Sabtu, 19 Desember 2015

Tentang Kehilangan, Sebuah Ladang, dan Perjalanan Baru

Aku pernah mendengar bahwa "kehilangan" akan membuat seseorang lebih dewasa.

Bagi diriku beberapa tahun lalu, hal ini masih menjadi sesuatu yang membingungkan. Bukankah lebih baik mencegah "kehilangan" itu dan membuktikan bahwa dirimu dewasa karena bisa mempertahankan sesuatu?
Bagi diriku beberapa tahun lalu, "kehilangan" adalah sebuah kata yang lebih baik dihindari. Siapa yang ingin kehilangan? Siapa yang membutuhkan kehilangan untuk menjadi lebih dewasa?

Diriku beberapa tahun lalu memang masih kekanak-kanakan.

Kini, usiaku 24 tahun dan hampir menjelang 25, dan aku baru mengerti benar apa itu "kehilangan". Bahkan "kehilangan" yang memang disengaja.

Begini ilustrasi singkatnya:

Sudah lima tahun lebih kau menanam dan menuai apa yang orang bilang cinta, dan proses itu bukannya main-main. Bisa dikatakan, kadang apa yang kau tanam dengan hati-hati ternyata tak berbuah manis. Apa yang kau tanam dengan sungguh-sungguh kadang tak jadi bunga yang mekar. Kadang-kadang. Bukannya aku menafikan ada saat-saat yang bisa kau sebut musim semi, di mana bunga-bunga bermekaran dan semuanya terasa terlahir kembali. Ada pula musim panas saat canda tawa mewarnai udara yang hangat dan langit yang cerah. Tapi aku bicara tentang kadang-kadang, dan hal ini mestilah berimbang dengan adanya musim gugur, saat semua bunga itu berguguran, dan musin dingin, saat matahari bahkan enggan bersinar dan hatimu diliputi kekosongan yang dingin.

Dalam lima tahun itu, musim-musim yang menyenangkan, menjemukan, dan menyedihkan silih berganti kau hadapi, agar ladang tumbuhan dan bebungaan yang kau tanam tetap terpelihara. Tapi sayangnya, pada suatu waktu, kau tertegun melihat betapa banyak luka-luka di tanganmu karena bercocok tanam dengan tanaman yang tak cocok dengan kapasitas dan ketekunanmu, yang malah membuatmu seluruh tubuhmu sakit dan melemah karena memaksakan diri. Kau akui bahwa kau tak sanggup lagi merawat ladangmu; dan akhirnya, begitu sederhana, kau menyerah.

Kau kehilangan semuanya. Harumnya bunga dan manisnya buah-buahan yang sempat kau petik. Dan kau juga kehilangan yang lainnya: rasa sakit karena duri-duri dan kelelahan yang menumpuk dalam merawat ladangmu. Akhirnya kau sadar bahwa semua itu impas.

Kau kehilangan, dengan penuh kesadaran. Kau sudah pertimbangkan baik buruknya meninggalkan ladang itu. Ladang yang selama ini sudah memberi kegembiraan sekaligus rasa sakit dan peluh yang bercucuran. Ada beberapa bekal yang kau ambil sebelum kau tinggalkan ladang itu, untuk mengingatkanmu akan apa yang sudah kau usahakan selama lima tahun tersebut. Bekal yang baik tentu saja; kau tidak perlu repot membawa duri dan semak untuk perjalananmu berikutnya, yang kau tak tahu kapan lamanya, sampai kau bisa membuka ladang baru lagi di tempat lain. Cukup kau ingat saja tanaman berduri apa yang patut kau waspadai agar lain kali kau lebih berhati-hati. Lain kali mungkin kau akan memilih ladang yang berada di medan yang lebih mudah, meskipun kau tahu pasti bahwa musim dingin dan musim gugur itu akan selalu datang. Ladang yang sebelumnya berada di medan yang curam. Angin kadang bertiup sangat kencang di tempat itu. Tidak semua orang bisa menanam di sana, kau pun akhirnya menyerah.
Tak apa-apa. Kau sudah berusaha.
________________________________________________________________________________

Aku yang sekarang sudah mengerti setidaknya, bahwa "kehilangan" bisa jadi sama dengan "kerelaan". Rela mengakui bahwa kau memang tidak bisa terus bertahan dan memberi dirimu kesempatan kedua untuk memulai awal yang baru. Mungkin inilah yang disebut dengan memaafkan dirimu sendiri. Mengizinkan kesalahan yang pernah ada menjadi pengingat namun bukan penghambat; dan membiarkan harapan menjadi penunjuk jalan dan penyemangat saat perjalanan kian sukar. Bukankah membuka ladang baru membutuhkan harapan alih-alih penyesalan?