Minggu, 24 Juni 2012

Emosi Cerdas, Hidup Sejahtera: Antara Emotional Intelligence dan Well-Being

Rasa-rasanya, sayang juga kalau apa yang saya tulis di waktu kuliah tidak saya bagikan di sini. Tulisan ini memang banyak kurangnya, namun saya rasa bisa memberi manfaat, paling tidak sedikit, bagi yang ingin belajar ataupun sekedar iseng-iseng cari tahu tentang IQ, EQ, dan Well-being. Selamat menikmati tulisan yang sejatinya adalah tugas ujian tengah semester ini. Yuuk mari...


Emosi Cerdas, Hidup Sejahtera:
Antara Emotional Intelligence dan Well-Being

Nadya Anjani Rismarini
09/283173/PS/05735

 Sekian tahun lamanya, kita telah dibuat percaya bahwa kecerdasan intelektual seseorang (yang diukur sebagai IQ- intelligence quotient) adalah prediktor utama kesuksesan. Masyarakat menilai bahwa orang yang ber-IQ tinggi akan memiliki pencapaian lebih banyak dalam hidup. Bagaimanapun, 10 tahun terakhir ini para peneliti menemukan bahwa kecerdasan emosional (EQ- emotional quotient) seseorang bisa jadi menjadi prediktor kesuksesan yang lebih utama dari IQ (Thibodeaux & Bond, 2007).
Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan kecerdasan emosional? Pada awal tahun 90an, Dr. John Mayer, Ph.D. dan Dr. Peter Salovey, Ph. D. memperkenalkan  istilah tersebut di dalam Journal of Personality Assessment. Kecerdasan emosional digambarkan sebagai kemampuan seseorang untuk memahami emosinya sendiri dan emosi orang lain, dan bertindak dengan tepat/sesuai berdasarkan pemahamannya tersebut. Pada tahun 1995, psikolog Daniel Goleman mempopulerkan istilah kecerdasan emosional dalam bukunya, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. Kecerdasan emosional adalah tentang memiliki empati bagi orang lain; membela apa yang anda yakini dengan cara yang terhormat; tidak langsung melompat ke kesimpulan, melainkan mendapatkan gambaran keseluruhan sebelum bertindak.  Kunci dari kecerdasan emosional adalah memahami emosi anda dan emosi orang lain, dan bertindak dengan cara yang paling sesuai berdasarkan pemahaman anda tersebut.
Goleman (2001) membandingkan IQ dan EQ dalam ranah emosi dan kognitif. IQ, menurutnya, adalah kemampuan yang murni bersifat kognitif. Sedangkan kemampuan lainnya mengintegrasikan pemikiran dan perasaan dan masuk ke dalam domain “kecerdasan emosi”, sebuah istilah yang menekankan pentingnya peran emosi dalam pelaksanaannya. Semua kemampuan terkait kecerdasan emosional melibatkan keterampilan pada domain afektif, dan juga mengandung elemen-elemen kognitif. Kecerdasan emosional telah diajukan sebagai prediktor fungsi manusia yang positif (Mayer & Salovery, 1997, dalam Spences, Oades, & Caputi, 2004). Kecerdasan emosional telah dihubungkan dengan beberapa faktor seperti kepuasan hidup, psychological well-being, kesuksesan dalam pekerjaan dan performansi kerja (Adeyemi & Adeleye, 2008; Bar-On, 1997 & 2005; Salovey & Mayer, 1990).
Memiliki kecerdasan emosi yang sehat merupakan hal yang penting agar manusia dapat hidup bahagia dan sukses (Thibodeaux & Bonds, 2007). Kecerdasan emosional berhubungan dengan aksi manusia yang efektif dan aktualisasi diri, yang berhubungan pula dengan aksi manusia yang optimal (Bar-On, 2001 dalam Spences, Oades, & Caputi, 2004). Pernyataan-pernyataan tersebut menegaskan bahwa kecerdasan emosional memang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan manusia, bagaimana manusia menjalani kehidupannya dengan positif dan optimal.
Konsep “fungsi optimal manusia” ini ternyata berkaitan dengan konsep well-being atau kesejahteraan. Para psikolog klinis seringkali mendiskripsikan well-being melalui beberapa teori (Ryff & Keyes, 1995), di antaranya adalah teori needs (kebutuhan) dari Maslow (1968) yang mana aktualiasi diri (self-actualization) menjadi needs yang berada di tingkat paling tinggi. Selain itu ada pula teori dari Rogers (1961) tentang fully functioning person. Menurutnya, terdapat beberapa ciri manusia yang berfungsi optimal, antara lain terbuka terhadap pengalaman, bebas mengekspresikan perasaan, bertindak secara independen, kreatif, dan memiliki hidup yang “kaya”; the good life. Bagi Rogers, inilah kondisi manusia yang ideal. Seperti Maslow, Ia juga menyatakan adanya tendensi manusia untuk mengaktualisasikan diri.
Secara umum, well-being adalah sebutan bagi kualitas hidup yang bagus (good life). Well-being juga dapat dirumuskan sebagai apa yang diperbuat oleh seseorang dalam kondisi aktual kehidupannya. Apa yang diperbuat orang terhadap kondisi tersebut (Michalos, 2007). Apa yang mereka persepsi dari kondisi tersebut, apa yang mereka rasakan dan pikirkan dari kondisi tersebut adalah fungsi dari well-being mereka. Jika tindakan, persepsi, perasaan, dan pemikiran mereka negatif, maka kualitas hidup mereka akan rendah, dengan kata lain: well-being yang rendah.
Apapun definisi tentang well-being, pada umumnya semua merujuk ke satu arah, di mana seseorang memiliki hidup yang berkualitas tinggi. Hidup bahagia, sukses, atau “kaya” seperti yang dikatakan Rogers. Konsep the good life ini tidak hanya meliputi faktor materi saja, tetapi juga psikologis: emosi yang positif, hubungan interpersonal yang berkualitas, dll. Dalam semua aspek ini, yang melibatkan banyak domain afektif, kecerdasan emosional menunjukkan pengaruhnya.
Ada satu contoh sederhana yang diutarakan oleh Martins, Ramalho, dan Morin (2010) tentang bagaimana kecerdasan emosi dapat menghambat kesuksesan. Misalnya saja seorang siswa yang merasa cemas karena akan megikuti ujian. Jika ia tidak bertindak tepat dalam mengatasi emosinya tersebut, ia akan benar-benar sakit. Jika ia tidak bisa melakukan tindakan yang tepat terhadap rasa cemas yang ia rasakan, ia bisa gagal ujian. Saya jadi membayangkan contoh seorang pelamar kerja yang akan mengikuti wawancara. Jika ia tidak memahami bagaimana harus menyiasati rasa cemasnya, performanya dalam wawancara bisa separah rasa cemas yang ia rasakan, dan hasilnya? Bisa saja ia gagal diterima. Ia gagal mengaktualisasikan dirinya. Tidak heran jika kecerdasan emosional juga banyak dihubungkan dengan kesuksesan dalam pekerjaan, yang lagi-lagi, juga termasuk salah satu aspek dalam well-being.
Tanpa kemampuan untuk mengetahui dan memahami emosi pribadi dan emosi orang lain (empati), tanpa kemampuan untuk bertindak berdasarkan pengetahuan tersebut, akan sulit bagi seseorang untuk menjalin hubungan interpersonal yang memuaskan. Tanpa kemampuan untuk menimbang, seseorang akan menjadi ceroboh dalam bertindak. Tanpa kecerdasan emosi, bahkan hanya ketiadaan beberapa aspek kecerdasan tersebut, kesejahteraan dan kepuasan hidup seseorang akan terganggu. Maka, tidaklah berlebihan jika kepopuleran EQ sebagai prediktor kesuksesan hidup yang mengarah kepada well-being kini mengalahkan popularitas IQ. Dengan emosi yang cerdas, hidup pun akan sejahtera.
Referensi:
Goleman, D. (2001). The Emotionally Intelligent Work[place (Chapter Two: Emotional Intelligence: Issues in Paradigm Building). Jossey-Bass
Martins, A; Ramalho, N; Morin, E. (2010). A Comprehensive Meta-Analysis of The Relationship Between Emotional Intelligence and Health. Personality and Individual Differences, 49, 554-564

Michalos, A. C. (2007). Education, Happiness and Wellbeing. Paper written for the International Conference on “Is Happiness Measurable and What Do Those Measures Mean for Public Policy?

Ryff, C. D; Keyes, C.L.M. (1995). The Structure of Psychological Well-Being Revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69(4), 719-727

Spences, G; Oades, L.G; Caputi, P. (2004). Trait Emotional Intelligence and Goal Self-Integration: Important Predictors of Emotional Well-Being? Personality and Individual Differences, 37, 449-461

Thibodeaux, J.B; Bond, D.S. (2007). What is Your Emotional Intelligence Quotient? (article) retrieved from http://www.nenetwork.org/roundtables/EmotionalIntelligenceQuotient.pdf on April 11, 2012, 13.38


diakses 12 April 2012, 21.56

Tidak ada komentar:

Posting Komentar