Minggu, 23 Juni 2013

BBM....Boring.

Tidak biasanya saya menulis soal kebijakan politik. Tapi karena jengah setiap hari melihat TV, Fesbuk, bahkan Twitter dipenuhi berita tentang BBM (yang sekarang sepertinya merupakan kepanjangan dari Bahan Bakar Masalah, karena perdebatan apapun tentangnya kerap berujung menjadi masalah) yang sekarang naik....berapa? 2000 rupiah? Oke.

Masyarakat terpolarisasi: kubu pro dan kubu kontra. Kata yang pro "gapapa lah, subsidi kemarin malah jatuh ke segelintir orang; orang-orang kaya," lalu "hutang kita sudah banyak, BBM harus dinaikkan" ada juga yang menyerimpetkan hal ini dengan masalah lain seperti "beli rokok aja kuat bung, masa beli bensin ga kuat" atau "beli kendaraan maha aja kuat, masa masih pakai premium, ga rela kalo dinaikkan" bla, bla, bla. Kubu kontra bilang, "oke, kalau sekarang kita harus membayar sendiri subsidi yang kemarin diberikan, semoga uang yang kita bayarkan jatuh ke tangan yang tepat, jangan disalahgunakan lagi. apalagi harga-harga pada naik juga." bla bla bla. Ya, saya dengan harga burjo pun mengikuti kurs minyak dunia dan melonjak seiring naiknya BBM sekarang ini.

Tahu apa yang ada dalam otak saya?

Saya muak dengan segala macam perdebatan, diskusi, dan analisis-analisis baik ilmiah maupun tidak ilmiah, pendapat berkelas maupun ngawur. Bukan muak juga sih, "muak" is a strong word, too strong buat orang yang kurang kritis seperti saya. Bosan, lebih tepatnya. Bosan juga dengan demo-demo bakar ban yang tidak ramah lingkungan dan bikin emosi saking stupid-nya.

Bagi saya, apapun kebijakannya, selama orang-orang masih berwatak curang, culas, kikir, suka korupsi, baik di tingkat rendahan maupun di tingkat atas.....tidak akan ada kebijakan yang bijak.

BBM disubsidi, dinaikkan, diturunkan, dikali, dibagi, dikuadratkan, bla bla bla....jika masih ada pihak yang korup (baik dalam Pemerintahan maupun dari kalangan rakyat sendiri) semua akan berakhir petaka.

Saya mungkin apatis. Tidak pro maupun kontra. Saya hanya bebal semua perdebatan tak berujung, strategi politik yang entah menguntungkan atau merugikan siapa. Bebal dengan demo-demo bakar ban, yang mungkin dilakukan oleh mahasiswa yang kalo di kelas ga tau apa-apa jadinya bakatnya ya bakar ban itu. Saya bersyukur masih ada mahasiswa yang santun menyuarakan pendapatnya.

Ah, yasudahlah. Kesannya kok jadi sewot sekali. Padahal ya saya masih mampu2 aja, fine2 kalo harga2 naik. Bahkan saya berniat untuk ganti Pertamax mulai sekarang. Saya cuma berdoa semoga kebijakan-kebijakan ini dibuat oleh orang-orang yang berakhlak baik dan Tuhan meridhoinya; bukan sebaliknya. Saya khawatir kalau yang terjadi malah sebaliknya.

Selamat hari Minggu. Selamat ganti Pertamax bagi yang tidak setuju Premium naik (kalo dihitung-hitung kayaknya lebih menguntungkan kalau sekalian ganti Pertamax) dan bagi yang setuju, Selamat juga karena akhirnya BBM dinaikkan, kalian pasti senang. Dan bagi yang mungkin kayak saya, golongan yang-sudah-terlalu-malas-untuk-memihak, jalani aja kebijakan baru ini dengan wajah tenang. Keep Calm and Enjoy Your Day. Akhir kata, semoga Tuhan melindungi bangsa ini dari orang-orang yang bahkan tidak adil sejak dalam pikiran.

Well, ternyata saya masih bisa mendoakan bangsa ini. Ternyata saya tidak apatis2 amat :)

Kamis, 20 Juni 2013

Catatan Kecil Kala Kucing Tertidur Di Sampingku


Kadang-kadang aku berpikir betapa hewan peliharaan mempunyai cinta yang begitu tulus kepada majikannya. Aku punya dua ekor kucing yang sangat kusayangi, namun kerap aku harus menyabet mereka dengan kain agar berhenti menyobek-nyobek sofa kesayangan orang tuaku. Tapi, tetap saja, di malam hari salah satu dari mereka -atau bahkan keduanya- akan naik ke tempat tidurku, berbaring melingkar sambil bersandar di perutku, dadaku, dan kadang-kadang juga di belakang punggungku. Hewan yang kita anggap bodoh, namun karena kebodohan itu mereka pun tidak mengingat-ingat kejahatan yang kita lakukan pada mereka. Saat kita mengulurkan tangan membelai kepala mereka, kesalahan kita termaafkan. Begitu kita menyajikan sepiring ikan di depan mereka, mereka akan tetap memakannya tanpa merasa jijik. Entah apakah itu karena mereka tidak punya harga diri –mau saja disuap dengan belaian atau makanan- atau karena mereka pemaaf? Manusia yang punya harga diri lebih tinggi kadang tak bisa menerima perbuatan baik orang lain yang telah melukai mereka. Apakah memang harga diri manusia lebih tinggi? Atau malah terlalu angkuh?

Rabu, 19 Juni 2013

Surat Keterangan Sehat

Karena saya pengen nulis tapi bingung apa yang mau ditulis, jadinya saya sembarang nulis aja.

Ceritanya hari Sabtu lalu saya melipir ke puskesmas kecamatan yang ada di dekat rumah saya. Kurang lebih jam 10.30 saya berangkat dari rumah. Sekitar 5 menit kemudian, saya udah di parkiran puskesmas. Melenggang masuk dengan santai, hati saya tidak segontai langkah saya yang lebar-lebar. Ciut juga rasanya melihat antrian bapak-ibu-balita-lansia di ruang tunggu. Saya mendatangi loket dan bertanya kepada perawat yang ada, "Mbak, kalau mau minta surat keterangan sehat gimana ya...?" Tanpa memandang saya, perawat itu langsung menjawab sekenanya, "Pendaftarannya udah tutup Mba, jam 10 tadi." Saya menoleh ke tempat registrasi dan...ya, saya baru lihat. Tulisannya TUTUP. Duh, kok bisa-bisanya saya lupa kalau hari Sabtu itu jam pelayanan puskesmas lebih singkat dari hari biasa.

Oke deh, saya akhirnya bermotor lagi, tapi entah kenapa saya malas pulang ke rumah. Saya pun dengan sangat impulsif mendatangi rumah sakit swasta yang juga terletak di dekat rumah saya. Siapa tahu bisa minta surat di sana, pikir saya. Lagipula, saya juga ingin tahu bagaimana sih rumah sakit itu. Saya biasanya lewat di depan rumah sakit tersebut dan melihat halamannya yang nyaman, dengan dua kursi taman model klasik yang ditempatkan di bawah pohon mungil. Penasaran, saya jambangi saja rumah sakit itu. Syukur-syukur bisa dapat surat juga.

Lobby sepi. Di kursi penunggu, hanya ada seorang lelaki paruh baya yang saya duga tengah menunggu salah satu keluarganya, mungkin anak atau istri, berobat. Tidak ada karyawan berseragam. Tapi ada seorang wanita yang duduk di depan loket registrasi sambil menggendong bayinya. "Ada yang bisa dibantu, Mba?" tanyanya. Saya bilang saja mau minta surat keterangan sehat. Kata wanita itu saya harus daftar dulu. Begitulah kemudian saya mengisi form pendaftaran dan menunggu sambil melihat acara yang diputar di televisi di ruang tunggu.

