Selasa, 20 Desember 2011

Cry

Singkat ya judulnya. Cry. Menangis. Tapi posting ini bakalan panjang kayaknya. Karena saya akan menceritakan sebuah kisah. Here we go.

Ada seorang anak yang terlahir sebagai anak yang cengeng alias gampang nangis. Diganggu dikit, nangis. Tersinggung dikit, nangis. Sedih dikit, nangis. Kebiasaan mewek ini membuat orangtua dan keluarga anak itu terganggu. Kata ortunya, "Cengeng itu ga baik, jangan sedikit2 nangis". Kata keluarga besarnya, "Ya ampun, segitu aja nangis, kenapa sih?" Jelas si anak ga bisa menjawab. Memang temperamennya seperti itu. Lagian umurnya juga belum nyampe 7 tahun. Masa sih ditanya tentang kenapa dia suka nangis. Ya ga tau ya, dia juga ga tau siapa yang menurunkan bakat ini ke dia. Pertanyaan seperti itu kadang menyiksanya, karena hampir bernada seperti "Kamu kok jelek sih? Hidungmu kok pesek sih?" Ya ga tau lah ya....

Menjelang usia sekolah, kelas 1 SD, giliran teman-temannya yang marah, "Kamu tuh kok dikit2 nangis sih, entar ga punya temen loh." Dan dia ingat ketika mengambil rapot bersama ibunya, wali kelasnya berkomentar, "Anaknya pinter, Bu, tapi cengeng." Ibunya membela, "Oh, dia memang anak yang punya perasaan sangat halus Bu, jadi jangan dikerasin ya." Tapi tidak selamanya orang-orang terdekatnya membela dia, malah seingatnya sejak kecil dia selalu dikritik karena gen mewek tak tahu diuntung yang terpaksa mengalir dalam darahnya ini. Pernah seorang teman tantenya berkomentar, "Ih lucu adek, giginya rongak tuh." Saat itu memang si anak baru aja cabut gigi. Spontan, si anak merasa ada pisau yang menancap jleb di dadanya, rasa ngilu yang familiar, lalu rasa panas yang mulai menjalari mata dan kelenjar2nya, sehingga...tada! Air mata keluar dan dia pun menangis. Ortunya menghardiknya. Ibunya berkata, "Kamu jangan nangis to. Kasihan si om-nya kan jadi ngerasa bersalah."

Oh, jadi, menangis memang tidak pernah menjadi sebuah hal yang diharapkan, pikir si anak. Menangis itu mengganggu ketertiban umum. Dan entah mulai kapan, alam bawah sadarnya mungkin menanamkan paham "anti-tears" di jiwanya dan, singkat kata, walaupun tetap menjadi orang yang cengeng, si anak tumbuh menjadi orang yang keras terhadap dirinya sendiri. Jangan nangis, jangan nangis, malu. Bahkan ketika ia sendirian, ia masih mengontrol tangisannya, sampai kadang2 lehernya terasa sakit untuk mengampet sesenggukan tangisnya. Dia jarang menangis, jarang. Kalaupun matanya sudah panas dan basah, sebisa mungkin tidak ia tumpahkan air pelumas itu. Dia jadi sekeras batu. Agak mengerikan malah, karena terkesan tak punya perasaan. Ketika temannya menangis, ia malah merasa tidak nyaman dan tidak sabaran karena ia langsung men-cap orang itu lemah. Cih. Gitu aja nangis, pikirnya.

Tapi pengalaman membawanya kepada teman-teman yang emosional, yang mampu membuat emosi dinginnya mulai mencair. Ia menangis saat temannya menangis. Ia bisa merasakan rasa sakit temannya. Ia tak lagi punya paham bahwa air mata itu nista, menangis itu hina. Ia belajar menerima dan mengelola dukanya, dengan menangis seperlunya, saat ia butuh. Belajar jujur kepada dirinya sendiri bahwa ia merasa sedih dan air mata mungkin dapat membuat perasaannya membaik.

Ya, dan anak itu menangis sekarang. Menangis karena orang yang dulu begitu meguatkannya pada akhirnya hanya mebuatnya menangis tersedu-sedu, bahkan setelah mereka berpisah. Menangis karena luka yang telah dibalutnya dengan hati-hati kini terbuka lagi dan terasa sangat sakit. Menangis karena galau *eeeaaaa*.  Menangis karena ia akhirnya tersadar bahwa orang yang telah melepaskannya ternyata memang pantas untuk ia lupakan. Tidak perlu diceritakan detail kejadian yang membuatnya kembali menangis. Yang jelas, ia sadar bahwa sebab ia menangis adalah melihat si seseorang, Tuan X, bersimpati dan peduli pada orang-orang lain untuk sebuah hal yang sama dengan yang dulu pernah ia alami (dulu si Tuan X ini tidak memberikan dukungan emosional yang cukup padanya-bahkan pernah hanya berkata "ga usah bicarain itu deh"-; tidak seperti yang diberikan Tuan X pada orang lain saat ini, sebuah ekspresi wajah yang sangat menunjukkan kepedulian, sementara dulu saat menangis ia hanya disodori ekspresi wajah datar).


Menangis karena merasa apa yang telah ia lalui hampir satu tahun itu ternyata tidak begitu bermanfaat baginya, dan Tuan X mungkin. Menangis karena pada detik ini, matanya akhirnya benar-benar terbuka, dan membuka mata lebar-lebar saat matamu masih lengket tertutup itu rasanya cukup menyakitkan. Menangis karena ia menyadari bahwa ia harus membuang jauh-jauh infeksi yang menggerogoti dirinya, dan cara terbaik adalah mengamputasinya sebelum membusuk. Dan amputasi itu sakit. Dan ia baru saja melakukan amputasi :')

Anak itu sudah mulai tua. Anak itu tahu sekarang, bahwa menangis dapat membantunya melanjutkan hidup; semacam bentuk survival. Ia mungkin akan banyak menangis, sampai akhirnya bagian yang diamputasi itu benar-benar tidak dianggapnya lagi sebagai bagian dari dirinya.

Anak itu adalah saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar