Senin, 22 Oktober 2012

Unfinished Business

Salah satu hal yang saya pelajari dari Psikologi dan ingin saya aplikasikan terhadap diri saya sendiri adalah: jangan terlalu banyak menimbun unfinished business. Kalo pake teori Mbah Freud, jangan terlalu banyak me-repress. 

Apa itu unfinished business? Apa itu repressing?

Unfinished business itu literally ya...urusan yang belum selesai. Jelas.
Well, contohnya banyak. Kekecewaan yang terpendam. Perasaan yang bergejolak namun disembunyikan. Kata-kata yang belum sempat terucap dan membuat tidurmu tak lelap. Amarah yang tertahan dan tak menemukan pelampiasan. Tangisan yang tak kunjung menemukan muaranya; tak kunjung jadi air mata, malah menguap, memenuhi udara dan atmosfir kehidupan dengan aroma duka yang pahit. Banyak sekali. Kita alami semua hal yang "menggantung" dalam hidup kita, detik demi detik, hari demi hari, tahun demi tahun, dari kita anak-anak sampai kita dewasa dan mungkin sudah berkeluarga dan merasa "selesai".

Repressing adalah mekanisme "perlindungan" yang kita lakukan ketika mengalami peristiwa atau merasakan hal yang tidak mengenakkan; yakni "mengubur" dalam-dalam memori kita terkait peristiwa tersebut ke alam bawah sadar. Menekannya sehingga tak muncul ke permukaan.

Unfinished business ini jelas masuk ke alam bawah sadar, kita repress, dan kita bahkan tak sadar ketika kita menutup pintu besar bergembok tebal antara alam bawah sadar dan alam sadar kita, unfinished business itu masih menggedor-gedor, mendorong-dorong pintu itu agar terbuka.

Bahayanya adalah: kita tak pernah tahu kapan semua kekuatan dahsyat dari unfinished business yang kita penjara dalam diri kita sendiri itu kemudian mendobrak keluar, melukai jiwa kita yang tadinya sudah diperban sedemikian rupa sehingga terkesan utuh. Mengalirkan kembali darah dari luka yang kita pikir sudah kering.

Kekecewaan. Amarah. Tangisan. Semuanya ternyata masih menunggu saat di mana kita lengah dan rapuh. Kemudian, mereka meledakkan kita dari dalam.

Kita tak pernah tahu kapan mereka akan meledak.

Selagi masih bisa kau selesaikan, selesaikan. Lampiaskan selagi kau masih kuat. Ucapkan kata-kata itu selagi kau masih bisa berkata. Tumpahkan air matamu selagi masih belum membeku. Marahlah, ketika kau memang sudah merasa keadaan sudah keterlaluan. Marahlah ketika memang diperlukan. Bilanglah kalau kau kecewa, biarkan ia tahu bahwa kau kecewa.

Atau mungkin kau bisa pilih jalan lain.

Let it go. Bukan ditekan, tapi diikhlaskan. Kau sakit, ya, hidup memang menimbulkan banyak luka, tapi biarlah. Relakan. Jabat tangannya, dan biarkan ia pergi. Inilah yang sulit. Letting go is one of the hardest arts to learn; one of the hardest parts of living.

Pilihlah antara melampiaskan, atau mengikhlaskan.


Finish your business. Do not wait until your business "finish" you.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar