Jumat, 30 Desember 2011

"Sudah lama, Pak."

Tiba-tiba inget kejadian pas SMP ini dan saya tertawa sendiri.

Di suatu siang, ketika pembagian hasil ujian Tarikh (Sejarah Islam).
Guru          : "Ini ada murid yang ngisi jawaban nyeleneh..."
Seisi kelas  : "Apa, Pak?" (penasaran)
Guru          : (mengambil salah sau kertas dari tumpukan, membacakan soal) "Kapan Nabi Muhammad SAW wafat? Jawabannya: 'Sudah lama, Pak.' Ckckck."

Ckckck -.-"

NB: Murid itu bukan saya lho.

Kamis, 29 Desember 2011

Menjelang UAS (Ujian Agak Serem)

Hah..lama kali diriku tak posting di blog sendiri!
Kembali menyapa. Dengan membawa beban di dada *sigh.

Ya, tidak sampai 2 minggu lagi saya harus menghadapi Ujian Agak Serem a.k.a UAS.
Walaupun saya sudah memanfaatkan sekitar 2,5 tahun di universitas, sudah ter-habituasi dengan yang namanya UAS, tapi UAS kali ini sepertinya membuat saya agak khawatir. Tugas yang dikumpulkan ketika UAS masih banyak yang menumpuk. Jadi kekhawatiran saya terhadap UAS tidak hanya berkaitan dengan UAS tersebut, tetapi juga tugas-tugas yang mendampinginya. Let's say, yang serem itu tugas-tugasnya, bukan UAS-nya -,- Inilah alasan kenapa saya jadi jarang posting. Pikiran saya dipenuhi oleh tugas dan tanggung jawab lain, serta masalah pribadi --->curcol

Untuk hari H-UAS sendiri, saya tidak begitu merasa terbebani. Makanya saya bilang "agak" serem aja. Yang penting saya udah berusaha semampu saya. Lalu tinggal berdoa, hahaha ---> sungguh seorang hamba pemalas dan tak terpuji -___-

Tugas-tugas ini harus saya kalahkan. Saya pasti bisa. PASTI!

Paling tidak saya masih punya aktivitas hiburan untuk memompa semangat (baca: latihan paduan suara :)) So, nikmati sajalah hidup ini....

Maaf kalo cuma numpang ngeluh. Saya butuh mengeluh dulu untuk membuang penat, lalu baru memompa semangat. Selamat datang UAS! :D

Sekian. Terima kasih.
*gapenting

Sabtu, 24 Desember 2011

Monolog Galau

Tidak ada gunanya kamu memendam amarahmu.

Kamu tahu, semua sudah berakhir. Jangan simpan apapun, apalagi yang jelek-jelek, dalam hatimu.
Tidakkah kamu sadar bahwa semua ini hanya membuatmu semakin menderita?
Dengan tidak memaafkannya, tak ada lagi yang bisa kamu dapatkan kecuali wajah yang semakin terlihat tua dan hati yang semakin penuh dendam.

Kebencian yang kamu pelihara selama hampir 3 bulan ini tidak akan membuatnya kembali, tidak pula membuatnya peduli. Tidak pula membuat waktu terhenti atau berjalan mundur. Dia akan tetap bersenang-senang, melanjutkan hidupnya, mencari cinta yang lain, sementara kamu tetap sengsara karena menunggu saat-saat ia menderita untuk membuatmu bahagia. Kapan itu? Kapan? Kamu tidak mungkin mempertaruhkan seluruh hidupmu yang berharga hanya demi melihatnya menderita di depan matamu. Kamu lah yang akan menderita jika seperti itu. Waktumu akan banyak terbuang sia-sia.

Maafkan dia.

Maafkan.

Seperti tulisan yang kamu buat bulan yang lalu, ajarilah dirimu sendiri untuk memaafkannya. Jangan pernah ingat-ingat lagi kesalahannya. Begitu kamu merasakan panas dan sesak di dada tiap kali melihatnya, tutup matamu. Tarik napas. Ingatlah kebaikannya. Kamu akan merasa lebih baik. Dengan memaafkannya, kamu akan mendapatkan kedamaian dan kebahagiaan. Kebahagiaanmu akan menarik seseorang yang dijanjikan, entah siapa gerangan, yang sama bahagianya denganmu, untuk menjadi pengganti yang lebih baik.

Maafkan dia.

Maafkan.

Demi kebaikan dirimu sendiri.

Jumat, 23 Desember 2011

Faking Bad

"Kamu faking bad, Nad," ujar Haris, temen saya sejak SMA sampai sekarang setelah saya menjadi mahasiswa.
Itulah kalimat yang dikatakannya ketika saya bilang bahwa saya diterima di universitas yang katanya beken ini dengan hanya bermodal keberuntungan. Saya percaya bahwa ada 2 kaum yang diterima di universitas tersebut: kaum pinter sekali, atau, kaum beruntung sekali.
Dan saya selalu bilang bahwa saya tergolong yang kedua.

Faking bad. Pura-pura jelek. Merendah, lebih lembutnya. Hmm. Saya sebenarnya tidak bermaksud merendah. Saya hanya mengatakan pemikiran saya yang sangat realistis. Ya, saya adalah orang yang beruntung. Mungkin saya memang pintar. Tapi tidak ada yang bisa saya banggakan dan saya jaminkan dari kepintaran saya itu. Banyak yang lebih pintar. Kenapa harus bangga? Biasa ajalah. Jadi saya tidak benar-benar yakin bahwa kepintaran-lah yang membuat saya masuk ke universitas lalala~~tiiiiiit ini.

Tidak merendah. Tapi memang itu yang saya yakini. Saya beruntung. Kalau di Psikologi, ada istilah atribusi eksternal. Artinya, seseorang cenderung mempersepsi bahwa hal-hal yang dialaminya berada di luar kendali dirinya; misalnya, karena keberuntungan. Sepertinya saya tergolong orang yang memiliki atribusi eksternal.

Bukan berarti saya tidak pernah berusaha hanya karena saya menganggap semua itu di luar kendali saya. I am a hardworker. Apalagi kalau memang menginginkan sesuatu yang menjadi impian saya, saya mau menderita demi itu. Saya mau berusaha. Tapi, selalu, ujung2nya, saya menganggap semua usaha saya itu sampai di depan sebuah pintu yang masih belum diketahui apakah akan terbuka atau tetap tertutup ketika saya mengetuk. Ya, ketika saya mengetuk dengan membawa seperangkat usaha dan ikhtiar saya, toh akhirnya saya harus berhadapan dengan Sang Pembuka Pintu. Jika Ia tidak membukakan pintu, maka saya tidak akan sampai ke tempat yang saya tuju, walaupun saya sudah membawa sekeranjang kerja keras. Jika Ia membuka pintu, maka ya sudah, lolos lah saya.

Bagi saya, Sang Pembuka Pintu itu adalah Tuhan. Ya, saya mengetuk pintunya, sekitar 2,5 tahun yang lalu, dengan membawa hasil belajar saya, hasil kerja keras saya selama 1 tahun dididik untuk masuk ke jurusan yang saya dambakan. Bagaimana jika Ia tidak membukakan pintu itu untuk saya? Jelas, saya tidak akan berada di universitas lalala~~tiiiiit ini sekarang. Nyatanya, alhamdulillah, Ia membuka pintu itu. Dan di sinilah saya sekarang. Seperti inilah saya sekarang. Seperti...ah, lupakan.

Makanya, saya tersenyum kecut atau malah tertawa terbahak-bahak kadang2, ketika ada senior MOS atau dosen yang memotivasi mahasiswa baru dengan kata-kata "Kalian pasti pintar sekali. Hanya orang-orang terpilih yang masuk ke sini!" Ada yang bertepuk tangan bersemangat, ada yang diam saja, ada yang tersenyum kecut sambil mengeluarkan suara "eehhhhmmm...ga yakin deh." Saya orang terakhir itu.

Tidak bisa. Ujung-ujungnya, Tuhan selalu ada dalam tiap persimpangan garis hidup saya. Saya tidak berani mengatakan bahwa saya pintar maka saya bisa seperti ini. Saya tahu saya berusaha, tapi saya lebih tahu lagi bahwa ini semua terjadi karena Ia mengizinkan. Karena itu, semua kembali pada-Nya. Kekuatan saya sangat kecil. Ketidaktahuan saya akan masa depan sama kecilnya. Saya hanya punya keyakinan, bahwa barangsiapa berusaha, Allah pasti akan mengabulkan doanya. Mungkin masuk ke universitas lalala~~tiiiiit bukanlah disebabkan kepintaran saya. Mungkin ini adalah hasil dari perbuatan saya yang lain, selain mengerjakan ujian, tugas, dan sebagainya. Maka saya mendapatkan imbalan ini.

Dan saya katakan kepada Haris, "Masalahnya Ris, kalo Tuhan ga meridhoi aku untuk masuk ke sini, ya aku juga ga bakalan masuk to? Jadi semua akhirnya diserahkan lagi pada-Nya."
Haris manggut-manggut.
Saya kembali melanjutkan aktivitas membaca saya.
Itulah keyakinan saya.
Bukan faking bad.

It is real :)

Selasa, 20 Desember 2011

Cry

Singkat ya judulnya. Cry. Menangis. Tapi posting ini bakalan panjang kayaknya. Karena saya akan menceritakan sebuah kisah. Here we go.

Ada seorang anak yang terlahir sebagai anak yang cengeng alias gampang nangis. Diganggu dikit, nangis. Tersinggung dikit, nangis. Sedih dikit, nangis. Kebiasaan mewek ini membuat orangtua dan keluarga anak itu terganggu. Kata ortunya, "Cengeng itu ga baik, jangan sedikit2 nangis". Kata keluarga besarnya, "Ya ampun, segitu aja nangis, kenapa sih?" Jelas si anak ga bisa menjawab. Memang temperamennya seperti itu. Lagian umurnya juga belum nyampe 7 tahun. Masa sih ditanya tentang kenapa dia suka nangis. Ya ga tau ya, dia juga ga tau siapa yang menurunkan bakat ini ke dia. Pertanyaan seperti itu kadang menyiksanya, karena hampir bernada seperti "Kamu kok jelek sih? Hidungmu kok pesek sih?" Ya ga tau lah ya....

Menjelang usia sekolah, kelas 1 SD, giliran teman-temannya yang marah, "Kamu tuh kok dikit2 nangis sih, entar ga punya temen loh." Dan dia ingat ketika mengambil rapot bersama ibunya, wali kelasnya berkomentar, "Anaknya pinter, Bu, tapi cengeng." Ibunya membela, "Oh, dia memang anak yang punya perasaan sangat halus Bu, jadi jangan dikerasin ya." Tapi tidak selamanya orang-orang terdekatnya membela dia, malah seingatnya sejak kecil dia selalu dikritik karena gen mewek tak tahu diuntung yang terpaksa mengalir dalam darahnya ini. Pernah seorang teman tantenya berkomentar, "Ih lucu adek, giginya rongak tuh." Saat itu memang si anak baru aja cabut gigi. Spontan, si anak merasa ada pisau yang menancap jleb di dadanya, rasa ngilu yang familiar, lalu rasa panas yang mulai menjalari mata dan kelenjar2nya, sehingga...tada! Air mata keluar dan dia pun menangis. Ortunya menghardiknya. Ibunya berkata, "Kamu jangan nangis to. Kasihan si om-nya kan jadi ngerasa bersalah."

Oh, jadi, menangis memang tidak pernah menjadi sebuah hal yang diharapkan, pikir si anak. Menangis itu mengganggu ketertiban umum. Dan entah mulai kapan, alam bawah sadarnya mungkin menanamkan paham "anti-tears" di jiwanya dan, singkat kata, walaupun tetap menjadi orang yang cengeng, si anak tumbuh menjadi orang yang keras terhadap dirinya sendiri. Jangan nangis, jangan nangis, malu. Bahkan ketika ia sendirian, ia masih mengontrol tangisannya, sampai kadang2 lehernya terasa sakit untuk mengampet sesenggukan tangisnya. Dia jarang menangis, jarang. Kalaupun matanya sudah panas dan basah, sebisa mungkin tidak ia tumpahkan air pelumas itu. Dia jadi sekeras batu. Agak mengerikan malah, karena terkesan tak punya perasaan. Ketika temannya menangis, ia malah merasa tidak nyaman dan tidak sabaran karena ia langsung men-cap orang itu lemah. Cih. Gitu aja nangis, pikirnya.

Tapi pengalaman membawanya kepada teman-teman yang emosional, yang mampu membuat emosi dinginnya mulai mencair. Ia menangis saat temannya menangis. Ia bisa merasakan rasa sakit temannya. Ia tak lagi punya paham bahwa air mata itu nista, menangis itu hina. Ia belajar menerima dan mengelola dukanya, dengan menangis seperlunya, saat ia butuh. Belajar jujur kepada dirinya sendiri bahwa ia merasa sedih dan air mata mungkin dapat membuat perasaannya membaik.

Ya, dan anak itu menangis sekarang. Menangis karena orang yang dulu begitu meguatkannya pada akhirnya hanya mebuatnya menangis tersedu-sedu, bahkan setelah mereka berpisah. Menangis karena luka yang telah dibalutnya dengan hati-hati kini terbuka lagi dan terasa sangat sakit. Menangis karena galau *eeeaaaa*.  Menangis karena ia akhirnya tersadar bahwa orang yang telah melepaskannya ternyata memang pantas untuk ia lupakan. Tidak perlu diceritakan detail kejadian yang membuatnya kembali menangis. Yang jelas, ia sadar bahwa sebab ia menangis adalah melihat si seseorang, Tuan X, bersimpati dan peduli pada orang-orang lain untuk sebuah hal yang sama dengan yang dulu pernah ia alami (dulu si Tuan X ini tidak memberikan dukungan emosional yang cukup padanya-bahkan pernah hanya berkata "ga usah bicarain itu deh"-; tidak seperti yang diberikan Tuan X pada orang lain saat ini, sebuah ekspresi wajah yang sangat menunjukkan kepedulian, sementara dulu saat menangis ia hanya disodori ekspresi wajah datar).


Menangis karena merasa apa yang telah ia lalui hampir satu tahun itu ternyata tidak begitu bermanfaat baginya, dan Tuan X mungkin. Menangis karena pada detik ini, matanya akhirnya benar-benar terbuka, dan membuka mata lebar-lebar saat matamu masih lengket tertutup itu rasanya cukup menyakitkan. Menangis karena ia menyadari bahwa ia harus membuang jauh-jauh infeksi yang menggerogoti dirinya, dan cara terbaik adalah mengamputasinya sebelum membusuk. Dan amputasi itu sakit. Dan ia baru saja melakukan amputasi :')

Anak itu sudah mulai tua. Anak itu tahu sekarang, bahwa menangis dapat membantunya melanjutkan hidup; semacam bentuk survival. Ia mungkin akan banyak menangis, sampai akhirnya bagian yang diamputasi itu benar-benar tidak dianggapnya lagi sebagai bagian dari dirinya.

Anak itu adalah saya.

Senin, 19 Desember 2011

Superhero

Apa yang terlintas dalam benak Anda ketika saya bilang "Superhero" ? Bisa jadi Superman, Spiderman, Batman, Ultraman, dan man-man lainnya. Lalu secara otomatis otak Anda akan memvisualisasikan man-man tersebut: Huruf S di dada, warna biru-merah, dan tentu saja, celana dalam yang dipake di luar saking rempongnya si pahlawan menyelamatkan nyawa penduduk bumi; laba-laba yang hanya punya dua kaki dan dua tangan dan berkostum ketat; kelelawar yang lebih suka naik mobil ketimbang bergelantungan di pohon; dan pahlawan kurus berwarna merah-perak yang kalo mengalahkan musuh juga sekaligus menghancurkan seisi kota (oh iya, merhatiin ga? musuhnya selalu meledak setelah terdiam dalam beberapa detik yang dramatis).

Oh...well. Begitulah bentukan pahlawan super yang sering kita saksikan. Selalu dengan kostum. Selalu dengan kekuatan khusus yang diperoleh karena terpapar bahan kimia tertentu, terkena kekuatan ajaib yang membuatnya "berubaaaaah! cling!" atau bahkan sekedar digigit serangga doang. Anyway, gapapa sih. Itu kan film. Ga asyik lah kalo ga ada gitu-gitunya (gitu-gitu tuh apaaan lagi -_-).

