Rabu, 26 Oktober 2011

What Is Freedom?

Hari ini seusai kuliah pengganti Metode Penelitian Kualitatif yang menyenangkan, saya beserta seorang teman saya, Afi, yang juga menyenangkan, ngobrol-ngobrol ngalur ngidul di kantin Psikologi. Awalnya kita cuma ngerencanain teknik wawancara ke Sexshop, gimana caranya supaya si penjual mau ngasih tau hal-hal yang dianggap tabu tanpa kita harus mengaku sebagai mahasiswa yang lagi ditugasin bikin laporan tentang Sexshop, hiks :'( (jadi inget tugas ini belum selesai).

Akhirnya, nyasar deh obrolan kami ke hal-hal lain yang ga ada hubungannya dengan toko yang menjual obat kuat dan alat-alat seks itu (-.-)
Kami diskusi soal rokok, perokok, dan merokok. Entah kenapa rokok identik dengan kepribadian seorang perokok yang bebas, keren (kayak di iklan2 rokok yang biasanya berbau adventure itu), dan tampak intelek dengan asap mengepul dari mulut mereka. Peran media. Lalu kebebasan.

Kebebasan. Masih terkait soal rokok juga sih sebenernya. Entah ini cuma asumsi saya atau memang realita, entah ini benar atau tidak, saya merasa orang2 yang merokok itu menganggap diri mereka merdeka. Rokok membuat mereka lepas, bebas (jelas lah asapnya kemana-mana). Bahkan kata salah seorang temen saya yang perokok, rokok membuatnya nggak lapar. Dia seakan sudah "kenyang" hanya dengan menghisap rokok. Masalah untuk sementara terlupakan. Pokoknya hore.
Tapi...saya melihat ironi di sini. Andaikata mereka memang merdeka dari masalah, andaikata emosi negatif lenyap menguap bersama asap dari rokok mereka yang menyala, lalu apa yang terjadi ketika mereka tidak mengkonsumsi rokok dalam 1 hari? Uring-uringan.
Inilah ironi. Bagi saya, seorang pecandu rokok harusnya dikasihani. Mereka tak ubahnya anak kecil yang merasa uring-uringan ketika selimut kesayangannya ketinggalan. Kemerdekaan yang mereka rasakan sama tipisnya seperti asap rokok yang tertiup angin, karena akhirnya mereka terpenjara dalam kebiasaan merokok itu sendiri. Ga ada rokok, stress. Ga ada duit buat beli rokok, stress. Justru, mereka menjadi manusia yang terikat oleh zat candu batangan. Kecanduan bukanlah kebebasan.

Kemudian diskusi kami meliputi konsep kebebasan yang lebih luas lagi. Kebebasan seorang manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Saya terkadang heran melihat orang-orang yang menganggap dirinya merdeka, tanpa norma dan nilai. Please deh, kita hidup dalam realita. Kita terikat norma. Walaupun saya tidak mengatakan saya adalah orang yang selalu patuh pada aturan masyarakat, saya sadar bahwa saya tidak bisa lepas dari itu. Bagi saya, dalam hidup, kita memang punya kebebasan. Kebebasan untuk memilih. Kebebasan untuk melanggar. Cukup itu saja. Tapi kita tidak bisa bebas dari konsekuensi atas pilihan kita, perbuatan kita. Kalo dikaitkan ke soal rokok, ya, kita bebas mau menjadi perokok atau tidak. Tapi kita tidak bebas dari akibat kebiasaan merokok kita. Jelas, dompet menipis. Mulut jadi bau tembakau. Gigi jadi kuning. Memang sih, konsekuensi ini tidak menimpa perokok dalam waktu dekat. Rasa sakit itu akan muncul nanti, setelah mereka cukup dewasa untuk sadar akibat apa yang ditimbulkan rokok bagi diri mereka.
Contoh lagi yang ga ada hubungannya dengan rokok. Ujian aja deh. Kita bebas mau belajar atau tidak. Tapi kita tidak bebas dari konsekuensi kemungkinan mendapat nilai jelek. Tidak ada kebebasan mutlak.

Jadi, kalo ada yang bilang dirinya merdeka, kasihan sebenernya. Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa tetap ada hal-hal yang membuat kita 'terbatas'. Takdir itu ada. dan pilihan pun berlaku untuk menentukan takdir kita. Menurut saya, Tuhan sudah memberikan kita beberapa pilihan di setiap episode hidup. Kalau kita pilih A, jalan hidup kita seterusnya akan begini; kalau pilih B, selanjutnya akan begitu; dan seterusnya. Kita bebas bergerak di dalam sebuah ruangan, namun kita tidak bisa keluar dari ruangan tersebut. Itulah takdir. Dan saat saya yakin bahwa Tuhan itu sudah mengatur hidup saya sedemikian rupa, saat itulah saya bebas. Karena saya yakin ada kekuatan di luar diri saya, dan saya bisa bersandar pada-Nya.

Oke. Kayaknya sudah mblandang terlalu jauh ini diskusinya. Jam sudah menunjukkan pukul 10.30. Afi mau kuliah lagi, dan saya mau bersemedi bersama tugas interpretasi tes grafis saya. Sungguh, tugas ini lebih baik dikerjakan dalam keheningan dan kesunyian =(o___o)= Jadi kami say goodbye dan melanjutkan aktivitas masing2. Dan salah satu hasil semedi saya bukan hanya tugas yang hampir selesai, tapi juga postingan ini, hahaha..share it all with joy! ;)

Selasa, 25 Oktober 2011

Random Week

This week is...I don't know. I cannot give my judgement because it's only Tuesday. There are still 5 days awaiting before I can say "This week. These 7 days I've lived through." But, in these 2 days, I just feel like crap. I get mad easily when I'm disappointed. I blow up when things just don't work as I want it to. I've become a grenade with victims are multiplying just because they unintendedly "touched" me. I've become a time-bomb that I just suddenly blow up anytime and anywhere.
Well, I can say that it's just the symptoms of PMS as I'm a fertile women. But I'm afraid if I have to say that it might be the symptoms of mood disorder. Oh yeah that sounds terrible =______=
Nope. It's only for these 2 exhausting days, right? Maybe tomorrow I'll get much better. Amen.
Still, I name it 'Random Week' because it's one week before we as university students have to face the "wow-it's a lil bit scary" UTS or Ujian Tengah Semester. So, I've predicted these week to be a "Galau Week", but I hope that I won't be "galau" too. I'm ready for the mid semester. Not that "ready" with an image of A-scores written on your exam paper, but it's more like that "ready" with a plain-face and empty hands. I'm ready to be whatever in my mid semester. I'm ready to have all those A-B-C possibilities -...-
Oh, c'mon girl. Be more optimistic.

WELCOME MID SEMESTER! I CAN'T WAIT TO SEE YOU! :*
Give me all those As, baby! :D
Wish me luck.

Sabtu, 15 Oktober 2011

Makan Nasi

I've just realized that yesterday, I just ate one hamburger and a half-portion of Indomie, and also a little bit bubur ayam. With those food I had to spend my day and night. Nah, jadinya sekarang saya baru sadar kenapa saya merasa lemas, ga karuan, dan....lapar.
Saya cuma makan sedikit....tidak ada nasi padat yang benar-benar nasi dalam menunya.
Baguslah, ini tandanya saya masih orang Indonesia tulen yang hidupnya (atau perutnya?) hampa tanpa nasi.
Dan sekarang saya pengen makan nasi.
Sekian dan terima kasih.

Kamis, 13 Oktober 2011

Saya (Pandai Berpura-pura) Sabar

Suatu hari, teman SD saya pernah berkata: "Wah...Nadya (ini nama asli saya, hihi) ga bisa marah."
Suatu saat, teman SMP saya mencoba mengusili saya dan berkata, sambil bercanda, "Ayo, Nad...marah Nad!"
Tapi, saya cuma tersenyum. Jelas, tidak marah.
Suatu ketika, guru SMA saya pernah nyeletuk, "Nadya kelihatan keibuan banget...lembut, penyabar..."
(saya cuma tertawa karena tidak tahu harus bilang apa 0_0)
Jadi, anggap saja kesimpulan ini reliabel: Saya adalah orang yang sabar.
Tapi tunggu dulu. Tidak, tidak, saya tidak bermaksud menyanggah pendapat orang-orang itu. Ya, saya akui saya bukan orang yang kasar dan pemarah. Tapi, yang saya ingin luruskan adalah: Bukan berarti saya pantas disebut penyabar.
Seandainya saya diusili, dimarahi, ditegur dengan tidak hormat, dilecehkan, dinina, dikhianati, dan di-di- berbau negatif lainnya, saya juga MARAH. Seperti orang pada umumnya. Tapi, jikalau sabar di sini diartikan secara kasar sebagai "tidak pernah atau tidak bisa marah", saya tidak akan bisa dimasukkan dalam kategori tersebut. Saya bisa MARAH. Apalagi jika melihat orang-orang yang lelet di saat genting, saya bisa MARAH. Tapi, memang sih, saya tidak menunjukkan kemarahan itu secara mencolok. Paling-paling saya hanya berkata dengan sinis, sedkit meledak-ledak, tapi tidak pernah terlihat "seram" sampai-sampai orang ketakutan sama saya. Ya, beneran ini, saya bisa MARAH. Saya bisa marah sambil tersenyum. Saya bisa marah sambil tertawa. Saya pandai bertindak layaknya orang yang sabar, walaupun sebenarnya saya orang yang cukup mudah marah dan meledak. Saya pandai berpura-pura sabar.
Sekarang saya bertanya: Salahkah ini? Apa dengan memasang wajah sabar ini saya munafik? Atau malah ini perbuatan terpuji, karena ini berarti saya dapat mengontrol emosi dengan baik?
Saya tidak berusaha menjawabnya.
Kalau saya pribadi menganggap, selama tidak menimbulkan kerusakan baik bagi diri saya maupun orang lain, maka tidak ada salahnya saya melakukan sesuatu, termasuk berpura-pura sabar (siapa tahu saya bisa jadi orang sabar tulen). Tapi mungkin saja ada yang menganggap saya orang yang penuh kepalsuan. Entahlah.
Ada satu hal lagi yang juga ingin saya luruskan. Bagi saya, sabar bukan berarti tidak pernah marah, tetapi dapat mengontrol emosinya ketika ia marah. Sabar adalah ketika ia menghadapi sesuatu yang mengguncang perasaannya sedemikian rupa, ia mampu bertahan untuk tetap stabil, berpikir jernih, dan mengambil keputusan dengan bijaksana. Sabar adalah soal kontrol emosi. Bukan peniadaan emosi. Jadi, kalau ada yang menganggap orang sabar berarti "tidak pernah atau tidak bisa marah", well, berarti harus kita pertanyakan lagi yang disebut itu beneran orang (manusia) atau malaikat? Karena saya yakin, semua manusia pasti pernah marah. Jika tidak, maka mereka belum pernah berinteraksi. Jika tidak, maka mereka telah kehilangan kemampuan untuk merasa. Jika tidak, maka mereka pasti tidak memiliki pengalaman sama sekali, setidaknya pengalaman buruk (tapi saya ragu ada manusia yang tidak pernah berada di bawah).
Nah, jadi, ketika saya tidak menunjukkan ekspresi marah saat ada orang yang bermaksud "menggoda" saya, bukan berarti saya penyabar. Bisa jadi saya memang tidak menganggap perbuatan orang itu sebagai suatu hinaan, atau stimulus negatif, yang harus saya respon. Bisa jadi saya tidak marah karena saya juga merasa fine-fine saja dengan keadaan saya. Lain halnya ketika saya merasa sakit hati namun saya tetap bertindak hangat dan penuh maaf, itu baru sabar namanya.
Dan saya merasa masih sangaaaat jauh dari kata sabar.
Tapi setidaknya saya bisa, dan di beberapa kesempatan, pandai berpura-pura sabar.
Jikalau ini masih berupa topeng pun, saya harap ini dapat menjadi wajah saya seutuhnya. Oh, maaf, tidak seutuhnya mungkin. Karena saya butuh marah juga, haha. Memendam emosi tanpa pernah meluapkannya juga tidak baik ;)
Jadi....selamat bersabar! :D

Rabu, 12 Oktober 2011

Let Me Tell You That I Love Music!

I love singing. Since I was a small girl (oh, sorry, I meant "little girl. I'm still a SMALL girl anyway -.-). I was very fond of listening The Cranberries song, entitled "Zombie", when I was in kindergarten. I liked Celine Dion and Mariah Carey when I was in elementary school. When I entered junior high school, I started to listen songs from bands, either American or British. Linkin Park was on my list. I fell in love with Coldplay. And I fell in love with Eminem. Usher. Alicia Keys. Christina Aguilera. Jojo. Well, a lot of musicians made me fall in love. Entering the senior high school, I didn't really care about radio charts which I was paying much attention to. I was listening to songs that I like not listening to the songs which were on the latest update. OneRepublic was amazing. Franz Ferdinand was great. Enigma was brilliant. James Blunt was cool. Lady Gaga was sexy. Hmm, Coldplay's the best.

I cannot determine what kind of music I like. Because whenever I hear something and it fits my ear and I feel delighted, then I will like it, no matter what genre it is. But I give higher score to songs that have great meanings. Lyric is important for me. Good lyrics can be your medicines to face life. It acts as a psychologist, I think. It inspires you. It makes you move. That's the power of lyrics.


I love music. For me, it's one kind of therapy. I love singing, too. That's why I joined choir in my campus. I love making beautiful sounds come out from my mouth. Fortunately I'm not really bad in music, so you can still enjoy my voice :p
I just love music, simply.

Senin, 10 Oktober 2011

Masih, Edisi Patah Hati

Wait...did I say it "Edisi Patah Hati"? Hmm..it's not exactly what I meant.
Maksud saya, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa saya sedang galau, tidak-tidak.
Hanya saja, tulisan ini masih terkait peristiwa tidak menyenangkan yang terjadi di hari yang seharusnya spesial bagi saya (memang akhirnya spesial, tapi tidak dalam cara yang baik).

Saya cuma ingin bertanya pada kalian-kalian semua yang pernah patah hati (jujur, ini patah hati "resmi" yang pertama kali bagi saya). Saya sudah pernah beberapa kali patah hati sebelum ini, tapi tidak dalam konteks di mana saya benar-benar sudah berada dalam suatu hubungan. Ya, sebut saja, saya pernah bertepuk sebelah tangan -__-
Tapi pengalaman diputus oleh pacar, ini yang pertama kali. Dan rasanya lebih pahit daripada jamu. Bahkan tidak berkhasiat untuk kesehatan fisik maupun mental.

Oke, saya ingin bertanya: Apa yang kalian rasakan jika mantan kalian berada dalam satu kampus, satu organisasi, satu mata kuliah, dan hampir bisa dipastikan akan selalu bertatap muka? Saya sih oke-oke saja. Saya kaget dengan betapa cepatnya saya bangkit dari kubur (untung bukan beranak). Ya, kuburan kesedihan. Saya berhasil melewatinya dengan sukses. Hampir tidak terlihat bahwa saya menghabiskan satu malam dengan menangis terisak-isak, tersedu-sedu, untung tidak sampai termehek-mehek. Mata saya sedikit bengkak ketika akan berangkat kuliah keesokan harinya, namun anggap saja mata saya sangat sipit sehingga bengkak pun terlihat seperti mata normal pada umumnya.

Tapi, menurut pengamatan beberapa teman dekat saya, sepertinya mantan saya tidak begitu baik. "Kayaknya dia masih galau gitu deh," ujar salah satu teman. Yang lain pun mengamini. Hmph, so what? Bukannya saya tidak peduli. "So what" saya di sini memiliki kepanjangan, yaitu "So what am I supposed to do?"
He's the one who asked this. Dan saya tidak mau capek-capek menghiburnya (harusnya saya yang dihibur deh kayaknya -_-). Dia minta putus, ya...saya cuma bisa membeo Bondan Prakoso dan Fade 2 Black: "Ya sudahlah". Toh sikap saya masih bisa dimasukkan kategori ramah, seramah yang bisa dilakukan seorang perempuan pada laki-laki yang sudah berbuat salah padanya. Saya membalas senyumnya. Saya membalas lambaian tangannya. Saya fine-fine saja ketika dia bersikap agak manja kepada saya di suatu kesempatan. Saya juga pernah tersenyum dan menyapa duluan. Tapi, memang sih, saya melihat dia sedikit "bingung". Ia seperti tidak berada di dunia nyata. Seperti melayang-layang dengan membawa pikirannya yang rumit.

Anyway, mungkin saya terlihat kejam. Tapi saya tidak mau bermanis-manis. Saya tidak membencinya, tapi tidak pula berusaha untuk mencintainya lagi (toh dia ingin mencari yang lebih baik baginya). Saya netral sekarang. Saya temannya, ya, temannya. Bukan teman spesial. Teman biasa saja. Bukan teman yang selalu memantau kabarnya setiap hari. Bukan teman yang selalu bertanya "Udah makan? Udah di kos?". Bukan teman yang mengucapkan "Hati2 ya" ketika ia akan bepergian. Bukan teman yang senantiasa membisikkan "Have a nice dream, sleep well. I love you." Itu masa lalu. Sekarang saya berada di sini, sekarang, karena permintaannya. Dan saya tidak akan kembali. Entah dia masih mencintai saya atau tidak, hal itu tidak akan banyak bepengaruh. Saya akan melanjutkan hidup saya.

Saya memaafkannya, beserta diri saya sendiri.

Kamis, 06 Oktober 2011

October 5, 2010-2011

Yesterday, October 5 2011.
I broke up with my boyfriend.
One year ago, October 5 2010.
I said "yes" to him.

It should've been a year.
It should've been a celebration.
But it was all pain.
Well, not all. There was laughter. There was smile. There was love, I think.
 I tried to make it clear, but it was blurred by tears.

He said that he could not go on.
"We have different world view."
He implied that I was not his type.
I said, "So you want to look for the one who is the same with you?"
He said yes.
And it was not me.


He said, "You are my best friend."
I said, "You too."
He said, "I learn so much from you. I don't wanna lose contact with you; I'll be on your side always. I'll be there."
I cried.
He cried, even louder.



So, you gave up, boy. I can't lift you up, because you don't want to. You are a free-man. Commitments made you scared. Commitments gave you a direction. But you are not toward that. Even you've never thought that we would be this long. You're not ready to stay longer. You're not willing for that, anyway.

It's hard for me to imagine how I'll keep in contact with you. Just as hard to imagine I'll find someone new.
But you said that I would. I don't know how much you guarantee that prophecy.
Till this night, I swear that you never knew, nor felt, what I feel inside.
Well, life must go on. We keep on promise -at least, you're the one who asked this- that we'll be friends.
Best friends, just like we're before. Before you said those three words and I said that yes.
It's hard. The hardest thing I have to do. But I have to.
I have to let go. I have to talk to you without lovely words anymore. I have to change this feeling.
Tell me, do you think it's easy?

You're a good-looking boy. You're smart. You're adorable. Every girl adores you. And I see how they're trying to get closer to you. I know it would never be long until you get a brand-new girl. A girl that suits you. The free one, the pretty one, the more similar characteristics of a free-thinker like you. And I have to watch that.

I pray for myself. God, please give me strength. Please.
I have to open a new page of my life. I don't wanna be sad anymore.
Happiness ia a choice. I choose that.
You will never see me down. I'll always be the best friend for you.
If it's the last hope from you, I'll make it true.
Thanks for everything. Thanks for the "sorry" words. Thanks for giving me almost a year with an extraordinary yet complicated guy. Thanks for leaving me and giving me up.
Thanks a lot, for helping me learn a lot about life.


This heart will heal itself. Time helps it. Adieu.