Rabu, 29 Februari 2012

Keluarga

Keluarga. Ya, betapa besar makna kata tersebut. Kira-kira itulah yang saya tangkap semenjak saya mengikuti kuliah Pengantar Konseling Keluarga & Perkawinan. Kepribadianmu, terbentuk dari asuhan keluarga. Kehidupanmu, berawal dari adanya ikatan keluarga. Dirimu, adalah hasil gabungan berbagai faktor, dan salah satu faktor yang terbesar adalah keluarga.

Lalu, bagaimana jika kamu berasal dari keluarga yang bisa dikatakan tidak harmonis? Kamu tidak bisa memilih siapa yang akan melahirkanmu. Kamu tidak bisa mencegah masa lalu menyatukan kedua orang tuamu yang mungkin memiliki begitu banyak perbedaan. Kamu tidak bisa memilih dalam keadaan seperti apa kamu dilahirkan. Kamu dilahirkan ke dunia dengan sesuatu yang sudah dipersiapkan untukmu: keluarga yang akan membesarkanmu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kamu tidak bisa memilih.

Kamu tidak bisa mengelak ketika menyadari bahwa kamu ternyata dilahirkan dari seorang ayah yang pasif, pendiam, jarang berkomunikasi, kaku, dan canggung bahkan dengan orang-orang terdekatnya, namun cukup sabar. Kamu tidak bisa membohongi dirimu ketika kamu melihat kenyataan bahwa kamu dilahirkan dari seorang ibu yang perfeksionis, keras namun cukup hangat, pemarah, dan tegas. Kamu juga tidak dapat menafikan bahwa ternyata saudara yang dilahirkan setelahmu tumbuh menjadi seorang anak yang manja pada ibumu, berselera tinggi, dan money oriented. Kamu juga tidak dapat berbuat apa-apa selain diam di budaya tempat kamu –tanpa bisa memilih- dilahirkan: Jangan bicara pada orang tua ketika mereka marah. Diam dan salahkanlah dirimu sendiri kenapa kamu tumbuh menjadi anak yang semakin bodoh semakin hari. Diamlah ketika ibumu mulai membanding-bandingkanmu dengan anak lain yang menurutnya lebih smart dan percaya diri. Diamlah ketika ibumu membanding-bandingkan kamu dengan adikmu yang menurutnya lebih cerdas dan cekatan. Diamlah dan jangan lakukan apa-apa karena jika kamu memprotes maka kamu anak durhaka dan tak tahu terima kasih. Diamlah ketika kedua orang tuamu bertengkar, karena ketika kamu menyela, salah satu akan berkata: “Kamu bisa diam tidak sih?! Ini urusan kami!”

Ya, saya tidak bisa memilih  dilahirkan dalam keluarga seperti itu. Saya tidak bisa memilih. Tuhan telah memutuskan menitipkan saya pada kedua orang tersebut untuk sebuah alasan yang bermakna. Saya yakin itu. Mungkin Tuhan ingin saya “ditempa” menjadi orang yang kuat. Mungkin Tuhan ingin saya belajar tentang kesabaran. Mungkin Tuhan ingin menunjukkan bahwa, walaupun kamu tidak bisa lepas dari pengaruh buruk lingkunganmu, kamu bisa menjadi lebih dari apa yang mempengaruhi dan membentukmu. 

Saya ingin menunjukkan bahwa saya bisa bertahan hidup dalam keluarga seperti ini. Ya, setidaknya saya bisa bertahan. Saya belum mampu untuk mengubahnya menjadi lebih baik. Saya ingin menunjukkan bahwa setiap orang dapat mengembangkan dirinya sendiri, setiap orang dapat berubah, sekuat apapun pengaruh keluarganya yang mungkin negatif. Keluarga memang sangat berpengaruh, tetapi kamu bisa meminimalisir pengaruh buruk keluargamu jika kamu mau dan berusaha. Kamu tetap bisa berfungsi.

Saya ingin menunjukkan bahwa saya masih bisa belajar dengan baik dalam kondisi keluarga yang ayah-ibunya bertengkar di depan anak-anaknya. Saya ingin menunjukkan bahwa saya masih bisa cum laude dan mengerjakan semua tugas kuliah dan organisasi saya, beberapa tugas rumah lainnya yang kecil-kecil, semampu saya, sekuat saya. Saya ingin menunjukkan bahwa saya masih bisa tersenyum dan tertawa dengan teman-teman saya. Saya ingin menunjukkan bahwa kita masih bisa memperoleh banyak cinta di kehidupan ini. Karena Ia yang menciptakanmu sudah tahu apa yang akan kamu hadapi. Ia sudah mempersiapkan perbekalan lengkap untukmu, cinta yang tak pernah habis, jika kamu menyadarinya dan mampu merasakannya. Ia tidak pernah menciptakanmu tanpa cinta. Tidak pernah. Sebutlah nama-Nya, dan rasakan betapa cinta-Nya ada di sekelilingmu untuk menguatkanmu :)




Rabu, 15 Februari 2012

Menyederhanakan Keinginan

Sore itu, beberapa hari lalu, saya kembali berkunjung ke rumah dokter gigi saya. Kawat gigi saya sudah berantakan; satu bracket-nya lepas dan letak kawat di rahang bawah saya bergeser, menimbulkan rasa ngilu. Akhirnya, setelah dua puluh menit bermotor di bawah naungan langit kelabu, saya kembali berada di rumah antik bergaya Belanda itu.

Bu Dokter sedang duduk di ruang tamu ketika saya memandang ke dalam pintu berjendela itu sambil tersenyum dan memencet bel yang ada di luar. Sambil tersenyum ia bangkit dari kursinya, berjalan ke arah pintu, dan membukakannya untuk saya. Saya kembali berada dalam ruang tamu yang penuh berisi foto dan furnitur unik itu, kemudian mengikuti Bu Dokter ke ruang prakteknya.
Beberapa menit kemudian saya sudah berbaring sambil menengadah dengan mulut terbuka dan tersumpal kapas. Dan seperti biasa, Bu Dokter mulai bercerita tentang bermacam-macam hal: teman-temannya, pekerjaannya,keluarga besarnya, anaknya (yang bukan anak kandungnya), sampai dengan suaminya. Ya, jika banyak yang membayangkan bahwa sesi kontrol gigi adalah aksi berbaring diam sambil membuka mulut selama setengah sampai satu jam, dengan sang dokter gigi mendandani gigi-gigimu dalam kebisuan, kenyataan yang terjadi dalam sesi-sesi saya bersama Bu Dokter ini jauh berbeda. Bu Dokter adalah orang yang gemar bercerita, salah satu dokter paling ramah dan santai yang pernah saya temui.

Jika Bu Dokter bebas bercerita sembari tangannya mengikis lapisan lem di gigi saya, menempeli bracket, menyemprot gigi saya dengan cairan tertentu, serta memasang dan memotong kawat, saya tidak sebebas itu. Susah bagimu untuk berbicara selama mulutmu harus terbuka dan disumpal kapas di beberapa bagian. Jadilah saya hanya bisa menanggapi dengan “hmm”, “ya”, dan beberapa patah kata yang samar-samar dan susah payah saya ucapkan. Hanya beberapa saat saya bisa berbicara S-P-O-K lengkap; ketika proses mendandani gigi selesai, atau setelah saya diberi kesempatan berkumur.

Pada sesi kontrol kali ini, Bu Dokter banyak bercerita tentang keluarganya dan kehidupannya di masa lalu. Bahwa dulu ia dan adiknya berjualan manisan salak untuk menambah uang saku karena ia tak tega meminta uang pada orang tuanya. “Saya tuh dulu ga tega kalo harus minta uang orang tua untuk beli baju baru, soalnya saya tau, untuk biaya kos dan kuliah saja orang tua sudah banyak pengeluaran,” katanya dari balik masker hijau yang menutupi hidung dan mulutnya. Saya mengeluarkan suara menggeram pelan yang saya maksudkan sebagai “hmm, iya, saya mengerti”.

Cerita meloncat lagi ketika orang tuanya membangun sebuah rumah baru yang bagus untuk keluarganya, yang diselesaikan dengan susah payah. “Orang tua saya dulu idealis; mungkin karena masih muda ya. Pengennya punya rumah yang ya...bagus, terutama ibu saya. Pengennya yang dari kayu jati...kayak gitulah. Bapak saya pun pengennya begitu. Padahal rumah seperti itu ya mahal kalo untuk ukuran zaman dulu. Nekat tapi orang tua saya, termasuk nekat kalo mau bangun rumah kaya gitu. Tapi ya akhirnya tercapai. Memang harus nekat kadang-kadang. “ Saya kembali menimpali dengan kata-kata pendek seperti “oh”, “hmm, begitu”, dan “iya sih, kadang-kadang harus nekat biar tujuan tercapai”.

“Tapi sekarang kok saya pikir sebenernya bisa aja loh kalo rumah yang lama dibobol ruang tamunya, ditambah ruangannya, ya udah bisa jadi rumah yang bagus. Tapi yo wis lah,” katanya lagi sambil tertawa. Kemudian Bu Dokter melanjutkan, “Kalo saya sih sekarang pengennya menyederhanakan keinginan saja, Nadya. Dulu saya itu pengen punya mobil, pengennya Honda Stream, gitu, Stream tuh kan ya anggun gitu kelihatannya. Tapi sekarang ya, sederhana aja pengennya...”
Saya pun menimpali “Dibikin simpel gitu ya keinginannya..”
“Ya,” jawabnya. “Sekarang kan ya udah punya mobil, bukan Stream memang, tapi ya itu...”
Saya berkomentar lagi, “Yang penting mobil lah ya ...”
“He’eh. Ya jangan ribet-ribet lah. Dapatnya itu ya itu. Keinginannya disederhanakan.” Bu Dokter kemudian tenggelam dengan kesibukannya menutak-atik kawat di gigi saya, membuat saya mendapat sejenak waktu untuk berpikir. 

Hmm...menyederhanakan keinginan. Saya suka istilah yang diberikan Bu Dokter. Mungkin kalo saya menyebutnya make it simple. Ya, hidup memang tidak perlu dibuat susah. Saya merelasikan “menyederhanakan keinginan” tadi ke dalam target-target yang saya buat dalam hidup. Kadang-kadang kamu perlu merincikan impianmu dengan sangat detail supaya langkah-langkahmu dalam mencapainya semakin jelas dan terarah. Tapi kadang-kadang, saya merasa keterlalutelitian dan keterlalusaklekan itu malah membuatmu frustrasi. Sedikit saja melenceng, kamu mungkin merasa ada sesuatu yang salah, padahal keadaan tidak seburuk itu. Lalu kemudian, kamu beralih ke Plan B, Plan C, sampai Plan Z yang telah kamu buat jauh-jauh hari sebagai strategi alternatif mewujudkan mimpimu. 

Itu bagus. Antisipasi tidak pernah berdosa dan menjatuhkan kamu. Tapi, entahlah, ini mungkin hanya perasaan dan pemikiran saya saja, begitu lelahnya kalau kamu terus menerus berkutat dengan rencana, rencana, dan rencana. Terlalu detail tidak baik. Terlalu loose tanpa rencana pun bisa mendatangkan bencana (mengalirlah seperti air tapi hati-hati karena mungkin kamu akan banyak melewati comberan dan pembuangan limbah). 

Jadi ya, sedang-sedang saja. Saya cenderung kaku, tapi sekarang saya ingin sedikit lebih fleksibel. Terkadang saya merasa tidak bisa memperlakukan hidup seperti sebuah perang yang terus menerus membutuhkan strategi. Saya merasa ada waktunya ketika lebih baik dijalani saja, memetik buah kehidupan di setiap detik saya hidup. Buatlah rencana, hidupkanlah sebuah keinginan dan harapan, sebuah mimpi, yang sekiranya tidak akan membuatmu frustrasi. Kembangkanlah sebuah keinginan dan harapan yang menyalakan semangatmu untuk menjalani hidup, bukan sebuah keinginan dan harapan yang membuatmu was-was dan tidak bisa menikmati hidup. Sederhanakan keinginan. Akan lebih mudah melafalkannya ketika kamu berdoa, akan lebih mudah melafalkannya ketika kamu membutuhkan semangat agar terus berjuang. Kalimat panjang “Saya ingin menjadi seorang ini yang begini begitu dan begono.........” malah membuatmu sulit mengingat tujuanmu yang sebenarnya. Dalam pelajaran bahasa, kalimat yang panjang itu punya inti. Berpegang teguhlah pada intinya, hehe.

Saya ingin menyederhanakan keinginan saya:
“Menjadi psikolog klinis.”

Sounds good :)

Entah nanti saya akan memiliki biro konsultasi pribadi atau tidak, hal itu tidak perlu terlalu saya risaukan sekarang. Saya sudah memiliki inti dari salah satu keinginan terbesar dalam hidup saya: Menjadi psikolog klinis. Langkah selanjutnya setelah saya menjadi psikolog klinis dapat saya susun kemudian. Saya memang punya banyak rencana lain setelah menjadi psikolog klinis, tapi semua itu dapat berjalan jika saya sudah memenuhi impian terdasar tadi. Hidup akan berjalan. Saya akan tahu apa yang harus saya lakukan nantinya. Tuhan sudah punya rencana :)


Jumat, 10 Februari 2012

Ketika Bujuk Rayu Maut Dilontarkan...

Sebagai seorang perempuan berusia hampir 21 tahun, saya akui saya senang belanja a.k.a shopping. Dan sebagai mahasiswa yang dompetnya tidak selalu penuh terisi lembaran2 uang, saya mengerucutkan kegiatan shopping menjadi sekedar window shopping. Ya, ga ada salahnya sih pergi ke mall, ke butik, cuma untuk sekedar liat2, cuci mata istilahnya, tanpa berniat mengeluarkan uang sepeser pun untuk membeli.

Saya katakan, tidak ada salahnya. Tapi keadaan menjadi sangat salah ketika orang yang melayani Anda di toko tersebut termasuk karyawan yang getol promosi dan seringkali membuat kalian merasa menyesal cuci mata di tempat yang salah, pada waktu yang salah, dan berhadapan dengan orang yang salah. Serba-salah. Oke, beginilah ceritanya.

Di suatu siang, saya beserta teman saya, Dhio, sedang ngeluyur di sebuah mall, dan kami mampir ke sebuah department store di dalam mall tersebut. Wow, sedang ada promo parfum! Kebetulan, akhir bulan! Kami pun melihat-lihat...melihat-lihat doank lho niatnya. Siapa yang menduga, kami berhadapan dengan karyawan yang salah.

Dengan agresif, si mbak karyawan menyemprotkan setiap parfum yang kami lihat ke kertas sampel dan memberikannya pada kami. Baru saja ujung jari saya menyentuh sebotol parfum yang warnanya terlihat unyu, si mbak dengan sigap berkata, "Oh, ini enak loh, wanginya kayak permen karet, mau coba?" dan langsung mengambil kertas sampel, menyemprotkan parfum tersebut, dan memberikan kertasnya kepada saya. Dhio juga tidak terhindar dari aksi bersemangat si mbak. Tangannya sudah penuh oleh kertas sampel yang akhirnya sudah tidak bisa kami identifikasi lagi ini-dari-parfum-yang-mana-dan-gimana-baunya-kok-di-hidung-udah-sama-aja-kayaknya =___=

Ada sekitar setengah jam kami terjebak oleh jaring-jaring rayuan si mbak, dan pada akhirnya, saya dan Dhio bertukar senyuman tidak enak, saling memberikan pandangan "kau-tahu-kita-harus-apa" dan berkata, "Maaf mbak...ga dulu deh..bingung nih..." saya pun mengeluarkan tawa tidak enak yang kentara sekali menyiratkan rasa kasihan karena si mbaknya udah pol banget ngerayu sekitar setengah jam lamanya, sekaligus kelegaan karena kami bisa terbebas dari stand parfum itu, dan menimpali, "Iya mbak...masih bimgung, baunya enak semua..". Si mbak mengeluarkan ekspresi yang jelas terlihat sebagai campuran antara jengkel, capek, dan kecewa, lalu berkata, "Loh, kok ga jadi mbak...?!" dan kami cuma bisa minta maaf sambil ngesot perlahan dari stand mengerikan itu -___-"

