Sabtu, 03 Desember 2011

The Power of Choice

"It is our own choice, Harry, that shows what we truly are, far more than our abilities."
~ Dumbledore, Harry Potter and The Chamber of Secrets

Bagi kalian yang suka sama novel Harry Potter, pasti inget ketika Dumbledore mengucapkan kalimat ini kepada Harry yang baru saja selamat dari Tom Riddle, a.k.a Voldemort pas masih jadi murid di Hogwarts. Kalimat ini berhubungan dengan hasil Topi Seleksi yang menempatkan Harry di asrama Gryfindor, walaupun jelas-jelas Topi Seleksi berbisik di telinga Harry bahwa ia bisa menjadi seorang penyihir masyhur di Slytherin. Harry menolak; jangan Slytherin...jangan Slytherin...batinnya ketika Topi Seleksi menimbang-nimbang untuk menempatkannya di Slytherin, asrama yang terkenal sebagai tempat berkumpulnya penyihir hitam; asrama yang penghuninya mempunyai karakteristik pintar, panjang akal, namun licik (sly). Namun akhirnya, begitu mendengar ketakutan Harry, Topi Seleksi pun memasukkan Harry ke Gryffindor.

Di dalam Harry Potter and The Chamber of Secrets, diceritakan bahwa Harry adalah seorang Parseltongue, yakni penyihir yang bisa berbicara dengan ular. Semua ini tidak lain karena kutukan kematian Avada Kedavra yang diarahkan Voldemort ketika Harry masih bayi. Kutukan itu gagal membunuh Harry, dan alih-alih membunuh, kutukan itu malah membuat Harry terkenal sebagai Anak Yang Bertahan Hidup, dan Voldemort secara tidak sengaja malah men-transfer sebagian dari dirinya ke dalam diri Harry, salah satunya adalah kemampuan Parseltongue tersebut.

Ya, Harry, selain menjadi musuh terbesar Voldemort, juga menjadi penyihir yang paling menyerupai Voldemort. Inti tongkat sihir mereka dibuat dari bulu seekor Phoenix yang sama. Mereka terhubung, karena, seperti yang kita ketahui di seri terakhir, Harry Potter and The Deathly Hallows, Harry sendiri adalah Horcrux terakhir dari Voldemort. Dan Voldemort adalah alumni asrama Slytherin. Wajar saja jika Harry juga dipertimbangkan masuk ke asrama yang sama.

Namun nyatanya Harry dimasukkan ke Gryffindor. Karena apa? Karena pilihannya sendiri. Harry memilih menjadi seorang Gryffindor yang memiliki karakteristik pemberani, sangat jauh dari sihir hitam, walaupun Harry memiliki kemampuan Parseltongue yang sangat identik dengan sihir hitam (tidak ada penyihir "baik-baik" yang bisa Parseltongue). Dan di akhir cerita, Harry membuktikan bahwa ia adalah seorang Gryffindor sejati, seseorang yang pemberani sangat loyal kepada apa yang benar, bukan apa yang mudah. Karena Harry memilih menjadi seperti itu. Tidak peduli apa yang dikatakan Topi Seleksi.

So, I just wanna say that, you are what you choose to be.
Memang, ada beberapa hal yang sudah menjadi karaketristik biologis yang tidak bisa atau sukar diubah, misalnya: saya seorang pemarah, sebuah sifat buruk yang sudah menjadi karakteristik keluarga saya hingga tujuh turunan (ini misalnya lho yaaa... -_-), akan tetapi, saya punya pilihan: mau menjadi orang yang terus menerus marah atau menjadi orang yang mampu mengendalikan amarahnya?
Atau, saya memiliki kecerdasan pas-pasan. Dengan tingkat kecerdasan seperti ini memang sulit untuk menjadi seorang ilmuwan sekaliber Einstein, namun lagi-lagi ini pilihan: Apakah saya mau menyerah dengan IQ biasa-biasa dan eneded up menjadi orang yang biasa-biasa saja, atau, belajar, lambat tapi pasti, berusaha menguasai satu bidang yang mana saya bisa memberikan performa yang sangat baik di dalamnya, fokus di situ, dan menjadi orang luar biasa di bidang tersebut? Terserah mau pilih yang mana :)

Saya tidak bilang SEMUA bisa terjadi karena pilihan. Tetap ada faktor-faktor lain yang tidak bisa diubah, dan pengaruhnya jelas besar dalam hidup kita, dan itu pun mempengaruhi pilihan kita. Tapi saya pikir ketika kamu INGIN, kamu MEMILIH suatu arah, suatu tujuan, maka pada akhirnya toh kamu akan berusaha melenyapkan semua faktor penghambat. Pilihan membuat kita mempunyai sense of power dalam hidup, tapi kita pun harus sadar bahwa pilihan-pilihan juga terbatas. Pilihlah pilihan yang ada, yang paling baik, yang paling mungkin. Bahkan saat kita merasa terjebak dalam situasi di mana kita merasa "there is no choice left", SEJATINYA ini bukanlah acara gosip, eh, sejatinya, kita masih tetap punya pilihan kok: pilihan untuk tidak melakukan apa-apa atau membuat peluang lain. Dan saya yakin dalam situasi segenting apapun kita masih punya pilihan. Orang yang dikejar pembunuh bersenjata gergaji mesin mungkin terkesan "tidak punya pilihan selain lari". Tapi nyatanya, lari itu sendiri adalah sebuah pilihan kan? Dia bisa diam saja dan membiarkan dirinya dibunuh, tapi jelas tidak ada orang waras yang bakal pasrah doang kayak gini, bahkan orang yang merasa hidupnya ga berharga pun masih berusaha lari dari kejaran pembnuh, yakin deh -_-
So, there are always choices for us.

Kalimat yang ada di buku Harry Potter itu benar-benar menginspirasi saya. Tidak peduli apakah saya masih menjadi orang yang meledak-ledak, kekanak-kanakan, kadang pesimis, tidak stabil, saya memilih menjadi seorang psikolog klinis. Ya, itu pilihan saya. Dan saya akan berusaha menjadi seperti apa yang saya pilih. Sebisa mungkin, saya akan memperbaiki diri saya, walaupun tidak berarti saya akan mengeliminasi kelemahan saya. Sebisa mungkin, karena saya tahu ada hal-hal yang sulit diubah 100%. Saya bisa memilih menjadi tetap meledak-ledak, kekanak-kanakan, kadang pesimis, tidak stabil, dll, Tapi saya memilih untuk mengejar cita-cita saya. Dan otomatis pilihan itu menuntun saya untuk memperbaiki diri saya, because I don't wanna be a bad psychologist who cannot help herself.


So, make a choice. Pilihan bisa mengarahkanmu kemana saja kamu mau. Jadi buatlah pilihan yang baik. Nadya, buatlah pilihan yang baik *ngomong sama diri sendiri*

Mari memilih. Buatlah pilihan terbaik untuk diri kita :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar