Selamat datang di dunia kebut semalam.
Selamat datang di dunia beberapa jam menjelang deadline.
Selamat datang di dunia 'melakukan-apapun-untuk-menghindari-melakukan-hal-yang-tidak-disukai'.
Welcome, procrastination.
Selama kuliah, kebiasaan buruk ini benar-benar sulit saya kendalikan. Pernah sih dulu diterapi dengan pendekatan transpersonal...tapi ternyata, untuk saya, terapi itu sepertinya kurang cocok. Beberapa saat setelah terapi emmang efeknya luar biasa. Tapi lama-lama....prokrastinasi itu menyapa lagi. Teman lama yang berkunjung dan menawarkan kebahagiaan semu, sebuah fantasi liburan dari dunia laporan praktik dan tesis. Well, karena kemarin diterapi transpersonal, kayaknya saya jadi amat sangat menerima diri saya yang prokras ini. Saking menerimanya, saya jadi enggan berubah. Ah, entahlah, mungkin ini teori saya sendiri. Tapi yang jelas, hari-hari belakangan saya lalui hanya dengan makan-tidur-mengerjakan tugas teknik penulisan tesis yang juga dikerjakan dengan sistem menunda-minum-bernapas-hidup selo.
Ya, saya akui saya belum selesai dengan masalah prokrastinasi ini...dan self-esteem saya sebagai calon psikolog mulai menurun. Sisi baiknya, saya orang yang selalu percaya bahwa suatu ketika keadaan akan menjadi lebih baik. Jadi, mau prokras seperti apapun, saya pasti bisa menyelesaikan laporan dan tesis.
At least I've got hope, hahahaha.
Before those swollen minds become a great brain-tumor, share it all with joy
Tampilkan postingan dengan label Iseng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Iseng. Tampilkan semua postingan
Sabtu, 28 Februari 2015
Minggu, 21 Desember 2014
Own Love, Before You Give Love
Di suatu pagi, kelas Psikologi Positif.
Mahasiswa: "Bu, bisa ga kita memberikan cinta kepada orang lain meskipun kita ga mencintai diri kita sendiri?"
Dosen: (dengan santainya menjawab) "Tidak."
Mahasiswa tersebut agak mengernyitkan wajahnya. Aku mengamati dari tempat dudukku. Tampaknya ekspresinya adalah campuran antara tidak percaya dan kaget. Aku beralih melihat ekspresi dosenku. Wanita itu tersenyum kecil sambil mengangkat alis. Senyum yang khas. Aku selalu merasa beliau menyimpan sesuatu di balik senyum dan tawa cekikikan yang sering ia perdengarkan di depan para mahasiswanya. Setiap beliau tersenyum atau tertawa, aku selalu merasa senyuman atau tawa itu berarti sesuatu yang lebih dalam, seakan-akan ia menyimpan sebuah rahasia atau sebuah kebenaran hidup yang sangat berharga dan tidak ada orang lain yang tahu.
Ia kemudian mengambil beberapa spidol warna-warni di atas meja; ia menggenggam spidol-spidol tersebut dan memberikan mereka kepada seorang mahasiswa yang duduk di dekatnya. Ia berkata, "Coba kamu berikan ke orang di sampingmu."Mahasiswa itu dengan patuh memberikannya kepada mahasiswa lain yang duduk di sampingnya. Kemudian, sang dosen tersebut mengambil semua spidol yang dipegang oleh mahasiswa tersebut, lalu berkata, "Coba kamu kasih spidol ke orang di sampingmu." Sontak mahasiswa tersebut menjawab, "Lah ga bisa Bu, saya ga punya spidol."
Aku melihat ekspresi senyum yang penuh arti itu lagi-lagi membayangi wajah dosenku. Wanita itu berkata pelan dan dramatis, "Persis itu yang saya maksud."
Ia berjalan kembali ke depan kelas dengan santai. "Ketika kalian tidak punya cinta, kalian tidak akan bisa memberi orang lain cinta. Cinta yang kalian punya asalnya darimana? Bisa dari mana-mana, yang membuat kalian merasa dicintai. Ada orang yang mungkin ketika kita melihatnya kita berpikir ia tidak memiliki cinta dalam hidupnya, mungkin hidupnya terlalu mengerikan. Tapi bisa jadi ia bisa memberi cinta kepada orang lain. Kalau begitu, dia pasti memiliki cinta dalam dirinya sendiri. Pasti ada yang mencintainya dan membuatnya merasa dicintai. Entah darimana; mungkin dari sesuatu yang lebih besar darinya."
Kelas hening. Sepoi-sepoi suara hembusan angin buatan dari AC adalah satu-satunya suara yang kami dengar. Semuanya terhenyak ke dalam pertanyaan besar:
Sudahkah kita memiliki cinta, sebelum berusaha memberikan cinta kepada orang lain?
Sudahkah kita merasa dicintai....termasuk oleh diri kita sendiri?
Mahasiswa: "Bu, bisa ga kita memberikan cinta kepada orang lain meskipun kita ga mencintai diri kita sendiri?"
Dosen: (dengan santainya menjawab) "Tidak."
Mahasiswa tersebut agak mengernyitkan wajahnya. Aku mengamati dari tempat dudukku. Tampaknya ekspresinya adalah campuran antara tidak percaya dan kaget. Aku beralih melihat ekspresi dosenku. Wanita itu tersenyum kecil sambil mengangkat alis. Senyum yang khas. Aku selalu merasa beliau menyimpan sesuatu di balik senyum dan tawa cekikikan yang sering ia perdengarkan di depan para mahasiswanya. Setiap beliau tersenyum atau tertawa, aku selalu merasa senyuman atau tawa itu berarti sesuatu yang lebih dalam, seakan-akan ia menyimpan sebuah rahasia atau sebuah kebenaran hidup yang sangat berharga dan tidak ada orang lain yang tahu.
Ia kemudian mengambil beberapa spidol warna-warni di atas meja; ia menggenggam spidol-spidol tersebut dan memberikan mereka kepada seorang mahasiswa yang duduk di dekatnya. Ia berkata, "Coba kamu berikan ke orang di sampingmu."Mahasiswa itu dengan patuh memberikannya kepada mahasiswa lain yang duduk di sampingnya. Kemudian, sang dosen tersebut mengambil semua spidol yang dipegang oleh mahasiswa tersebut, lalu berkata, "Coba kamu kasih spidol ke orang di sampingmu." Sontak mahasiswa tersebut menjawab, "Lah ga bisa Bu, saya ga punya spidol."
Aku melihat ekspresi senyum yang penuh arti itu lagi-lagi membayangi wajah dosenku. Wanita itu berkata pelan dan dramatis, "Persis itu yang saya maksud."
Ia berjalan kembali ke depan kelas dengan santai. "Ketika kalian tidak punya cinta, kalian tidak akan bisa memberi orang lain cinta. Cinta yang kalian punya asalnya darimana? Bisa dari mana-mana, yang membuat kalian merasa dicintai. Ada orang yang mungkin ketika kita melihatnya kita berpikir ia tidak memiliki cinta dalam hidupnya, mungkin hidupnya terlalu mengerikan. Tapi bisa jadi ia bisa memberi cinta kepada orang lain. Kalau begitu, dia pasti memiliki cinta dalam dirinya sendiri. Pasti ada yang mencintainya dan membuatnya merasa dicintai. Entah darimana; mungkin dari sesuatu yang lebih besar darinya."
Kelas hening. Sepoi-sepoi suara hembusan angin buatan dari AC adalah satu-satunya suara yang kami dengar. Semuanya terhenyak ke dalam pertanyaan besar:
Sudahkah kita memiliki cinta, sebelum berusaha memberikan cinta kepada orang lain?
Sudahkah kita merasa dicintai....termasuk oleh diri kita sendiri?