Tapi, kadang-kadang, saya merasa superhero itu ga selalu kayak gitu. Maksud saya, superhero itu bisa muncul dalam wujud manusia biasa. Bahkan terlalu biasa, kalo dilihat secara fisik. Atau mungkin cenderung memelas. Hmmm...misalnya aja bapak2 tukang sol sepatu yang biasanya lewat di depan rumah saya (saya tulis bapak2 karena tukang sol yang lewat ga hanya satu). Kadang-kadang saya berpikir betapa beratnya beban mereka. Mereka tentunya punya tanggungan. Mereka tentunya merasa capek, mengengkol sepeda mereka di tengah panasnya matahari dan riuhnya hujan. Mereka tentunya harus menghadapi kenyataan bahwa mungkin hari ini tidak ada satu orang pun yang ingin sepatunya di-sol.

Dan saya pikir, mereka lah superhero. Superhero buat anak-anak mereka. Buat istri mereka. Buat siapapun yang jadi tanggungan dan membutuhkan mereka. Superhero dengan keteguhan mereka dalam menghadapi kerasnya hidup, tidak lari dari kesulitan melainkan bangkit dan berusaha mengais rezeki. Superhero dalam keikhlasan mereka menjalani peran sebagai tukang sol, dan dengan peran tersebut berusaha sekuat tenaga membuat kehidupan mereka membaik. Hfft, saya jadi iba. Dan saya lebih iba kepada diri saya yang tidak bisa apa-apa selain merasa iba -_-

Haaaah, banyak mungkin yang lebih memilih nganggur dan mabuk-mabukan dibanding kerja dengan penghasilan tidak seberapa seperti bapak2 tukang sol itu. Mungkin ada pula yang lebih memilih terjun dari lantai tertinggi untuk menyelesaikan masalah keuangan (sekaligus menyelesaikan hidupnya). Ada pula mungkin yang membunuh keluarganya karena stres. Jadi, bapak2 tukang sol, kalian hebat. Kalian mau HIDUP. Saya salut sama kalian. Lebih salut lagi ketika saya nge-sol sepatu saya di suatu hari, lalu saya tanya biayanya berapa, dan salah satu dari kalian berkata, "Seikhlasnya aja..."

Buat para superhero lainnya yang biasa lewat depan rumah saya -ibu2 penjual sayur, ibu2 penjual ayam, bapak2 penjual siomay, mas2 penjual mie dokdok yang uenaaaak banget (yang enak mas-nya atau mie-nya coba, kalimat ambigu =.=)- kalian adalah superhero! Superhero! Dan saya, yang berangkat kuliah naik motor, di rumah ada AC, baju bisa gonta-ganti tiap hari, makan terjamin (tapi malah males makan), duit jajan cukup...tidak seharusnya saya mengeluh. Saya juga ingin jadi SUPERHERO! :D

Salam semangat! :D

Rabu, 14 Desember 2011

A Better Today

Akhir-akhir ini saya dipusingkan dengan berbagai macam urusan. Tidak perlu disebutkan satu persatu karena hanya membuat semakin pusing. Intinya, saya sedang capek jiwa raga dan mood saya unfortunately juga tidak begitu bagus. Saya berulang kali "menyemprot" rekan-rekan saya ketika saya merasa terbebani. Saya berbicara dengan intonasi tinggi ketika perintah-perintah dan rencana yang sudah saya buat gagal dilaksanakan. Saya sering melewatkan makan malam karena langsung jatuh tertidur. Wheww, pokoknya saya seperti gelandangan di rumah sendiri. Sama sekali ga terorganisir.

Tapi hari ini keadaan membaik. Praktikum saya hari ini selesai hanya dalam waktu 1,5 jam dan langsung diambil lagi oleh asprak untuk dikoreksi. Rencana berkunjung untuk minta izin observasi wawancara ke SLB ternyata berakhir dengan wawancara langsung kepada guru tanpa perlu minta izin yang rempong2 itu. Observasi anak bisa langsung dilakukan, walau saya dan teman saya yang ikut, Dhio, tidak punya persiapan. But at least, we made it :)

Sebelum pulang kuliah saya sempatkan mengobrol dengan beberapa teman, supaya semangat saya kembali naik. Ya, mendengar suara tawa mereka, melihat senyuman mereka, ngobrol ngalur ngidul ga jelas itu membuat saya merasa mendapat transfer kekuatan batin. Friends are amazing :)

Saya mulai menata kembali "kerapian hidup" saya. Berdandan rapi dan cantik saat ke kampus membuat perasaan saya membaik. Saya merasa lebih tertata, walaupun hanya dari penampilan luar, tapi cukup berpengaruh untuk kesehatan mental saya. Ya, di tengah kacau balaunya keadaan saya pas bangun tidur, sebisa mungkin, setiap hari saya memakai bedak atau sedikit lipstik dan blush-on supaya terlihat segar. Saya tidak mau terlihat capek dan kuyu karena hanya membuat saya merasa lebih kacau dan membuat orang yang melihat saya merasa tidak nyaman dan iba. Paling tidak, komentar tentang kantung mata dan kepucatan serta kekurusan saya semakin berkurang :D Manfaat tampil rapi itu benar-benar saya rasakan.

Saya berkata "terima kasih" sambil tersenyum ketika siapa pun memuji saya "cantik". I do feel better. Saya berusaha menyelesaikan tugas-tuigas saya yang sempat terbengkalai karena mengerjakan urusan lain. Hari ini luar biasa. Sudah berapa kali saya mendengar komentar "cantik" dll dan saya bersyukur bahwa paling tidak, ada yang memperhatikan saya dan ternyata wajah saya tidak sekusut agenda-agenda saya, alhamdulillah :p Tugas-tugas selesai lebih cepat dari target. Ah, pokoknya lega. Saya bisa menarik napas.

Saya berharap esok akan lebih baik dari hari ini. Saya tidak mau marah-marah lagi, mendamprat orang lagi, teledor lagi. Tarik napas dalam-dalam. Lepaskan. Yang kuat ya, diriku :)

(Masih) Waras

Baru kali ini saya merasa begitu sulit memaafkan.
Baru kali ini saya merasa begitu membenci.
Baru kali ini saya merasa begitu marah.
Baru kali ini saya merasa begitu ingin melihat orang menderita.
Baru kali ini saya membutuhkan waktu begitu lama untuk lupa.
Dan baru kali ini, saya merasa semua itu normal.
Ya, saya baik-baik saja...
Setidaknya, saya masih bisa merasa.

Minggu, 11 Desember 2011

Seorang Kuli dan Nurani Yang Berbisik

Gurat-gurat purba di kulitmu tunjukkan padaku: hidup bukan sekedar menunggu waktu
Dan ketika telapakmu terbuka aku menatap banyaknya jalan yang kau lalui, keras dan getir tergambar di sana
Dari peluhmu aku belajar bahwa sesuatu layak diperjuangkan.
Kehormatan, mungkin? Atau sekedar keinginan untuk bahagia? Atau hanya sepotong lauk yang masuk ke perut?
Ah, apa pun itu, kau bukanlah pembuang waktu yang sibuk bermain dengan mimpi.
Bagimu, tak satu detik pun berharga untuk sekedar mengocehi ilusi.

Betapa pun karangnya dirimu, aku tahu:
Hatimu ada dalam tiap beban yang kau pikul di bahumu.

Sabtu, 10 Desember 2011

Dalam Diam Yang Abadi

Wajahku berpaling dalam diam yang membekukan di sela keramaian: orang-orang yang tak melihat bahwa matahari belum bisa memaksa musim dingin lelehkan saljunya.
Panasnya tak cukup mengusir sang gigilan renta.
Dan suara kecil itu berkata:
"Di sini musim dingin adalah abadi."

Rabu, 07 Desember 2011

The Diffrence Between "Speak" and "Fart"

Kata seseorang yang saya hormati, ngomong tuh ga jauh beda sama kentut. Bedanya, ngomong itu suaranya keluar dari mulut, tapi kalo kentut keluar dari "kau-tahu-darimana". Yang bisa membuat ngomong menjadi jauh berbeda dan bermutu dibanding kentut adalah tindakan yang mengikutinya. Kalo cuma bisa ngomong doang, well, kata-kata itu akan menguap hilang tak ubahnya kentut yang lama kelamaan gone with the wind. Kalo ngomong itu direalisasikan dengan tindakan, itu baru bermutu.
"Saya ga pernah kagum sama orang yang pinter ngomong, saya liat perbuatannya aja," kata beliau.
Saya setuju. Tapi masalahnya saya juga sekarang masih menjadi orang yang mengeluarkan kentut dari mulutnya alias cuma bisa omong kosong biasa.

