Minggu, 21 Desember 2014

Own Love, Before You Give Love

Di suatu pagi, kelas Psikologi Positif.

Mahasiswa: "Bu, bisa ga kita memberikan cinta kepada orang lain meskipun kita ga mencintai diri kita sendiri?"
Dosen: (dengan santainya menjawab) "Tidak."
Mahasiswa tersebut agak mengernyitkan wajahnya. Aku mengamati dari tempat dudukku. Tampaknya ekspresinya adalah campuran antara tidak percaya dan kaget. Aku beralih melihat ekspresi dosenku. Wanita itu tersenyum kecil sambil mengangkat alis. Senyum yang khas. Aku selalu merasa beliau menyimpan sesuatu di balik senyum dan tawa cekikikan yang sering ia perdengarkan di depan para mahasiswanya. Setiap beliau tersenyum atau tertawa, aku selalu merasa senyuman atau tawa itu berarti sesuatu yang lebih dalam, seakan-akan ia menyimpan sebuah rahasia atau sebuah kebenaran hidup yang sangat berharga dan tidak ada orang lain yang tahu.

Ia kemudian mengambil beberapa spidol warna-warni di atas meja; ia menggenggam spidol-spidol tersebut dan memberikan mereka kepada seorang mahasiswa yang duduk di dekatnya. Ia berkata, "Coba kamu berikan ke orang di sampingmu."Mahasiswa itu dengan patuh memberikannya kepada mahasiswa lain yang duduk di sampingnya. Kemudian, sang dosen tersebut mengambil semua spidol yang dipegang oleh mahasiswa tersebut, lalu berkata, "Coba kamu kasih spidol ke orang di sampingmu." Sontak mahasiswa tersebut menjawab, "Lah ga bisa Bu, saya ga punya spidol."

Aku melihat ekspresi senyum yang penuh arti itu lagi-lagi membayangi wajah dosenku. Wanita itu berkata pelan dan dramatis, "Persis itu yang saya maksud."

Ia berjalan kembali ke depan kelas dengan santai. "Ketika kalian tidak punya cinta, kalian tidak akan bisa memberi orang lain cinta. Cinta yang kalian punya asalnya darimana? Bisa dari mana-mana, yang membuat kalian merasa dicintai. Ada orang yang mungkin ketika kita melihatnya kita berpikir ia tidak memiliki cinta dalam hidupnya, mungkin hidupnya terlalu mengerikan. Tapi bisa jadi ia bisa memberi cinta kepada orang lain. Kalau begitu, dia pasti memiliki cinta dalam dirinya sendiri. Pasti ada yang mencintainya dan membuatnya merasa dicintai. Entah darimana; mungkin dari sesuatu yang lebih besar darinya."

Kelas hening. Sepoi-sepoi suara hembusan angin buatan dari AC adalah satu-satunya suara yang kami dengar. Semuanya terhenyak ke dalam  pertanyaan besar:

Sudahkah kita memiliki cinta, sebelum berusaha memberikan cinta kepada orang lain?

Sudahkah kita merasa dicintai....termasuk oleh diri kita sendiri?

Selasa, 09 Desember 2014

Boleh Gagal is Such A Bliss

Baru-baru ini saya sedang membaca The Geography of Bliss dari Eric Weiner yang dipinjamkan pacar saya (thank you so much dear! you're such a great bliss to me :D). Buku yang menarik menurut saya. Sebuah kombinasi yang manis antara dokumentasi pribadi Eric Weiner yang berkeliling dunia untuk menemukan arti kebahagiaan, dan juga sisipan ilmu psikologi positif -hasil-hasil penelitian dan beberapa teori- yang kerap disertakan Eric dalam menjelaskan fenomena-fenomena yang ia temui.

Saya memang belum selesai membaca buku yang mengibur ini -yang membuat saya beberapa kali terpingkal sendiri di kamar dan merasa bahagia- tetapi ada satu bab tentang Islandia, negara kecil yang diselimuti es dan kegelapan, literally, di mana judul bab tersebut adalah: kebahagiaan adalah kegagalan. Bab tentang kebahagiaan ala Islandia ini banyak membuat saya merenung.

Berdasarkan percakapan Eric dan beberapa native Islandia yang ia temui, ada gambaran yang sangat menyenangkan di balik kelam dan dinginnya Islandia. Negara kecil tersebut penuh dengan seniman dan orang kreatif. Berganti pekerjaan ke bidang yang benar-benar berbeda dari pekerjaan sebelumnya bukan merupakan hal yang mustahil. Istilahnya, sekarang kamu bisa menjadi ilmuwan yang mempelajari kadar air dalam tanah dan bekerja di laboratorium, besoknya kamu mencoba berkarir di bidang industri kreatif sebagai penyair, lalu lusa kamu ingin bekerja di kantor pemerintahan. Setidaknya gambaran itulah yang saya dapatkan dari salah satu percakapan di buku tersebut.

Orang-orang di sana mencoba banyak hal. Mereka bebas menjadi apa yang mereka inginkan. Mereka bebas mencoba. Hal ini membuat mereka bahagia. Eric bahkan berkata bahwa teori "seniman itu tidak bahagia" tidak berlau di Islandia. Ia melihat banyak seniman yang bahagia, yang juga memelihara sedikit melankolia. Tapi bahagia.

Apa rahasianya?

Jawabannya sederhana, tapi menurut saya luar biasa.

Mereka yakin bahwa kegagalan adalah wajar. Seseorang tidak diharuskan untuk menjadi sukses dalam apa yang mereka lakukan. Seorang tokoh yang Eric wawancarai, seorang seniman, berkata bahwa jika seseorang tidak dibebani dengan keharusan untuk sukses, maka ia bisa bebas mencoba apa saja tanpa rasa takut. Sederhana.

Eric menulis bahwa di Islandia, gagal dalam rangka mencapai tujuan yang baik adalah hal yang baik. Ini yang mungkin orang-orang bilang "yang penting itu prosesnya" dan hal ini terwujud secara utuh, tanpa syarat. Kenapa saya bilang tanpa syarat? Karena bahkan kamu tidak perlu memastikan bahwa 'pada akhirnya' kamu akan sukses setelah serangkaian kegagalan itu. Di Islandia, kegagalan tidak perlu dipermanis dengan 'sukses pada akhirnya'. Sehari-hari, kita sering mendengar cerita inspiratif tentang seseorang yang gagal terus menerus, dalam bisnis misalnya, kemudian setelah usaha keras bertahun-tahun, melewati serangkaian episode kagagalan yang menyakitkan, akhirnya...sukses. Ya, kita -dengan menyakitkan saya katakan- akan bisa menoleransi kegagalan ketika akhirnya kita sukses. Kita punya harapan itu. Orang lain pun sama. Orang akan berpikir kita patut untuk dijadikan contoh, masuk koran atau apapun, ketika kita punya kisah kegagalan yang berahir kesuksesan. Kemudian, tentu bisa ditebak, dengan otomatis kita tidak akan bisa menerima kegagalan. Kita menjadi ambisius karena kita yakin pada akhirnya kita HARUS sukses. Kata Eric dalam bukunya, "kegagalan hanyalah menu pembuka."

Tidak begitu dengan Islandia.

Eric menulis bahwa di negara tersebut, kegagalan adalah menu utama. Menu utama, lho. Ini berarti, orang-orang memang tidak mengharuskan kesuksesan dalam mencoba apapun. Sounds pesimistic, eh? Menurut saya tidak. Ini adalah bentuk kebebasan yang membahagiakan. Toh, menu penutupnya juga belum tentu kegagalan, kan? Jadi ada harapan di ujung sana tentang kemungkinan sukses. Lagipula, coba kamu pikir, siapa yang mengharuskan kamu untuk sukses? Tidak ada. Oh, orangtua mungkin. Atau guru. Atau siapapun yang punya ekspektasi pada dirimu, yang akhirya pandangan dari mereka kamu internalisasi ke dalam dirimu. Tapi bukan kamu, kan? Saya jadi ingat perkataan dosen saya di kelas: Manusia terlahir bebas. Dalam beberapa hal, saya yakin ada batasannya, seperti misalnya ada kewajiban dalam agama yang harus kamu penuhi. Tapi di luar itu, kamu bisa memilih kamu mau jadi apa dan bagaimana. Kalau ada tuntutan, coba tanya lagi pada dirimu sendiri: Siapa yang menuntut? Suara siapa itu?

Dulu, saya adalah orang yang memuja kesuksesan. Saya takut gagal, jujur saja. Dalam kuliah, dalam hal apapun yang bisa dinilai. Saya membuat segala sesuatu di mata saya menjadi sebuah kompetisi. Akibatnya buruk. Harga diri saya mudah hancur ketika saya tidak mencapai 'kesuksesan' dalam standar saya, atau mungkin standar orang lain juga. Ketika saya bangkit untuk kembali berusaha, ambisilah yang menggerakkan saya. Pada akhirnya, memang, saya berhasil. Lalu tepat setelah itu saya kelelahan.

Bebas untuk mencoba tanpa takut gagal. Kedengarannya sangat surgawi bagi saya. Saya membayangkan saya berada di Islandia, betapa bahagianya saya mungkin. Yah...tapi toh itu juga cuma impian saya. Saya masih harus struggling di sebuah lingkungan yang membatasi saya untuk bebas mencoba tanpa takut gagal. Maklum, negara berkembang. Sebuah impian harus dijamin untuk menjadi nyata, karena modal untuk menggapai impian itu mahal sekali di sini. Coba-coba apa saja tanpa ada jaminan kamu sukses di bidang itu, bisa membuatmu bangkrut. Kalau di negara makmur, hidup mereka sudah ditanggung negara. Tidak ada rasa khawatir, bebas mencoba, tidak takut gagal. Coba bandingkan situasinya di sini, di mana seorang anak sudah didoktrin untuk "belajar rajin ya, biar nanti jadi orang sukses." Well, ini sebenarnya sudah salah satu bentuk cinta yang kondisional. Sukses =  hebat.

Saya membayangkan, suatu saat nanti,  ketika saya punya anak, saya akan mengizinkannya mencoba hal-hal yang ia minati. Kamu tidak perlu takut gagal, Nak. Teruslah berjalan ke depan, jangan terlalu sibuk lihat kiri-kanan takut kalau-kalau ada lubang kegagalan. Karena kalau kamu gagal pun, tetap ada tangan terbuka yang akan menerimamu tanpa syarat. Aseeeekkk....

Begitulah sekelumit renungan saya dari buku yang bahkan belum selesai saya baca. Haha. Cukup sekian dan terima kasih.

*langsung ngelanjutin The Geography of Bliss* 


Minggu, 14 September 2014

Teruslah Berjalan (Masa Bodoh dengan Apa yang Menantimu Di Depan)

Aku menatap layar laptop dan air mataku meleleh seketika. Sudah beberapa hari ini mataku seperti kantong penyimpan air dan dengan mudah bocor ketika aku harus melihat layar laptop. Aku tidak bisa melakukannya. Aku benci menulis semua laporan dan aku rasa laporan-laporan itu juga sama membenciku. Aku telah menghabiskan berhari-hari bahkan berminggu-minggu sebelumnya mencoba melarikan diri dari tugas yang menghantui ini.

Tapi sekarang sudah tidak ada lorong kecil yang bisa kugunakan untuk keluar hidup-hidup tanpa laporan. Mau tidak mau aku harus mengerjakannya saat ini karena besok aku harus mempresentasikan 5 kasus yang sudah aku tangani. Tapi aku malas, amat sangat malas sampai-sampai aku tidak tahu lagi apa ada padanan kata malas yang bisa menggambarkan betapa malasnya aku saat harus mengerjakan laporan.

Ah, kenapa semua terasa begitu sulit? Aku merutuki nasibku, bertanya-tanya apa yang bisa membuatku bertahan sampai sejauh ini. Terbersit pula keinginan untuk keluar dan meninggalkan semua usaha yang telah kulakukan kurang lebih setahun ini. Persetan dengan uang SPP yang telah aku dan orangtuaku bayarkan. Jika terus melanjutkan hal bodoh ini, akan lebih banyak uang yang keluar bukan? Entahlah, apakah ini adalah kelemahan, atau sebuah kekuatan, karena sekarang aku dengan jujur dapat mengatakan kepada diriku sendiri: Aku tidak mampu. Aku tidak kuat. Dan aku tidak tahu bagaimana harus melewati semua ini.

Susah untuk tidak membenci setiap aspek dalam hidup ketika roda sedang berada di bawah. Jika jiwaku adalah roda itu, ia sekarang tidak hanya berada di bawah, namun juga bocor dan berat untuk dibawa berjalan. Jiwa yang tak bisa memutar dirinya sendiri dan membutuhkan tangan untuk menambalnya.

Aku sadari semua kesulitan ini sedikit banyak berasal dari dalam diriku. Diriku yang belum selesai dengan masalahnya sendiri, sehingga terlalu lelah ketika harus mengatasi masalah orang lain. Diriku yang belum benar-benar pulih dari prokrastinasi yang ia lakukan sebagai wujud sikap pasif-agresif terhadap perintah yang tidak ia sukai (salah satu perintah itu adalah menulis laporan). Diriku yang lalai memproses dirinya sementara ia tahu ada beban emosi yang masih ia simpan terhadap ibunya, dan belum berhasil ia keluarkan dalam beberapa sesi humanistik dengan teman sekelasnya sebagai terapis.

Mataku terasa berat. Beban di pundakku rasanya tak tertanggung lagi. Aku ingin istirahat dari semua ini. Mungkin keadaan koma adalah istirahat terbaik yang aku butuhkan sekarang. Sakit yang cukup parah, sampai aku punya alasan yang lebih hebat daripada sekedar rengekan malas dan sentimental. Sialnya aku tahu bahwa pikiranku ini adalah distorsi kognisi dan tidak menyelesaikan apa-apa. Hhhh, salah satu sisi negatif dari belajar Psikologi adalah kau jadi lebih peka terhadap apa saja yang terjadi dalam dirimu. Ego defense mechanism apa yang kau gunakan, distorsi kognisi apa yang sedang bermain dalam pikiranmu, beban apa yang kau miliki dan belum teratasi. Dengan kata lain: kau tak bisa lagi bersembunyi dari dirimu sendiri. Ya, aku tak bisa lagi bersembunyi dari diriku sendiri.

Aku tak bisa bersembunyi dari diriku yang harus menyelesaikan 5 laporan ini. Dalam waktu semalam. Sambil masih tetap menangis, aku mengirim pesan singkat ke ibuku. Aku jarang mengeluh, dekat pun tidak, pada ibuku. Well, pada kedua orangtuaku sebenarnya. Tapi malam itu aku rasa aku butuh untuk mencurahkan sedikit saja dari kelelahan yang menghantamku tanpa ampun. Aku katakan bahwa kerja praktik ini begitu sulit, bahwa aku takut aku tidak akan lulus ujian psikolog. Aku malas mengerjakan laporan.

Send.

Beberapa menit kemudian  handphoneku berbunyi. Suara ayah terdengar dari ujung timur Indonesia. Ayah ternyata hanya jadi perantara saja karena setelah itu ia berkata, "Ibu mau ngomong," dan akhirnya suara ibuku terdengar di telinga kananku.

Tugasnya susah?
Ya begitulah. Puskesmasku sepi. Aku harus berusaha keras mencari klien yang bisa aku tangani. Jamku tidak memenuhi target. Aku ditinggal psikolog supervisorku cuti selama 2 minggu. Kasusnya susah. Laporan belum aku kerjakan. Besok laporan harus dikumpulkan.

