Rabu, 28 November 2012

Untuk Ayah

Ayah mengenalkanku pada bahasa.
Di sela jeda tanpa koma, hanya titik dalam ruang hampa kata.
Duniamu, ayah.

Kamus bahasa Inggris bergambar pemberianmu kusantap ketika aku masih berseragam putih merah.
Kumpulan sajak Rendra yang kau selipkan di rak buku jadi bahan bacaanku ketika remaja.
Umar Kayam, Ahmad Tohari, Jostein Gaarder yang ada di rak bukumu ikut menjadi bahan bacaanku ketika beranjak dewasa.

Kau lah awal mula aku jatuh cinta pada bahasa.
Pada kata-kata.
Pada sajak yang tak bisa kuucapkan;
membara dalam tulisanku yang menyala dalam jurnal harian.

Ayah jarang berkata-kata, bukan?
Kecanggungan selalu ada tiap memulai percakapan.
Mungkin terlalu susah bagimu untuk mengajariku secara lisan.
Kau pun memberi kompensasi lewat buku-buku yang kau berikan.

Tapi kini aku menggali satu makna:
Ayah telah mengenalkanku pada bahasa, tanpa berkata-kata.

Dan untuk itu:
Terima  kasih, ayah.



Yogyakarta, 28 November 2012


Sabtu, 24 November 2012

Illusion of Ignition

Malam ini hujan.

Gadis itu mendengarkan rinai hujan mengiringi nafasnya.

Ia nyalakan perapian. Hangat, namun hanya sekejap. Kau tahu kenapa? Ia takut terbakar. Api yang cemerlang itu telah menjadi ketakutan sekaligus hal yang ia dambakan, kadang-kadang, apalagi jika dinginnya hujan masuk lewat jendela hatinya yang terbuka, membuat isi hatinya membeku seperti sekarang. Ngilu di dalam.

Kadang pula, ia nyalakan api itu cukup lama, cahaya dan panasnya membuatnya lupa bahwa hujan masih menari di luar. Atap logikanya bocor, dan air hujan menetes masuk ke rumahnya. Ketika ia lengah, ia bisa terpeleset, jatuh terjerembab di atas lantai kenangannya yang licin. Entah licin karena rembesan air hujan, atau air mata kesakitannya sendiri.


Gadis itu menatap perapian yang tak menyala. Menahan keinginan untuk membuat api dan ikut membakar dirinya.


Hujan masih menyelesaikan tangisannya.


Rabu, 21 November 2012

Coraline Contemplation

"Ayolah. Siapa namamu?" tanya Coraline pada si kucing. "Namaku Coraline. Oke?"
Si kucing menguap perlahan-lahan dengan hati-hati, memperlihatkan mulut dan lidahnya yang sangat merah jambu. "Kucing tidak punya nama," katanya.
"Tidak punya?" kata Coraline.
"Tidak," sahut si kucing. "Kalian, manusia, punya nama. Sebab kalian tidak tahu siapa diri kalian. Kami tahu siapa kami, jadi kami tidak butuh nama."

 .....


"Udara penuh dengan tawon-tawon kuning. Tadi kami pasti menginjak sarang tawon yang ada di ranting yang sudah busuk, waktu kami berjalan. Sementara aku lari mendaki bukit, ayahku tetap di tempatnya, disengati tawon, supaya aku sempat melarikan diri. Kacamatanya terjatuh waktu dia lari."
"Nah," kata Coraline, "menjelang sore itu, ayahku kembali ke lapangan kosong tadi, untuk mengambil kacamatanya. Katanya kalau kacamata itu dibiarkannya di situ sehari saja, dia tidak bakal ingat di mana kacamatanya itu jatuh."
"Tidak lama kemudian, dia pulang, sudah menegnakan kacamatanya. Dia bilang dia tidak takut waktu berdiri di sana, disengat tawon-tawon, sambil melihat aku lari. Sebab dia tahu dia mesti memberi cukup waktu padaku untuk kabur, kalau tidak tawon-tawon itu pasti menyerang kami berdua."
"Dam kata ayahku, dia berbuat begitu bukan karena dia berani, berdiri saja di situ, membiarkan tawon-tawon menyengatnya," kata Coraline pada si kucing. "Katanya itu tidak bisa disebut berani, sebab dia tidak merasa takut: hanya itu yang bisa dia lakukan. Tapi tindakannya kembali ke tempat itu untuk mengambil kacamatnya, padahal dia tahu tawon-tawon itu ada di sana, dan dia merasa ketakutan...nah, itu baru berani."
"Kenapa bisa begitu?" tanya si kucing yang kedengarannya tidak terlalu berminat.
"Sebab," kata Coraline, "kalau kau merasa takut, tapi tetap nekat maju terus, itu namanya berani." 

....


Si kucing menjatuhkan si tikus di antara kedua kaki depannya. Sambil mendesah, dia berkata dengan nada teramat halus, "Ada yang menganggap kebiasaan kucing mempermainkan mangsanya sebagai kebiasaan yang baik hati- mangsa kecil yang lucu itu jadi punya kesempatan melarikan diri, sekali-sekali. Coba, seberapa sering kau memberi kesempatan kabur pada makan malammu?"

....


Coraline. Sebuah novel karangan Neil Gaiman, yang sebenarnya digolongkan novel untuk anak-anak. Tetapi novel ini membuat saya terkesima; salah satu novel yang paling saya sukai. Novel ini membuat saya banyak merenungkan hal-hal yang tampaknya sepele, tetapi dalam maknanya.

Yang paling membuat saya tergelitik adalah dialog Coraline dengan si kucing tentang manusia. Saya jadi berpikir: Human. Why do we have names? Simply because we cannot recognize who we are. We're lost without names. Menarik, dan menyentil dengan cara yang jenaka.

Kemudian, arti keberanian. Saya belajar bahwa keberanian bukannya keadaan tanpa rasa takut. Berani bukan berarti tidak merasa takut. Bukan manusia namanya jika tidak memiliki rasa takut. Berani adalah melawan ketakutanmu, menolaknya menyeretmu mundur dari arena pertempuran, dan dengan gagah berani mendorong dirimu ke depan untuk menghadapi tantangan. Itulah keberanian.
Sebagai contoh, orang yang tidak takut dengan laba-laba bukan belum tentu seorang pemberani. Bisa jadi, baginya, laba-laba hanyalah sekedar serangga. Di lain sisi, seseorang yang fobia laba-laba, namun berusaha menyembuhkan ketakutannya dengan menghadapi laba-laba...saya kira kita semua tahu mana yang memerlukan kekuatan lebih besar antara dua orang tersebut. Itu hanya contoh kecil yang konkret.

Bagian terakhir, yang juga membuat saya terkekeh sendirian ketika membaca novel ini, adalah bagian tentang "makan malam". Seberapa sering kita membiarkan makanan kita kabur? Manusia jauh lebih ganas daripada hewan. Kita merupakan "pembunuh" yang paling efektif dan efisien.


Oh iya, bagi yang suka dengan seni rupa, saya cukup yakin akan menyukai ilustrasi Dave McKean dalam novel ini. Gothic, dan agak "seram"; tidak seperti ilustrasi buku anak-anak pada umumnya.  Dark, but it's beautiful. I love it :) Sangat cocok dengan ceritanya yang juga dark.

Anyway, saya sangat menyukai buku ini dan merekomendasikan kepada siapapun yang ingin menemukan hiburan yang bermakna di waktu senggangnya. Tidak tebal, hanya 228 halaman.
Selamat membaca! Ingat, Co-ra-line, bukan Ca-ro-line ;)


Minggu, 18 November 2012

Tajamnya Dukamu

Beling-beling berhamburan pecah ke lantai dari kristal matamu dan kupungut mereka satu per satu.
Sayang seribu kali sayang.
Tak ada yang mampu merekat lagi serpihan-serpihan itu.
Jadi kusimpan beling-beling tajam itu dalam sapu tanganku:
Aku memilih mengabadikanmu dalam genggamanku yang terluka kena tajamnya dukamu.

Yogyakarta, 18 Januari 2011



---


Aku berdoa semoga tanganku masih kuat menggenggamnya :)
 

Jumat, 16 November 2012

About Death

Baru saja membuka Twitter dan melihat banyak tweet duka yang membanjiri linimasa. Seperti air mata yang mengaliri pipi mereka yang kehilangan. Aku termangu tanpa tahu harus berkata apa, bahkan untuk menuliskan satu tweet pun. Aku terlalu kaget untuk menentukan apa yang harus aku lakukan.

Walaupun aku belum mengenalnya dengan baik, hanya sekedar obrolan singkat, beberapa kali berbagi tawa dan bertemu di beberapa tempat di luar kampus, aku masih saja terperangah tentang betapa cepatnya maut menghampiri, memutus jarak di antara kami. Aku masih saja terperangah tentang kematian, suatu hal yang menurutku lumrah namun tetap menjadi sebuah misteri besar, tanda tanya bagai lorong gelap yang kamu tak tahu menuju ke mana. Lumrah karena semua melumrahkan itu. Karena tidak ada yang tahu apa yang ada di seberang jurang kematian.

Ini bukan pertama kalinya aku mendapati berita tentang seseorang yang berumur sama denganku, belajar di tempat yang sama denganku, meninggalkanku lebih dulu. Namun seperti yang kubilang tadi, kematian tetap menjadi sebuah hal yang mengejutkan, seberapapun lumrahnya itu.Seperti keajaiban yang mengerikan. Keindahan yang menakutkan. Keagungan yang penuh misteri. Karena melalui kematianlah kita akan menuju sebuah kehidupan yang kekal, yang abadi. Kematian adalah satu-satunya jalan menuju kehidupan yang sebenarnya.

Untukmu kawan, kuucapkan selamat tinggal, dan juga selamat karena diberi giliran lebih dulu untuk melihat apa yang tak bisa kami lihat di balik tabir kefanaan. Kami yang lain sebenarnya hanya menunggu antrian; di punggung kami telah menempel nomor antrian yang kami tak tahu kapan akan dipanggil.

Aku tak bisa menutup tulisan tentang kematian dengan akhir yang puitis. Pada akhirnya, aku, kami hanya bisa berkata:

"Semoga kau tenang di sana."

Kami pun diam-diam berdoa, di balik kesibukan yang menutupi rasa takut kami, bahwa ketika tiba nomor kami dipanggil, kami telah meninggalkan sesuatu yang bukan sekedar nama di batu nisan untuk orang-orang di sekeliling kami. Kami berharap kematian kami nanti tidak ikut membunuh harapan orang-orang yang kami cintai, melainkan menumbuhkan kembali semangat mereka untuk menjalani hidup yang fana ini sebaik-baiknya. Amin.


“The fear of death follows from the fear of life. A man who lives fully is prepared to die at any time.”
- Mark Twain

Senin, 12 November 2012

The Story of Blanket and Jacket

I

Dia pernah menyelinap di hatiku ketika kau sedang pergi. Dia memberiku selimut untuk membungkus lukaku dan melelapkan diriku sejenak. Dan aku yang sedang lelah menunggumu pun tertidur beberapa saat, bermimpi tentang dia yang sejenak menghapusmu dari pikiranku.

II

Dia menyelinap pergi ketika pagi datang membawamu kembali. Aku tak bisa melihat jejaknya, kupikir pemberi selimut itu pun hanya tokoh dalam mimpi. Kau tersenyum padaku dan kehangatan itu nyata benderang di depan mataku; ya, pasti sang pemberi selimut itu hanya imajinasiku.

III

Aku berdiri di depan cermin, melihat diriku terbungkus jaket yang kau pakaikan untukku, dengan tanganku menggenggam selimut yang ia pinjamkan padaku. Perlahan, aku melipat selimut itu dan berniat tertidur kembali, menunggu malam tiba dan sang pemberi selimut itu datang.

Tidak, aku tak ingin dia menyelimutiku. Aku hanya ingin mengembalikan selimut yang ia pinjamkan. Dan aku pun tertidur memakai jaketmu, sementara sang pemberi selimut itu mengambil selimutnya dari genggamanku.

Aku sadar bahwa kehangatan yang aku inginkan sudah kau berikan padaku sejak dulu. Hanya karena suhu musim dingin turun beberapa derajat, bukan berarti aku memerlukan tambahan selimut, bukan?
Lagipula, aku sudah pernah berkata, jaketmu menghangatkanku dari dalam.
Aku tidak perlu selimut yang hanya menghangatkanku dari luar.

Kamis, 08 November 2012

Holding On

Beberapa hari ini, kau berbeda.
Senyum dan tawamu lebih lepas.
Kau pun beberapa kali mengirimiku sms lebih dulu.
Sikapmu lebih hangat.
Dan aku lebih bahagia.

Mungkinkah semua terasa berubah karena pandanganku terhadap semua permasalahanku berubah?
Akhir-akhir ini aku mencoba untuk lebih rileks.
Aku mencoba menerima keadaanku, dan keadaanmu.
Mungkin, selama ini, aku belum seikhlas yang aku bayangkan.

Atau mungkinkah perubahan itu memang nyata?
Bahwa kau mulai menjadi apa yang kau harapkan?
Kembali menjadi dirimu yang dulu pernah kita kenal.

Aku tak tahu banyak.

Aku hanya tahu bahwa perubahan itu tak bisa berjalan sendirian.

Kita harus berjalan bersisian.

Tidakkah kau lihat?
Di balik semua kerumitan ini, kita telah membuat satu sama lain lebih dewasa.

Tanpa kita sadari, kita telah menyembuhkan satu sama lain.

Mungkin karena itulah kita bertahan :)

Kamis, 01 November 2012

Diskusi Malam Hari

Saat itu sekitar jam enam menjelang malam, sepulang kerja, saya dan Mbak Sari (senior dan atasan saya yang sangat humble) berjalan kaki menuju lembah. Kami pulang berdua karena kebetulan kos Mbak Sari searah dengan arah saya pulang. Saya lupa awalnya bagaimana, tapi kami sampai pada percakapan mengenai skripsi. Saya pun bertanya kepada Mbak Sari.

N: "Skripsi Mbak Sari dulu tentang apa?"
S: "Tentang kebahagiaan pada remaja."

Mbak Sari pun menjelaskan bahwa skripsinya menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif, serta bersifat eksploratif. Penelitian eksploratif maksudnya penelitian yang semata-mata bertujuan mengetahui sesuatu di balik sesuatu; menjelajah suatu tema. Semata-mata mencoba menemukan. Tergolong rumit.

Saya semakin penasaran.

N: "Trus hasilnya gimana Mbak?"
S: "Nah, hasilnya itu...."

Selagi kami berjalan melewati pos satpam, Mbak Sari mulai memaparkan hasil skripsinya.

Ternyata, komponen kebahagiaan pada remaja banyak melibatkan hubungan dengan orang lain. Leisure time, misalnya. Remaja bahagia bila leisure time-nya melibatkan orang lain, seperti bermain dan jalan-jalan dengan temannya. Pandangan orang lain terhadap dirinya, bahkan penggunaan uang yang melibatkan orang lain, misalnya memberikan kado atau hadiah kepada teman, dll. Pokoknya banyak melibatkan orang lain, melibatkan hubungan sosial. Khas budaya Timur yang kolektif.

Kemudian Mbak Sari melanjutkan:

S: "....tapi bukankah itu seperti penyakit? Kebahagiaanmu tergantung pada orang lain?"
N: "Iya sih...aku pernah denger sebuah teori -walaupun ini yang mengatakan memang ilmuwan Barat, jadi aku ga tau ini berlaku di Indonesia atau ga- bahwa kebahagiaan itu harusnya kamu temukan di dalam diri kita sendiri, tidak tergantung orang lain. Jadi "kalo orang lain menderita, kamu tidak perlu ikut menderita", begitu kan? Kamu bisa tetap bahagia."
S: "Iya..."

Kami menyeberang jalan sambil melanjutkan obrolan.

S: "Nah, kalau di Barat, kebahagiaan itu banyak melibatkan achievement. Tapi menurutku, itu juga semacam penyakit juga kan, Dek? Ketika berhasil baru bahagia."
N: "Iya, semacam...you have to be something to be happy, you have to achieve something to be loved. Haruskah ada pengakuan untuk bahagia?"

Kami berdua tertawa ketika melewati pos satpam lembah. Seraya saya dan Mbak Sari berjalan ke arah motor, saya nyeletuk sambil tertawa: "Jadi, apa sebenarnya kebahagiaan itu?". Mbak Sari terkekeh.

Diskusi acak kami belum selesai. Ketika di lampu merah dan motor saya berhenti, Mbak Sari nyeletuk.

S: "Freud bilang agama itu menimbulkan kecemasan lho."
N: "Iya sih. Contohnya saja ketika berdoa. Di agamaku, harus berbaik sangka terhadap Tuhan bahwa doa akan terkabul. Tapi di lain sisi, ada kecemasan yang timbil, karena tidak boleh dengan sombong yakin bahwa doa akan terkabul. Gimana ya itu?"
S: "Hmm...kalau ga sholat, kamu cemas ga?"
N: "Hehe, iya lah, takut dosa."
S: "Ya, mungkin Freud jadi atheis karena menganggap agama banyak membuat manusia menjadi cemas ya, haha..."

Lampu hijau menyala, kami melanjutkan perjalanan.

N: "Tapi Mbak, walaupun mungkin Freud menganggap orang beragama tidak sehat karena cemas, aku merasa lebih baik menjadi orang beragama daripada orang yang tidak cemas. Kadang-kadang kecemasan itu kan berguna juga dalam taraf tertentu."
S: "Iya. Oh, iya, atheis itu sebenarnya percaya Tuhan lho, Dek."
N: "Haha, betul Mbak. Karena dengan menyangkal keberadaan Tuhan, berarti dia berusaha menegasikan keberadaan Tuhan yang mungkin pernah dia rasakan, kan? Toh dia belajar tentang Tuhan juga."
S: "Iya. Nah, malah orang-orang di pelosok yang belum pernah mendengar agama, yang tidak pernah mendengar apa sebenarnya Tuhan, mungkin mereka lah atheis."
N: "Ya, atheis yang murni karena ketidaktahuannya."

Mbak Sari meminta saya berbelok ke kiri dan beberapa saat kemudian, kami sampai di kos Mbak Sari, namun Mbak Sari minta diturunkan di rumah makan beberapa meter dari situ.

S: "Makasi ya Dek, udah dianterin dan berdiskusi..."
N: "Sama-sama Mbak..."

Di sepanjang perjalanan pulang, saya berterima kasih kepada Tuhan bahwa saya memiliki teman diskusi sehebat Mbak Sari :)

Obrolan seperti ini membuat hidup terasa sarat dengan makna.

Terima kasih :)

:)

Awal-awal saya bertugas, salah seorang psikolog berkata:

"Selamat menikmati hari-hari penuh makna ya, Nadya... :)"

Saya tidak perlu menunggu lama untuk itu.

Di sinilah tempat saya bisa menimba ilmu sebanyak-banyaknya sebelum melanjutkan ke Magister Profesi (amin). Saya benar-benar merasa beruntung. Ya Allah, Engkau tahu betul apa yang terbaik untukku, dengan mengizinkanku untuk diterima di lembaga ini.

Di sinilah tempat saya bisa belajar menyembuhkan diri saya sendiri. Di sinilah saya belajar dengan sebenar-benarnya, apa itu kerja sama. Di sinilah saya merasa menemukan keluarga, yang terasa seperti keluarga.

Dan di sinilah saya pertama kali di-framing oleh seorang psikolog. Dan hal ini membuat saya sadar, saya masih memiliki trauma yang mendalam, yang selama ini mungkin saya sangkal. Saya ingin sembuh. Saya ingin "beres" dengan diri saya sendiri, sebelum saya memberikan jasa untuk orang lain secara profesional.

Above all, walaupun banyak pekerjaan, lama-lama saya merasa hal ini sungguh menyenangkan. Sebuah tantangan yang sesuai dengan passion saya.

Yes, I'm happy :)