Ah, semoga saya bisa menjadi seorang actor, ga hanya speaker.

Senin, 05 Desember 2011

Apartment?

Selintas muncul pemikiran di dalam kepala saya yang kecil ini: Apakah apartemen (English: apartment), hunian elit dengan jaminan privasi luar biasa sampai-sampai kamu terlindungi dari berita kematianmu sendiri, memang ada hubungannya dengan usaha untuk memisahkan kita dengan lingkungan sosial?
Dari kata apartment sendiri, saya sudah mencium bau-bau antisosial yang samar.
Apart artinya terpisah; terlepas; tersendiri; berjauhan; bercerai-berai.
Bila ditambah dengan imbuhan -ment di belakangnya, kata sifat apart berubah menjadi sebuah kata benda baru, apartment. Walaupun kata tersebut berarti "apartemen", saya rasa sifat apartemen yang terpisah dan individual itu ada kaitannya dengan kata sifat apart.
Ya, saya curiga, apartment tidak hanya memiliki arti "apartemen" tetapi juga "sebuah keadaan terpisah; terlepas; tersendiri; berjauhan; tercerai-berai; pemisahan; pelepasan; penjauhan; dan penyendirian."

Sepertinya saya tertarik mempelajari Psikolinguistik.

Sabtu, 03 Desember 2011

The Power of Choice

"It is our own choice, Harry, that shows what we truly are, far more than our abilities."
~ Dumbledore, Harry Potter and The Chamber of Secrets

Bagi kalian yang suka sama novel Harry Potter, pasti inget ketika Dumbledore mengucapkan kalimat ini kepada Harry yang baru saja selamat dari Tom Riddle, a.k.a Voldemort pas masih jadi murid di Hogwarts. Kalimat ini berhubungan dengan hasil Topi Seleksi yang menempatkan Harry di asrama Gryfindor, walaupun jelas-jelas Topi Seleksi berbisik di telinga Harry bahwa ia bisa menjadi seorang penyihir masyhur di Slytherin. Harry menolak; jangan Slytherin...jangan Slytherin...batinnya ketika Topi Seleksi menimbang-nimbang untuk menempatkannya di Slytherin, asrama yang terkenal sebagai tempat berkumpulnya penyihir hitam; asrama yang penghuninya mempunyai karakteristik pintar, panjang akal, namun licik (sly). Namun akhirnya, begitu mendengar ketakutan Harry, Topi Seleksi pun memasukkan Harry ke Gryffindor.

Di dalam Harry Potter and The Chamber of Secrets, diceritakan bahwa Harry adalah seorang Parseltongue, yakni penyihir yang bisa berbicara dengan ular. Semua ini tidak lain karena kutukan kematian Avada Kedavra yang diarahkan Voldemort ketika Harry masih bayi. Kutukan itu gagal membunuh Harry, dan alih-alih membunuh, kutukan itu malah membuat Harry terkenal sebagai Anak Yang Bertahan Hidup, dan Voldemort secara tidak sengaja malah men-transfer sebagian dari dirinya ke dalam diri Harry, salah satunya adalah kemampuan Parseltongue tersebut.

Ya, Harry, selain menjadi musuh terbesar Voldemort, juga menjadi penyihir yang paling menyerupai Voldemort. Inti tongkat sihir mereka dibuat dari bulu seekor Phoenix yang sama. Mereka terhubung, karena, seperti yang kita ketahui di seri terakhir, Harry Potter and The Deathly Hallows, Harry sendiri adalah Horcrux terakhir dari Voldemort. Dan Voldemort adalah alumni asrama Slytherin. Wajar saja jika Harry juga dipertimbangkan masuk ke asrama yang sama.