Selasa, 09 Desember 2014
Boleh Gagal is Such A Bliss
Baru-baru ini saya sedang membaca The Geography of Bliss dari Eric Weiner yang dipinjamkan pacar saya (thank you so much dear! you're such a great bliss to me :D). Buku yang menarik menurut saya. Sebuah kombinasi yang manis antara dokumentasi pribadi Eric Weiner yang berkeliling dunia untuk menemukan arti kebahagiaan, dan juga sisipan ilmu psikologi positif -hasil-hasil penelitian dan beberapa teori- yang kerap disertakan Eric dalam menjelaskan fenomena-fenomena yang ia temui.
Saya memang belum selesai membaca buku yang mengibur ini -yang membuat saya beberapa kali terpingkal sendiri di kamar dan merasa bahagia- tetapi ada satu bab tentang Islandia, negara kecil yang diselimuti es dan kegelapan, literally, di mana judul bab tersebut adalah: kebahagiaan adalah kegagalan. Bab tentang kebahagiaan ala Islandia ini banyak membuat saya merenung.
Berdasarkan percakapan Eric dan beberapa native Islandia yang ia temui, ada gambaran yang sangat menyenangkan di balik kelam dan dinginnya Islandia. Negara kecil tersebut penuh dengan seniman dan orang kreatif. Berganti pekerjaan ke bidang yang benar-benar berbeda dari pekerjaan sebelumnya bukan merupakan hal yang mustahil. Istilahnya, sekarang kamu bisa menjadi ilmuwan yang mempelajari kadar air dalam tanah dan bekerja di laboratorium, besoknya kamu mencoba berkarir di bidang industri kreatif sebagai penyair, lalu lusa kamu ingin bekerja di kantor pemerintahan. Setidaknya gambaran itulah yang saya dapatkan dari salah satu percakapan di buku tersebut.
Orang-orang di sana mencoba banyak hal. Mereka bebas menjadi apa yang mereka inginkan. Mereka bebas mencoba. Hal ini membuat mereka bahagia. Eric bahkan berkata bahwa teori "seniman itu tidak bahagia" tidak berlau di Islandia. Ia melihat banyak seniman yang bahagia, yang juga memelihara sedikit melankolia. Tapi bahagia.
Apa rahasianya?
Jawabannya sederhana, tapi menurut saya luar biasa.
Mereka yakin bahwa kegagalan adalah wajar. Seseorang tidak diharuskan untuk menjadi sukses dalam apa yang mereka lakukan. Seorang tokoh yang Eric wawancarai, seorang seniman, berkata bahwa jika seseorang tidak dibebani dengan keharusan untuk sukses, maka ia bisa bebas mencoba apa saja tanpa rasa takut. Sederhana.
Eric menulis bahwa di Islandia, gagal dalam rangka mencapai tujuan yang baik adalah hal yang baik. Ini yang mungkin orang-orang bilang "yang penting itu prosesnya" dan hal ini terwujud secara utuh, tanpa syarat. Kenapa saya bilang tanpa syarat? Karena bahkan kamu tidak perlu memastikan bahwa 'pada akhirnya' kamu akan sukses setelah serangkaian kegagalan itu. Di Islandia, kegagalan tidak perlu dipermanis dengan 'sukses pada akhirnya'. Sehari-hari, kita sering mendengar cerita inspiratif tentang seseorang yang gagal terus menerus, dalam bisnis misalnya, kemudian setelah usaha keras bertahun-tahun, melewati serangkaian episode kagagalan yang menyakitkan, akhirnya...sukses. Ya, kita -dengan menyakitkan saya katakan- akan bisa menoleransi kegagalan ketika akhirnya kita sukses. Kita punya harapan itu. Orang lain pun sama. Orang akan berpikir kita patut untuk dijadikan contoh, masuk koran atau apapun, ketika kita punya kisah kegagalan yang berahir kesuksesan. Kemudian, tentu bisa ditebak, dengan otomatis kita tidak akan bisa menerima kegagalan. Kita menjadi ambisius karena kita yakin pada akhirnya kita HARUS sukses. Kata Eric dalam bukunya, "kegagalan hanyalah menu pembuka."
Tidak begitu dengan Islandia.
