I guess there was too little time and too little energy to explain. But some things are still going on my mind until this very minute. I had so much to say, honestly. But I didn't know why I can't just say it to you right away. I just smiled; that was not enough, but appropriate.
If you wanna know, just know that I loved you, even when I made that decision. That painful, but relieving in its own way, decision. That was one new thing I learned, to leave someone you still love because you don't wanna make any more damage to each other. All this time I thought I had enough love, strength, and patience to be with you, but I realized that I was wrong. I was fragile and I refused to admit it. Now that I have tried to forgive myself, I don't have to make up my own flaws. I can't love you the right way, the way you deserve. You need someone better, and so do I. We don't have to face any more disappointment.
I know that you made mistakes too, you upset me when you said I didn't have enough patience. I hated those words because I gave all my effort to be a patient and strong woman for you only to hear that I wasn't enough, never enough. But. yes, I realized my weakness, I know you were right, even though I didn't like the way you said it to me; it's like you never saw how I fought for you.
So, now, it's all crystal clear. I forced myself too hard in our relationship. I fell too hard and now I've lost all my strength. I might be selfish to leave you, but if I stayed, I would just hurt you as I'm too tired to love.
You have so many potentials and chances to grow. But unfortunately, not with me. Or, maybe, it's a fortune not to grow them with me. I thinks some space and time to rebuild ourselves again is the cure we need most now.
I never know whether I've made the right decision or not. Only time will tell. So, as we are heading on to our future and let the time slowly answer my -and maybe yours also- questions, we just need to grow, grow through grief and pain. Just grow and bloom. Let the best form of love come to us. And if one day we meet again, I hope to see you as a great man, even greater than you are right now.
Just...let go. Let go and be free.
Before those swollen minds become a great brain-tumor, share it all with joy
Tampilkan postingan dengan label Leakyfeelings. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Leakyfeelings. Tampilkan semua postingan
Senin, 25 Januari 2016
Sabtu, 28 Februari 2015
Prokrastinasiku Kumat Lagi
Selamat datang di dunia kebut semalam.
Selamat datang di dunia beberapa jam menjelang deadline.
Selamat datang di dunia 'melakukan-apapun-untuk-menghindari-melakukan-hal-yang-tidak-disukai'.
Welcome, procrastination.
Selama kuliah, kebiasaan buruk ini benar-benar sulit saya kendalikan. Pernah sih dulu diterapi dengan pendekatan transpersonal...tapi ternyata, untuk saya, terapi itu sepertinya kurang cocok. Beberapa saat setelah terapi emmang efeknya luar biasa. Tapi lama-lama....prokrastinasi itu menyapa lagi. Teman lama yang berkunjung dan menawarkan kebahagiaan semu, sebuah fantasi liburan dari dunia laporan praktik dan tesis. Well, karena kemarin diterapi transpersonal, kayaknya saya jadi amat sangat menerima diri saya yang prokras ini. Saking menerimanya, saya jadi enggan berubah. Ah, entahlah, mungkin ini teori saya sendiri. Tapi yang jelas, hari-hari belakangan saya lalui hanya dengan makan-tidur-mengerjakan tugas teknik penulisan tesis yang juga dikerjakan dengan sistem menunda-minum-bernapas-hidup selo.
Ya, saya akui saya belum selesai dengan masalah prokrastinasi ini...dan self-esteem saya sebagai calon psikolog mulai menurun. Sisi baiknya, saya orang yang selalu percaya bahwa suatu ketika keadaan akan menjadi lebih baik. Jadi, mau prokras seperti apapun, saya pasti bisa menyelesaikan laporan dan tesis.
At least I've got hope, hahahaha.
Selamat datang di dunia beberapa jam menjelang deadline.
Selamat datang di dunia 'melakukan-apapun-untuk-menghindari-melakukan-hal-yang-tidak-disukai'.
Welcome, procrastination.
Selama kuliah, kebiasaan buruk ini benar-benar sulit saya kendalikan. Pernah sih dulu diterapi dengan pendekatan transpersonal...tapi ternyata, untuk saya, terapi itu sepertinya kurang cocok. Beberapa saat setelah terapi emmang efeknya luar biasa. Tapi lama-lama....prokrastinasi itu menyapa lagi. Teman lama yang berkunjung dan menawarkan kebahagiaan semu, sebuah fantasi liburan dari dunia laporan praktik dan tesis. Well, karena kemarin diterapi transpersonal, kayaknya saya jadi amat sangat menerima diri saya yang prokras ini. Saking menerimanya, saya jadi enggan berubah. Ah, entahlah, mungkin ini teori saya sendiri. Tapi yang jelas, hari-hari belakangan saya lalui hanya dengan makan-tidur-mengerjakan tugas teknik penulisan tesis yang juga dikerjakan dengan sistem menunda-minum-bernapas-hidup selo.
Ya, saya akui saya belum selesai dengan masalah prokrastinasi ini...dan self-esteem saya sebagai calon psikolog mulai menurun. Sisi baiknya, saya orang yang selalu percaya bahwa suatu ketika keadaan akan menjadi lebih baik. Jadi, mau prokras seperti apapun, saya pasti bisa menyelesaikan laporan dan tesis.
At least I've got hope, hahahaha.
Minggu, 14 September 2014
Teruslah Berjalan (Masa Bodoh dengan Apa yang Menantimu Di Depan)
Aku menatap layar laptop dan air mataku meleleh seketika. Sudah beberapa hari ini mataku seperti kantong penyimpan air dan dengan mudah bocor ketika aku harus melihat layar laptop. Aku tidak bisa melakukannya. Aku benci menulis semua laporan dan aku rasa laporan-laporan itu juga sama membenciku. Aku telah menghabiskan berhari-hari bahkan berminggu-minggu sebelumnya mencoba melarikan diri dari tugas yang menghantui ini.
Tapi sekarang sudah tidak ada lorong kecil yang bisa kugunakan untuk keluar hidup-hidup tanpa laporan. Mau tidak mau aku harus mengerjakannya saat ini karena besok aku harus mempresentasikan 5 kasus yang sudah aku tangani. Tapi aku malas, amat sangat malas sampai-sampai aku tidak tahu lagi apa ada padanan kata malas yang bisa menggambarkan betapa malasnya aku saat harus mengerjakan laporan.
Ah, kenapa semua terasa begitu sulit? Aku merutuki nasibku, bertanya-tanya apa yang bisa membuatku bertahan sampai sejauh ini. Terbersit pula keinginan untuk keluar dan meninggalkan semua usaha yang telah kulakukan kurang lebih setahun ini. Persetan dengan uang SPP yang telah aku dan orangtuaku bayarkan. Jika terus melanjutkan hal bodoh ini, akan lebih banyak uang yang keluar bukan? Entahlah, apakah ini adalah kelemahan, atau sebuah kekuatan, karena sekarang aku dengan jujur dapat mengatakan kepada diriku sendiri: Aku tidak mampu. Aku tidak kuat. Dan aku tidak tahu bagaimana harus melewati semua ini.
Susah untuk tidak membenci setiap aspek dalam hidup ketika roda sedang berada di bawah. Jika jiwaku adalah roda itu, ia sekarang tidak hanya berada di bawah, namun juga bocor dan berat untuk dibawa berjalan. Jiwa yang tak bisa memutar dirinya sendiri dan membutuhkan tangan untuk menambalnya.
Aku sadari semua kesulitan ini sedikit banyak berasal dari dalam diriku. Diriku yang belum selesai dengan masalahnya sendiri, sehingga terlalu lelah ketika harus mengatasi masalah orang lain. Diriku yang belum benar-benar pulih dari prokrastinasi yang ia lakukan sebagai wujud sikap pasif-agresif terhadap perintah yang tidak ia sukai (salah satu perintah itu adalah menulis laporan). Diriku yang lalai memproses dirinya sementara ia tahu ada beban emosi yang masih ia simpan terhadap ibunya, dan belum berhasil ia keluarkan dalam beberapa sesi humanistik dengan teman sekelasnya sebagai terapis.
Mataku terasa berat. Beban di pundakku rasanya tak tertanggung lagi. Aku ingin istirahat dari semua ini. Mungkin keadaan koma adalah istirahat terbaik yang aku butuhkan sekarang. Sakit yang cukup parah, sampai aku punya alasan yang lebih hebat daripada sekedar rengekan malas dan sentimental. Sialnya aku tahu bahwa pikiranku ini adalah distorsi kognisi dan tidak menyelesaikan apa-apa. Hhhh, salah satu sisi negatif dari belajar Psikologi adalah kau jadi lebih peka terhadap apa saja yang terjadi dalam dirimu. Ego defense mechanism apa yang kau gunakan, distorsi kognisi apa yang sedang bermain dalam pikiranmu, beban apa yang kau miliki dan belum teratasi. Dengan kata lain: kau tak bisa lagi bersembunyi dari dirimu sendiri. Ya, aku tak bisa lagi bersembunyi dari diriku sendiri.
Aku tak bisa bersembunyi dari diriku yang harus menyelesaikan 5 laporan ini. Dalam waktu semalam. Sambil masih tetap menangis, aku mengirim pesan singkat ke ibuku. Aku jarang mengeluh, dekat pun tidak, pada ibuku. Well, pada kedua orangtuaku sebenarnya. Tapi malam itu aku rasa aku butuh untuk mencurahkan sedikit saja dari kelelahan yang menghantamku tanpa ampun. Aku katakan bahwa kerja praktik ini begitu sulit, bahwa aku takut aku tidak akan lulus ujian psikolog. Aku malas mengerjakan laporan.
Send.
Beberapa menit kemudian handphoneku berbunyi. Suara ayah terdengar dari ujung timur Indonesia. Ayah ternyata hanya jadi perantara saja karena setelah itu ia berkata, "Ibu mau ngomong," dan akhirnya suara ibuku terdengar di telinga kananku.
Tugasnya susah?
Ya begitulah. Puskesmasku sepi. Aku harus berusaha keras mencari klien yang bisa aku tangani. Jamku tidak memenuhi target. Aku ditinggal psikolog supervisorku cuti selama 2 minggu. Kasusnya susah. Laporan belum aku kerjakan. Besok laporan harus dikumpulkan.
Susah payah aku menahan isak agar suaraku tidak terdengar seakan aku habis menangis. Entah kenapa sulit sekali rasanya menangis di depan (di depan? ini bahkan hanya lewat telepon) ibuku. Aku tetap ingin terdengar menguasai diri.
Setelah sekitar 10 menit, ibuku memberi wejangan. Aku mengiyakan. Sambungan diputus. Dan perasaanku sudah lebih tenang. Untuk pertama kalinya, malam itu, aku sadar bahwa aku benar-benar membutuhkan sosok ibu. Kenyataan yang selama ini mungkin kunafikan, dan selama ini aku percaya bahwa hubunganku dengan ibu hanya sebatas hubungan finansial dan teknis, namun miskin secara emosional.
Aku telah menurunkan sedikit ego untuk memberi tahu ibu tentang kerapuhanku. That's enough. Aku sudah berproses. Proses yang harusnya aku lakukan sejak sebelum kerja praktik, karena dosenku selalu mewanti-wanti tiap mahasiswa untuk menyelesaikan masalah dan urusan mereka sebelum terjun ke lapangan. Aku tidak menduga seperih ini rasanya ketika kau memiliki unfinished business saat kerja praktik. Rasanya seakan-akan semua tenagamu tersedot habis karena sebenarnya kau hanya memiliki separo dari tenagamu; sisanya masih berpusar pada masalah yang belum kau selesaikan berhari-hari, berbulan-bulan, berminggu-minggu, bertahun-tahun yang lalu.
Mataku sembab, tapi aku tak bisa lari. Aku mulai mengetik dan mengetik, entah bagaimana jadinya. Teman-teman sekelompokku yang besok harus mengumpulkan laporan juga bernasib sama. Aku tidak sendirian. Aku terus mengetik dan mengetik, masa bodoh dengan hasilnya...
Aku rasa hidup ini pun sama. Kita akan terus berjalan dan berjalan, masa bodoh dengan apa yang menanti kita di depan. And knowing that, in that long journey, you are loved and you can love, is the best feeling ever...
Tapi sekarang sudah tidak ada lorong kecil yang bisa kugunakan untuk keluar hidup-hidup tanpa laporan. Mau tidak mau aku harus mengerjakannya saat ini karena besok aku harus mempresentasikan 5 kasus yang sudah aku tangani. Tapi aku malas, amat sangat malas sampai-sampai aku tidak tahu lagi apa ada padanan kata malas yang bisa menggambarkan betapa malasnya aku saat harus mengerjakan laporan.
Ah, kenapa semua terasa begitu sulit? Aku merutuki nasibku, bertanya-tanya apa yang bisa membuatku bertahan sampai sejauh ini. Terbersit pula keinginan untuk keluar dan meninggalkan semua usaha yang telah kulakukan kurang lebih setahun ini. Persetan dengan uang SPP yang telah aku dan orangtuaku bayarkan. Jika terus melanjutkan hal bodoh ini, akan lebih banyak uang yang keluar bukan? Entahlah, apakah ini adalah kelemahan, atau sebuah kekuatan, karena sekarang aku dengan jujur dapat mengatakan kepada diriku sendiri: Aku tidak mampu. Aku tidak kuat. Dan aku tidak tahu bagaimana harus melewati semua ini.
Susah untuk tidak membenci setiap aspek dalam hidup ketika roda sedang berada di bawah. Jika jiwaku adalah roda itu, ia sekarang tidak hanya berada di bawah, namun juga bocor dan berat untuk dibawa berjalan. Jiwa yang tak bisa memutar dirinya sendiri dan membutuhkan tangan untuk menambalnya.
Aku sadari semua kesulitan ini sedikit banyak berasal dari dalam diriku. Diriku yang belum selesai dengan masalahnya sendiri, sehingga terlalu lelah ketika harus mengatasi masalah orang lain. Diriku yang belum benar-benar pulih dari prokrastinasi yang ia lakukan sebagai wujud sikap pasif-agresif terhadap perintah yang tidak ia sukai (salah satu perintah itu adalah menulis laporan). Diriku yang lalai memproses dirinya sementara ia tahu ada beban emosi yang masih ia simpan terhadap ibunya, dan belum berhasil ia keluarkan dalam beberapa sesi humanistik dengan teman sekelasnya sebagai terapis.
Mataku terasa berat. Beban di pundakku rasanya tak tertanggung lagi. Aku ingin istirahat dari semua ini. Mungkin keadaan koma adalah istirahat terbaik yang aku butuhkan sekarang. Sakit yang cukup parah, sampai aku punya alasan yang lebih hebat daripada sekedar rengekan malas dan sentimental. Sialnya aku tahu bahwa pikiranku ini adalah distorsi kognisi dan tidak menyelesaikan apa-apa. Hhhh, salah satu sisi negatif dari belajar Psikologi adalah kau jadi lebih peka terhadap apa saja yang terjadi dalam dirimu. Ego defense mechanism apa yang kau gunakan, distorsi kognisi apa yang sedang bermain dalam pikiranmu, beban apa yang kau miliki dan belum teratasi. Dengan kata lain: kau tak bisa lagi bersembunyi dari dirimu sendiri. Ya, aku tak bisa lagi bersembunyi dari diriku sendiri.
Aku tak bisa bersembunyi dari diriku yang harus menyelesaikan 5 laporan ini. Dalam waktu semalam. Sambil masih tetap menangis, aku mengirim pesan singkat ke ibuku. Aku jarang mengeluh, dekat pun tidak, pada ibuku. Well, pada kedua orangtuaku sebenarnya. Tapi malam itu aku rasa aku butuh untuk mencurahkan sedikit saja dari kelelahan yang menghantamku tanpa ampun. Aku katakan bahwa kerja praktik ini begitu sulit, bahwa aku takut aku tidak akan lulus ujian psikolog. Aku malas mengerjakan laporan.
Send.
Beberapa menit kemudian handphoneku berbunyi. Suara ayah terdengar dari ujung timur Indonesia. Ayah ternyata hanya jadi perantara saja karena setelah itu ia berkata, "Ibu mau ngomong," dan akhirnya suara ibuku terdengar di telinga kananku.
Tugasnya susah?
Ya begitulah. Puskesmasku sepi. Aku harus berusaha keras mencari klien yang bisa aku tangani. Jamku tidak memenuhi target. Aku ditinggal psikolog supervisorku cuti selama 2 minggu. Kasusnya susah. Laporan belum aku kerjakan. Besok laporan harus dikumpulkan.
Susah payah aku menahan isak agar suaraku tidak terdengar seakan aku habis menangis. Entah kenapa sulit sekali rasanya menangis di depan (di depan? ini bahkan hanya lewat telepon) ibuku. Aku tetap ingin terdengar menguasai diri.
Setelah sekitar 10 menit, ibuku memberi wejangan. Aku mengiyakan. Sambungan diputus. Dan perasaanku sudah lebih tenang. Untuk pertama kalinya, malam itu, aku sadar bahwa aku benar-benar membutuhkan sosok ibu. Kenyataan yang selama ini mungkin kunafikan, dan selama ini aku percaya bahwa hubunganku dengan ibu hanya sebatas hubungan finansial dan teknis, namun miskin secara emosional.
Aku telah menurunkan sedikit ego untuk memberi tahu ibu tentang kerapuhanku. That's enough. Aku sudah berproses. Proses yang harusnya aku lakukan sejak sebelum kerja praktik, karena dosenku selalu mewanti-wanti tiap mahasiswa untuk menyelesaikan masalah dan urusan mereka sebelum terjun ke lapangan. Aku tidak menduga seperih ini rasanya ketika kau memiliki unfinished business saat kerja praktik. Rasanya seakan-akan semua tenagamu tersedot habis karena sebenarnya kau hanya memiliki separo dari tenagamu; sisanya masih berpusar pada masalah yang belum kau selesaikan berhari-hari, berbulan-bulan, berminggu-minggu, bertahun-tahun yang lalu.
Mataku sembab, tapi aku tak bisa lari. Aku mulai mengetik dan mengetik, entah bagaimana jadinya. Teman-teman sekelompokku yang besok harus mengumpulkan laporan juga bernasib sama. Aku tidak sendirian. Aku terus mengetik dan mengetik, masa bodoh dengan hasilnya...
Aku rasa hidup ini pun sama. Kita akan terus berjalan dan berjalan, masa bodoh dengan apa yang menanti kita di depan. And knowing that, in that long journey, you are loved and you can love, is the best feeling ever...
Senin, 03 Februari 2014
Pekat
Nafas pekat itu berhenti sejenak
Sebelum racunnya menyentuh benak
dan air mata yang bitam kelam itu mengalir, mengandung tuak
Membuat muak
Pikirmu kau bisa berkelit lincah
Lidah-lidah berbisa yang berucap resah
Mengikat membelit segala yang kau inginkan musnah
Hanya karena tak sanggup menahan angan yang buncah
Pikirmu kau seniman ulung
Topeng-topengmu sandiwara bak pemulung
Mengais cinta untuk jiwa yang bingung
dalam ketakutan tanpa ujung
Tapi hatiku sudah bertapa
Ia melihat isyarat tak kasat mata
Sebelum nafas pekat dan air mata kelam itu kau buat senjata
Batinku siaga berjaga-jaga.
Yogyakarta, 2 Februari 2014
di atas kasur yang empuk, seempuk bualan seorang teman yang minta belas kasihan.
Sebelum racunnya menyentuh benak
dan air mata yang bitam kelam itu mengalir, mengandung tuak
Membuat muak
Pikirmu kau bisa berkelit lincah
Lidah-lidah berbisa yang berucap resah
Mengikat membelit segala yang kau inginkan musnah
Hanya karena tak sanggup menahan angan yang buncah
Pikirmu kau seniman ulung
Topeng-topengmu sandiwara bak pemulung
Mengais cinta untuk jiwa yang bingung
dalam ketakutan tanpa ujung
Tapi hatiku sudah bertapa
Ia melihat isyarat tak kasat mata
Sebelum nafas pekat dan air mata kelam itu kau buat senjata
Batinku siaga berjaga-jaga.
Yogyakarta, 2 Februari 2014
di atas kasur yang empuk, seempuk bualan seorang teman yang minta belas kasihan.
Jumat, 11 Oktober 2013
Thank You, Silence.
Many days we have passed without talks and chit-chats. These 3 days are just like those silent days. But now I choose to make the benefit out of it. No more crying and apologizing. No more pain and regrets. No more feeling alone and lonely. No more feelings like we cannot live without each other.
No more.
Now I'm feeling so light. Now I can taste the peace. Now I feel contempt with my own self. I am alone, but I'm not feeling alone. I am not lonely. I can feel the songs of silence. A pure melody that I've never heard before. I can hear the wind blows. I can see the sun shining bright. I can feel the warmth. I can feel my life now. I am awake.
Maybe we just need our time away. Maybe this silence is the best way to find again what we want. What we need. Maybe this is the time to think back, clearly, who we are, why we are together. To find ourselves again. Before we've gone too far and lost too deep in the labyrinth.
I don't know how long it takes until we finally talk again; whether we have to wait, or to start over. But I just want to say one thing: In this silence, I know who I am.
I hope you do the same way too.
No more.
Now I'm feeling so light. Now I can taste the peace. Now I feel contempt with my own self. I am alone, but I'm not feeling alone. I am not lonely. I can feel the songs of silence. A pure melody that I've never heard before. I can hear the wind blows. I can see the sun shining bright. I can feel the warmth. I can feel my life now. I am awake.
Maybe we just need our time away. Maybe this silence is the best way to find again what we want. What we need. Maybe this is the time to think back, clearly, who we are, why we are together. To find ourselves again. Before we've gone too far and lost too deep in the labyrinth.
I don't know how long it takes until we finally talk again; whether we have to wait, or to start over. But I just want to say one thing: In this silence, I know who I am.
I hope you do the same way too.
Jumat, 31 Mei 2013
'Cause Everybody's Changing...
"Semua hal berubah, kecuali perubahan itu sendiri."
Ya, itu benar.
Kita semua berubah, bahkan yang paling konsisten dari kita pun pasti pernah berubah walau tidak signifikan. Kalau kata Dumbledore, bahkan orang yang paling bijaksana pun terkadang perlu menarik kembali perkataannya. Perubahan adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari.
Saya pun begitu.
Kadang-kadang, saya membongkar lemari meja belajar ketika bersih-bersih, dan menemukan diary lama ketika SD, SMP, SMA. Menemukan hasil tes IQ waktu SMP dan SMA. Menemukan kliping-kliping artis idola saya. Lalu saya tersenyum-senyum sendiri.
Betapa saya berubah begitu banyak.
Waktu saya membaca kembali diary ketika SD, ada terbesit sedikit rasa sedih ketika membacanya (tampaknya dulu saya bukan seorang anak yang bahagia; cenderung penyendiri dan kaku, pemurung dan merasa bersalah) namun di sisi lain ada rasa bahagia ketika melihat diri saya sekarang, yang sudah jauh lebih bahagia :)
Begitu juga waktu saya membaca diary SMP dan SMA. Well, harus saya akui, waktu SMP, saya punya pemikiran yang rumit untuk anak seusia saya waktu itu, idealis, anti-mainstream, kaku (yang membuat saya sempat mengalami masa-masa bullying) dan....konsep diri yang buruk. Things got better ketika SMA. Saya sudah menjadi seorang gadis yang sedikit lebih fleksibel, mau membuka diri, dan jauh lebih supel daripada sebelumnya. Perjalanan saya menuju aktualisasi diri baru saja dimulai. Pemikiran-pemikiran saya tentang kehidupan jauh lebih dewasa dan bijaksana, lebih dalam, dan lebih positif. Tapi memang sih, di balik semua perubahan itu, saya masih seorang yang introvert. Hanya saja lebih bisa membawa diri di situasi sosial. Saya ketika SMA adalah seorang gadis yang jauh lebih hangat daripada saya waktu SMP.
Bahkan, hasil tes IQ pun berubah.
Saya melihat IQ saya waktu SMP: 113. Lalu saya bandingkan dengan IQ waktu SMA: 121. Tampaknya saya lebih pintar ketika SMA daripada ketika SMP -.-
Tapi saya tidak tahu IQ saya sekarang berapa. Semoga saja bisa melampaui batas standar tes masuk S2; itu yang utama.
Abova all, walaupun saya berubah, selalu, saya tetaplah saya. Karena manusia berubah. Berubah bukan berarti menjadi orang lain; kamu ya tetap kamu, tapi kamu yang berbeda. Segala aksi yang kamu lakukan tetap dalam kuasa rasio dan emosimu; pikiran dan perasaanmu tetaplah milikmu. Terlalu naif rasanya jika menghakimi perubahan yang mutlak adanya. Hmm...asalkan agama dan keyakinan terhadap Tuhan tidak berubah.
Saya rasa, kata-kata dari novelis Neil Gaiman yang saya kutip dari novelnya yang baru saya baca, The Graveyard Book (novel keren, wajib baca!) ini bisa mejadi penutup buat posting ini:
“You're always you, and that don't change, and you're always changing, and there's nothing you can do about it.”
Minggu, 26 Mei 2013
Finally! :D
Aaaaahhhhh.....sudah lama sekali tidak membuka kotak penyimpanan yang sudah hampir usang ini! :D
Saatnya mengaktifkan kembali sistem-menulis-blog di otak saya. Saya bisa membayangkan bagian otak yang saya gunakan ketika menulis blog mulai berkedap-kedip dengan aktif.
Oke, dimulai dengan kalimat ini:
Resolusi yang saya tulis kemarin akhirnya menjadi kenyataan :D
Kalau belum tahu resolusi yang mana, yaitu resolusi yang saya tulis di beberapa postingan sebelumnya, yang berjudul S(u)atu Resolusi. Lupa? Tinggal scroll-down saja laman blog ini (ra penting).
Finally, skripsi saya sudah selesai. Perjuangan bolak-balik rumah sakit jiwa dan berkelana di rumah sakit lainnya, fotokopi yang mencapai total seratusan angket (yang banyak tersisa di kamar saya dan saya niatkan untuk diloak ketika tiba-tiba jatuh bangkrut), melewati tantangan printer yang rusak, dan juga setelah melewati sidang di pagi hari selama satu setengah jam pada tanggal 25 April 2013......berbuah manis. Keringat yang saya kucurkan terasa manis juga rasanya.
Beberapa hari sebelum sidang, saya sempat dicengkeram rasa cemas. Rasanya seperti jantung saya diremas setiap mengingat tanggal 25 April 2013 pukul 08.00. Perut saya terasa aneh seperti ada sesuatu yang terbang di dalamnya, bukan lagi kupu-kupu, tetapi sesuatu yang lebih besar dan tidak mengenakkan, walaupun tidak membuat saya mual. Tapi, ketika setelah sidang, saya mendengar DPS saya berkata, "Selamat, Nadya. Perjuangan panjang akhirnya selesai...kamu dinyatakan lulus..." (kedua tangan saya mencengkeram tepi meja di ruang sidang ketika mendengar kata ini) "dengan perbaikan."
Wow, rasanya lega. Revisi? Tak apalah. Wajar terjadi.
Namun perjuangan belum selesai. Saya menyelesaikan revisi sekitar seminggu, berburu tanda tangan dosen yang akan segera cus ke Aussie, meminta lembar pengesahan, berburu tanda tangan lagi, menjilid skripsi, menunggu dengan pasrah tanda tangan dari dekan, menyerahkan soft file skripsi ke perpus, mengumpulkan scan sertfikat non-akademik sebagai syarat yudisium, dan.....sekarang saya dalam posisi menunggu keluarnya Surat Keterangan Lulus (SKL) yang akan saya gunakan untuk mendaftar S2. Yah, wisuda saya masih sekitar 3 bulan lagi dan saya sudah membeli kain untuk kebaya wisuda, hahahahahaha. Saya masih galau mau mendesain kebaya yang seperti apa -__-
Anyway, lulus itu ternyata biasa saja, kalau menurut saya sih. Rasa bangga dan gembiranya hanya ketika diumumkan lulus sidang dan mungkin, ketika wisuda nanti. Mmmm, dan ketika saya melihat skripsi saya yang sudah dijilid (wow, keren, ini masterpiece yang saya hasilkan selama kuliah!). Selain itu rasanya biasa saja. Amat biasa saja.
Perjalanan masih panjang untuk diri saya ke depan; saya baru saja memulainya. Hidup tetap berjalan. Target-target akan disusun, harapan-harapan akan dihantarkan lewat doa, dan usaha-usaha yang lebih gigih akan dibutuhkan. Akan ada orang-orang baru untuk dikenal, tempat-tempat baru untuk dijelajahi atau sekedar didatangi, pengalaman-pengalaman baru, pahit dan manis, yang perlu dicecap untu menjadikan saya lebih dewasa. Saya merasa bergairah sekaligus deg-degan.
Selamat datang, petualangan baru :)
Karena saya orang yang seringkali "bejo", saya akan menambahkan: Semoga beruntung!
*cheers!*
Saatnya mengaktifkan kembali sistem-menulis-blog di otak saya. Saya bisa membayangkan bagian otak yang saya gunakan ketika menulis blog mulai berkedap-kedip dengan aktif.
Oke, dimulai dengan kalimat ini:
Resolusi yang saya tulis kemarin akhirnya menjadi kenyataan :D
Kalau belum tahu resolusi yang mana, yaitu resolusi yang saya tulis di beberapa postingan sebelumnya, yang berjudul S(u)atu Resolusi. Lupa? Tinggal scroll-down saja laman blog ini (ra penting).
Finally, skripsi saya sudah selesai. Perjuangan bolak-balik rumah sakit jiwa dan berkelana di rumah sakit lainnya, fotokopi yang mencapai total seratusan angket (yang banyak tersisa di kamar saya dan saya niatkan untuk diloak ketika tiba-tiba jatuh bangkrut), melewati tantangan printer yang rusak, dan juga setelah melewati sidang di pagi hari selama satu setengah jam pada tanggal 25 April 2013......berbuah manis. Keringat yang saya kucurkan terasa manis juga rasanya.
Beberapa hari sebelum sidang, saya sempat dicengkeram rasa cemas. Rasanya seperti jantung saya diremas setiap mengingat tanggal 25 April 2013 pukul 08.00. Perut saya terasa aneh seperti ada sesuatu yang terbang di dalamnya, bukan lagi kupu-kupu, tetapi sesuatu yang lebih besar dan tidak mengenakkan, walaupun tidak membuat saya mual. Tapi, ketika setelah sidang, saya mendengar DPS saya berkata, "Selamat, Nadya. Perjuangan panjang akhirnya selesai...kamu dinyatakan lulus..." (kedua tangan saya mencengkeram tepi meja di ruang sidang ketika mendengar kata ini) "dengan perbaikan."
Wow, rasanya lega. Revisi? Tak apalah. Wajar terjadi.
Namun perjuangan belum selesai. Saya menyelesaikan revisi sekitar seminggu, berburu tanda tangan dosen yang akan segera cus ke Aussie, meminta lembar pengesahan, berburu tanda tangan lagi, menjilid skripsi, menunggu dengan pasrah tanda tangan dari dekan, menyerahkan soft file skripsi ke perpus, mengumpulkan scan sertfikat non-akademik sebagai syarat yudisium, dan.....sekarang saya dalam posisi menunggu keluarnya Surat Keterangan Lulus (SKL) yang akan saya gunakan untuk mendaftar S2. Yah, wisuda saya masih sekitar 3 bulan lagi dan saya sudah membeli kain untuk kebaya wisuda, hahahahahaha. Saya masih galau mau mendesain kebaya yang seperti apa -__-
Anyway, lulus itu ternyata biasa saja, kalau menurut saya sih. Rasa bangga dan gembiranya hanya ketika diumumkan lulus sidang dan mungkin, ketika wisuda nanti. Mmmm, dan ketika saya melihat skripsi saya yang sudah dijilid (wow, keren, ini masterpiece yang saya hasilkan selama kuliah!). Selain itu rasanya biasa saja. Amat biasa saja.
Perjalanan masih panjang untuk diri saya ke depan; saya baru saja memulainya. Hidup tetap berjalan. Target-target akan disusun, harapan-harapan akan dihantarkan lewat doa, dan usaha-usaha yang lebih gigih akan dibutuhkan. Akan ada orang-orang baru untuk dikenal, tempat-tempat baru untuk dijelajahi atau sekedar didatangi, pengalaman-pengalaman baru, pahit dan manis, yang perlu dicecap untu menjadikan saya lebih dewasa. Saya merasa bergairah sekaligus deg-degan.
Selamat datang, petualangan baru :)
Karena saya orang yang seringkali "bejo", saya akan menambahkan: Semoga beruntung!
*cheers!*
Rabu, 16 Januari 2013
His Wisdom
"I asked for STRENGTH and I was given DIFFICULTIES to make me strong."
"I asked for COURAGE and I was given OBSTACLES to overcome."
"I asked for PROSPERITY and I was given BRAIN and BRAWN to work."
It's a quote form my English teacher in highschool, Mr. Mahmud Janal. I read it in my Facebook, written on the homepage, and it's like shining among the other statuses. It opened my eyes wide and that morning, suddenly I feel relieved and relaxed. All of those words contained one great message:
God knows more than you do and He works in a very mysterious and elegant way. He has His own wisdom which may seems difficult for us to understand. But never doubt Him. Karena Ia sendiri telah berkata, dan ia tidak akan mengkhianati perkataan-Nya terhadap hamba-Nya:
"Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
(Q. S. Al-Baqarah ayat 30)
Kamis, 03 Januari 2013
S(u)atu Resolusi
Ah, entri pertama di tahun 2013.
Apa yang akan saya isi untuk mengawali tahun yang baru saja berjalan beberapa hari ini? Ya? Apa? Hmm. Oke. Resolusi. Dan apa salah satu resolusi saya? Lulus. Bagaimana caranya lulus? Ya selesaikan skripsimu bocaaah!!!!
Skripsi. Satu kata yang netral. Namun menjadi tidak netral alias bermasalah ketika ada kesenjangan antara idealita dan realita. Awalnya saya menargetkan Januari sudah selesai. Apa mau dikata, banyak halangan, eh maaf, TANTANGAN, di sana-sini. Sebenarnya hati saya pun sudah berbisik "Udah terima aja...molor." It's ok. Sebenarnya saya juga tidak terlalu kecewa. Walaupun idealita dan realita tak sejalan, idealita saya tentang skripsi yang harusnya sudah selesai ini tidak terlalu kaku. Ekspektasi saya toh masih dalam batas wajar. Jadi begitu tahu bahwa saya mungkin akan wisuda Mei, it's alright.
Yang jelas, kapanpun saya mengingat skripsi saya, saya juga mencoba mengingat passion saya yang membuat saya mengambil tema skrpsi yang cukup rumit ini. Lulus cepat dan skripsi yang hebat bukanlah dua hal yang berlawanan; mereka bisa sejalan tanpa ada yang dikorbankan. Akan tetapi, dalam kasus saya, waktu tampaknya harus dikorbankan untuk mendapatkan skripsi yang hebat, yang pada akhirnya, membuat waktu yang saya investasikan di skripsi masterpiece ini terasa berharga. Worth it.
Saya memejamkan mata sesaat dan membayangkan hasil akhir karya saya sebagai mahasiswa S1. Saya tidak ingin itu hanya karya biasa. Saya ingin yang luar biasa. Rasanya sayang jika hasil belajar dan inevstasi orang tua saya di ranah pendidikan saya sejauh ini hanya berakhir dengan jilidan skripsi biasa-biasa saja. Walaupun mungkin orang tua saya tidak begitu peduli kualitas skripsi (tentu saja yang penting lulus), saya juga punya value pribadi, di mana saya ingin menjadikan karya ini menjadi sebuah karya yang bisa dikenang. A masterpiece. Jadi, saya ingin membuat bangga tidak hanya diri saya sendiri, tidak hanya orang tua saya sendiri, melainkan keduanya.
Ini adalah sebuah entri tentang s(u)atu resolusi. Anggaplah ini sebagai sebuah kertas bertuliskan mimpi, yang saya tempel di ruangan pribadi saya. Dan semoga suatu saat, saya bisa membuat sekuel dari entri ini: betapa masterpiece saya telah selesai dan menjadi sebuah karya yang tak terlupakan.
Apa yang akan saya isi untuk mengawali tahun yang baru saja berjalan beberapa hari ini? Ya? Apa? Hmm. Oke. Resolusi. Dan apa salah satu resolusi saya? Lulus. Bagaimana caranya lulus? Ya selesaikan skripsimu bocaaah!!!!
Skripsi. Satu kata yang netral. Namun menjadi tidak netral alias bermasalah ketika ada kesenjangan antara idealita dan realita. Awalnya saya menargetkan Januari sudah selesai. Apa mau dikata, banyak halangan, eh maaf, TANTANGAN, di sana-sini. Sebenarnya hati saya pun sudah berbisik "Udah terima aja...molor." It's ok. Sebenarnya saya juga tidak terlalu kecewa. Walaupun idealita dan realita tak sejalan, idealita saya tentang skripsi yang harusnya sudah selesai ini tidak terlalu kaku. Ekspektasi saya toh masih dalam batas wajar. Jadi begitu tahu bahwa saya mungkin akan wisuda Mei, it's alright.
Yang jelas, kapanpun saya mengingat skripsi saya, saya juga mencoba mengingat passion saya yang membuat saya mengambil tema skrpsi yang cukup rumit ini. Lulus cepat dan skripsi yang hebat bukanlah dua hal yang berlawanan; mereka bisa sejalan tanpa ada yang dikorbankan. Akan tetapi, dalam kasus saya, waktu tampaknya harus dikorbankan untuk mendapatkan skripsi yang hebat, yang pada akhirnya, membuat waktu yang saya investasikan di skripsi masterpiece ini terasa berharga. Worth it.
Saya memejamkan mata sesaat dan membayangkan hasil akhir karya saya sebagai mahasiswa S1. Saya tidak ingin itu hanya karya biasa. Saya ingin yang luar biasa. Rasanya sayang jika hasil belajar dan inevstasi orang tua saya di ranah pendidikan saya sejauh ini hanya berakhir dengan jilidan skripsi biasa-biasa saja. Walaupun mungkin orang tua saya tidak begitu peduli kualitas skripsi (tentu saja yang penting lulus), saya juga punya value pribadi, di mana saya ingin menjadikan karya ini menjadi sebuah karya yang bisa dikenang. A masterpiece. Jadi, saya ingin membuat bangga tidak hanya diri saya sendiri, tidak hanya orang tua saya sendiri, melainkan keduanya.
Ini adalah sebuah entri tentang s(u)atu resolusi. Anggaplah ini sebagai sebuah kertas bertuliskan mimpi, yang saya tempel di ruangan pribadi saya. Dan semoga suatu saat, saya bisa membuat sekuel dari entri ini: betapa masterpiece saya telah selesai dan menjadi sebuah karya yang tak terlupakan.
Kamis, 20 Desember 2012
Karena Manusia Itu Begitu Kecil
Manusia memang kecil.
Kalau saya melihat langit di luar sambil melamun, membayangkan atmosfir yang membungkus bumi, planet lain, rasi bintang lain, galaksi lain....BAM! Saya merasa sangaaaaaaaaat kecil. Tapi saya tidak sedih. Kadang-kadang saya tersenyum sendiri.
Karena kita begitu kecil dan ringan, buat apa kita merasa berat?
Kalau saya melihat langit di luar sambil melamun, membayangkan atmosfir yang membungkus bumi, planet lain, rasi bintang lain, galaksi lain....BAM! Saya merasa sangaaaaaaaaat kecil. Tapi saya tidak sedih. Kadang-kadang saya tersenyum sendiri.
Karena kita begitu kecil dan ringan, buat apa kita merasa berat?
Sabtu, 15 Desember 2012
Aku Ingin Mengusap Air Matanya Diam-diam
Aku merasa aku mendengar wanita itu menangis. Entahlah,
mungkin hanya dugaanku yang salah; bisa saja udara dingin ini membuatnya sakit
dan isak tadi bukanlah isak tangis, hanya suaranya ketika menarik nfas yang
disumbat flu. Lagipula, dia menangis ataupun tidak, aku merasa tidak punya hak
untuk bertanya padanya. Aku bukanlah orang terdekatnya; sehingga aku tak berhak
menanyainya jika ia tak meminta. Kadang-kadang, membiarkan seseorang menangis
sendirian, sampai ia puas dan menuntaskan air matanya, lebih baik daripada
mengusik kesendiriannya sehingga ia harus memasang topeng yang melindungi
egonya. Setelah ia selesai menangis, mungkin aku akan menyampaikan beberapa
lelucon sampai ia tersenyum kembali.
Kalaupun ia benar menangis, aku ingin mengusap air matanya
diam-diam.
Minggu, 09 Desember 2012
Catatan Menjelang Pengasingan
Mungkin keenggananku berkumpul bersama kalian tidak begitu kalian rasakan. Lagipula, di balik sebutan "satu" yang dulu kita banggakan, aku tahu telah muncul banyak kelompok kecil dalam ke"satu"an kita itu. Jangan bilang aku terlalu sensitif dulu; aku telah menjadi pengamat cukup lama. Aku merasakan dan aku pun menggunakan logikaku sebagai seorang pengamat yang diam di sudut sambil memperhatikan kalian bercengkrama dan tertawa, dan entah kenapa kadang-kadang merasa bukan di sanalah tempatku. Jika ada yang bilang diri mereka terasing, paling tidak mereka masih kelompok terasing; bukan individu. Aku? Entah. Jangan paksa aku untuk memulai percakapan karena itu bukan keahlianku. Euforia tawa kalian kadang membuatku lelah; itulah alasannya kenapa aku paling cepat tertidur ketika kalian masih berusaha menantang malam. Seringkali, aku merasa tidur lebih baik daripada terjebak dalam gegap gempita obrolan yang hampa makna. Tidak bermaksud kasar, lagipula itu hanya pandanganku yang subjektif.
Kini aku akui lelah dan ingin menjauhi kalian dulu. Bukan karena kalian jahat, sungguh kalian adalah orang-orang yang baik. Tapi mungkin memang terlalu berbeda dariku. Terlalu berbeda dalam banyak selera. Selera tak dapat dipaksakan, bukan? Lagipula, aku memang orang yang butuh banyak waktu untuk sendiri, atau setidaknya, menghabsikan waktu hanya dengan beberapa orang terdekat saja. Tenang saja, aku akan tetap bersikap ramah. Maafkan aku jika menolak beberapa ajakan; selain karena kesibukan yang memang kuprioritaskan melebihi ajakan bermain kalian, aku juga ingin beristirahat dari dunia yang dulu sempat kita jalani bersama, dunia yang kuakui, sangat membuatku lelah. Lelah yang dulu tak sempat kurasakan, tapi sekarang, setelah kita tak bertemu sesering dulu, baru kurasakan menggerogotiku. Keengganan untuk bertemu yang datang secara perlahan.
Mungkin masalahnya di kalian, mungkin pula di aku. Tapi entahlah, mungkin karena kita memang terlalu berbeda, baik dari pemikiran sampai selera humor, dan menyesuaikan diri kadang melelahkan.
Untuk sementara, aku akan menjauh. Namun aku tahu ada saatnya ketika aku akan berlari mendekati kalian. Lagipula, aku yakin kalian sudah cukup berbahagia dengan kelompok kecil yang tersisa.
Salam hangatku untuk kalian :)
P.S.: Aku menyayangi kalian. Hanya saja aku agak sulit dalam menunjukkannya secara eksplisit. Seperti yang kalian tahu, aku bukan orang yang hangat, haha
Kini aku akui lelah dan ingin menjauhi kalian dulu. Bukan karena kalian jahat, sungguh kalian adalah orang-orang yang baik. Tapi mungkin memang terlalu berbeda dariku. Terlalu berbeda dalam banyak selera. Selera tak dapat dipaksakan, bukan? Lagipula, aku memang orang yang butuh banyak waktu untuk sendiri, atau setidaknya, menghabsikan waktu hanya dengan beberapa orang terdekat saja. Tenang saja, aku akan tetap bersikap ramah. Maafkan aku jika menolak beberapa ajakan; selain karena kesibukan yang memang kuprioritaskan melebihi ajakan bermain kalian, aku juga ingin beristirahat dari dunia yang dulu sempat kita jalani bersama, dunia yang kuakui, sangat membuatku lelah. Lelah yang dulu tak sempat kurasakan, tapi sekarang, setelah kita tak bertemu sesering dulu, baru kurasakan menggerogotiku. Keengganan untuk bertemu yang datang secara perlahan.
Mungkin masalahnya di kalian, mungkin pula di aku. Tapi entahlah, mungkin karena kita memang terlalu berbeda, baik dari pemikiran sampai selera humor, dan menyesuaikan diri kadang melelahkan.
Untuk sementara, aku akan menjauh. Namun aku tahu ada saatnya ketika aku akan berlari mendekati kalian. Lagipula, aku yakin kalian sudah cukup berbahagia dengan kelompok kecil yang tersisa.
Salam hangatku untuk kalian :)
P.S.: Aku menyayangi kalian. Hanya saja aku agak sulit dalam menunjukkannya secara eksplisit. Seperti yang kalian tahu, aku bukan orang yang hangat, haha
Rabu, 28 November 2012
Untuk Ayah
Ayah mengenalkanku pada bahasa.
Di sela jeda tanpa koma, hanya titik dalam ruang hampa kata.
Duniamu, ayah.
Kamus bahasa Inggris bergambar pemberianmu kusantap ketika aku masih berseragam putih merah.
Kumpulan sajak Rendra yang kau selipkan di rak buku jadi bahan bacaanku ketika remaja.
Umar Kayam, Ahmad Tohari, Jostein Gaarder yang ada di rak bukumu ikut menjadi bahan bacaanku ketika beranjak dewasa.
Kau lah awal mula aku jatuh cinta pada bahasa.
Pada kata-kata.
Pada sajak yang tak bisa kuucapkan;
membara dalam tulisanku yang menyala dalam jurnal harian.
Ayah jarang berkata-kata, bukan?
Kecanggungan selalu ada tiap memulai percakapan.
Mungkin terlalu susah bagimu untuk mengajariku secara lisan.
Kau pun memberi kompensasi lewat buku-buku yang kau berikan.
Tapi kini aku menggali satu makna:
Ayah telah mengenalkanku pada bahasa, tanpa berkata-kata.
Dan untuk itu:
Terima kasih, ayah.
Yogyakarta, 28 November 2012
Di sela jeda tanpa koma, hanya titik dalam ruang hampa kata.
Duniamu, ayah.
Kamus bahasa Inggris bergambar pemberianmu kusantap ketika aku masih berseragam putih merah.
Kumpulan sajak Rendra yang kau selipkan di rak buku jadi bahan bacaanku ketika remaja.
Umar Kayam, Ahmad Tohari, Jostein Gaarder yang ada di rak bukumu ikut menjadi bahan bacaanku ketika beranjak dewasa.
Kau lah awal mula aku jatuh cinta pada bahasa.
Pada kata-kata.
Pada sajak yang tak bisa kuucapkan;
membara dalam tulisanku yang menyala dalam jurnal harian.
Ayah jarang berkata-kata, bukan?
Kecanggungan selalu ada tiap memulai percakapan.
Mungkin terlalu susah bagimu untuk mengajariku secara lisan.
Kau pun memberi kompensasi lewat buku-buku yang kau berikan.
Tapi kini aku menggali satu makna:
Ayah telah mengenalkanku pada bahasa, tanpa berkata-kata.
Dan untuk itu:
Terima kasih, ayah.
Yogyakarta, 28 November 2012
Sabtu, 24 November 2012
Illusion of Ignition
Malam ini hujan.
Gadis itu mendengarkan rinai hujan mengiringi nafasnya.
Ia nyalakan perapian. Hangat, namun hanya sekejap. Kau tahu kenapa? Ia takut terbakar. Api yang cemerlang itu telah menjadi ketakutan sekaligus hal yang ia dambakan, kadang-kadang, apalagi jika dinginnya hujan masuk lewat jendela hatinya yang terbuka, membuat isi hatinya membeku seperti sekarang. Ngilu di dalam.
Kadang pula, ia nyalakan api itu cukup lama, cahaya dan panasnya membuatnya lupa bahwa hujan masih menari di luar. Atap logikanya bocor, dan air hujan menetes masuk ke rumahnya. Ketika ia lengah, ia bisa terpeleset, jatuh terjerembab di atas lantai kenangannya yang licin. Entah licin karena rembesan air hujan, atau air mata kesakitannya sendiri.
Gadis itu menatap perapian yang tak menyala. Menahan keinginan untuk membuat api dan ikut membakar dirinya.
Hujan masih menyelesaikan tangisannya.
Gadis itu mendengarkan rinai hujan mengiringi nafasnya.
Ia nyalakan perapian. Hangat, namun hanya sekejap. Kau tahu kenapa? Ia takut terbakar. Api yang cemerlang itu telah menjadi ketakutan sekaligus hal yang ia dambakan, kadang-kadang, apalagi jika dinginnya hujan masuk lewat jendela hatinya yang terbuka, membuat isi hatinya membeku seperti sekarang. Ngilu di dalam.
Kadang pula, ia nyalakan api itu cukup lama, cahaya dan panasnya membuatnya lupa bahwa hujan masih menari di luar. Atap logikanya bocor, dan air hujan menetes masuk ke rumahnya. Ketika ia lengah, ia bisa terpeleset, jatuh terjerembab di atas lantai kenangannya yang licin. Entah licin karena rembesan air hujan, atau air mata kesakitannya sendiri.
Gadis itu menatap perapian yang tak menyala. Menahan keinginan untuk membuat api dan ikut membakar dirinya.
Hujan masih menyelesaikan tangisannya.
Rabu, 21 November 2012
Coraline Contemplation
"Ayolah. Siapa namamu?" tanya Coraline pada si kucing. "Namaku Coraline. Oke?"
Si kucing menguap perlahan-lahan dengan hati-hati, memperlihatkan mulut dan lidahnya yang sangat merah jambu. "Kucing tidak punya nama," katanya.
"Tidak punya?" kata Coraline.
"Tidak," sahut si kucing. "Kalian, manusia, punya nama. Sebab kalian tidak tahu siapa diri kalian. Kami tahu siapa kami, jadi kami tidak butuh nama."
.....
"Udara penuh dengan tawon-tawon kuning. Tadi kami pasti menginjak sarang tawon yang ada di ranting yang sudah busuk, waktu kami berjalan. Sementara aku lari mendaki bukit, ayahku tetap di tempatnya, disengati tawon, supaya aku sempat melarikan diri. Kacamatanya terjatuh waktu dia lari."
"Nah," kata Coraline, "menjelang sore itu, ayahku kembali ke lapangan kosong tadi, untuk mengambil kacamatanya. Katanya kalau kacamata itu dibiarkannya di situ sehari saja, dia tidak bakal ingat di mana kacamatanya itu jatuh."
"Tidak lama kemudian, dia pulang, sudah menegnakan kacamatanya. Dia bilang dia tidak takut waktu berdiri di sana, disengat tawon-tawon, sambil melihat aku lari. Sebab dia tahu dia mesti memberi cukup waktu padaku untuk kabur, kalau tidak tawon-tawon itu pasti menyerang kami berdua."
"Dam kata ayahku, dia berbuat begitu bukan karena dia berani, berdiri saja di situ, membiarkan tawon-tawon menyengatnya," kata Coraline pada si kucing. "Katanya itu tidak bisa disebut berani, sebab dia tidak merasa takut: hanya itu yang bisa dia lakukan. Tapi tindakannya kembali ke tempat itu untuk mengambil kacamatnya, padahal dia tahu tawon-tawon itu ada di sana, dan dia merasa ketakutan...nah, itu baru berani."
"Kenapa bisa begitu?" tanya si kucing yang kedengarannya tidak terlalu berminat.
"Sebab," kata Coraline, "kalau kau merasa takut, tapi tetap nekat maju terus, itu namanya berani."
....
Si kucing menjatuhkan si tikus di antara kedua kaki depannya. Sambil mendesah, dia berkata dengan nada teramat halus, "Ada yang menganggap kebiasaan kucing mempermainkan mangsanya sebagai kebiasaan yang baik hati- mangsa kecil yang lucu itu jadi punya kesempatan melarikan diri, sekali-sekali. Coba, seberapa sering kau memberi kesempatan kabur pada makan malammu?"
....
Coraline. Sebuah novel karangan Neil Gaiman, yang sebenarnya digolongkan novel untuk anak-anak. Tetapi novel ini membuat saya terkesima; salah satu novel yang paling saya sukai. Novel ini membuat saya banyak merenungkan hal-hal yang tampaknya sepele, tetapi dalam maknanya.
Yang paling membuat saya tergelitik adalah dialog Coraline dengan si kucing tentang manusia. Saya jadi berpikir: Human. Why do we have names? Simply because we cannot recognize who we are. We're lost without names. Menarik, dan menyentil dengan cara yang jenaka.
Kemudian, arti keberanian. Saya belajar bahwa keberanian bukannya keadaan tanpa rasa takut. Berani bukan berarti tidak merasa takut. Bukan manusia namanya jika tidak memiliki rasa takut. Berani adalah melawan ketakutanmu, menolaknya menyeretmu mundur dari arena pertempuran, dan dengan gagah berani mendorong dirimu ke depan untuk menghadapi tantangan. Itulah keberanian.
Sebagai contoh, orang yang tidak takut dengan laba-laba bukan belum tentu seorang pemberani. Bisa jadi, baginya, laba-laba hanyalah sekedar serangga. Di lain sisi, seseorang yang fobia laba-laba, namun berusaha menyembuhkan ketakutannya dengan menghadapi laba-laba...saya kira kita semua tahu mana yang memerlukan kekuatan lebih besar antara dua orang tersebut. Itu hanya contoh kecil yang konkret.
Bagian terakhir, yang juga membuat saya terkekeh sendirian ketika membaca novel ini, adalah bagian tentang "makan malam". Seberapa sering kita membiarkan makanan kita kabur? Manusia jauh lebih ganas daripada hewan. Kita merupakan "pembunuh" yang paling efektif dan efisien.
Oh iya, bagi yang suka dengan seni rupa, saya cukup yakin akan menyukai ilustrasi Dave McKean dalam novel ini. Gothic, dan agak "seram"; tidak seperti ilustrasi buku anak-anak pada umumnya. Dark, but it's beautiful. I love it :) Sangat cocok dengan ceritanya yang juga dark.
Anyway, saya sangat menyukai buku ini dan merekomendasikan kepada siapapun yang ingin menemukan hiburan yang bermakna di waktu senggangnya. Tidak tebal, hanya 228 halaman.
Selamat membaca! Ingat, Co-ra-line, bukan Ca-ro-line ;)
Jumat, 16 November 2012
About Death
Baru saja membuka Twitter dan melihat banyak tweet duka yang membanjiri linimasa. Seperti air mata yang mengaliri pipi mereka yang kehilangan. Aku termangu tanpa tahu harus berkata apa, bahkan untuk menuliskan satu tweet pun. Aku terlalu kaget untuk menentukan apa yang harus aku lakukan.
Walaupun aku belum mengenalnya dengan baik, hanya sekedar obrolan singkat, beberapa kali berbagi tawa dan bertemu di beberapa tempat di luar kampus, aku masih saja terperangah tentang betapa cepatnya maut menghampiri, memutus jarak di antara kami. Aku masih saja terperangah tentang kematian, suatu hal yang menurutku lumrah namun tetap menjadi sebuah misteri besar, tanda tanya bagai lorong gelap yang kamu tak tahu menuju ke mana. Lumrah karena semua melumrahkan itu. Karena tidak ada yang tahu apa yang ada di seberang jurang kematian.
Ini bukan pertama kalinya aku mendapati berita tentang seseorang yang berumur sama denganku, belajar di tempat yang sama denganku, meninggalkanku lebih dulu. Namun seperti yang kubilang tadi, kematian tetap menjadi sebuah hal yang mengejutkan, seberapapun lumrahnya itu.Seperti keajaiban yang mengerikan. Keindahan yang menakutkan. Keagungan yang penuh misteri. Karena melalui kematianlah kita akan menuju sebuah kehidupan yang kekal, yang abadi. Kematian adalah satu-satunya jalan menuju kehidupan yang sebenarnya.
Untukmu kawan, kuucapkan selamat tinggal, dan juga selamat karena diberi giliran lebih dulu untuk melihat apa yang tak bisa kami lihat di balik tabir kefanaan. Kami yang lain sebenarnya hanya menunggu antrian; di punggung kami telah menempel nomor antrian yang kami tak tahu kapan akan dipanggil.
Aku tak bisa menutup tulisan tentang kematian dengan akhir yang puitis. Pada akhirnya, aku, kami hanya bisa berkata:
"Semoga kau tenang di sana."
Kami pun diam-diam berdoa, di balik kesibukan yang menutupi rasa takut kami, bahwa ketika tiba nomor kami dipanggil, kami telah meninggalkan sesuatu yang bukan sekedar nama di batu nisan untuk orang-orang di sekeliling kami. Kami berharap kematian kami nanti tidak ikut membunuh harapan orang-orang yang kami cintai, melainkan menumbuhkan kembali semangat mereka untuk menjalani hidup yang fana ini sebaik-baiknya. Amin.
“The fear of death follows from the fear of life. A man who lives fully is prepared to die at any time.”
- Mark Twain
Walaupun aku belum mengenalnya dengan baik, hanya sekedar obrolan singkat, beberapa kali berbagi tawa dan bertemu di beberapa tempat di luar kampus, aku masih saja terperangah tentang betapa cepatnya maut menghampiri, memutus jarak di antara kami. Aku masih saja terperangah tentang kematian, suatu hal yang menurutku lumrah namun tetap menjadi sebuah misteri besar, tanda tanya bagai lorong gelap yang kamu tak tahu menuju ke mana. Lumrah karena semua melumrahkan itu. Karena tidak ada yang tahu apa yang ada di seberang jurang kematian.
Ini bukan pertama kalinya aku mendapati berita tentang seseorang yang berumur sama denganku, belajar di tempat yang sama denganku, meninggalkanku lebih dulu. Namun seperti yang kubilang tadi, kematian tetap menjadi sebuah hal yang mengejutkan, seberapapun lumrahnya itu.Seperti keajaiban yang mengerikan. Keindahan yang menakutkan. Keagungan yang penuh misteri. Karena melalui kematianlah kita akan menuju sebuah kehidupan yang kekal, yang abadi. Kematian adalah satu-satunya jalan menuju kehidupan yang sebenarnya.
Untukmu kawan, kuucapkan selamat tinggal, dan juga selamat karena diberi giliran lebih dulu untuk melihat apa yang tak bisa kami lihat di balik tabir kefanaan. Kami yang lain sebenarnya hanya menunggu antrian; di punggung kami telah menempel nomor antrian yang kami tak tahu kapan akan dipanggil.
Aku tak bisa menutup tulisan tentang kematian dengan akhir yang puitis. Pada akhirnya, aku, kami hanya bisa berkata:
"Semoga kau tenang di sana."
Kami pun diam-diam berdoa, di balik kesibukan yang menutupi rasa takut kami, bahwa ketika tiba nomor kami dipanggil, kami telah meninggalkan sesuatu yang bukan sekedar nama di batu nisan untuk orang-orang di sekeliling kami. Kami berharap kematian kami nanti tidak ikut membunuh harapan orang-orang yang kami cintai, melainkan menumbuhkan kembali semangat mereka untuk menjalani hidup yang fana ini sebaik-baiknya. Amin.
“The fear of death follows from the fear of life. A man who lives fully is prepared to die at any time.”
- Mark Twain
Senin, 12 November 2012
The Story of Blanket and Jacket
I
Dia pernah menyelinap di hatiku ketika kau sedang pergi. Dia memberiku selimut untuk membungkus lukaku dan melelapkan diriku sejenak. Dan aku yang sedang lelah menunggumu pun tertidur beberapa saat, bermimpi tentang dia yang sejenak menghapusmu dari pikiranku.
II
Dia menyelinap pergi ketika pagi datang membawamu kembali. Aku tak bisa melihat jejaknya, kupikir pemberi selimut itu pun hanya tokoh dalam mimpi. Kau tersenyum padaku dan kehangatan itu nyata benderang di depan mataku; ya, pasti sang pemberi selimut itu hanya imajinasiku.
III
Aku berdiri di depan cermin, melihat diriku terbungkus jaket yang kau pakaikan untukku, dengan tanganku menggenggam selimut yang ia pinjamkan padaku. Perlahan, aku melipat selimut itu dan berniat tertidur kembali, menunggu malam tiba dan sang pemberi selimut itu datang.
Tidak, aku tak ingin dia menyelimutiku. Aku hanya ingin mengembalikan selimut yang ia pinjamkan. Dan aku pun tertidur memakai jaketmu, sementara sang pemberi selimut itu mengambil selimutnya dari genggamanku.
Aku sadar bahwa kehangatan yang aku inginkan sudah kau berikan padaku sejak dulu. Hanya karena suhu musim dingin turun beberapa derajat, bukan berarti aku memerlukan tambahan selimut, bukan?
Lagipula, aku sudah pernah berkata, jaketmu menghangatkanku dari dalam.
Aku tidak perlu selimut yang hanya menghangatkanku dari luar.
Dia pernah menyelinap di hatiku ketika kau sedang pergi. Dia memberiku selimut untuk membungkus lukaku dan melelapkan diriku sejenak. Dan aku yang sedang lelah menunggumu pun tertidur beberapa saat, bermimpi tentang dia yang sejenak menghapusmu dari pikiranku.
II
Dia menyelinap pergi ketika pagi datang membawamu kembali. Aku tak bisa melihat jejaknya, kupikir pemberi selimut itu pun hanya tokoh dalam mimpi. Kau tersenyum padaku dan kehangatan itu nyata benderang di depan mataku; ya, pasti sang pemberi selimut itu hanya imajinasiku.
III
Aku berdiri di depan cermin, melihat diriku terbungkus jaket yang kau pakaikan untukku, dengan tanganku menggenggam selimut yang ia pinjamkan padaku. Perlahan, aku melipat selimut itu dan berniat tertidur kembali, menunggu malam tiba dan sang pemberi selimut itu datang.
Tidak, aku tak ingin dia menyelimutiku. Aku hanya ingin mengembalikan selimut yang ia pinjamkan. Dan aku pun tertidur memakai jaketmu, sementara sang pemberi selimut itu mengambil selimutnya dari genggamanku.
Aku sadar bahwa kehangatan yang aku inginkan sudah kau berikan padaku sejak dulu. Hanya karena suhu musim dingin turun beberapa derajat, bukan berarti aku memerlukan tambahan selimut, bukan?
Lagipula, aku sudah pernah berkata, jaketmu menghangatkanku dari dalam.
Aku tidak perlu selimut yang hanya menghangatkanku dari luar.
Kamis, 01 November 2012
:)
Awal-awal saya bertugas, salah seorang psikolog berkata:
"Selamat menikmati hari-hari penuh makna ya, Nadya... :)"
Saya tidak perlu menunggu lama untuk itu.
Di sinilah tempat saya bisa menimba ilmu sebanyak-banyaknya sebelum melanjutkan ke Magister Profesi (amin). Saya benar-benar merasa beruntung. Ya Allah, Engkau tahu betul apa yang terbaik untukku, dengan mengizinkanku untuk diterima di lembaga ini.
Di sinilah tempat saya bisa belajar menyembuhkan diri saya sendiri. Di sinilah saya belajar dengan sebenar-benarnya, apa itu kerja sama. Di sinilah saya merasa menemukan keluarga, yang terasa seperti keluarga.
Dan di sinilah saya pertama kali di-framing oleh seorang psikolog. Dan hal ini membuat saya sadar, saya masih memiliki trauma yang mendalam, yang selama ini mungkin saya sangkal. Saya ingin sembuh. Saya ingin "beres" dengan diri saya sendiri, sebelum saya memberikan jasa untuk orang lain secara profesional.
Above all, walaupun banyak pekerjaan, lama-lama saya merasa hal ini sungguh menyenangkan. Sebuah tantangan yang sesuai dengan passion saya.
Yes, I'm happy :)
"Selamat menikmati hari-hari penuh makna ya, Nadya... :)"
Saya tidak perlu menunggu lama untuk itu.
Di sinilah tempat saya bisa menimba ilmu sebanyak-banyaknya sebelum melanjutkan ke Magister Profesi (amin). Saya benar-benar merasa beruntung. Ya Allah, Engkau tahu betul apa yang terbaik untukku, dengan mengizinkanku untuk diterima di lembaga ini.
Di sinilah tempat saya bisa belajar menyembuhkan diri saya sendiri. Di sinilah saya belajar dengan sebenar-benarnya, apa itu kerja sama. Di sinilah saya merasa menemukan keluarga, yang terasa seperti keluarga.
Dan di sinilah saya pertama kali di-framing oleh seorang psikolog. Dan hal ini membuat saya sadar, saya masih memiliki trauma yang mendalam, yang selama ini mungkin saya sangkal. Saya ingin sembuh. Saya ingin "beres" dengan diri saya sendiri, sebelum saya memberikan jasa untuk orang lain secara profesional.
Above all, walaupun banyak pekerjaan, lama-lama saya merasa hal ini sungguh menyenangkan. Sebuah tantangan yang sesuai dengan passion saya.
Yes, I'm happy :)
Minggu, 14 Oktober 2012
Messages and Calls
Messages and calls.
Messages and calls.
Still, no answer.
Messages and calls.
Messages and calss.
Still, no answer.
One day it gets better; the next day it turns back to the same pattern.
Messages and calls, mesaages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls...
No text-back, no call-back.
Messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and...
"The number you are calling might have forgotten you. Please try untill you die, sooner or later."
Messages and calls.
Still, no answer.
Messages and calls.
Messages and calss.
Still, no answer.
One day it gets better; the next day it turns back to the same pattern.
Messages and calls, mesaages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls...
No text-back, no call-back.
Messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and calls, messages and...
"The number you are calling might have forgotten you. Please try untill you die, sooner or later."
Rabu, 10 Oktober 2012
Bimbang
Terngiang kata teman-teman saya:
"Aku takut kamu kenapa-napa, Nad. Aku takut kamu jadi kena dampak negatif."
"Kamu juga berhak bahagia."
"Jangan merasa kasihan."
"Kamu masih suka atau masih sayang?"
Dan saya bimbang.
Sudah beberapa hari ini, menangis dan menangis tiap malam sehabis kerja ataupun asistensi.
Membuat basah bantal dan seprai dengan air mata dan ingus yang tak kalah derasnya.
Memperparah pemanasan global dengan menghabiskan tisu berlembar-lembar.
Memperlambat pengerjaan skripsi karena saya tidak kuat untuk membuka laptop dan menatap hamparan jurnal-jurnal asing yang semuanya berbicara tentang masalah kesehatan mental dan beban caregiver.
Ah, saya perlu menarik napas dalam-dalam:
Jangan-jangan saya sudah tenggelam.
Kata-kata itu muncul lagi:
"Kamu hidup juga untuk kebahagiaanmu sendiri kan? Bukan hanya orang lain kan?"
Dan terakhir:
"Hatimu itu memilih, bukan dipilih."
Dan sekarang saya tidak tahu saya berada dalam posisi memilih atau dipilih.
Semua begitu kacau.
Dan saya bimbang.
"Aku takut kamu kenapa-napa, Nad. Aku takut kamu jadi kena dampak negatif."
"Kamu juga berhak bahagia."
"Jangan merasa kasihan."
"Kamu masih suka atau masih sayang?"
Dan saya bimbang.
Sudah beberapa hari ini, menangis dan menangis tiap malam sehabis kerja ataupun asistensi.
Membuat basah bantal dan seprai dengan air mata dan ingus yang tak kalah derasnya.
Memperparah pemanasan global dengan menghabiskan tisu berlembar-lembar.
Memperlambat pengerjaan skripsi karena saya tidak kuat untuk membuka laptop dan menatap hamparan jurnal-jurnal asing yang semuanya berbicara tentang masalah kesehatan mental dan beban caregiver.
Ah, saya perlu menarik napas dalam-dalam:
Jangan-jangan saya sudah tenggelam.
Kata-kata itu muncul lagi:
"Kamu hidup juga untuk kebahagiaanmu sendiri kan? Bukan hanya orang lain kan?"
Dan terakhir:
"Hatimu itu memilih, bukan dipilih."
Dan sekarang saya tidak tahu saya berada dalam posisi memilih atau dipilih.
Semua begitu kacau.
Dan saya bimbang.
Langganan:
Postingan (Atom)