Kamis, 01 November 2012

Diskusi Malam Hari

Saat itu sekitar jam enam menjelang malam, sepulang kerja, saya dan Mbak Sari (senior dan atasan saya yang sangat humble) berjalan kaki menuju lembah. Kami pulang berdua karena kebetulan kos Mbak Sari searah dengan arah saya pulang. Saya lupa awalnya bagaimana, tapi kami sampai pada percakapan mengenai skripsi. Saya pun bertanya kepada Mbak Sari.

N: "Skripsi Mbak Sari dulu tentang apa?"
S: "Tentang kebahagiaan pada remaja."

Mbak Sari pun menjelaskan bahwa skripsinya menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif, serta bersifat eksploratif. Penelitian eksploratif maksudnya penelitian yang semata-mata bertujuan mengetahui sesuatu di balik sesuatu; menjelajah suatu tema. Semata-mata mencoba menemukan. Tergolong rumit.

Saya semakin penasaran.

N: "Trus hasilnya gimana Mbak?"
S: "Nah, hasilnya itu...."

Selagi kami berjalan melewati pos satpam, Mbak Sari mulai memaparkan hasil skripsinya.

Ternyata, komponen kebahagiaan pada remaja banyak melibatkan hubungan dengan orang lain. Leisure time, misalnya. Remaja bahagia bila leisure time-nya melibatkan orang lain, seperti bermain dan jalan-jalan dengan temannya. Pandangan orang lain terhadap dirinya, bahkan penggunaan uang yang melibatkan orang lain, misalnya memberikan kado atau hadiah kepada teman, dll. Pokoknya banyak melibatkan orang lain, melibatkan hubungan sosial. Khas budaya Timur yang kolektif.

Kemudian Mbak Sari melanjutkan:

S: "....tapi bukankah itu seperti penyakit? Kebahagiaanmu tergantung pada orang lain?"
N: "Iya sih...aku pernah denger sebuah teori -walaupun ini yang mengatakan memang ilmuwan Barat, jadi aku ga tau ini berlaku di Indonesia atau ga- bahwa kebahagiaan itu harusnya kamu temukan di dalam diri kita sendiri, tidak tergantung orang lain. Jadi "kalo orang lain menderita, kamu tidak perlu ikut menderita", begitu kan? Kamu bisa tetap bahagia."
S: "Iya..."

Kami menyeberang jalan sambil melanjutkan obrolan.

S: "Nah, kalau di Barat, kebahagiaan itu banyak melibatkan achievement. Tapi menurutku, itu juga semacam penyakit juga kan, Dek? Ketika berhasil baru bahagia."
N: "Iya, semacam...you have to be something to be happy, you have to achieve something to be loved. Haruskah ada pengakuan untuk bahagia?"

Kami berdua tertawa ketika melewati pos satpam lembah. Seraya saya dan Mbak Sari berjalan ke arah motor, saya nyeletuk sambil tertawa: "Jadi, apa sebenarnya kebahagiaan itu?". Mbak Sari terkekeh.

Diskusi acak kami belum selesai. Ketika di lampu merah dan motor saya berhenti, Mbak Sari nyeletuk.

S: "Freud bilang agama itu menimbulkan kecemasan lho."
N: "Iya sih. Contohnya saja ketika berdoa. Di agamaku, harus berbaik sangka terhadap Tuhan bahwa doa akan terkabul. Tapi di lain sisi, ada kecemasan yang timbil, karena tidak boleh dengan sombong yakin bahwa doa akan terkabul. Gimana ya itu?"
S: "Hmm...kalau ga sholat, kamu cemas ga?"
N: "Hehe, iya lah, takut dosa."
S: "Ya, mungkin Freud jadi atheis karena menganggap agama banyak membuat manusia menjadi cemas ya, haha..."

Lampu hijau menyala, kami melanjutkan perjalanan.

N: "Tapi Mbak, walaupun mungkin Freud menganggap orang beragama tidak sehat karena cemas, aku merasa lebih baik menjadi orang beragama daripada orang yang tidak cemas. Kadang-kadang kecemasan itu kan berguna juga dalam taraf tertentu."
S: "Iya. Oh, iya, atheis itu sebenarnya percaya Tuhan lho, Dek."
N: "Haha, betul Mbak. Karena dengan menyangkal keberadaan Tuhan, berarti dia berusaha menegasikan keberadaan Tuhan yang mungkin pernah dia rasakan, kan? Toh dia belajar tentang Tuhan juga."
S: "Iya. Nah, malah orang-orang di pelosok yang belum pernah mendengar agama, yang tidak pernah mendengar apa sebenarnya Tuhan, mungkin mereka lah atheis."
N: "Ya, atheis yang murni karena ketidaktahuannya."

Mbak Sari meminta saya berbelok ke kiri dan beberapa saat kemudian, kami sampai di kos Mbak Sari, namun Mbak Sari minta diturunkan di rumah makan beberapa meter dari situ.

S: "Makasi ya Dek, udah dianterin dan berdiskusi..."
N: "Sama-sama Mbak..."

Di sepanjang perjalanan pulang, saya berterima kasih kepada Tuhan bahwa saya memiliki teman diskusi sehebat Mbak Sari :)

Obrolan seperti ini membuat hidup terasa sarat dengan makna.

Terima kasih :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar