalam bukunya, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. Kecerdasan emosional adalah tentang memiliki empati bagi orang lain; membela apa yang anda yakini dengan cara yang terhormat; tidak langsung melompat ke kesimpulan, melainkan mendapatkan gambaran keseluruhan sebelum bertindak.  Kunci dari kecerdasan emosional adalah memahami emosi anda dan emosi orang lain, dan bertindak dengan cara yang paling sesuai berdasarkan pemahaman anda tersebut.
Goleman (2001) membandingkan IQ dan EQ dalam ranah emosi dan kognitif. IQ, menurutnya, adalah kemampuan yang murni bersifat kognitif. Sedangkan kemampuan lainnya mengintegrasikan pemikiran dan perasaan dan masuk ke dalam domain “kecerdasan emosi”, sebuah istilah yang menekankan pentingnya peran emosi dalam pelaksanaannya. Semua kemampuan terkait kecerdasan emosional melibatkan keterampilan pada domain afektif, dan juga mengandung elemen-elemen kognitif. Kecerdasan emosional telah diajukan sebagai prediktor fungsi manusia yang positif (Mayer & Salovery, 1997, dalam Spences, Oades, & Caputi, 2004). Kecerdasan emosional telah dihubungkan dengan beberapa faktor seperti kepuasan hidup, psychological well-being, kesuksesan dalam pekerjaan dan performansi kerja (Adeyemi & Adeleye, 2008; Bar-On, 1997 & 2005; Salovey & Mayer, 1990).
Memiliki kecerdasan emosi yang sehat merupakan hal yang penting agar manusia dapat hidup bahagia dan sukses (Thibodeaux & Bonds, 2007). Kecerdasan emosional berhubungan dengan aksi manusia yang efektif dan aktualisasi diri, yang berhubungan pula dengan aksi manusia yang optimal (Bar-On, 2001 dalam Spences, Oades, & Caputi, 2004). Pernyataan-pernyataan tersebut menegaskan bahwa kecerdasan emosional memang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan manusia, bagaimana manusia menjalani kehidupannya dengan positif dan optimal.
Konsep “fungsi optimal manusia” ini ternyata berkaitan dengan konsep well-being atau kesejahteraan. Para psikolog klinis seringkali mendiskripsikan well-being melalui beberapa teori (Ryff & Keyes, 1995), di antaranya adalah teori needs (kebutuhan) dari Maslow (1968) yang mana aktualiasi diri (self-actualization) menjadi needs yang berada di tingkat paling tinggi. Selain itu ada pula teori dari Rogers (1961) tentang fully functioning person. Menurutnya, terdapat beberapa ciri manusia yang berfungsi optimal, antara lain terbuka terhadap pengalaman, bebas mengekspresikan perasaan, bertindak secara independen, kreatif, dan memiliki hidup yang “kaya”; the good life. Bagi Rogers, inilah kondisi manusia yang ideal. Seperti Maslow, Ia juga menyatakan adanya tendensi manusia untuk mengaktualisasikan diri.
Secara umum, well-being adalah sebutan bagi kualitas hidup yang bagus (good life). Well-being juga dapat dirumuskan sebagai apa yang diperbuat oleh seseorang dalam kondisi aktual kehidupannya. Apa yang diperbuat orang terhadap kondisi tersebut (Michalos, 2007). Apa yang mereka persepsi dari kondisi tersebut, apa yang mereka rasakan dan pikirkan dari kondisi tersebut adalah fungsi dari well-being mereka. Jika tindakan, persepsi, perasaan, dan pemikiran mereka negatif, maka kualitas hidup mereka akan rendah, dengan kata lain: well-being yang rendah.
Apapun definisi tentang well-being, pada umumnya semua merujuk ke satu arah, di mana seseorang memiliki hidup yang berkualitas tinggi. Hidup bahagia, sukses, atau “kaya” seperti yang dikatakan Rogers. Konsep the good life ini tidak hanya meliputi faktor materi saja, tetapi juga psikologis: emosi yang positif, hubungan interpersonal yang berkualitas, dll. Dalam semua aspek ini, yang melibatkan banyak domain afektif, kecerdasan emosional menunjukkan pengaruhnya.
Ada satu contoh sederhana yang diutarakan oleh Martins, Ramalho, dan Morin (2010) tentang bagaimana kecerdasan emosi dapat menghambat kesuksesan. Misalnya saja seorang siswa yang merasa cemas karena akan megikuti ujian. Jika ia tidak bertindak tepat dalam mengatasi emosinya tersebut, ia akan benar-benar sakit. Jika ia tidak bisa melakukan tindakan yang tepat terhadap rasa cemas yang ia rasakan, ia bisa gagal ujian. Saya jadi membayangkan contoh seorang pelamar kerja yang akan mengikuti wawancara. Jika ia tidak memahami bagaimana harus menyiasati rasa cemasnya, performanya dalam wawancara bisa separah rasa cemas yang ia rasakan, dan hasilnya? Bisa saja ia gagal diterima. Ia gagal mengaktualisasikan dirinya. Tidak heran jika kecerdasan emosional juga banyak dihubungkan dengan kesuksesan dalam pekerjaan, yang lagi-lagi, juga termasuk salah satu aspek dalam well-being.
Tanpa kemampuan untuk mengetahui dan memahami emosi pribadi dan emosi orang lain (empati), tanpa kemampuan untuk bertindak berdasarkan pengetahuan tersebut, akan sulit bagi seseorang untuk menjalin hubungan interpersonal yang memuaskan. Tanpa kemampuan untuk menimbang, seseorang akan menjadi ceroboh dalam bertindak. Tanpa kecerdasan emosi, bahkan hanya ketiadaan beberapa aspek kecerdasan tersebut, kesejahteraan dan kepuasan hidup seseorang akan terganggu. Maka, tidaklah berlebihan jika kepopuleran EQ sebagai prediktor kesuksesan hidup yang mengarah kepada well-being kini mengalahkan popularitas IQ. Dengan emosi yang cerdas, hidup pun akan sejahtera.
Referensi:
Goleman, D. (2001). The Emotionally Intelligent Work[place (Chapter Two: Emotional Intelligence: Issues in Paradigm Building). Jossey-Bass
Martins, A; Ramalho, N; Morin, E. (2010). A Comprehensive Meta-Analysis of The Relationship Between Emotional Intelligence and Health. Personality and Individual Differences, 49, 554-564

Michalos, A. C. (2007). Education, Happiness and Wellbeing. Paper written for the International Conference on “Is Happiness Measurable and What Do Those Measures Mean for Public Policy?

Ryff, C. D; Keyes, C.L.M. (1995). The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69(4), 719-727

Spences, G; Oades, L.G; Caputi, P. (2004). Trait Emotional Intelligence and Goal Self-Integration: Important Predictors of Emotional Well-Being? Personality and Individual Differences, 37, 449-461

Thibodeaux, J.B; Bond, D.S. (2007). What is Your Emotional Intelligence Quotient? (article) retrieved from http://www.nenetwork.org/roundtables/EmotionalIntelligenceQuotient.pdf on April 11, 2012, 13.38


diakses 12 April 2012, 21.56

Sabtu, 23 Juni 2012

Aku Ingin Melebur Bersama Gerimis

Adakah gerimis yang mengering luka, membasah tawa?
Maka aku ingin melebur bersama tetesannya.

Kamis, 21 Juni 2012

(Not) Just A Little Conversation

A: How much do you love me?
B: Very much :3
A: (laughing) Kok ga nanya aku sih?
B: Mmmm...how much do you love me?
A: Infinite :)

:")

Rabu, 20 Juni 2012

Forgetful

It isnn't time that heals the pain. It is our own inability to remember everything that does. How great Lord is. He has created us to be such forgetful creatures. In one side, it means that we, humans, are not smart enough to retain important informations and make better changes; but in the other side, it means that we are smart enough to forget, even just in a single minute, all of those bad memories. And because humans forget, they can survive from conscious nightmares.

Sabtu, 16 Juni 2012

Tentang Introvert

Kemarin saya sempat ngobrol dengan teman saya. Teman saya ini sedang berspekulasi tentang kepribadian seseorang. "Hmm...dia orang introvert, tapi sufficient," gumamnya.
Saya penasaran, melihat gambar yang dipegangnya, dan...ya, terlihat bahwa orang ini benar-benar percaya diri. Aspek ini terlihat dari bentuk dan caranya menggambar.
"So, you wanna say that...walaupun dia introvert, dia tetap merasa cukup dengan dirinya, dan itu tidak membuatnya kesepian?" tanya saya.
Teman saya mengangguk. "Ya, dia introvert karena itu pilihannya."
"Jadi begini: Dia introvert dan dia merasa nyaman, bukan tipe orang yang tertutup lalu terasing dan merasa sedih karena tidak terlibat dengan orang lain?" tanya saya memastikan.
"Kira-kira begitu."

Di sini saya tidak akan melanjutkan membahas kelanjutan obrolan kami.

Setelah percakapan itu, saya jadi merenung lagi tentang apa itu introvert. Terlepas dari definisi ilmiah dan psikologisnya, buat saya sendiri, seorang introvert adalah orang yang lebih nyaman sendirian. Merenung sendirian, bermain dengan alam pikiran dan perasaannya. Mungkin tidak begitu banyak membuka "pintu" dunianya, dirinya, kepada orang lain. Seorang introvert mungkin bisa diibaratkan dengan sebuah rumah yang pintunya lebih sering tertutup sehingga jarang ada seseorang yang bisa masuk begitu saja tanpa mengetuk. Bahkan kalau pun ada orang yang mengetuk, belum tentu boleh masuk.

Saya cukup yakin bahwa aslinya, saya adalah orang yang introvert. Sangat. Tapi seiring berjalannya waktu, saya semakin sering bersosialisasi, ikut organisasi, kegiatan ini itu, banyak hal, yang menuntut saya untuk membuka diri. Dan ya, saya membuka diri saya. Saya memilih untuk membuka diri saya. Kalau ada introvert yang bisa menekan tombol "ekstrovert" pada dirinya manakala diperlukan, mungkin saya orangnya.

Tapi tetap, saya punya ruang kecil di dunia saya sendiri, yang tidak boleh diusik orang lain. Bagi saya, itu adalah hak istimewa setiap manusia: memiliki rahasia. Seorang guru besar pernah berkata ketika saya kuliah: "Mengapa kita punya rahasia? Karena nyaman! Mana ada orang yang ga punya rahasia? Semua punya. Rahasia membuat kita seimbang."

Beliau tidak menjelaskan apa arti seimbang. Tapi saya sendiri mengartikan seimbang itu adalah: kamu punya sisi yang tidak sepenuhnya dimiliki orang lain. kamu masih punya bagian yang "asli milikmu sendiri". Kalau bagian ini tidak ada, rasanya aneh. Tidak nyaman. Seperti telanjang. Jadi wajar kan kalau orang punya rahasia. Ini sesuatu yang alami, dari sononya.

Nah, karena trait alami saya adalah introvert, saya punya kebutuhan yang lebih besar daripada orang ekstrovert, untuk berduaan dengan diri saya alias menyendiri. Dan saya tidak keberatan. Apalagi dulu, sebelum saya masuk kuliah dan aktif kemana-mana. Saya sering ke kantin sendirian waktu SMA. Lalu teman-teman bertanya: "Kok sendirian?" Jujur sejujur-jujurnya, saya jengkel ditanyain seperti ini. Memangnya tidak boleh ya kalau sendirian? Apa itu sebuah hal yang aneh? Apa yang salah? Saya memilih untuk pergi ke kantin sendirian karena saya memang lagi ingin makan sendirian. Titik.

Hal inilah yang membuat saya kembali merenung ketika teman saya bilang "introvert yang suffiicient". Hmm, mungkin inilah tipe saya. Introvert yang memang cukup dengan dirinya sendiri. Self-sufficient. Bukan berarti tidak suka berteman. Saya cukup ramah (kayaknya). Saya bisa berteman. Kebutuhan afiliasi saya masih tergolong sedang. Tapi saya tidak terlalu "attached" atau "nempel" mungkin dengan teman saya. Sahabat saya yang paling amat sangat dekat hanya ada beberapa orang, termasuk pacar saya. Saya nyaman dengan mereka, saya merasa tercukupi. Saya tidak memaksakan diri untuk mengoleksi teman.

Ngomong-ngomong, saya pernah mencoba tes kepribadian yang sama dua kali. Hasil pertama menunjukkan bahwa saya orang ekstrovert. Saya ingat waktu itu saya mengerjakan dengan suasana ramai, dengan teman-teman saya. Tapi yang kedua kalinya, saya mengerjakan sendirian...dan hasilnya introvert. Oke, mungkin faktor suasana juga bisa mempengaruhi. But, after all, saya ga terlalu ambil pusing sih. Saya sudah nyaman dengan diri saya, mau intorvert, ekstrovert, tengah-tengahnya juga boleh. Tes kepribadian sebenarnya ga terlalu penting.