Rabu, 30 November 2011

Manajemen Lensa Kontak

Beberapa hari ini, saya menjadi pengguna lensa kontak. Ternyata bermanfaat juga untuk memodifikasi perilaku saya.

  • Pertama, saya harus bangun tidur lebih awal karena memakai lensa kontak butuh persiapan ekstra. Well, mungkin ini karena saya belum ahli, tapi yang jelas memakai lensa kontak tidak segampang memakai kacamata.
  • Kedua, saya jadi lebih bersih karena setiap mau memasang lensa kontak, saya harus mencuci tangan saya sampai bersih, jadi sekarang saya selalu bawa tissu dan kadang-kadang juga sabun, di tas saya.
  • Ketiga, saya jadi lebih disiplin. Tiap 6 jam sekali saya harus melepas lensa kontak dan membersihkannya dengan cairan khusus. Cairan khusus ini ada di dalam wadah lensa yang berarti saya tidak boleh lupa membawa wadah tersebut di tas saya. Selain itu saya juga harus memastikan botol kecil cairan itu masih ada isinya yang berarti saya juga harus rajin mengecek dan memindahkan cairan dari botol besar ke botol kecil di wadah itu agar saya punya persediaan di jalan.
  • Keempat, saya jadi lebih hati-hati dalam melakukan gerakan motorik halus ketika memasang dan melepas lensa. Saya harus hati-hati agar mata saya tidak kecolok telunjuk sendiri.
  • Kelima, saya harus ingat kapan harus mengganti cairan agar tetap segar, sampai kapan cairan tetes mata boleh dipakai (30 hari/1 bulan setelah dibuka), sampai kapan cairan pembersih boleh dipakai (3 bulan setelah dibuka), sampai kapan lensa boleh dipakai (6 bulan setelah dibuka).

    Yang jelas saya lebih pandai mengatur diri, disiplin, dan tidak mudah lupa. Bagus untuk melatih kerja otak.

Minggu, 27 November 2011

Egois

Suatu hari saya pernah berandai-andai: Tidak ada satu pun kegiatan bertema "terikat" dan "bertanggungjawab" dan "jabatan" di dalam kehidupan saya sebagai mahasiswa kecuali kuliah reguler di kelas. Saya seringkali berpikir seandainya saya tidak jadi Pemimpin Redaksi di Psikomedia. Saya sering mangkel karena waktu bermain saya yang tersita, waktu mengerjakan tugas kuliah yang berkurang, waktu untuk mencoba hal-hal baru yang terbatas, dan waktu untuk bertanggung jawab atas sebuah jabatan yang sebenarnya tidak saya sukai dan semakin tidak saya sukai karena saya tidak bisa melawan "kesepakatan bersama". Saya suka menulis, tapi saya tidak suka menjadi seorang pemimpin redaksi di sebuah badan pers. Saya suka tulisan saya yang tanpa teknik, polos, asli bikinan saya tanpa diedit-edit, berantakan, meloncat-loncat, ga berteknik, kacangan, murahan, bodoh, dll. Tidak bagus memang, tapi itulah saya. Tulisan saya ketika harus menjadi seorang anak redaksi haruslah berbobot, cerdas, berteknik, terstruktur, dan "wah". Bagus, saya mengakui hal itu bagus. Tapi itu bukan saya. Saya bisa menulis ilmiah, tapi akhir-akhir ini saya semakin menyadari bahwa jurnalistik bukanlah dunia saya. Saya bahkan merasa jauh lebih enjoy menulis tugas kuliah berupa paper, apalagi jika saya tertarik dengan topiknya. Saya suka jika orang menyukai tulisan saya, tapi bukan dalam bentuk tulisan jurnalistik.

Menyesal? Hmm, tidak. Saya memang ingin masuk Psikomedia, karena saya suka menulis dan ingin tulisan saya bertambah bagus. Saya dapat itu. Saya banyak dapat ilmu di sini. Atau mungkin saya menyesal terpilih sebagai PimRed? Bisa jadi. Ya, bisa jadi hal itu membuat saya sedikit muak dengan tetek bengek kepenulisan. Bisa jadi saya mengalami fatigue seperti di dalam teori belajar Guthrie. Bisa jadi ketika saya semakin disodori materi-materi keredaksian. semakin saya mual karena sebenarnya saya tidak sedoyan itu. Aslinya, saya suka menulis diary, puisi, cerpen/novel gagal...yeah, things like that. Hhh, ironis. Ketika jabatanmu tergolong penting kamu seharusnya semakin menyukai bidangmu, tapi tidak untuk saya. Malah jabatan inilah yang membuat saya ingin lepas.

Sudah hampir setahun. Deadline, brainstorming, editing, evaluasi, dll saya jalankan dengan semangat sintetis dan motivasi mainan. Ketegasan jadi-jadian ketika saya sebenarnya merasa tidak kuat. Ga, ga, ga kuat...

Ckckck, saya aktor yang buruk setahun belakangan ini karena di banyak waktu wajah saya yang asli menampakkan diri dan saya naik pitam di beberapa evaluasi karena saya merasa beban itu ada di saya dan saya mengacaukannya dan kenapa kenapa kenapa tidak orang lain saja yang dipilih padahal masih banyak yang lebih pintar dari saya lebih sabar dari saya tapi kalau saya melimpahkan tanggung jawab kepada mereka itu berarti saya pengecut dan tidak amanah jadi saya jalankan semua kepura-puraan ini di tengah ketidakmampuan dan kurangnya kompetensi saya dibanding anggota redaksi lain dan jreng..jreng..beginilah hasilnya. Saya merasa kinerja saya tidak maksimal. Selalu. Selalu ada yang salah. Dan meskipun bukan murni kesalahan saya, saya merasa bertanggung jawab.

Dan di penghujung tahun ini saya harus membuat LPJ dll dan saya membayangkan saya akan menulis bahwa saya sebenarnya tidak beperan apa-apa karena saya lebih banyak ngikut suara mayoritas karena saya sendiri bingung apa yang harusnya saya putuskan saking banyaknya masukan yang diberikan kepada saya dan saya tidak bisa menafikannya karena yang memberi masukan adalah orang yang lebih kompeten jadi saya adalah pemimpin yang ngambang dan gampang disetir. Dan proyek majalah tahun ini masih menunggu dan saya tidak mau memikirkan hal itu karena saya sudah cukup banyak berakting bahwa saya fine-fine saja tapi kalau tidak saya pikirkan dan saya pantau itu adalah berarti saya pemimpin yang buruk tapi memang saya bukan pemimpin sekaliber Soekarno atau Obama jadi...FINE! Saya tidak mau berpikir. Saya tidak mau diganggu. Saya cuma ingin nyantai menunggu lengser awal tahun depan. Betapa egoisnya saya. Dan saya juga menjadi tumbal keegoisan sebuah suara yang katanya suara bersama.
Tapi sayangnya bukan suara saya.

Egois. Saya sedang egois sekarang. Saya tidak sempurna. Izinkan saya menjadi orang egois.

*ditulis dengan penuh keegoisan dan ledakan emosi secara tiba-tiba yang berbahaya jika tidak diledakkan dalam blog karena jika meledak di luar blog akan menghasilkan sumpah serapah yang sangat tidak elegan*

Jumat, 25 November 2011

Silly Conversation

Ini adalah reka ulang dari sebuah percakapan yang diceritakan adik saya. Silakan dinikmati.


X: Wah, aku belum sholat asar nih!
Y: Tapi udah jam segini je...
X: Iya ya. Duh, udah abis dong waktunya, ga bisa sholat deh :(
Y: Ya udah, diikhlasin aja...


Ada hal aneh di kalimat terakhir yang diucapkan oleh Y.
-______-"

Rabu, 23 November 2011

God's Handmade is Perfect..

beach trace

Foto ini diambil oleh teman saya waktu main-main di pantai. Atas suruhan saya, haha.
Ini kaki yang langka. Susah banget nyari sepatu untuk ukuran kaki seperti ini.
Kalo kata adik saya sih, ukuran kaki saya itu M a.k.a micro -____-

Anyway, I love my tiny feet. My tiny head also. God's handmade is perfect :)

Selasa, 22 November 2011

Tentang Kualat

Pernah denger yang namanya kualat? Kualat adalah sebuah kata yang digunakan untuk menggambarkan sebuah kondisi di mana karma terjadi, lebih tepatnya, ketika kalian melakukan sesuatu yang buruk dan menuai keburukan dari tindakan kalian tersebut. Dan kualat really does work. It is real and it exists.
Saya akan menceritakan salah satu kejadian kualat ketika saya masih menjadi siswa kelas 3 SMA, yang saya alami bersama teman SMA saya, Nuzul.

Siang itu, belum selesai jam sekolah, sekitar pukul 13-an, cuaca panas dan kami akan segera menghadapi kebosanan mematikan di mata pelajaran Sosiologi. Berhubung kami sedang malas dan ada tugas lain yang belum dikerjakan dan ingin bermain-main, maka kami memutuskan untuk pergi ngadem ke warnet sekalian nyari bahan buat tugas sekalian bolos 8) Karena saya belum bisa naik motor, saya nebeng Nuzul.

Sebelum kami berada dalam perjalanan ke warnet yang hanya berjarak sekitar 300 meter itu, saya sempat bercanda sama Nuzul, "Wahai, Bu X, izinkanlah kami membolos siang ini..." sambil tertawa-tawa. Kami berusaha minta maaf dan minta izin secara tidak langsung kepada guru kami.

Lalu apa yang terjadi?

Untuk mengefektifkan tulisan, saya tulis saja langsung:
KAMI KECELAKAAN.
Menabrak motor yang sedang menyeberang.
Saya ga kenapa-napa, Nuzul kakinya agak memar ketimpa motor.
Tapi berhubung jarak kami lebih dekat ke warnet daripada ke sekolah, kami lanjutkan saja perjalanan ke warnet :p

Sesungguhnya membolos itu adalah perbuatan tidak terpuji dan pasti kami tidak di-ridhoi.
Buat yang mau mbolos, hati2 ya. Jangan jadikan membolos menjadi perbuatan terakhir yang kamu lakukan. Itu sangat tidak elegan. Membolos bisa menyebabkan kematian; kalo setelah membolos itu kamu tabrakan.

Alhamdulillah saya dan teman saya ga kenapa-napa, ga luka parah lah.
Tuhan masih memberi kami kesempatan bertobat -.-

Minggu, 20 November 2011

Face to Face

Kata salah seorang dosen saya, ga ada itu yang namanya "jauh di mata dekat di hati".
Hmm, saya setuju kala beliau mengucapkannya, at least saya ikutan tertawa terbahak-bahak bersama teman-teman lain sementara ada beberapa orang yang tampangnya langsung suram dan bilang, "Duh, menohok banget sih, gue LDR nih T.T"

Dan sekarang, saya yakin itu benar. Paling nggak dalam hubungan antar-manusia. Kalo hubungan manusia-Tuhan sih, beda kasus. "Jauh di mata dekat di hati" itu harus, berhubung kita ga bisa melihat wujud Tuhan.
Oh ya, kenapa saya yakin omongan itu benar? Karena saya mengalaminya. Ini subjektif sih, tapi whatever. Saya tidak akan bisa terus menerus menjadi orang objektif kalo menyangkut perasaan. Perasaan bukan nalar yang cenderung objektif. Ah, tapi nalar pun biasanya subjektif, terbukti dengan pikiran orang yang berbeda-beda.

Balik ke titik tadi. Saya sadar bahwa intensitas bertemu dengan seseorang itu benar-benar mempengaruhi hubungan. Saya baru saja mengalaminya dengan teman-teman paduan suara saya. Sudah sebulan lebih saya tidak ikut latihan bersama mereka. Pertama, saya batuk. Kata pelatih saya, nyanyi itu harus fit, jangan dipaksain, ntar produksi suaranya malah jelek. Oke deh, demi kesehatan dan daripada merusak harmoni, saya ga ikut latian. Kedua, saya sibuk dengan tugas kuliah dan tugas organisasi lainnya. Ah, saya jadi merasa berantakan.

Nah, tadi saya ikut ngisi job pembukaan Porsenigama bareng teman-teman saya. Ternyata yang ikut cuma 8 orang. Ini sih vokal grup namanya =_=
Yaudin, dengan personil yang sedikit banget itu akhirnya kami harus tetap maju. Untung acaranya ga formal-formal banget, jadi ga banyak tuntutan. Kami hanya harus nyanyi Indonesia Raya dan hymne, serta Bagimu Negeri. Sempat ada issue kalo lagunya ditambah 1 lagu pop, jadi untuk jaga2 kami nyiapin lagu "Looking Through The Eyes of Love".

Nyanyi lagi deh saya dengan temen2. Rasanya....amazing. Ga bermaksud lebay, tapi ini jujur. Terserah kalo mau bilang lebay. Rasanya bahagia bisa ngumpul sama mereka lagi. Dengerin suara kami menyatu satu sama lain itu sesuatu banget. Mungkin karena saya jarang latihan sebulan belakangan. Apalagi pas latihan "Looking Through The Eyes of Love", saya benar-benar menghayati dan rasanya nyaman banget mendengar nada-nada sopran, alto, tenor, dan bass bergabung di lagu itu.

Saya merasakan betapa saya menyayangi teman-teman saya ketika kami bersama (jiahh). Sementara kalo sedang tidak ikut latihan, sibuk sendiri, dll saya merasa yaaa...kangen sih, tapi saya tidak begitu menyadari bahwa saya sangat bahagia memiliki teman2 seperti mereka, karena mungkin rasa sayang itu teralihkan oleh kesibukan2 yang menuntut otak bekerja dominan di atas hati nurani.

Apa yang mau saya utarakan di sini sebenarnya adalah BERTEMU ITU PENTING. Bagaimana saya bisa menunjukkan kalau saya loyal pada PSM dan saya peduli pada PSM kalau saya tidak ikut latihan, tidak ikut nge-job, dll? Duh, saya ditonjok oleh tulisan saya sendiri.
Jadi, selama masih ada waktu, cobalah bertatap muka dengan teman-temanmu. Tidak perlu terlalu sering, sekedar cukup untuk mengingatkan bahwa mereka itu temanmu, kalian terhubung, dan kamu peduli pada mereka.

Sebelum kamu mulai melupakan mereka.
Sebelum mereka mulai melupakanmu.

Sabtu, 19 November 2011

About The So-Called "Self-Confidence"

Self-confidence for me, it's not to idol yourself and believe that you're the best in the entire world. It's more to accept yourself and believe that you can do things well with your own capacity. If you say that "Look, I'm the most beautiful girl in the world...noone else compares!" it's not a self-confidence; it means that you're a damn snob. But if you say, "I know I'm not beautiful but that's okay. I feel good with myself and I believe that I can do things well without being so consumed with beauty-thingies" then you have a good self-confidence. It can be possible that my concept of self-confidence ain't true, but I'm pretty sure of what I've said. Can I say that I've got a great bunch of self-confidence? LOL.
(Rismarini, 2011)

*
ditulis dengan membingungkan oleh orang yang bingung terhadap kebingungan yang membingungkan*

Ever Been in A Situation Like This?


*digambar dengan penuh perasaan*

 

Jumat, 18 November 2011

Renungan Random

Pernah ga sih kalian merasakan hidup kalian itu adalah sebuah skenario yang luar biasa? Saya kerap merasakannya. Jujur, saya bukanlah tipe orang pemikir dan perenung. Wajah saya tergolong awet muda. Mana mungkin bisa begitu kalo kerjaan saya mikir melulu =_=
Tapi, well, ada saat-saat di mana saya terbaring diam sebelum tidur di malam hari, di siang hari juga kadang2, dan saya tersenyum sendiri melihat film kehidupan saya diputar di dalam otak saya. Kadang-kadang saya juga menangis sendiri ketika menonton film itu. Film yang luar biasa. Yang disutradarai oleh Tuhan yang saya sembah, Allah, pemilik semua keindahan dan kebaikan.

Saya merasa, tidak ada kebetulan yang terjadi dalam hidup saya. Semuanya misteriously-beuatifully-planned. Saya tidak bisa menceritakan secara keseluruhan hidup saya (blog bukan tempat menulis autobiografi). Namun ada beberapa bagian, seperti benang merah, yang saya yakin merupakan rencana Allah yang terbaik, yang akhirnya membentuk siapa saya sekarang.

Saya pernah naksir banget sama teman SMP saya. Selama 2 tahun, saya tidak pernah berusaha menyatakan perasaan saya. Saya ingat, saya jadi rajin belajar karena orang yang saya suka itu pintar. Saya tidak mau kelihatan bodoh di depannya. Pas kelulusan, eh, malah NEMnya yang jauh di bawah saya. Dia akhirnya masuk SMA negeri yang berbeda dengan saya. Sempat ada niat untuk masuk ke SMA yang sama dengan dia, tapi saya pikir itu bukanlah hal yang rasional. Jadi saya masuk SMA yang berbeda dengan dia. Tidak lama setelah itu saya dengar dia sudah punya pacar. Saya sedih, tapi saya relakan saja :')

SMA saya adalah SMA favorit. Banyak link untuk berprestasi. Tapi tidak berarti saya selalu sukses. Saya pernah kecewa. Waktu kelas 1 SMA, saya pernah mendaftar program pertukaran pelajar. Saya ingin ke Prancis waktu itu. Menjelang tahap akhir, saya tereliminasi. Kecewa sih, tapi tidak sampai membuat saya sedih banget kok. Saya yakin, pasti ada sesuatu di balik ini. Mungkin terungkapnya tidak sekarang. Mungkin nanti. *ups, kayak judul lagu salah satu band domestik :p
Akhirnya, saya jalani kehidupan saya. Saya juga naksir seseorang yang menurut saya almost perfect. Tapi lagi2, saya bukan orang yang mampu bicara. Saya pun membisu, menyimpan cinta membara dalam hati (ampun deh bahasanya porno banget =_=)
Kelas 2 SMA, saya masuk IPS, jurusan yang memang saya rencanakan akan saya ambil sejak kelas 3 SMP. Mengapa? Tentu saja karena saya ingin jadi Psikolog. Fakultas Psikologi yang paling bagus adalah di UGM. Masuknya harus lewat jalur IPS. Jadi saya pilih IPS, walaupun saat itu saya kecanduan Kimia. Pelajaran Kimia loh, bukan kecanduan minuman beralkohol atau sejenisnya -.- Jadi saya say goodbye pada nilai Kimia saya yang bersinar di rapot itu...
Kelas 3. Saya makin mantap dengan pilihan saya, Psikologi. Saya ingat saya berdoa supaya apa yang saya cita2kan memang apa yang telah ditakdirkan untuk saya. Sebelum ujian masuk, saya sempat panik dan saya menangis. Untuk menenangkan diri saya shalat Dhuha. Saya pasrahkan semua pada-Nya. Dan ternyata, tangan Tuhan membawa saya ke jalan yang memang saya dambakan: Fakultas Psikologi :'D

Ketika kuliah, saya mulai membuka diri. Saya aktif berorganisasi. Saya bertransformasi dari seorang murid pengangguran yang pendiam menjadi mahasiswa penuh energi, mahasiswa siluman kura-kura (kuliah-rapat-kuliah-rapat). Di tahap inilah saya mulai menjadi Nadya yang baru. Saya mulai melupakan orang saya sukai sejak SMA karena tampaknya dia tidak menangkap perasaan saya. Sakit rasanya, tapi ya sudahlah memang bukan jodoh kayaknya. Namun takdir mempertemukan saya dengan seorang laki-laki baik hati. Saya mulai berteman, bahkan saya cerita tentang orang yang saya sukai ke dia. Begitu pun dia. Tapi siapa sangka, akhirnya malah kami yang jadian. Pacar pertama saya! Wow! Hidup begitu indah rasanya. Setiap hari spesial. He's amazing. Saya bersyukur kepada Tuhan bahwa saya dapat mengenal seseorang seperti dia. Saya bahkan bersyukur karena menyukai orang sebelum dia, karena jika saya tidak menyukai orang yang saya sukai sebelum dia, mungkin curhat2an galau kami tidak akan terjadi dan saya tidak akan mengenal orang sekeren pacar (eh, sekarang mantan dink) saya. Saya berharap dapat berlangsung lama....tapi ternyata tidak sesuai harapan. Hati saya porak poranda. Ya, itulah hidup. Tidak terduga.

Lihat? Tidakkah itu skenario yang indah? Jangan lihat per episode. Lihat benang merah di antaranya.

# Seandainya ketika saya SMP Tuhan tidak menaruh perasaan suka di hati saya terhadap cowok pintar itu, mungkin saya akan tetap jadi murid biasa yang malas belajar. Tapi karena ingin mengejar dia, saya jadi rajin belajar dan akhirnya masuk SMA favorit. Hmm, walaupun tidak satu SMA dengan orang yang saya kagumi itu...

# Masuk SMA favorit adalah gerbang luar biasa untuk mencapai cita2. Di sini saya banyak bertemu orang yang menginspirasi, teman-teman luar biasa, cowok luar biasa (ehem). Walaupun ada dukanya, masa-masa SMA tetap menyenangkan. Masuk SMA favorit juga membantu saya belajar lebih giat. Teman2 saya rajin belajar dan pintar2, saya jadi ketularan. Dengan bantuan Tuhan, saya akhirnya bisa mengoptimalkan usaha dan keberuntungan sehingga diterima di Fakultas Psikologi sebuah PTN ternama.

# Masuk PTN ternama memudahkan saya dalam menggapai cita2 saya, yang sekarang sudah lebih mengerucut: Psikolog Klinis. Di sini saya bertemu dosen2 yang hebat, teman2 yang hebat, pacar yang hebat. Kalau saya keterima pertukaran pelajar waktu itu, saya mungkin ga akan jadi mahasiswa Psikologi angkatan 2009. Saya mungkin ga akan kenal dengan teman2 saya yang luar biasa ;') Saya mungkin ga akan bisa merasakan masa2 ketika pacaran dengan si dia. Tapi ternyata pacar berubah bentuk menjadi mantan...dan ya, saya masih menunggu hikmah di balik kejadian tersebut terungkap sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Ya, saya masih bertanya-tanya ada apa gerangan di balik skenario putusnya saya dan mantan saya.

God's hands work in a very misterious way. Meski begitu saya percaya ada satu aturan yang harus diikuti: That everything happens for reasons. Allah hanya ingin melihat saya menemukan hikmah dalam hidup saya, karena hidup adalah belajar. Saya akui banyak skenario yang saya protes, ada saat-saat di mana saya menjadi hamba yang begitu egois dan bodoh, karena saya tidak tahu mengapa sesuatu yang tidak menyenangkan harus terjadi, karena saya tidak tahu kemana semua ini bermuara, karena saya khawatir. Karena saya takut. Karena saya manusia.
Namun, ada suara kecil dari dalam hati saya yang berkata: God will never abandone His creatures.
Never
.
Dan di tengah renungan acak tentang kehidupan saya, saya sudah melihat hikmah-hikmah itu sedikit terungkap, muncul ke permukaan dari bawah lautan takdir-Nya yang penuh rahasia. Ada pula hikmah yang belum terungkap. Ada perasaan yang masih mengganjal. Hati yang belum ikhlas dan masih saja bertanya "Kenapa?". Namun, pasti suatu saat nanti, seiring berjalannya waktu, saya bayangkan Tuhan tersenyum (boleh ga sih membayangkan Tuhan tersenyum?) dan berkata kepada saya: "Kamu ingin tahu kenapa? Karena ini." Dan jawaban itu muncul ketika teka-teki masa depan terkuak dan saya dengan wajah tersenyum memandang ke masa lalu sambil berkata: "Ya, karena ini. Karena di sinilah aku sekarang. Dan aku tidak akan dapat berada di sini tanpa melalui jalan yang gelap itu."

Dan itulah yang terjadi ketika film kehidupan saya diputar kembali di lain waktu. Saya akan dengan ringan berkata: "Ya, karena di sinilah saya sekarang. And it feels good. Betapapun kacaunya jalan yang saya lewati dulu. Saya tidak menyesal. Terima kasih Ya Allah, atas skenario yang hebat ini."

Hidup saya akan terus menerus begini. Berjalan, dan terkadang menoleh ke belakang sejenak, hanya untuk melihat betapa sebenarnya semua kesuraman itu merupakan gambar yang indah dari jauh. Selalu seperti ini. Menemukan hikmah dan menunggu hikmah lain terungkap seiring waktu membuka tabirnya. Selalu seperti ini. Sampai ajal mendatangi saya. Ketika akhirnya film berakhir. Ketika akhirnya behind the scene ditampilkan dan saya menangis sambil tertawa melihat betapa Sang Sutradara Kehidupan benar-benar menyiapkan sebuah film yang hebat.

And it must be beautiful :)

Kamis, 17 November 2011

A Rat Story

Sekedar mengabarkan: Hari ini saya melihat tikus, saudara2!

Kronologinya:
Sekitar pukul 16.50, saya dan teman saya, Iconx, sedang menonton video SHINee di Psikomed -markas organisasi yang saya ikuti- sambil nyantai2 habis kuliah. Saat kami berdua sedang asyik nonton, saya menangkap bunyi kresek-kresek di telinga saya. Curiga, saya menoleh ke arah sumber suara, dan ternyata....oh tidak....


tidak ada apa-apa.


Heran, saya kembali menonton. Paling cuma perasaan aja, pikir saya. Beberapa menit kemudian, bunyi itu muncul lagi. Penasaran, saya menoleh ke arah yang sama dan melihat....

Seekor tikus.
Berukuran M.
Berwarna coklat comberan.
Sedang nangkring di atas meja kecil tempat menyimpan kotak-kotak makanan ringan.
Awalnya saya cuma bengong, dan beberapa detik kemudian baru teriak:
"AAA...TIKUUUSSS!!!!"

Iconx ikut heboh, Si tikus juga ga kalah heboh, Hewan kecil itu mulai memanjati dinding. Saya hanya menontonnya tanpa bergerak dari tempat saya duduk. Iconx malah heboh nyari2 handphone buat motret binatang itu. Tapi si tikus dengan lihai meloncat ke bawah, lari, masuk ke dalam krat-krat tempat menyimpan botol minuman ringan. Saya dan Iconx masih teriak-teriak, walaupun tidak dengan suara melengking karena kami berdua bukan penyanyi sopran.

Saya dan Iconx masih panik (atau lebih tepatnya, kegirangan mungkin) dan kami menunggu si tikus keluar untuk difoto. Iconx udah siap tempur dengan sapu di tangannya. Menyadari bahwa si tikus tidak akan keluar kalo tidak dipancing, saya mengambil sapu dari tangan Iconx dan menyodok-nyodokkannya ke dalam krat itu. Ga ada hasil. Saya sodok lagi, lagi, dan...jreng, si tikus keluar dari persembunyiannya, lari, dan keluar dari ruangan. Hanya dalam beberapa detik.
Dan apa yang saya dan Iconx lakukan?
Hanya berteriak, "WAAAA..."

Tapi syukurlah si tikus udah keluar dari markas tercinta.

Merasa wow aja bisa ngeliat tikus itu.
It's not a thing that you can see everyday -_-

Well, that's all. A rat story. Bye.
#krik#



Bagi yang belum pernah lihat tikus, ini gambarnya :p
Ini bukan foto tikus yang kami lihat, berhubung kami terlalu panik untuk memotretnya.
Tapi kurang lebih tampang si tikus sama dengan tikus model di atas, ehm...sedikit lebih kusam dan kurang gizi, sih -_-"
Sepertinya gizi buruk juga menimpa tikus-tikus Indonesia.

Trouble Really Is A Friend

Akhir-akhir ini saya banyak terlibat diskusi pintar bersama orang-orang pintar. Alhamdulillah, paling tidak waktu saya tidak habis percuma hanya dengan bengong di pojok kamar. FYI, diskusi pintar bisa berlangsung di mana saja dan kapan saja, bahkan ketika kamu merasa bodoh dan terjebak di sebuah situasi yang bodoh, seperti yang saya alami bersama teman saya, Novia.

Kami adalah contoh orang-orang pintar (amin) yang terlibat diskusi pintar di situasi yang bodoh. Ceritanya nih, tadi habis maghrib kami mau nonton Tintin di Empire XXI. Ngincernya sih jam 18.30, biar pulangnya ga kemaleman. Nah, ternyata, pas kami sampai di sana, kami langsung merasa terintimidasi dengan antrian panjang yang berisi orang-orang yang mau menonton film yang sama. Mulai ketar-ketir >.<

Firasat kami benar: Ternyata tiket untuk jam 18.30 cuma tinggal empat, dan duduknya di barisan paling depan, pojok lagi. Selain itu, filmnya juga udah mulai, jadi kita telat. Karena kami ogah rugi, akhirnya palu hakim pun berbunyi: Dua tiket untuk Tintin 3D jam 20.40 dibayar tunai! *eh, ini kayaknya bukan kata-kata hakim deh =_= Well, kami memutuskan untuk menunggu sekitar 2 jam lagi sebelum bisa menyaksikan aksi si detektif unyu. Di situasi bodoh yang rentan terhadap aksi ndomblong dan bengong serta penantian yang membosankan, kami memutuskan untuk makan malam di JogChick dekat situ, sekalian menghabiskan waktu. Dan dimulailah diskusi pintar kami.
Sambil makan, kami ngobrol-ngobrol tentang dosen, kuliah, kehidupan, dan semacamnya. Random sih, tapi ada bagian dari diskusi santai kami yang ingin saya share di sini, yaitu tentang rasanya menjadi mahasiswa, lebih tepatnya buat kami, mahasiswi, Psikologi, yang biasanya dianggap bebas masalah dan sangat bijaksana.

Ya, pernahkah kalian, yang kuliah di Psikologi, merasakan adanya tanggung jawab, atau tuntutan, untuk berperilaku selayaknya manusia setengah dewa? Saya merasakannya. Karena saya biasa mendengar mahasiswa, atau orang lain, nonPsikologi mengomentari mahasiswa Psikologi yang mereka pikir tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Salah satu yang pernah saya dengar adalah, "Anak Psikologi kok ngomongnya kayak gitu (nyelekit)" atau "Anak Psikologi kok bermasalah" dan banyak lagi. Saya merasakannya, seriously. Saya merasakan adanya image yang harus saya tampilkan sebagai seorang mahasiswi Psikologi. Sabar. Pengertian. Pendengar yang baik. Ramah. Stabil. Anti-galau. Saya merasakannya. Karena saya juga terkadang memiliki ekspektasi serupa terhadap dosen-dosen saya. Jadi, ketika saya mendengar cerita seorang teman tentang dosen yang ngomongnya mak jlebb sampai membuat mahasiswa sakit hati dan merasa dipermalukan, saya geram sekali. Karena apa? Karena saya berharap dosen yang mengampu saya adalah orang yang baik! Orang yang menghargai manusia! Humanis! Psikolog handal yang menyenangkan, bukan menyeramkan! Ketika saya mendengar ada dosen seperti itu, saya kecewa dan sedih. Ya, ekspektasi. Dan kadang hal ini terlalu berlebihan.

Saya pernah ikut terapi kelompok. Di situ ada bermacam-macam orang yang belum saya kenal. Saya termasuk salah satu peserta paling muda di kelompok itu. Kebanyakan adalah orang-orang dewasa yang sudah mapan dengan pendidikan dan pekerjaannya. Dari luar mereka terlihat biasa saja, bahkan cenderung terlihat seperti orang yang bahagia tanpa ada satu cacat pun dalam kehidupan mereka, begitulah yang saya pikir. Mereka juga berlatar belakang pendidikan Psikologi. Jadi saya sempat neyeletuk dalam hati, "Buat apa ya mereka ikut terapi kelompok? Mereka tidak terlihat mebutuhkan bantuan."
Dan ternyata saya salah.
Mereka punya masalah yang jauh lebih berat daripada saya. Masalah yang jauh lebih kompleks. Padahal, seperti yang saya bilang, mereka berlatar belakang Psikologi. Sudah lebih senior daripada saya. Tapi ternyata, mereka juga penggemar Lenka. Trouble is a friend...
Ya, manusia tidak bisa lepas dari masalah. Dan sempat terlintas juga di benak saya, saat saya berada dalam terapi kelompok itu, bahwa masalah itu pula lah yang membuat kita manusiawi. Masalah adalah bagian dari hidup manusia. Tidak menyenangkan memang, namun kita juga tidak bisa hidup tanpa masalah. Trouble makes us human.
Bahkan mahasiswa Psikologi pun tidak bisa lepas dari masalah. Hei, kami juga manusia. Bahkan mungkin beberapa di antara kami memutuskan masuk fakultas ini karena ingin rawat jalan. Kami malah mungkin lebih rentan terhadap masalah, karena kami belajar untuk mengenal manusia lebih dalam, dan otomatis mengenal diri kami lebih dalam, dan hasilnya? Banyak di antara kami mungkin harus menghadapi kenyataan bahwa ada banyak hal yang salah, yang mungkin harus kami perbaiki, sementara orang lain mungkin berpikir itu adalah hal biasa. Ya, itu salah satu resiko ketika kita memutuskan mengenal siapa kita lebih dalam: Kita akan berhadapan dengan sisi mengerikan yang ada dalam diri kita sendiri.

Masalah itu normal, dalam artian semua makhluk hidup pasti pernah berhadapan dengannya. Tapi masalah itu tidak normal ketika membuat kita overwhelmed. Saya rasa, psikolog mungkin memiliki sebuah keahlian yang tidak dimiliki orang lain, yaitu menjadikan masalah sebagai bagian dari hidup mereka dan memandangnya secara positif. Mereka punya masalah, tetapi masalah itu tidak mendominasi mereka, dengan kata lain, mereka bisa me-manage masalah sehingga tidak mengganggu dan menimbulkan banyak kerugian bagi diri mereka mau pun orang lain. Novia berkata, "Kok rasanya jadi psikolog itu....kayak bukan manusia. Kayaknya udah jadi manusia setengah dewa." Saya manggut-manggut. Ya, manusia setengah dewa. Bukan berarti para psikolog layak menjadi model video klip atau backing vocal lagunya Iwan Fals. Tapi entah kenapa, psikolog itu seperti memiliki hal yang lebih dari orang kebanyakan. "Berat ya," tambah Novia.

Hhh, ekspektasi. Mungkin kata berat itu muncul karena ekspektasi. Bagi kalian yang punya teman anak Psikologi, kalian mungkin berharap bahwa teman kalian bisa jadi teman curhat yang baik. Tapi lagi-lagi, masalah itu selalu ada. Masalah muncul karena adanya kesenjangan antara ekspektasi dan kenyataan. Mungkin, teman kalian yang anak Psikologi tadi malah oramg yang menyebalkan, bisa saja, kan? Saya yakin banyak juga anak Psikologi yang menyebalkan. Termasuk saya.

Saya tidak ingin mengatakan bahwa psikolog itu bebas masalah atau psikolog itu sebenarnya ga ada bedanya dengan pedagang kaki lima, tidak. Saya hanya ingin menghadirkan realita. Bahwa masalah itu manusiawi. Psikolog itu juga manusia. Tapi psikolog punya tanggung jawab berkaitan dengan profesinya yang mengurusi manusia. Ya, jelas dia harus lebih ahli, ahli dalam menangani dirinya sendiri karena dirinya sendiri juga termasuk objek yang ia pelajari. Walaupun terkesan seperti manusia setengah dewa, psikolog tetap manusia. Sama seperti dosen yang saya ceritakan tadi. Beliau juga pernah menyakiti hati mahasiswa. Beliau pastinya juga punya masalah. Tak ada yang sempurna; dan justru ketidaksempurnaan itulah yang menyempurnakan hidup kita sebagai seorang manusia. Karena sudah sewajarnya hidup kita itu penuh lika-liku, maka kalau lurus melulu itu tidak baik :p Masalah membuat kita sadar bahwa kita adalah manusia.

So, bertemanlah dengan masalah. Bukan berarti kita harus menambah-nambahi masalah dan mencari-cari masalah bagi diri kita, tapi "berteman" di sini maksud saya "berusaha mengenal dan berdamai dengan masalah itu". Jangan memusuhinya. Kalian tahu kan bagaimana caranya menyelesaikan masalah? Kenali masalah itu. Mengenal dengan baik sebuah masalah tidak akan berhasil jika kita memusuhinya...jadi bertemanlah. Pahamilah ia. Dan pasti akan ada solusinya :D #ceileh

Untuk menutup posting random ini, saya mau bercerita sedikit. Suatu hari di kelas Psikologi Klinis, dosen saya menyuruh seorang mahasiwa untuk maju dan membantunya mengilustrasikan sesuatu. "Coba pegang gelas ini," kata beliau. Teman saya dengan tampang pasrah agak bingung memegang gelas itu dengan tangan kanannya. "Berat?" tanya beliau. "Tidak," kata teman saya. Dosen saya pun menyuruhnya terus memegang gelas itu dengan sebelah tangannya.
Beberapa menit kemudian, dosen saya bertanya, "Gimana?" Teman saya meringis, "Pegal," jawabnya. "Itulah masalah," timpal dosen saya. "Terkadang hanya sesuatu yang tidak berat, tapi kita membawanya tiap menit, tiap hari, bertahun-tahun...dan akhirnya kita lelah. Tugas psikolog adalah menyuruh seseorang meletakkan gelas tersebut untuk sejenak."
Saya tersenyum. Ya, letakkan. Lemaskan tangan kita yang tegang, dan lihatlah, hei, itu cuma gelas kok, bukan barbel seberat 3 kg. Ya, itu cuma gelas. Saya pasti bisa menemukan cara untuk membuat gelas itu tidak mencederai tangan saya. Mungkin menaruhnya, menyimpannya di suatu tempat, membuang, memecahkannya, atau sekedar meletakkannya, menunggu tangan saya kembali kuat untuk memegangnya lagi...

Rabu, 16 November 2011

"Celoteh Ngawur Menjelang Tidur"

Mataku berat melihat
Mimpi-mimpi bergentayangan, pikiran laknat
Antara di dunia dan kahyangan
Bedanya tipis, Kawan
Saat dunia mulai kabur
dan khayal menggempur
Lalu, batinku sambil menguap:
"Apa yang lebih baik selain tertidur?"

Yogyakarta, Januari 2011

*Berhubung sedang ngantuk saya post saja puisi lama ini :3 Sepertinya saya menulis puisi ini ketika akan berangkat tidur*

Selasa, 15 November 2011

Mengapa Sedih?

Actually, posting ini tidak berisi cerita sedih yang membuat termewek-mewek. Ini lebih merupakan sebuah pemikiran yang belum tentu memiliki jawaban. Hanya sekedar bertanya-tanya.

Pertanyaan ini berawal dari diskusi santai saya dengan seorang teman saat kuliah Psikologi Emosi tadi siang. Saat itu dosen kami yang unik menyuruh kami membentuk kelompok dan berdiskusi tentang apa saja yang terjadi dalam diri kami ketika mengalami emosi marah, senang, sedih, takut, dan jijik. Ya, 5 emosi dasar itu.
Hasil diskusi kelompok kami menyatakan reaksi-reaksi tubuh yang terjadi ketika mengalami emosi tertentu dapat saja sama, misalnya jantung berdetak keras ketika marah dan takut, dada sesak ketika marah dan sedih. Yang membuat kita dapat membedakan mereka adalah kombinasi dari reaksi-reaksi tubuh yang lain, misalnya saat kita sedih, dada terasa sesak, lemas, dan tenggorokan tercekat, sementara saat kita marah biasanya dada sesak disertai kepala yang berat dan jantung berdebar, serta otot yang menegang. Selain itu yang dapat membuat kita membedakan antara 2 emosi yang bisa saja ditandai dengan reaksi tubuh yang sama adalah ekspresi wajah yang menyertainya. Walaupun saat senang maupun marah wajah kita sama2 memerah, tetapi ekspresi marah jelas berbeda dengan ekspresi senang. Melotot dengan wajah merah dan tersenyum dengan wajah merah kesenangan jelas berbeda.

Oke, cukup sampai di situ. Sehabis diskusi kelompok, saya dan teman saya iseng2 ngobrol tentang reaksi2 tubuh tadi. Entah kenapa kami menulis banyak sekali reaksi tubuh yang kami rasakan ketika sedang sedih. Seakan-akan dari kelima emosi dasar tersebut, sedih-lah yang paling kami kenali.
Lalu saya berkata, "Rasanya kalau sedih itu intense banget gitu ya. Misalnya kalau cerita tentang kejadian yang membuat kita sedih, rasa2nya pengen nangis lagi, pokoknya kayak kebawa lagi ke keadaan itu...padahal kalo disuruh cerita tentang kejadian yang membuat kita senang, aku pribadi sih ga sampai terbawa ke situasi itu, gimana ya, rasanya ga terlalu "nyata" gitu lho emosi senang-nya..."
Teman saya juga menimpali, "Iya e, rasanya kalo senang tuh ya "lepas" gitu aja...sementara kalo sedih tuh entah kenapa "kerasaaaa" banget gitu. Trus menurutku kita juga cenderung suka terlarut dalam kesedihan itu, misalnya dengerin lagu sedih lah, menyendiri lah..."

Well, mengingat cuplikan percakapan kami tadi, saya juga bertanya-tanya: Mengapa emosi sedih itu begitu kuat, begitu dalam bekasnya, daripada emosi senang? (at least menurut pengamatan saya pribadi dan curhatan temen saya tadi sih). Saya sendiri merasakan hal itu. Seringkali ketika saya mengingat sesuatu yang membuat saya sedih, mata saya terasa panas dan kelenjar2 air mata mulai siap berproduksi, serta tenggorokan saya terasa sakit, tercekat, tidak bisa bicara, seperti keselek bola golf. Entah kenapa, situasi yang membuat saya sedih itu begitu nyata dan begitu kuat mempengaruhi saya. Sebaliknya, ketika mengingat-ingat hal yang menyenangkan, ya, saya kadang-kadang tersenyum sendiri juga, tetapi perasaan senang yang menguasai saya pengaruhnya tidak sehebat ketika perasaan sedih mendatangi saya. Seakan-akan kesedihan itu meninggalkan torehan yang jauh lebih dalam, bekas yang jauh lebih awet, di dalam diri saya. Sementara genangan dari guyuran hujan kesenangan perlahan-lahan mengering dan akhirnya lenyap di atas tanah yang kembali bertemu kemarau.
Selain itu, saya dan teman saya juga sepakat bahwa kami sangat merasakan reaksi-reaksi tubuh kami ketika sedih, kami sangat menyadarinya dibandingkan ketika kami senang. Kami merasakan sakit yang nyata ketika sedih, namun ketika kami senang, kewaspadaan kami akan perasaan senang itu entah kenapa rendah sekali. Seperti halnya orang yang terlambat untuk mengambil gambar seekor kupu-kupu cantik yang sedang hinggap di atas bunga.

Mungkinkah, kurangnya rasa syukur atas kebahagiaan dalam hidup kita menjadi penyebab mudahnya perasaan bahagia menguap lenyap dalam beberapa saat? Mungkinkah, kecenderungan untuk mengasihani diri, menyalahkan kehidupan, menyalahkan Tuhan, dan tidak menerima ketentuan-Nya adalah alasan dibalik awetnya kesedihan menggerogoti hidup kita? Jika begitu, maka kata-kata "syukur adalah inti dari kebahagiaan" itu sungguh benar adanya :)
Ya, mungkin kurangnya kita menghargai setiap detik anugerah yang Tuhan berikan kepada kita adalah penyebab kebahagiaan terasa seperti sesuatu yang biasa saja. Sesuatu yang tidak berharga. Mungkin saat kita tersenyum, kita lupa bahwa di lain waktu, ketika kita sedang bersedih dan menangis, kemampuan untuk menarik otot2 bibir dan wajah kita merupakan sesuatu yang luar biasa sulit. Masih bisa tersenyum adalah sebuah anugerah. Betapapun sepelenya itu. Kebahagiaan memang pilihan, dan bersyukurlah jika kita masih diberi kekuatan untuk memilih kata itu, dan masih diberi kekuatan untuk membahagiakan diri kita sendiri.
Saya jadi ingat kata2 seorang teman: "Be grateful. Too many things in our life are taken for granted."

Mungkin ini hanyalah asumsi dari pengalaman pribadi saya. Bisa jadi, kalian merasakan yang sebaliknya: Bahwa kesenanagan/kebahagiaan lebih berbekas dalam kehidupan kalian. Dan jika begitu, bersyukurlah. Semoga kebahagiaan selalu menyertai kalian, atau lebih tepatnya, semoga kalian selalu bisa menemukan kebaagiaan, menciptakan kebahagiaan, tak peduli seberapa pun buruknya dunia ini.

Semoga akan selalu ada merah di tengah kelabunya lukisan hidup kita :)

Ever Been A Wise Girl :)

"Contemplating my previous journey. Many things happened, the good and the bad. The bad ones might have left a desire for me to regret; but I won't. Life is like a puzzle, each part completes another. If I changed even only a single part of it, my life would never be complete."
(Rismarini, 2009)

It happened that, wow, I've ever been a wise girl! I found these sentences on my diary. I wrote it when I was in the middle of being an ex-high-school-student and a-college-student-wannabe. I just could not believe how mature I sounded from that quote.
I've ever been a wise girl. So how can't I be, right now?
I need that wisdom.
I had it. I've always had it, deep in my soul.
I just have to find it back.

:)

Minggu, 13 November 2011

"Release Yourself From The Prison of Hatred"


"The wound does still exist. But it will never dominate my life. No more."
(Rismarini, 2011)

NGAYOGJAZZ 2011: Girls' Night Out!

Kemarin, tepatnya Sabtu, 12 November 2011, sebuah event musik jazz tahunan digelar di Jogja. Tepatnya, di Kotagede. Berhubung malam minggu identik dengan hang-out, ditambah lagi kebutuhan untuk bersenang-senang setelah mid semester, saya beserta 3 orang temen saya (Lia, Elin, Novia) pergi nonton bareng Ngayogjazz.
Sabtu paginya saya juga ada acara jalan2 di Amplaz sama temen SMP saya yang masih akrab sampai sekarang, Nawang. Jam setengah 12 siang sampai jam 4 sore lewat sedikit kami habiskan di mall dengan makan, ngobrol, cuci mata ke butik, ke Gramedia, dll. Habis itu, saya langsung capcus ke kos-nya Lia dan sekitar jam setengah 5 sore saya nyampe sana, soalnya pada sepakat ngumpul jam segitu, tapi ternyata pada belum ngumpul. Jadilah saya dan Lia menunggu kedatangan Elin dan Novia.
Ga berapa lama kemudian, Elin datang. Trus akhirnya saya, Elin, dan Lia nungguin Novia sambil ngaca2, ngobrak-abrik kamarnya Lia, and bantuin Lia buat milih baju yang cakep buat Ngayogjazz. Biasalah, kan mau ngeceng juga. Pada jomblo lagi :p Akhirnya Lia pun memutuskan pake dress selutut bermotif seperti macan tutul dengan warna hitam-putih, plus cardigan hitam. Sip lah pokoknya...
Menjelang maghrib, Novia datang dengan tampang kecapekan karena habis dari Solo. Berhubung udah mau adzan maghrib, kita pun sholat dulu sebelum cuss ke Ngayogjazz. Setelah semuanya pada sholat, ngaca, dll, berangkatlah kita pake mobilnya Elin. Di perjalanan, kami mampir makan dulu ke Warung Steak di Taman Siswa, dengan pertimbangan perut udah lapar dan pasti bakalan sampe malam. Habis makan kita juga masih sempat mampir ke Indomaret buat beli bekal minum and snack, siapa tau ntar haus and laper di tengah lautan manusia. Berasa piknik aja -_-
Beberapa detik kemudian, nyampe lah kami di kawasan Kotagede. Waktu itu di Lapangan-nya. Tapi kok sepi? Hmm, berarti bukan di lapangan. Kami pun mencari keramaian yang biasanya jadi penanda adanya panggung terbuka....dan....ketemu! Mobil dan motor pada seliweran di daerah dekat PKU Kotagede. Elin nanya ke seorang mas yang memakai kaos bertuliskan "Ngayogjazz" dan katanya untuk mencapai lokasi harus berjalan kaki paling ga 5 menit. Akhirnya kami nyari2 tempat parkir di dekat situ dan berujung pada pemarkiran mobil Elin di sebuah halaman terbuka di dalam gang yang sempit. Dari situ kami jalan kaki ke lokasi.

Yang katanya 5 menit.

Tapi kami udah berjalan 10 menit, lebih malah kayaknya. Dan, well, kok ga keliatan rame2 gitu ya? Orang-orang pada jalan sih di sekeliling kami, tapi ga ada kedengeran ada suara dam-dum-dam-dum-jreng-jreng-duk-duk-ngiiing sama sekali. Kami pun sempat mengalami kecelakaan. Bukan kami sih, Lia tepatnya yang kena. Dia jatuh di trotoar gara2 kepleset mas2 (maksudnya bukan kesandung mas2 yang berlagak jadi polisi tidur gitu). Ceritanya, dia sama Novia lagi jalan trus ada mas2 yang nyalip atau gimana gitu lah sampe Lia bingung ngambil rute, kepleset, dan duuk...jatuh deh. Lututnya lecet dan berdarah. Kami pun berhenti sebentar, duduk di teras sebuah toko yang tutup, sambil nungguin dan bantuin Lia bersihin lukanya pake air dan tissue. Habis itu kami jalan lagi dan menemukan sebuah rumah yang terbuka. Ada seorang ibu lansia di situ. Novia nanya apa ibunya punya obat merah atau ga, dan, alhamdulillah, ibunya punya. Lia pun ngobatin lukanya pake obat merah. Setelah berterima kasih pada si ibu yang baik hati, kami lanjut jalan lagi, mampir ke warung buat beli Hansaplast, trus jalan lagi, sampe akhirnya...(akhirnya!) kami menemukan panggung Ngayogjazz. Tepatnya, satu dari 7 panggung yang ada.

Kita nonton sebentar. Ada penampilan dari komunitas jazz dari Pekanbaru, lumayan menghibur. Habis itu kami coba jalan ke panggung lain yang deket situ. Ketemu. Nonton sebentar, trus pergi lagi. Bener2 ngeluyur deh. Sampe kami stay agak lama di sebuah panggung yang dibangun dekat, wow-mistis-banget, makan raja2. Panggungnya dibangun di samping tembok kompleks makan, di bawah sebuah beringin yang gede banget. Novia pun nyeletuk "Eh, jangan liat ke atas ya..." tapi biasalah kalo dibilangin kayak gitu respon saya malah "Mana?" sambil liat ke atas beringin. Untung ga ada sosok yang bergantung, terbang, duduk, atau sejenisnya.

Puas nonton penampilan di situ plus ngeliatin seorang bule unyu, kami mulai lagi menganut gaya hidup nomaden. Pindah lagi ke sebuah panggung yang ada informasi jadwal plus lokasi penampilan dan kami mengamati nama2 bintang tamu yang pengen kami tonton. Wah, itu dia! Trie Utami! Di mana? Di Panggung Gaog. Jam berapa? 10. Wah, sekitar 1 jam lagi! Tapi...Panggung Gaog-nya di mana? Mata kami menelusuri peta yang ada dan kami sadar: Itu adalah panggung pertama yang kami datangi =_=
Balik lagi deh...

Sesampainya di Panggung Gaog, kami bertransformasi menjadi cendol beraneka warna. Gila, sumpek banget. Pengen duduk, capek keliling2, tapi tempat duduk yang tersisa adalah di tikar-nya sang penjual ronde, yang berarti kita ga bisa duduk tanpa sekaligus minum dan membayar ronde -_-"
Yaudin, kami berusaha menembus kerumunan. Tapi akhirnya stuck di tepi tenda mini. Di sana kami bertemu teman2 se-kampus, se-organisasi dan se-angkatan, Lupi dan Iffah, lalu ada senior juga di Psikologi, Mas Galih, dan beberapa orang anak Psikologi lainnya.
Berhubung pengap dan rame bgt, kami mundur lagi deh ke belakang (ya iyalah masa ke depan). Alhamdulillah, ada teras toko yang kosong! Akhirnya kami duduk selonjoran di situ sambil ngemil. Wah, nikmatnya dunia kala itu 8) Kepuasan hanya dapat diukur ketika meluruskan kaki dan merasakan otot2 Anda meregang dan rileks...

Tidak berapa lama kemudian, Rika Roeslan tampil! Kami bangkit dari posisi pewe kami dan bergabung dengan kumpulan manusia, yang akhirnya pada duduk semua di depan panggung. I couldn't say anything much. It was cool! Rika Roeslan rocked that stage (uhm, well, I mean, "jazzed" that stage :p) Suaranya oke banget, gayanya juga asik. Improvisasinya oke punya. Seniman sejati laaaah...
Yang lucu adalah ketika Rika menyanyikan lagunya yang "Dahulu..semua indah...dahulu...terasa menggelora..." gila, tuh lagu pas banget sama kami (ga semuanya sih, haha) yang lagi galau :p
Rika juga sempat mengajak penonton bernyanyi "Ayo, yang cewek, biasanya yang ngerasain kayak gini nih yang cewek, mana suaranyaa!" saya dan penonton perempuan yang ada di situ tertawa dan langsung ikut bernyayi, "Dahulu..."
Trus Rika ngajak penonton yang laki-laki nyanyi, "Ga semuanya begitu sih, cewek juga ada yang ninggalin. Ayo yang cowok mana suaranya...!" para laki-laki tertawa dan ikut bernyanyi, dengan oktaf yang turun drastis. "Dahulu..." jadi terdengar agak mellow karena suara bass para lelaki -_-"

Setelah Rika tampil, giliran Trie Utami. Suaranya oke, tapi karena lagunya nggak familiar, saya jadi agak bosen. Teman-teman saya pun berpikiran sama. Akhirnya, sebelum pertunjukan berakhir, kami udah berjalan pulang ke lokasi parkir. Alasan: 1) Udah capek 2) Kalo nunggu sampai selesai, pasti rempong banget deh jalan dari panggung ke parkiran. Pasti jadi cendol lagi -,-

Jalan-jalan besar di Jogja luar biasa lengang ketika kami pulang. Jarum jam menunjukkan waktu hampir tengah malam. Sesampainya di kos Lia, ternyata pintunya dikunci! Padahal, rencananya saya mau nginep di kos-nya Lia. Motor saya dan Novia juga ada di situ. Yaudinmarudin, saya, Lia, dan Novia memutuskan untuk nginep di kos-nya Novia. Elin mundurin mobilnya dan kami kembali menempuh perjalanan sekitar 2 kilogram ke kos-nya Novia. Pas nyampe sana, Elin pamitan dan say goodbye. Setelah itu saya, Lia, dan Novia langsung dengan bernafsu menyerbu kamar Novia dan ambruk di atas kasur. Kami sempat nonton Amelie bareng sebelum akhirnya satu persatu tepar, dan saya adalah orang terakhir. Jam setengah 4 subuh saya baru nempelin muka ke bantal dan langsung....welcome to the Dreamland!

What a night! Menunggu momen seperti ini lagi bersama kalian, teman2. Terkadang hal-hal seperti ini bukan berarti hedon semata, tetapi banyak hal lain yang bisa diambil selain rasa senang itu sendiri. Teman itu luar biasa. Waktu itu luar biasa. Saya bersyukur memiliki kesempatan seperti malam ini.
Saya senang :D

Jumat, 11 November 2011

Batuk yang Tak Berujung

Sepertinya ini akibat suhu Jogja yang belakangan ini duinguiiin banget kalo pagi hari. Padahal siangnya puanuaaass banget. Udah berasa iklim kontinental padang pasir aja nih, ckck. Global warming.
Cuaca yang agak ekstrim ini bikin sistem imun saya down. Beberapa minggu yang lalu bersin-bersin (semoga bukan karena digosipin) sekarang tenggorokan gatel dan batuk tiap beberapa menit sekali (kalo saya tahan) dan tiap satu menit (kalo saya biarkan).

Ya, jadi sekarang saya lagi batuk. Ga parah2 amat sih, paling nggak suara saya nggak ilang kayak yang saya alami pas waktu SMP dan SMA dulu (bener2 ilang blass sampe2 saya berkomunikasi lewat kertas dan itu sangat tidak efektif dan efisien). Sekarang suara saya masih ada, alhamdulillah, padahal kemaren dibawa karaoke, lagu2 My Chemical Romance pula -_- Alhamdulillah bener suara saya ga ilang.

Tapi, pernahkah kamu merasakan betapa mengganggunya suara "ahak-uhuk-ehem" yang muncul tiap beberapa menit di ruang kelas? Nah, saya terganggu dengan diri saya sendiri karena saya pikir suara batuk saya yang seksi itu pasti mengganggu proses belajar. Pingin sih nahan batuk, tapi tenggorokan saya jadi gatal sekali kayak ada nyamuk beranak di dalamnya dan akhirnya keluarlah suara "ahak-uhuk-ehem" itu.

Cuma, saya perhatikan sih, kalo saya lagi semangat ngomong, biasanya HIB (Hasrat Ingin Batuk) itu ga muncul. Contohnya tadi pas presentasi di kelas. Saya ga terbatuk-batuk pas lagi jelasin teori belajarnya Guthrie, Gestalt, dan Bandura. Tapi pas saya lagi nganggur di kursi pas nunggu giliran presentasi, masya Allah batuknya awet banget. Batuk yang tak berujung. Otot perut saya sampe capek karena ikut berkontraksi pas batuk2 keras. Giliran maju presentasi, eeeh, batuknya sembunyi. Alhamdulillah :D

Kenapa ya kira2? Apakah ada sesuatu yang bisa menahan HIB? Dan apakah sesuatu itu berupa stimulus yang secara psikologis lebih kuat daripada HIB itu sendiri? Misalnya, karena saya presentasi tadi saya ingin tampil maksimal, stimulus internal ini mengalahkan stimulus biologis berupa rasa gatal di tenggorokan? Entahlah. Menarik juga kayaknya untuk didalami 8)

Anyway, karena saya batuk2, batuk yang tak berujung, segini dulu aja deh postingnya #ga nyambung.
Seperti biasa, hanya ingin berbagi perasaan, berbagi cerita.
Share it all with joy! ;)
Dan tidak lupa berdoa: Ya Allah, berikanlah saya kesehatan, jasmani dan rohani. Amin.
Get well soon for myself... 

Rabu, 09 November 2011

"Forgive" and "Forget"

Sebenernya apa sih bedanya "memaafkan" dan "melupakan"?
Seorang teman berkata, "Memaafkan berarti juga melupakan. Kalo masih mengingat kesalahan berarti belum memaafkan." Saya jadi bingung.
Kalo gitu, kenapa harus ada kata "maaf" dan "lupa" segala?
Kalo gitu, pas hari raya Idul Fitri kita bilang aja "Lupakan semua kesalahanku ya" atau "Lupakan aku ya..(?!)" alih-alih "Maafkan semua kesalahnku" dan "Maafkan aku".
Nah, saya curiga, ada bau-bau tidak mengenakkan di sini. Pasti ada bedanya antara "memaafkan" dan "melupakan".

Mari kita mulai dengan membahas "lupa" (English: forget).
Lupa, bagi saya, ada dua jenis: tidak disengaja dan disengaja.
Lupa tidak disengaja mungkin disebabkan kapasitas memori yang pas2an, jadi (kalo kata salah satu temen saya yang kocak dan pintar) pake sistem input-delete gitu, karena otaknya ga muat kalo dikasih banyak informasi -_-". Lupa tidak disengaja mungkin juga disebabkan umur yang bertambah (baca: pikun), atau penyakit parah seperti Alzheimer.
Contoh adegan "lupa tidak disengaja/ lupa tulen/ lupa asli":
Saya: "Tolong dong aku ditunjukin jalan pulang...ntar aku nyasar...aku ga inget jalan ke sini T_T"
Teman: "Hahaha..."
Nah, ga mungkin kan saya SENGAJA melupakan jalan pulang? Ngapain juga? Emang saya PENGEN nyasar gitu? Ini memang karena ingatan spasial saya tergolong "jongkok". Seandainya IQ dihitung dari ingatan spasial, saya pasti sudah masuk kelas retarded.
Kalo lupa jenis ini, berdasarkan Oxford English Dictionary berarti bisa didefiniskan "fail to remember or recall; lose the memory of sth/sbd."

Kalo lupa disengaja? Nah, ini yang unik.
Lupa jenis ini menurut saya lebih ke arah menafikan, meniadakan, tidak mempedulikan, mengesampingkan, pura2 tidak melihat/mendengar/merasa, atau bahkan (kata Simbah Freud) me-repress sebuah ingatan ke alam bawah sadar. Tapi kalo represi ini biasanya melibatkan trauma yang amat sangat berat, misalnya korban perkosaan yang tiba2 "amnesia" tentang detail2 ketika dia diperkosa. Si korban menekan dalam2, menolak mengingat karena baginya kejadian itu TMTH (too much to handle). Proses "menolak mengingat" ini sebenarnya terjadi tanpa sadar...tapi, tetap ada motivasi untuk lupa.
Lupa disengaja ini, berdasarkan Oxford English Dictionary, didefinisikan "stop thinking about sth/sbd; not thinking about sth/sbd; put sth/sbd out of one's mind."
Contoh adegan lupa disengaja:
Cowok: "Mengapa engkau mengembalikan semua pemberianku, adinda?"
Cewek: (menangis tersapu-sapu) "Ah, kakanda...bukannya aku tak menghargai pemberianmu...aku hanya ingin melupakan dirimu!" (berlalu, menangis terseok-seok)
CATATAN: Adegan ini hanyalah rekayasa. Jika ada kemiripan saya mohon maaf, itu pasti kebetulan.

Sekarang mari beralih ke "memaafkan" (English: forgive)
"Memaafkan" adalah kata kerja (verb). Menurut Oxford English Dictionary (lagi), kata ini berarti "stop being angry or bitter towards sb or about sth; stop blaming or wanting to punish sbd."
Hmm...berarti, sepenangkap saya, "memaafkan" ini butuh usaha ya. "Memaafkan" itu intentional alias disengaja. Berhenti marah dan bersikap dingin. Berhenti menyalahkan dan menghentikan keinginan ingin menghukum seseorang. Ah, tidak gampang ternyata. Pantas saja orang yang bisa memaafkan itu sangat mulia :) Saya ingin jadi ahli memaafkan :(


Proses memaafkan membutuhkan proses melupakan secara sengaja. Mereka berjalan beriringan. Ketika kamu ingin memaafkan seseorang, kamu harus berhenti "mengenang" kesalahannya. Mengenang sedikit berbeda dengan mengingat. Mengenang, bagi saya, punya makna repetisi, yaitu mengulang-ulang mengingat, mengingat dengan intensitas lebih tinggi, dengan kesadaran penuh, sampai seakan-akan kamu kembali lagi ke saat kamu terluka, sampai kamu bisa merasakan rasa sakit itu begitu nyata. Itu mengenang. Ada makna lebih di situ. Makanya kan ga lazim kata ini dipake kalo kita mau bilang, "Aku mengenang materi ujian yang diberi ibunya kemarin." What a sentence =_=
Kalo mengingat, intensitasnya kurang dari mengenang, dan biasanya dampak psikologisnya tidak sehebat "mengenang". Mengingat lebih menitikberatkan kemampuan kognitif. Misalnya: "Saya ingat kemaren dia pakai baju warna abu-abu."
Jadi, kalau kamu masih ingat sama kesalahan orang, it's okay. Selama kamu tidak "mengenangnya" alias mengingatnya terus menerus sampai kamu ga sembuh2 hanya gara2 luka itu berdarah kembali. Bagi saya, ingatan akan kesalahan orang itu penting; bukan untuk menghukumnya, tetapi untuk memastikan kita tidak akan berbuat kesalahan serupa kepada orang lain :)

Selanjutnya, untuk memaafkan, kamu harus berhenti menyimpan kemarahan. Kamu harus berhenti bersikap dingin. Kamu harus berhenti menghukumnya. Dan ini adalah proses yang disengaja. Jadi, kalau saya simpulkan, ketika kamu melupakan secara tidak sengaja kesalahan seseorang (misalnya: lupa kalo temanmu masih berhutang duit sama kamu), kurang tepat kalo disebut kamu memaafkannya . Kamu aja ga inget kalo dia punya hutang -.-"
Sebaliknya, ketika kamu ingat, kamu tahu, kamu sadar seseorang pernah berbuat salah ke kamu, namun kamu dapat tersenyum lepas pada kesalahannya itu, tidak mengungkit-ungkitnya, tidak membalas perbuatannya, tidak menghukumnya, dan kamu rasakan hatimu menjadi ringan dengan penerimaan, keikhlasan, harapan, dan senyuman, tanpa ada lagi beban amarah yang menggelayut di wajah kamu sampai terlihat seperti orang yang bertambah tua 30 tahun dalam 1 malam, nah, selamat, bisa jadi kamu telah sukses memaafkan :D

Berarti, memaafkan itu tidak bisa disamakan secara sederhana dengan melupakan saja. Ada usaha untuk membalasnya dengan kebaikan. Ada usaha untuk menghentikan amarah yang  bergejolak, mengelola kemarahan dan kebencian menjadi penerimaan, menjadi keikhlasan. Lalu saya sadar satu hal penting: Ada usaha untuk membiarkan Tuhan mengobati perasaanmu, dengan cara melepaskan beban sakitmu, mengembalikan semua kepada-Nya. He will heal yourself, if you come back to Him :')

Saya jadi merasa malu. Saya belum punya skill memaafkan sama sekali... T.T
Yaah, tulisan ini memang otokritik sih. Saya jadi tertohok dengan tulisan saya sendiri. Inilah gunanya self-talk (atau self-write ya? Soalnya saya nulis sih -.-), sehingga kita bisa mengenal lebih jauh perasaan kita, gejolak jiwa kita, serta melihat dan memahaminya secara lebih objektif. Dialog dengan diri sendiri, jika dilakukan dengan benar, membawa banyak manfaat. Asal jangan keseringan, nanti malah dikira gila dan jadi asosial.

Mulai sekarang saya (dan siapapun yang membaca tulisan ini) harus belajar memaafkan, harus. Berhenti melihat kesalahan orang lain dengan wajah masam. Tetap tersenyum dan lepaskan sakit hatimu. Tarik napas dalam-dalam. Ah, pasti tambah cantik deh saya kalo bisa begitu :3
Jadi...MARI BELAJAR MEMAAFKAN! :D
Be pretty, inside and outside :)

Senin, 07 November 2011

Kangen Konser

Akhir-akhir ini saya lagi suka dengerin musik sambil nyanyi2. Ehmm, itu memang hobi saya sih, jadi sebenarnya ga pantas dibilang "akhir-akhir ini". Ah, sudahlah. Pokoknya, intensitas saya mendengarkan musik meningkat dibanding bulan-bulan sebelumnya. (Apakah saya terdengar galau? zzzz)
Bisa jadi karena perasaan saya masih terluka. Dan musik adalah salah satu hiburan ampuh bagi saya. Bukan sekedar hiburan, tapi juga sesuatu yang bisa jadi semacam mood-booster buat saya. Dari yang tadinya ga semangat jadi semangat. Dari yang tadinya sedih jadi gembira. Dari yang tadinya waras jadi "gila".
Saya ingat waktu saya masih diklat Paduan Suara di kampus saya. 3 bulan, belajar musik dari 0. Mulai dari belajar pernapasan diafragma, mengeluarkan headvoice alih2 suara tenggorokan, belajar not, belajar nari sambil nyanyi. Pulang jam 10 malam udah biasa. Bahkan pernah sampe jam 11 lewat.
Dan saya enjoy. Kadang2 capek sih, tapi setelah latian entah kenapa perasaan saya jadi gembira.
Musik. Hmm, salah satu alasan saya memilih berkecimpung di Paduan Suara hanyalah karena saya hobi nyanyi dan dengerin musik. Saya berharap kegiatan ini tidak membuat saya stress. Dan ternyata memang tidak. Capek ya, saya akui. Tapi saya merasa gembira menjadi anggota Paduan Suara :)
Saya berpikir, mungkin kegiatan seperti inilah yang cocok buat saya. Sesuai hobi, menyenangkan, dan membuat saya banyak belajar.
Saya senang bisa bergabung dengan Paduan Suara UGM. Sudah 2 tahun, tapi saya tidak bosan. Selalu ada orang2 baru yang unik, dengan sebuah persamaan yang mengikat erat, yaitu sama2 hobi menyanyi.
Jadi ga jelas gini ya postingannya -_-"

Cuma pengen mencurahkan perasaan aja. Saya kangen konser lagi. Miss that night gown and make-up, miss that vocalizing before stage, miss that exhausting-late-at-night-rehearsal, miss the songs I used to sing in choir.
Udah ah tidur aja. Buonanotte.

Minggu, 06 November 2011

"Telan Kembali Semua Kata-kata Itu"

Aku berkemas pergi dari kehidupan yang dulu kau tawarkan padaku.
Membawa semuanya; kecuali surat cinta dan kenangan-kenangan kecil yang kau berikan saat euforia masih membuatmu terlena.
Silahkan, ambillah, dan telan kembali semua kata-kata yang ada di dalamnya.
Sampai tinta hitam itu hilang dan kertas itu kembali putih seperti sedia kala.

Yogyakarta, 30  Oktober 2011

Menyapa: Selamat Idul Adha!

Hai, para Muslim dan Muslimah di Indonesia dan di mana saja..selamat hari raya Idul Adha :)

Seperti biasa, menu yang disajikan akan melibatkan santan dan daging. Dan saya sukaaaa sekali.
Sampai detik ini saya sudah makan dua kali. Satu piring diisi beraneka lauk dan sayur. Lontong + lodeh + gulai + semur. Alhamdulillah :D

Sekian dan terima kasih.

Maaf kalau kurang penting -_-"

Sabtu, 05 November 2011

Saya Butuh Jampi Memori

Benci. Ya, itu yang saya rasakan. Sama siapa? Sama mantan saya. Kenapa? Entah. Karena saya sering teringat masa-masa (halah bahasane..) ketika saya masih bersamanya. Karena akhirnya saya jadi teringat kesalahan-kesalahan yang pernah dia buat (yang dulunya sudah saya lupakan tapi sekarang naik lagi ke permukaan. Ternyata ada Hukum Kekekalan Ingatan. Ingatan yang kamu lupakan tidak pernah benar-benar hilang...ia hanya pergi untuk sementara ke suatu tempat bernama "ketidaksadaran"). Karena saya jadi ingat kata-kata manis yang dulu dia ucapkan ke saya, tapi akhirnya...TAADAAA!

Karena saya ingat. Dan ingatan saya cukup kuat. Akhirnya saya jadi sakit hati. Akhirnya saya jadi benci. Karena saya ingat betapa saya berusaha berubah untuknya, dan ya, saya melepaskan beberapa prinsip saya, dan ternyata itu tidak memuaskannya. Saya jadi merasa bodoh. Dan saya jadi benci. Saya rela berubah, ya saya benar-benar mencintainya waktu itu. Tapi setelah dia bilang "kita beda pandangan hidup" saya merasa ditampar, ditonjok malah, di muka. Dia tidak pernah menghargai usaha saya...setidaknya begitulah yang saya tangkap. Dan saya jadi sakit hati. Dan saya jadi benci. Baginya, ternyata, kami tetaplah dua alien yang hidup di planet berbeda..sekeras apapun saya berusaha memahaminya. Karena di lain kesempatan, beberapa hari setelah kami putus, kami sempat makan bareng, ngobrol-ngobrol soal kehidupan, dan dia bilang "kita cocok kok". Padahal saat putus dia bilang apa? Beda pandangan hidup? C'mon. Hanya butuh waktu beberapa hari ya buat mengubah pandangan hidup? Ah, betapa mudahnya ia mengatakan "cocok" dan "tidak cocok", betapa mudahnya ia melepas saya karena kegamangannya sendiri akan prinsip hidup yang abstrak. Dan saya jadi sakit hati. Dan akhirnya jadi benci.

Karena ada yang bilang ke saya kalau dia sebenarnya masih ada perasaan sama saya. Saya jadi benci. Kenapa? Karena yaaa...saya jadi ingin teriak: "Makanya, kalo mau putus, pastikan kamu udah ga suka lagi sama orang itu! Makanya kalo masih sayang jangan dibuang!" Pengen banget rasanya teriak kayak gitu. Sumpah, pengen banget. Tapi sekarang udah ga ada gunanya. Dan ini membuat saya tambah sakit hati. Jadinya benci. Ya ampun, ini jadi seperti rantai setan.

Tadinya saya merasa netral. Tapi lama-lama memori saya seperti merembes keluar dari tempat penyimpanan yang seharusnya, tanpa saya berusaha untuk mengungkit-ungkit. Dan rembesannnya itu beracun. Racun buat hati saya. Jadinya saya benci. Tapi saya tidak butuh kata maaf. Sama sekali tidak. Jutaan kata maaf darinya pun tidak berguna. Saya sadar, sesadar-sadarnya, benci ini bukan lagi urusan saya sama mantan saya, tapi lebih ke urusan saya dan emosi saya. Saya harus lebih dapat mengontrolnya. Harus. Oh God, it's very hard to forgive actually T_T
Luka itu masih kerasa sampai sekarang. Saya memang sudah bergerak maju, tapi masih dengan membawa rasa sakit yang entah kapan sembuhnya. It feels like a pain on my chest. Sakit yang tumpul dan nyeri. Ah, memang, bahasa tubuh tidak pernah bohong. Rasa sakit itu nyata.

Seandainya Jampi Memori kayak di Harry Potter itu benar-benar ada.