Tidak lama kemudian, seorang perawat berwajah ramah memanggil saya dan membawa saya ke ruang periksa. Dia sempat menanyakan,"Minta surat sehat buat apa Mba?" Saya jawab langsung, "Pendaftaran S2 Mba." Kemudian berbincang sedikit tentang kuliah S1 saya sebelumnya. Lalu mulai pemeriksaan pertama: berat badan. Saya naik ke timbangan. 40 kg. "Ya ampun, kecilnya," kata si perawat itu agak kaget. Saya cuma terkekeh. Seterusnya saya disuruh duduk di atas tempat tidur berwarna hijau. Perawat itu memeriksa tekanan darah saya. Saya tahu pasti ada yang aneh dengan tekanan darah saya ketika melihat ekspresi perawat itu. Mengerutkan kening dan mengulangi pemeriksaan sekali lagi. Dua kali lengan saya dililit dan ditekan-tekan dengan alat yang saya lupa namanya itu. "Rendah ya, Mba? Cuma 100/70" katanya. "Oh, memang rendah kayaknya," sahut saya, "sering pusing kalo bangun tidur." "Mau saya tulis normal atau rendah nih?" tanyanya. Sambil tertawa saya menjawab, "Tulis rendah aja gapapa Mba, yang penting masih bisa berfungsi baik dan sehat." "Sering-sering minum air putih ya," katanya. Saya memang jarang minum air putih. Oke, akan saya coba.

Selanjutnya, bertemu dengan dokter. Ternyata dokternya masih muda sekali, sepertinya belum ada 27 tahun. Perawat memberitahukan hasil pemeriksaan tadi. Dokter bertanya, "Tinggi badan?" "155" jawab saya. Lalu saya minta juga sekalian tes buta warna. Dokter itu keluar lagi mengambil alat tes buta warna: Tes Ishihara. Setelah mengetes saya kurang lebih 5 menit, dokter menulis lembar surat keterangan sehat dan...selesai. Saya keluar lagi menunggu surat untuk saya yang sudah jadi.

Begitu nama saya dipanggil di loket pembayaran, saya diberikan kartu pasien dan juga surat keterangan sehat. Selain itu ada rincian pelayanan. Pemeriksaan medis 35.000. Administrasi 15.000. Total 50.000. Padahal kalo di puskesmas cuma 8.000 doang. Ah, yasudahlah. Hitung2 pengalaman juga.

Setelah membayar, saya pulang (ga pulang dink, habis itu saya ke bengkel nyervis motor) dengan tas berisi bukti pembayaran dan sehelai kecil Surat Keterangan Sehat dan Tidak Buta Warna seharga 50.000.....

Senin, 10 Juni 2013

Selera

Kadang masih bingung kenapa ada orang yang disebut punya selera yang tinggi dan selera yang rendah. Apakah selera punya alat ukur tersendiri yang valid dan reliabel? Apa ada "Skala Selera" begitu? Apa ada "Skala Selera Humor", "Skala Selera Berpakaian", atau bahkan "Skala Selera Musik"?

Bukan hanya itu. Sebenarnya apa saja sih aspek-aspek dari selera humor, fashion, musik, dll itu? Kalau mau mengukur suatu variabel. kita pasti harus tahu kan aspek atau indikator apa saja yang ada dalam variabel tersebut?

Bagi saya sih, selera bukan stratifikasi, tapi lebih sebagai diferensiasi. Selera orang berbeda-beda. "Selera tidak dapat diperdebatkan" adalah satu hal yang saya pelajari di mata kuliah Filsafat Umum waktu semester 1 dulu (dan satu-satunya materi yang nyantol di otak saya). Jadi ga perlu ya sepertinya mengukur selera seseorang tinggi atau rendah.

Sepertinya akan lebih tepat jika selera itu dideskripsikan, bukan diukur. Misalnya: "selera humornya cerdas"". Bisa juga "selera musiknya lembut". Mungkin juga bisa kita bilang "selera berpakaiannya unik, seksi, dll".

Ah, trus ngapain juga saya memperdebatkan pengertian "selera" ini?

Selamat menunaikan selera masing-masing :)