Jumat, 23 Desember 2011

Faking Bad

"Kamu faking bad, Nad," ujar Haris, temen saya sejak SMA sampai sekarang setelah saya menjadi mahasiswa.
Itulah kalimat yang dikatakannya ketika saya bilang bahwa saya diterima di universitas yang katanya beken ini dengan hanya bermodal keberuntungan. Saya percaya bahwa ada 2 kaum yang diterima di universitas tersebut: kaum pinter sekali, atau, kaum beruntung sekali.
Dan saya selalu bilang bahwa saya tergolong yang kedua.

Faking bad. Pura-pura jelek. Merendah, lebih lembutnya. Hmm. Saya sebenarnya tidak bermaksud merendah. Saya hanya mengatakan pemikiran saya yang sangat realistis. Ya, saya adalah orang yang beruntung. Mungkin saya memang pintar. Tapi tidak ada yang bisa saya banggakan dan saya jaminkan dari kepintaran saya itu. Banyak yang lebih pintar. Kenapa harus bangga? Biasa ajalah. Jadi saya tidak benar-benar yakin bahwa kepintaran-lah yang membuat saya masuk ke universitas lalala~~tiiiiiit ini.

Tidak merendah. Tapi memang itu yang saya yakini. Saya beruntung. Kalau di Psikologi, ada istilah atribusi eksternal. Artinya, seseorang cenderung mempersepsi bahwa hal-hal yang dialaminya berada di luar kendali dirinya; misalnya, karena keberuntungan. Sepertinya saya tergolong orang yang memiliki atribusi eksternal.

Bukan berarti saya tidak pernah berusaha hanya karena saya menganggap semua itu di luar kendali saya. I am a hardworker. Apalagi kalau memang menginginkan sesuatu yang menjadi impian saya, saya mau menderita demi itu. Saya mau berusaha. Tapi, selalu, ujung2nya, saya menganggap semua usaha saya itu sampai di depan sebuah pintu yang masih belum diketahui apakah akan terbuka atau tetap tertutup ketika saya mengetuk. Ya, ketika saya mengetuk dengan membawa seperangkat usaha dan ikhtiar saya, toh akhirnya saya harus berhadapan dengan Sang Pembuka Pintu. Jika Ia tidak membukakan pintu, maka saya tidak akan sampai ke tempat yang saya tuju, walaupun saya sudah membawa sekeranjang kerja keras. Jika Ia membuka pintu, maka ya sudah, lolos lah saya.

Bagi saya, Sang Pembuka Pintu itu adalah Tuhan. Ya, saya mengetuk pintunya, sekitar 2,5 tahun yang lalu, dengan membawa hasil belajar saya, hasil kerja keras saya selama 1 tahun dididik untuk masuk ke jurusan yang saya dambakan. Bagaimana jika Ia tidak membukakan pintu itu untuk saya? Jelas, saya tidak akan berada di universitas lalala~~tiiiiit ini sekarang. Nyatanya, alhamdulillah, Ia membuka pintu itu. Dan di sinilah saya sekarang. Seperti inilah saya sekarang. Seperti...ah, lupakan.

Makanya, saya tersenyum kecut atau malah tertawa terbahak-bahak kadang2, ketika ada senior MOS atau dosen yang memotivasi mahasiswa baru dengan kata-kata "Kalian pasti pintar sekali. Hanya orang-orang terpilih yang masuk ke sini!" Ada yang bertepuk tangan bersemangat, ada yang diam saja, ada yang tersenyum kecut sambil mengeluarkan suara "eehhhhmmm...ga yakin deh." Saya orang terakhir itu.

Tidak bisa. Ujung-ujungnya, Tuhan selalu ada dalam tiap persimpangan garis hidup saya. Saya tidak berani mengatakan bahwa saya pintar maka saya bisa seperti ini. Saya tahu saya berusaha, tapi saya lebih tahu lagi bahwa ini semua terjadi karena Ia mengizinkan. Karena itu, semua kembali pada-Nya. Kekuatan saya sangat kecil. Ketidaktahuan saya akan masa depan sama kecilnya. Saya hanya punya keyakinan, bahwa barangsiapa berusaha, Allah pasti akan mengabulkan doanya. Mungkin masuk ke universitas lalala~~tiiiiit bukanlah disebabkan kepintaran saya. Mungkin ini adalah hasil dari perbuatan saya yang lain, selain mengerjakan ujian, tugas, dan sebagainya. Maka saya mendapatkan imbalan ini.

Dan saya katakan kepada Haris, "Masalahnya Ris, kalo Tuhan ga meridhoi aku untuk masuk ke sini, ya aku juga ga bakalan masuk to? Jadi semua akhirnya diserahkan lagi pada-Nya."
Haris manggut-manggut.
Saya kembali melanjutkan aktivitas membaca saya.
Itulah keyakinan saya.
Bukan faking bad.

It is real :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar