Rabu, 25 Januari 2012

Can You Hear Me?

Can you hear me, Dear?
Sometimes when I say my prayers, I call your name and ask, "Can you hear me?"
I call your name and ask, "Can you hear what I say?"
I say, "Please, be strong. God will help you, I know He will. We will meet again, everything will be okay."
Can you hear me?
Everyhing's gonna be okay. We'll meet, someday, we'll meet.

I don't know what else to do.
I just hope that you can catch all of my whispers in the air, breathe them in, and feel better.

I miss you. 

Senin, 23 Januari 2012

Toples Tepung

Me sedang mendengarkan Ibu ngobrol sama Tante di Pontianak via telepon:

Ibu: "Oh iya itu enak lho..."
Tante: (ga kedengeran ngomong apa)
Ibu: "Eh coba aja deh digoreng pake toples, enak tuh..."

Me: *mengerutkan kening*

Ibu: (melanjutkan yang tadi) "Eh, pake tepung dink, kok pake toples sih, hahahaha..."

Me: ---_---" *langsung posting di blog*

Kamis, 19 Januari 2012

Terima Kasih

Terima kasih
atas sebuah kesempatan untuk mengintip dalamnya jiwamu melalui kedua matamu
Terima kasih
atas sebuah kesempatan untuk menyelami pemikiranmu melalui lautan kata yang kau ucapkan dan tuliskan
Terima kasih
atas sebuah kesempatan untuk mendengar bisikanmu yang paling lembut hingga teriakanmu yang paling keras
Terima kasih
atas sebuah kesempatan untuk melihat senyumanmu yang paling cerah hingga tangisanmu yang paling pilu
Terima kasih
atas sebuah kesempatan untuk merasakan ketenanganmu yang paling teduh hingga kemarahanmu yang paling murka
Terima kasih
atas sebuah kesempatan untuk mencecap sisi termanis hingga sisi terpahit dalam hidupmu
Terima kasih
atas sebuah kesempatan untuk berbagi impian yang paling tinggi hingga ketakutan yang paling dalam
Terima kasih
atas sebuah kesempatan untuk memahamimu, walaupun aku tak menjalankan tugasku dengan baik
Terima kasih
atas sebuah kesempatan untuk belajar tentang cinta, kekuatan, memaafkan, kesabaran, keberanian, kerelaan, perjuangan, kepekaan, pengorbanan, ketulusan, keikhlasan, keterbukaan, kejujuran, perbedaan, kepercayaan, keyakinan, makna, belas kasihan, kesetiaan, kelembutan, ketegasan, penantian, penerimaan, harapan, waktu, doa, kehidupan, manusia, kegilaan, dan- TUHAN.

Sabtu, 14 Januari 2012

Tentang Ibu, Wanita, dan Kemandirian

Ibu selalu berkata padaku: "Jadi perempuan harus mandiri, ga boleh manja. Makanya Ibu ga mau manjain kamu."

Ibu selalu bilang: "Zaman sekarang harus bisa jadi wanita karier. Kalau suamimu meninggal atau apa, kamu mau mengharapkan bantuan siapa? Tapi bukan berarti kita melupakan keluarga."

Hmm.

Ibuku memang keras dan cenderung perfeksionis. Tapi beliau tak pernah kehilangan kehangatannya, walau kadang-kadang aku merasa aku tidak seakrab anak-anak lain dengan ibu mereka...orang tua mereka (aku juga tidak dekat dengan ayahku). Walau ibu seringkali membentakku ketika aku melakukan kesalahan, aku mengerti beliau hanya ingin aku menjadi wanita luar biasa nantinya (tapi kadang-kadang bentakan itu cukup menyakitkan hati).

Bagaimanapun, aku akui ibuku adalah wanita yang kuat. Sangat kuat. Dan aku ingin menjadi seperti beliau.

Kamis, 12 Januari 2012

Sesuatu Yang Mencegahku Tersenyum

Ada sesuatu yang mencegah kedua sudut bibirku membentuk sebuah senyuman.
Mungkin:
bekas jahitan yang belum kering.
Atau:
ketakutan akan luka yang kembali menganga.
Atau:
riasan yang kupakai terlalu berat.
Atau mungkin:
gravitasi bumi telah menarik jatuh semuanya.

Rabu, 11 Januari 2012

Wild, me?

Bagiku tak penting lagi apa yang kuterjang sekarang
entah sekeras batu karang atau panas yang membuat arang
Bagiku semua itu tak ada artinya
Dan aku dengar suaraku sendiri berkata:
"Bunuh saja mereka semua!"
Aku mengambil langkah, kini, dan makin aku tak peduli
Aku harap aku benar-benar tuli 
Dan mulut-mulut yang berucap utopis di depanku itu
Aku harap mereka semua bisu.
Kini benar aku ingin sebagai aku
Seaku-akunya dengan semua buruk-burukku
Dan aku teriakkan lantang:
"Ini aku dan persetan dengan semua bantahanmu terhadapku!"
Aku ingin mereka tahu, sungguh.
Bahwa aku pun punya jalanku sendiri. 

Hmm.
Itu sepenggal puisi yang bahkan belum diberi judul. Saya temukan di lembaran kertas bekas praktikum. Waktu itu saya sepertinya sedang iseng nulis karena...ah, lupakan. Masalah keputusan.
Ternyata saya pernah seliar itu.
Walau hanya dalam tulisan.

Selasa, 10 Januari 2012

Life and Its Mysteries

Sometimes, I wonder how my life story will end. Will it be good? Will it be hard? Will it hurt me so much, when my soul’s taken away out of my body? Who will cry first? Will my friends be sad? Will someone miss me? Or will someone be happy? Will I be known in this world as a good human? Or a bad human?

But there are questions that have no answer because it’s beyond our knowledge. There are questions that remain questions untill the time brings the answers. These things are called mysteries. And the mystery of life is the most misterious things I’ve ever seen. Our past left mysteries. There are always some questions of “why” in our past, when things went wrong in our urge to control it; when things torn apart in our urge to unite it; when things were messed up in our urge to manage it. We then ask, “why?”. Even we couldn’t control who would be our parents. We couldn’t choose who would give birth to us; we couldn’t choose in what status of economy or education or social we were born.

Our present is a mystery, too. It’s a mystery when we were still playing “When I grow up, I want to be a....” in our elementary school. It’s a mystery for our past. Our future indeed a mystery. There are many questions, more than just a silly-regreting-question of “why” to our past. There are questions of “what”, “how”, “when”, “how”, “who”, and others. “What will I become?...”; “How will I become?...”; “ When will I become?....”; “Who will be my husband?...”
Questions like that. We can set our goal of course, as one way to fill in those blanks. Targets. But, still, we can only dream. Wondering about something. Trying to be. Praying. Hoping.

Now I know that whole my life is a great mystery. I cannot answer “why” to some things destined for me in my past. “Why did I have to wear glassess since 11 years old even though my mom always feed me vegetables?”, for example. Well, I can answer: “It’s all about genetic factors. Almost all of my dad’s families wear glassess.” But still I cannot answer why my dad’s families have those genetics factors.

I tried to set goal when I was a teenager. “I will study in Faculty of Psychology.” I said that to myself. I tried to answer my own mystery. My future, I tried to plan it. And now, when I’m finally studying Psychology, it’s no longer a mystery. Of course, it will be different if now I’m studying Chemical Engineering, for example. Then I might ask “why” to my past. Even when I’m studying Psychology now I still have questions to my past: “Why could I enter this university when I only answered 6 out of 20 questions in Mathematic test?”; “How was actually my score so that I could enter this university?”. They remain questions till now. And I don’t have the answers. I don’t need the answers anyway. 

Now, when I will soon get up to “final years” in university, much more questions await for me. I can only give my efforts. I don’t have any answer in my hands. I can only give what I can give to make my path, a good path that I hope will be the answer. My future remains a superbig question, a mystery that one day will solve itself as the time flies. I think I don’t need to look for the answer. Any action that I’m doing right now, any effort that I give, any pray, any hope, anything I’m doing, will shape an answer to me. The result awaits me. My future awaits me. I’m not running for it. No need to worry. Just like Keane’s song, “This life is lived in perfect symmetry...what I do, will coming back for me.”


Senin, 09 Januari 2012

Tentang Ayam Panggang


Pada suatu waktu, kamu pasti akan merasakan jalan hidupmu diatur sedemikian rupa oleh Yang Maha Kuasa. Oke. Tidak perlu membayangkan hal-hal yang “wah” dan dramatis. Cukup kejadian kecil saja. Saya pernah mengalami sensasi seperti ini.

Malam itu, beberapa bulan lalu, saya sedang latihan paduan suara. Awalnya ga pengen datang, kondisi lagi tidak fit, kondisi emosi juga tidak fit (baca: males). Saya juga belum makan dari siang. Perut saya keroncongan. Membayangkan sehabis latian bakal pulang dan, biasanya, di rumah udah ga ada lauk tersisa, saya pun berencana membeli ayam panggang di Kafetaria buat makan malam. Membayangkan ayam panggang yang harum dan gurih itu membuat saya hampir meneteskan air liur. Pasti enak banget rasanya mengganyang ayam hangat di malam hari yang dingin saat perut benar-benar lapar (menulis tentang ayam ini saja udah bikin saya lapar sekarang).

Pucuk dicinta ayam pun tiba! Habis latian, saya langsung ngacir membeli ayam panggang untuk dibawa pulang. Tanpa nasi sih, karena biasanya nasi masih ada di rumah. Setelah membayar dan ayam panggang sudah terbungkus rapi, saya pulang dengan hati senang.

Di perjalanan, di perempatan Sagan, saya terhambat lampu merah. Selagi menunggu, saya didatangi seorang anak jalanan yang mengemis. Bocah lelaki itu menegadahkan tangannya dengan tampang memelas. Aduh...saya ga punya duit kecil dek, batin saya. Baru saja saya hendak memberikan isyarat “tidak ada duit kecil” dengan tangan saya, tiba-tiba saya ingat ada sepotong ayam di tas saya. Dengan proses kognitif tidak sampai lima detik, saya memutuskan untuk memberikan saja ayam itu. Menimbang: 1) Anak jalanan pasti lapar. Daripada dikasi uang trus nanti mungkin dipotong sama orang yang biasanya nyuruh mereka ngemis, mending langsung kasi makanan, atau 2) Mungkin juga dia ga lapar. Tapi siapa yang mau nolak makanan? Ayam panggang! Jarang2 nih anak nyentuh ayam, nasi aja boro2 kali! Daripada dikasi duit trus –agak su’udzon sih- dibeliinnya rokok atau buat ngecat rambut, mending dikasi kebutuhan pokok aja. Memutuskan: Kasi aja, Nad!

Akhirnya saya buka tas saya, menyerahkan bungkusan ayam panggang itu, sambil berkata, “Ini aja ya dek, ambil buat makan malam.” Saya tidak sempat melihat ekspresinya secara jelas, tapi kayaknya dia agak bengong waktu saya kasi. Dan saat itu juga lampu merah berubah hijau dan saya melaju bersama motor saya, meninggalkan si anak dengan ayam panggangnya.

Selagi bermotor, senyum saya perlahan-lahan mengembang. Selama perjalanan pulang, senyum ini terus menghiasi wajah saya. Perasaan capek sehabis latian hilang seketika. Saya merasa senang bisa memberikan satu asupan gizi buat si anak. Ah, seandainya saya tadi memutuskan tidak datang latihan. Seandainya sebelum latihan saya makan jadi ga kelaperan dan ga kepikir membeli ayam. Saya langsung mengucapkan terima kasih kepada Tuhan atas kesempatan malam ini. Saya tertawa dalam hati. Ckckck, jarang2 saya beli makanan untuk dibawa pulang. Tapi entah kenapa malam itu saya merasa, “Saya harus mendapatkan ayam ituuu!” Dan ternyata itulah jalan-Nya untuk memberi saya sebuah kesempatan untuk melakukan kebaikan.

NB: Ternyata di rumah masih ada lauk dan nasi. Alhamdulillah saya ga jadi kelaperan :D

Kamis, 05 Januari 2012

Badmood Attack

Sebagai seorang mahasiswa yang baru saja mengambil mata kuliah Psikologi Emosi, rasanya sudah seharusnya saya aware dengan perubahan emosi saya. What for? Yaaa, guna mengelolanya dengan baik agar tidak menimbulkan kerusakan berarti -baik bagi diri saya maupun orang lain. Terutama ketika mengalami badmood.

Nah, di sinilah saya sekarang, di saat badmood menyerang. Ciri-ciri: jadi mudah marah. sensian. negative thinking. impulsif. ga sabaran. senggol cokot, senggol bacok, dan senggol-senggol lainnya yang bikin ga enak. Pokoknya emosi jadi naik turun. Dan, unfortunately, yang lebih sering muncul frekuensinya adalah emosi negatif.

Sekarang saya lebih paham kalo saya mau marah nih, saya merasakan:
1) sesak dan panas di dada
    rasanya dada jadi sempiiiit banget trus ada rasa panas yang menjalar sampe kamu merasa seperti "tersulut api"
2) kepala pening
    kadang2 sakit kepalaku kambuh kambuh kalo lagi marah, pusing gitu, cenat cenut (bukan cuma SM*SH yang bisa cenat cenut!)
3) sudut bibir tertarik ke bawah
    ini jelas berarti cemberut dan seakan berkata, "get out of my ruined life! stay away!"

Naaahhhh, emosi itu biasanya tidak berlangsung lama. Mood lebih awet dari emosi. Jadi sekarang saya masih dalam mood yang buruk, tapi emosi saya sudah bergerak dari marah ke....dunno, biasa aja. Untuk jaga2, siapa tau saya mengalami simtom2 marah di atas, saya harus bisa mengontrol agar saya tidak terjerumus ke dalam kemarahan yang merugikan. Jadi semacam "Nad, kamu sekarang lagi marah. Hati-hati, dikontrol ya. Jangan sampe berbuat atau berkata yang tidak-tidak. Tarik nafas..hembuskan."

Eniwei, walaupun sedang badmood, saya bersyukur emosi negatif saya tidak terlalu ekstrim. At least I can still post my writings without destroying my laptop and its keyboard.

*ditulis dengan berantakan dengan mood yang berantakan

Rabu, 04 Januari 2012

Ternyata...Masih

Januari tiba! Detik-detik menuju kelengseran saya di organisasi pun tiba! Pimred, selamat tinggal!

Tapi....

ternyata saya belum 100% bebas tugas.

Kemarin saya mendapat sms dari salah satu senior paduan suara, yang berisi permintaan untuk menjadi staff-nya di divisi Penelitian & Pengembangan (Litbang). Saya berpikir:
1) Saya cinta organisasi ini
2) Saya ingin berkontribusi lebih
3) Saya bisa menambah pengalaman di divisi yang belum pernah saya cicip ini

Dan akhirnya...I said yes.

Oh, okay. Sepertinya belum sempat merasakan yang namanya tidur panjang, hahahaha.
Howe
ver, I hope it will be a good chance for me to develop myself and also my choir :)

Dan siapa tau saya bisa lebih cepat mengenyahkan bayang-bayang Tuan X dari kepala saya :p

Minggu, 01 Januari 2012

Jadi, apa search engine-nya?

Sore, pukul 17.03 Waktu Indonesia Bantul, hape saya bergetar. Bukan bergetar kedinginan karena hujan, melainkan karena sepotong sms masuk. Dari teman saya yang unik bin ajaib, Anjar. Siapa yang tahu bahwa beberapa menit kemudian saya akan bertemu kalimat absurd pertama di tahun 2012.

Anjar: "nad, km udh ambil gender blm y?"
Saya : "Udh smstr kmrin.."
Anjar: "Nah km pny artikel atau semacamnya yg pokoknya bs d analisis pke teori gender gt deh pny g? :D"
Saya : "Hmm, klo artikel ga pny njar, adanya ebook, hhe"
Anjar: "Ebook? ebook mana bs d analisis pke teori gender nad :( yg bs d analisis kan yg smcm kasus"
Saya : "Iya, lha itu aq ga pny njar :("
Anjar: "Oh ywda gpp nad stay cool ;), makasih y :D"
Saya : "Yoyoi njar. Moga cpt dpt artikel ya. Googling aja :D"
Anjar: "Yupz ni bru Googling d Yahoo nad :D"

Temukanlah hal yang janggal dalam percakapan tersebut. Sekian. Terima kasih.

Tahoen Baroe

Ini adalah tahun baru paling lama buat saya, makanya saya tulis "Tahoen Baroe" ala ejaan jadul Indonesia. Literally, lama. Lama di jalan. Lama kena macet. Dua jam lebih, mulai dari jam 21.30 sampai 00.15 tahun berikutnya, saya terduduk tak berdaya di atas motor yang hanya maju tak sampai 1 meter. Bahkan suara desingan dan letupan kembang api yang spektakuler pun tak cukup membuat mood saya membaik. Ada lima alasan saya bad mood abis ketika macet tadi malam. Pertama, pantat saya pegal. Kedua, saya kebelet pipis. Ketiga, di tengah situasi krisis itu pun saya masih mendapat telepon dari rumah yang berisi omelan karena tidak pulang-pulang. Keempat, ga ada penampakan orang ganteng di kerumunan motor yang berdesakan di sekeliling saya. Kalo ada kan lumayan bisa buat angin segar #uhuk. Ya sudah. Lengkaplah sudah kebosanan.

Terakhir, yang kelima, yang paling membuat perasaan saya galau (ah, sebenarnya bosen pake kata ini, terlalu pasaran, tapi kayaknya memang ini yang paling tepat) adalah saya jadi ingat malam yang sama setahun yang lalu, ketika saya masih bersama Tuan X. Alhasil, di atas motor yang akhirnya saya matikan mesinnya, pikiran saya memutar kilas balik malam tahun baru setahun yang lalu, yang saya lewatkan berdua saja sama dia. Sambil memandang ke sekeliling, saya melihat pengendara motor yang: 1) Berdua bersama teman, 2) Bersama anak, 3) Bersama pasangan. Saya? Sendiri. Teman-teman saya masih pada jualan dan saya minta izin pulang duluan (dan ternyata saya juga ga bisa pulang -,-).

Uggh. Sendirian. Bikin inget lagi. Flashback itu menusuk-nusuk kepala dan hati saya. Ah, payah. Jadi sentimental di tengah situasi jalan yang padat merayap. Air mata saya menetes, saya pakai kembali helm yang tadi saya lepas, saya usap wajah saya sebelum ada yang melihat mata dan, terutama, hidung saya, memerah. Sendirian. Ah, pikir saya, apa salahnya sendirian? Saya terbiasa sendirian. Selama ini saya orang yang cukup mandiri. Saya tidak pernah merasa bahwa pacar adalah kebutuhan untuk mengentaskan kesepian. Saya bahkan tidak pernah berniat pacaran (sebelum bertemu Tuan X tentunya).

"Apa salahnya sendirian? Ya. Hanya karena hampir setahun belakangan saya biasanya ditemani seseorang, mengapa harus merasa kehilangan yang begitu sangat?" Otak saya mulai melancarkan serangan rasionalnya terhadap hati saya yang lemah.
Tapi hati saya berbisik. "Karena selama bersama orang itu kamu belajar tentang saling ketergantungan. Dan itu perlahan membuatmu merasa membutuhkannya lebih daripada kamu mebutuhkan orang lain. Hubungan itu meluruhkan sikapmu yang individualis, sedikit mungkin, namun sangat berpengaruh."
Sial. Saya melirik hape saya, sudah hampir tengah malam. Saya tidak mau terjebak di jalan yang penuh dengan emosi negatif yang mulai menguasai saya.

Pesta kembang api. Hambar rasanya. Saya begitu dingin sekarang. Dingin sekali. Memaafkan menjadi sesuatu yang harus terus menerus saya usahakan. Setiap hari. Setiap menit. Setiap detik. Itu melelahkan. Tapi saya harus memaafkan. Saya melirik hape saya lagi. Kurang tiga menit dari tengah malam. Memaafkan. Dengan ekspresi datar, saya ketik sms ke Tuan X. "Met taun baru." Send.
Saya menghela napas. Selamat tahun baru. Selamat tahun baru. Dengan ini saya berusaha memaafkan. Satu sms kecil itu mungkin bisa membantu saya memaafkan. Awali dari yang kecil, dari sekarang. Begitu saya menekan send, terbersit pemikiran bahwa saya telah menimbun sebongkah kecil kekuatan untuk memaafkan, sebuah fondasi untuk melupakan tahun lama, cerita lama, rasa sakit lama.

Jalan kembali hidup. Mesin-mesin motor dinyalakan. Saya bergerak lagi di tengah padatnya kendaraan dan pejalan kaki yang seliweran sehabis menyaksikan kembang api. Saya bergerak. Selamat tahun baru. TAHUN BARU. Semoga tidak hanya menjadi sebuah "Tahoen Baroe". Tahoen yang nominalnya berubah, tapi tidak dengan isinya. Muka lama. Hanya bertambah tua, namun tak kunjung bijaksana.

Selamat tahun baru. Yang benar-benar baru :)