Susah payah aku menahan isak agar suaraku tidak terdengar seakan aku habis menangis. Entah kenapa sulit sekali rasanya menangis di depan (di depan? ini bahkan hanya lewat telepon) ibuku. Aku tetap ingin terdengar menguasai diri.

Setelah sekitar 10 menit, ibuku memberi wejangan. Aku mengiyakan. Sambungan diputus. Dan perasaanku sudah lebih tenang. Untuk pertama kalinya, malam itu, aku sadar bahwa aku benar-benar membutuhkan sosok ibu. Kenyataan yang selama ini mungkin kunafikan, dan selama ini aku percaya bahwa hubunganku dengan ibu hanya sebatas hubungan finansial dan teknis, namun miskin secara emosional.

Aku telah menurunkan sedikit ego untuk memberi tahu ibu tentang kerapuhanku. That's enough. Aku sudah berproses. Proses yang harusnya aku lakukan sejak sebelum kerja praktik, karena dosenku selalu mewanti-wanti tiap mahasiswa untuk menyelesaikan masalah dan urusan mereka sebelum terjun ke lapangan. Aku tidak menduga seperih ini rasanya ketika kau memiliki unfinished business saat kerja praktik. Rasanya seakan-akan semua tenagamu tersedot habis karena sebenarnya kau hanya memiliki separo dari tenagamu; sisanya masih berpusar pada masalah yang belum kau selesaikan berhari-hari, berbulan-bulan, berminggu-minggu, bertahun-tahun yang lalu.

Mataku sembab, tapi aku tak bisa lari. Aku mulai mengetik dan mengetik, entah bagaimana jadinya. Teman-teman sekelompokku yang besok harus mengumpulkan laporan juga bernasib sama. Aku tidak sendirian. Aku terus mengetik dan mengetik, masa bodoh dengan hasilnya...

Aku rasa hidup ini pun sama. Kita akan terus berjalan dan berjalan, masa bodoh dengan apa yang menanti kita di depan. And knowing that, in that long journey, you are loved and you can love, is the best feeling ever...

Minggu, 23 Maret 2014

Time Flies

Rasanya belum lama ketika, aku ingat sekali, aku turun naik gedung G lantai 2 dan UKP, sambil membawa berkas pendaftaran S2 dalam dekapan. Rasanya juga belum terlalu lama ketika, pada pagi yang agak kelabu itu, aku mempresentasikan skripsi di depan 3 orang dosen dan kemudian dibombardir dengan berbagai pertanyaan -- yang akhirnya membuatku berhak menerima selembar kertas yang menegaskan tamatnya langkahku di S1.

Time flies.

Sekarang, di atas tempat tidurku yang dipenuhi berbagai buku kuliah S2 -baik yang memang aku baca ataupun yang sekedar aku miliki hanya untuk mendapatkan rasa aman- aku mulai berefleksi tentang proses-proses yang sudah mengantarkanku sampai ke detik ini. Ya, aku lebih sering berefleksi sekarang setelah dijejali berbagai macam perspektif timbulnya gangguan dan masalah pada manusia. Setelah dibawa ke dalam perjalanan transpersonal dan bertemu dengan bagian-bagian diriku yang lain, yang menghambat maupun yang mendukungku untuk maju. Setelah proses membuka diri yang rasanya sakit tapi melegakan.

Aku baru benar-benar belajar sekarang.

Belajar bahwa untuk menjadi kuat kau harus mengakui kelemahanmu dan menerimanya sebagai bagian dari dirimu.

Belajar bahwa kau tidak harus selalu sempurna.

Belajar bahwa hal-hal kecil yang kau lakukan pada orang lain dapat menimbulkan pengaruh yang signifikan, baik secara positif atau pun negatif, sehingga kau lebih menghargai perasaan orang lain; that everybody has his own scars.

Belajar bahwa cara terbaik untuk belajar adalah mengakui kekuranganmu dan mengosongkan kepala dan dadamu dari segala bentuk kesombongan; bahwa dengan mengakui kekurangan, kebingunganm dan kebodohanmu, sebenarnya kau telah membuka pintu ilmu pengetahuan yang sangat lebar ke dalam dirimu.
 
Belajar bahwa masih banyak, sangat banyak, alasan untuk bersyukur ketika kau menyadari bahwa orang-orang di sekelilingmu yang kau pikir mungkin sempurna dan bebas-masalah, ternyata memiliki beban yang lebih berat daripada yang kau duga.

Belajar untuk tetap tenang melalui segala bentuk perubahan yang mendadak dan tiba-tiba, serta situasi ekstrim yang tidak pernah kau bayangkan akan terjadi; misalnya ujian praktik jam 10 malam (dan lagi-lagi kau semestinya sujud syukur melihat teman-teman yang dapat jadwal jam 1 pagi).

 Belajar untuk mendengarkan, dengan hati.

Belajar bahwa sebelum menghadapi orang lain, kau harus berani menghadapi dirimu sendiri.

Belajar untuk tetap tenang dalam situasi sempit, seperti hasil tes dan pemeriksaan psikologis yang belum jadi sementara deadline tinggal 2 jam.

Belajar bahwa terkadang kau tidak bisa mendapatkan segala hal dalam waktu yang bersamaan; jika tugasmu belum selesai dan ada kuliah pagi, kau bisa bolos (entahlah, aku kurang yakin bagian ini bisa kau jadikan teladan yang baik atau sebaliknya).

Belajar bahwa semakin sering kau berhadapan dengan rasa sakitmu, melihatnya, mengakuinya, menerimanya....maka lama kelamaan kau akan merasa luka itu tidaklah sakit. Ketika kau diminta menjadi klien untuk pembelajaran kelas dan harus bercerita di depan sekitar belasan orang; ketika kau melihat kasusmu sendiri, lukamu sendiri, sisi gelapmu, dipresentasikan di depan kelas dan dianalisis bersama oleh dosen dan teman-temanmu....dan pada akhirnya kau sendiri bisa menertawakan dirimu.

Belajar untuk memaafkan orang-orang yang pernah berbuat salah kepadamu; karena mereka mungkin memilliki masalah yang juga mereka tanggung --dan tentunya karena tidak semua orang belajar Psikologi.

Dan mungkin...yang paling penting: belajar untuk melakukan segala sesuatu dengan cinta. Termasuk mengerjakan belasan laporan pemeriksaan psikologis, rancangan intervensi, dan review jurnal yang ketika kau kumpulkan ke dosen kau sudah pasrah apakah akan benar-benar dibaca atau tidak. Kalaupun kau belum bisa mencintai, lakukan saja; siapa tahu cinta itu akan muncul karena terbiasa.

Time flies.

Aku bahkan tidak sadar bahwa sekarang sudah hampir pukul 1 dini hari. Aku harap waktu dan Sang Pemiliknya tidak mengutukku karena aku melanggar jam malam bagi tubuhku sendiri. Entah kenapa aku juga tidak begitu mengantuk.

Tapi, untuk menutup, aku hanya akan menuliskan dua patah kata: Selamat malam.


Senin, 03 Februari 2014

Pekat

Nafas pekat itu berhenti sejenak
Sebelum racunnya menyentuh benak
dan air mata yang bitam kelam itu mengalir, mengandung tuak
Membuat muak

Pikirmu kau bisa berkelit lincah
Lidah-lidah berbisa yang berucap resah
Mengikat membelit segala yang kau inginkan musnah
Hanya karena tak sanggup menahan angan yang buncah

Pikirmu kau seniman ulung
Topeng-topengmu sandiwara bak pemulung
Mengais cinta untuk jiwa yang bingung
dalam ketakutan tanpa ujung

Tapi hatiku sudah bertapa
Ia melihat isyarat tak kasat mata
Sebelum nafas pekat dan air mata kelam itu kau buat senjata
Batinku siaga berjaga-jaga.


Yogyakarta, 2 Februari 2014

di atas kasur yang empuk, seempuk bualan seorang teman yang minta belas kasihan.