Namun nyatanya Harry dimasukkan ke Gryffindor. Karena apa? Karena pilihannya sendiri. Harry memilih menjadi seorang Gryffindor yang memiliki karakteristik pemberani, sangat jauh dari sihir hitam, walaupun Harry memiliki kemampuan Parseltongue yang sangat identik dengan sihir hitam (tidak ada penyihir "baik-baik" yang bisa Parseltongue). Dan di akhir cerita, Harry membuktikan bahwa ia adalah seorang Gryffindor sejati, seseorang yang pemberani sangat loyal kepada apa yang benar, bukan apa yang mudah. Karena Harry memilih menjadi seperti itu. Tidak peduli apa yang dikatakan Topi Seleksi.

So, I just wanna say that, you are what you choose to be.
Memang, ada beberapa hal yang sudah menjadi karaketristik biologis yang tidak bisa atau sukar diubah, misalnya: saya seorang pemarah, sebuah sifat buruk yang sudah menjadi karakteristik keluarga saya hingga tujuh turunan (ini misalnya lho yaaa... -_-), akan tetapi, saya punya pilihan: mau menjadi orang yang terus menerus marah atau menjadi orang yang mampu mengendalikan amarahnya?
Atau, saya memiliki kecerdasan pas-pasan. Dengan tingkat kecerdasan seperti ini memang sulit untuk menjadi seorang ilmuwan sekaliber Einstein, namun lagi-lagi ini pilihan: Apakah saya mau menyerah dengan IQ biasa-biasa dan eneded up menjadi orang yang biasa-biasa saja, atau, belajar, lambat tapi pasti, berusaha menguasai satu bidang yang mana saya bisa memberikan performa yang sangat baik di dalamnya, fokus di situ, dan menjadi orang luar biasa di bidang tersebut? Terserah mau pilih yang mana :)

Saya tidak bilang SEMUA bisa terjadi karena pilihan. Tetap ada faktor-faktor lain yang tidak bisa diubah, dan pengaruhnya jelas besar dalam hidup kita, dan itu pun mempengaruhi pilihan kita. Tapi saya pikir ketika kamu INGIN, kamu MEMILIH suatu arah, suatu tujuan, maka pada akhirnya toh kamu akan berusaha melenyapkan semua faktor penghambat. Pilihan membuat kita mempunyai sense of power dalam hidup, tapi kita pun harus sadar bahwa pilihan-pilihan juga terbatas. Pilihlah pilihan yang ada, yang paling baik, yang paling mungkin. Bahkan saat kita merasa terjebak dalam situasi di mana kita merasa "there is no choice left", SEJATINYA ini bukanlah acara gosip, eh, sejatinya, kita masih tetap punya pilihan kok: pilihan untuk tidak melakukan apa-apa atau membuat peluang lain. Dan saya yakin dalam situasi segenting apapun kita masih punya pilihan. Orang yang dikejar pembunuh bersenjata gergaji mesin mungkin terkesan "tidak punya pilihan selain lari". Tapi nyatanya, lari itu sendiri adalah sebuah pilihan kan? Dia bisa diam saja dan membiarkan dirinya dibunuh, tapi jelas tidak ada orang waras yang bakal pasrah doang kayak gini, bahkan orang yang merasa hidupnya ga berharga pun masih berusaha lari dari kejaran pembnuh, yakin deh -_-
So, there are always choices for us.

Kalimat yang ada di buku Harry Potter itu benar-benar menginspirasi saya. Tidak peduli apakah saya masih menjadi orang yang meledak-ledak, kekanak-kanakan, kadang pesimis, tidak stabil, saya memilih menjadi seorang psikolog klinis. Ya, itu pilihan saya. Dan saya akan berusaha menjadi seperti apa yang saya pilih. Sebisa mungkin, saya akan memperbaiki diri saya, walaupun tidak berarti saya akan mengeliminasi kelemahan saya. Sebisa mungkin, karena saya tahu ada hal-hal yang sulit diubah 100%. Saya bisa memilih menjadi tetap meledak-ledak, kekanak-kanakan, kadang pesimis, tidak stabil, dll, Tapi saya memilih untuk mengejar cita-cita saya. Dan otomatis pilihan itu menuntun saya untuk memperbaiki diri saya, because I don't wanna be a bad psychologist who cannot help herself.


So, make a choice. Pilihan bisa mengarahkanmu kemana saja kamu mau. Jadi buatlah pilihan yang baik. Nadya, buatlah pilihan yang baik *ngomong sama diri sendiri*

Mari memilih. Buatlah pilihan terbaik untuk diri kita :)