Itu baru satu contoh di mana kamu harus berhadapan dengan sales atau siapapun itu yang benar-benar berusaha agar kamu tidak pergi begitu saja dengan tangan kosong. Banyak kesempatan di mana saya masuk ke toko sepatu atau baju atau apapun, dan diikuti terus oleh si pelayan toko sambil diiringi komentar2 persuasif seperti, "Silakan mbak dilihat dulu...yang ini bagus lho, mau cari yang model apa?" atau  "Yang ini model baru lho mbak, belum ada di tempat lain" sampai "Mbaknya kan putih, pasti pake apa aja bagus deh!" dan biasanya saya cuma mengangguk sambil tersenyum, walaupun kadang2 ingin sekali berkata, "Maaf mbak, saya juga mau milih dengan tenang, kalau diikuti terus nanti saya malah ga nyaman dan ga beli sama sekali."

Tapi saya bersyukur sih, paling nggak, belum ada toko yang memasang tulisan "MENYENTUH/MENCOBA = MEMBELI" atau "MELIHAT=BAYAR". Agak ngeri juga kalo tiba2 kita masuk toko trus ga beli apa2 dan kemudian begitu melewati pintu keluar alarm berbunyi dan didatangi sama penjaga toko, "Mbak kalo belum beli ga boleh keluar." Untunglah itu cuma ada di dalam imajinasi saya yang lebay.

Akhir kata, untuk menghadapi situasi dipaksa/dirayu untuk membeli seperti contoh saya tadi, solusinya cuma satu: pasang muka tembok dan katakan "tidak". Turuti apa kata hati Anda. Kalo memang mau beli, ya silakan beli dan bersyukurlah komentar2 persuasif si sales pasti akan segera berhenti begitu Anda mengeluarkan uang dari dompet Anda. Tapi kalo memang cuma mau cuci mata dan tidak mau membeli, tegaslah dan katakan "tidak" walaupun si sales mungkin membuat Anda merasa berdosa karena mengecewakannya. Cuma kayaknya rasa berdosa akan lebih besar ketika kamu membuang uangmu untuk hal yang sebenarnya tidak kamu perlukan, hehe :p

Selasa, 07 Februari 2012

Coloured Things Are Not Always Good

Saya suka ngemil. Mungkin lebih suka ngemil daripada makan, kalo melihat ukuran badan saya. Saya suka makan beraneka kripik beraneka rasa. Semakin suka kalo sambil nonton TV, ngerjain tugas, atau onlen. Tapi, setelah saya menonton salah satu acara di stasiun TV, tingkat kesukaan saya terhadap ngemil kripik berkurang sedikit.

Singkat saja, isi acara itu adalah melaporkan penjual kripik terkutuk yang menggunakan bahan-bahan berbahaya untuk membuat kripik. Mulai dari dedak (yang lebih cocok masuk ke perut hewan daripada manusia), pewarna tekstil, sampai bahan pengawet yang sempet nge-trend: BORAX. What the...

Well, kontan saya langsung bergidik melihat tayangan itu. Apalagi yang ditayangkan adalah kripik rasa keju (yang ternyata bumbunya adalah campuran bubuk keju dan pewarna tekstil) dan kripik pedas (yang bubuk cabenya juga dicampur dedak). Saya berpikir "OMG, apa sih yang penjual ini pikirin?! Memangnya kita ternak yang hobi ngemil dedak warna-warni?!"

Tapi ya...balik lagi, keuntungan mungkin membuat seseorang rela melakukan perbuatan curang, termasuk membunuh orang secara perlahan-lahan dengan bahan-bahan berbahaya. Pikiran seperti ini dapat saya pahami, tetapi tidak dapat saya benarkan. Yang jelas, mulai sekarang saya harus lebih berhati-hati dalam memilih cemilan. Saya yakin sih, cemilan yang saya beli cukup aman, karena kalo melihat tampilan kripik di tayangan tersebut, kripiknya memang ga dijual dalam bungkus besar, melainkan dalam plastik2 kecil yang biasanya buat ngebungkus kacang goreng di angkringan. Oke, saya bisa menarik napas lega...tapi tetep, saya merasa harus lebih teliti, siapa tau yang dijual di toko2 besar pun ga lolos dari teror BORAX, pewarna tekstil, dedak, dkk....

Zaman sekarang memang agak susah kalo mau benar2 percaya tanpa sedikit memasang kecurigaan, khususnya dalam dunia percemilan. Tampilan kripik yang menggoda, renyah, dan aromanya yang maknyus kadang2 melenakan saya, dan kalau sudah terlena biasanya kita kurang awas. So, sekarang berhati-hatilah memilih makanan. Terutama makanan yang berwarna terlalu cerah, lebih cerah dari seharusnya. Siapa tau itu sihir pewarna tekstil. Atau cat air. Atau cat tembok. Atau entah apa lagi yang dicampurkan oleh orang kreatif tapi licik seperti di tayangan tersebut.

Karena yang berwarna-warni tidak selalu baik.

Jumat, 03 Februari 2012

A Note About Something Called "Love" and "Home"

Maybe, actually I didn't hate you.
Maybe, actually I can never hate you.
Maybe, all those hatred grew because I forced myself too much not to love you anymore.
Maybe, all those hatred was just a vulnerable defense to brake my steps not to fall in your arms again.
And that was all in vain.
See? I was not strong enough to keep my brain washed from all the thoughts and memories of you.
I was not strong enough to keep on lying to my heart about what I really felt; that it was really hard to let you go.
Now, it was all gone. All those pain has washed away.
I love you.
That's all I know right now.

Now, we're coming back to the place where we once found ourselves in love.
A place where the seeds of love, trust, and hope were grown in every moment we looked into each others' eyes and held each others' hand.
A place where we can feel safe and contempt.
A place that was torn down by a hurricane.
A place where "hello" and "goodbyes" are said.
A place that we left behind several months ago.

We then got out with our own individualistic wandering.
Yet surprisingly, we finally come back to the same place.
Even though the situation is not like we used to see in children's-lullaby fairytales.
We come back bringimg our grieves and madness. We're broken.
But I'm sure this place will give us what we once planted: love, trust, and hope.
We might need long time to water it all so that it can back to green, but nevermind.
Just like the song I've ever heard from Sheryl Crow & Sting:
It's always easy to start over with the ones you hold so dear.

And now I realized that, indeed, love is forgiveness.
Love is forgiveness. Forgiveness is love.
I learned it. From our journey. From you.
Thanks for teaching me about forgiveness.

No matter what we're going through, I believe that there will be a light.
Everything will be fine in the end.
I can see it, I can see that every night will turn into a bright morning.
In that place called home.
Yes, home :)

Kamis, 02 Februari 2012

Berita Lalulintas: Hati-hati Di Jalan

Jogja akhir-akhir ini sulit diramalkan ekspresi langitnya. Terkadang ia tersenyum bersinar dan memancarkan kehangatan, bahkan terlalu hangat, sampai2 bagian kaki saya yang tidak tertutupi sepatu menghitam legam. Bagus kalo hitamnya model Beyonce, tanned, eksotis, nan merata, tapi masalahnya menghitam seperti itu hanya untuk di beberapa bagian malah membuatmu terlihat seperti kue yang belum matang sepenuhnya. Belang ga karuan.

Namun hari ini sepertinya langit Jogja sedang galau. Ia enggan menampakkan wajahnya yang sangar. Seharian ia hanya meringis, meneteskan gerimis. Butiran-butiran kecil air membasahi jalan dan orang-orang yang lupa memakai mantel, atau -kalau saya sih- malas memakai mantel. Akibatnya adalah...ya, basah, tentu saja, dan basah itu menyebabkan jalanan licin. Dan licin menyebabkan terpeleset. Dan terpeleset di jalan itu namanya kecelakaan.

Bukan, bukan saya yang kecelakaan. Saya hanya saksi bisu -karena saking kagetnya ga sempet teriak, sampe bisu sesaat- sebuah kecelakaan tunggal tidak berbahaya di pertigaan menuju flyover Lempuyangan. Tenang, kecelakaannya tidak separah tragedi Tugu Tani dan tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.

Ceritanya, sore-sore sekitar jam 3, saya melaju dengan kecepatan 40 km/jam di Jalan Dr.Sutomo. Gerimis kelabu masih setia menemani langit Jogja, namun jalanan jauh dari kata suram. Situasi jalan cukup padat, ditambah lagi ada iring-iringan entah apa ga jelas yang dikawal polisi, melewati jalan tersebut. Menjelang pertigaan, saya berniat melaju terus, tapi apa daya lampu merah sudah menyala. Oke, saya rem motor saya dan berhenti di depan zebra cross.
Tanpa saya duga, tak sampai 3 detik kemudian, ada motor di samping kanan menabrak spion motor saya, masih melaju ke depan sebelum akhirnya si pengendara tampaknya berusaha mengerem, lalu motor tersebut berhenti tepat di zebra cross, lalu...saya cuma ternganga menyaksikan motor itu roboh dan si pengendara dan si pembonceng sama2 terjungkal ke jalan yang licin. Untung terjungkalnya tidak keras.

Si pembonceng bangkit, seorang mbak berusia 20-an berambut panjang, menoleh ke saya sambil berkata "maaf ya mbak" yang saya jawab dengan "oh ya gapapa" sekenanya karena saya juga masih kaget. Sebuah suara sempat berseru "woh, ga hati2 sih.." kepada si pengendara dan si pembonceng motor naas itu. Lampu hijau mulai menyala, orang2 mulai menjalankan kembali kendaraan mereka, dan si pengendara sudah menaiki kembali motornya. Saya dekati si mbak-nya dan bertanya "gapapa mbak?" si mbak-nya cuma tersenyum lemah dan mengatakan sesuatu entah apa sambil mendorong motornya ke pinggir jalan. Si pembonceng tadi menunjuk bagian belakang motorku sambil berkata "itu mbak knalpotmya" dan saya melirik knalpot motor saya dan...oh, oke, penutupnya lepas di bagian depan. Hmm, bukan masalah besar sih. Kemudian saya melanjutkan kembali perjalanan saya ke kampus untuk rapat KKN.

Well, sepertinya itu pengaruh jalanan yang licin, kondisi jalan yang cukup ramai, mbak-nya yang telat nge-rem dan terlalu nekat sekaligus ragu untuk menerobos lampu merah, dan mungkin karena saya juga agak mendadak pas berhenti di lampu merah, Tapi, melihat posisi motor itu, sepertinya dia berniat menyalip saya sekaligus menerobos lampu merah, tapi tidak sempat karena arus kendaraan di depan sudah ramai, dan akhirnya ia terlambat ngerem, lalu motornya meluncur di jalanan licin hingga ia tidak kuat menahannya, dan, ya, terjatuh.

Oke, itu sebelum saya rapat  KKN.

Sepulang rapat KKN, saya kembali menyaksikan kecelakaan yang melibatkan sebuah mobil minimus dan sebuah sepeda motor, di utara flyover Lempuyangan, dekat belokan ke arah Kotabaru. Sempat menyebabkan kemacetan beberapa saat, untungnya tidak ada korban jiwa. Saya cuma sempat melihat ada sebuah sepeda motor yang roboh di depan sebuah mobil minibus, orang2 berkerumun sambil membantu si ibu2 pengendara mendirikan motornya. Si pembonceng, anak dari ibu tersebut, terlihat cukup shock, tapi tidak ada luka fisik yang kelihatan jelas.

Yak, 2 kecelakaan kecil dalam satu hari. Ternyata hari nan kelabu ini menandakan bahwa kita harus hati2 di jalan. Fiuuuh... -____-
Jadi, hati2 di jalan dan tetap waspada. Terutama kalau jalanan licin dan situasi jalan sedang ramai.

Terima kasih. Sekian berita lalu lintas untuk hari ini :)