Eric menulis bahwa di negara tersebut, kegagalan adalah menu utama. Menu utama, lho. Ini berarti, orang-orang memang tidak mengharuskan kesuksesan dalam mencoba apapun. Sounds pesimistic, eh? Menurut saya tidak. Ini adalah bentuk kebebasan yang membahagiakan. Toh, menu penutupnya juga belum tentu kegagalan, kan? Jadi ada harapan di ujung sana tentang kemungkinan sukses. Lagipula, coba kamu pikir, siapa yang mengharuskan kamu untuk sukses? Tidak ada. Oh, orangtua mungkin. Atau guru. Atau siapapun yang punya ekspektasi pada dirimu, yang akhirya pandangan dari mereka kamu internalisasi ke dalam dirimu. Tapi bukan kamu, kan? Saya jadi ingat perkataan dosen saya di kelas: Manusia terlahir bebas. Dalam beberapa hal, saya yakin ada batasannya, seperti misalnya ada kewajiban dalam agama yang harus kamu penuhi. Tapi di luar itu, kamu bisa memilih kamu mau jadi apa dan bagaimana. Kalau ada tuntutan, coba tanya lagi pada dirimu sendiri: Siapa yang menuntut? Suara siapa itu?
Dulu, saya adalah orang yang memuja kesuksesan. Saya takut gagal, jujur saja. Dalam kuliah, dalam hal apapun yang bisa dinilai. Saya membuat segala sesuatu di mata saya menjadi sebuah kompetisi. Akibatnya buruk. Harga diri saya mudah hancur ketika saya tidak mencapai 'kesuksesan' dalam standar saya, atau mungkin standar orang lain juga. Ketika saya bangkit untuk kembali berusaha, ambisilah yang menggerakkan saya. Pada akhirnya, memang, saya berhasil. Lalu tepat setelah itu saya kelelahan.
Bebas untuk mencoba tanpa takut gagal. Kedengarannya sangat surgawi bagi saya. Saya membayangkan saya berada di Islandia, betapa bahagianya saya mungkin. Yah...tapi toh itu juga cuma impian saya. Saya masih harus struggling di sebuah lingkungan yang membatasi saya untuk bebas mencoba tanpa takut gagal. Maklum, negara berkembang. Sebuah impian harus dijamin untuk menjadi nyata, karena modal untuk menggapai impian itu mahal sekali di sini. Coba-coba apa saja tanpa ada jaminan kamu sukses di bidang itu, bisa membuatmu bangkrut. Kalau di negara makmur, hidup mereka sudah ditanggung negara. Tidak ada rasa khawatir, bebas mencoba, tidak takut gagal. Coba bandingkan situasinya di sini, di mana seorang anak sudah didoktrin untuk "belajar rajin ya, biar nanti jadi orang sukses." Well, ini sebenarnya sudah salah satu bentuk cinta yang kondisional. Sukses = hebat.
Saya membayangkan, suatu saat nanti, ketika saya punya anak, saya akan mengizinkannya mencoba hal-hal yang ia minati. Kamu tidak perlu takut gagal, Nak. Teruslah berjalan ke depan, jangan terlalu sibuk lihat kiri-kanan takut kalau-kalau ada lubang kegagalan. Karena kalau kamu gagal pun, tetap ada tangan terbuka yang akan menerimamu tanpa syarat. Aseeeekkk....
Begitulah sekelumit renungan saya dari buku yang bahkan belum selesai saya baca. Haha. Cukup sekian dan terima kasih.
*langsung ngelanjutin The Geography of Bliss*
Saya memang belum selesai membaca buku yang mengibur ini -yang membuat saya beberapa kali terpingkal sendiri di kamar dan merasa bahagia- tetapi ada satu bab tentang Islandia, negara kecil yang diselimuti es dan kegelapan, literally, di mana judul bab tersebut adalah: kebahagiaan adalah kegagalan. Bab tentang kebahagiaan ala Islandia ini banyak membuat saya merenung.
Berdasarkan percakapan Eric dan beberapa native Islandia yang ia temui, ada gambaran yang sangat menyenangkan di balik kelam dan dinginnya Islandia. Negara kecil tersebut penuh dengan seniman dan orang kreatif. Berganti pekerjaan ke bidang yang benar-benar berbeda dari pekerjaan sebelumnya bukan merupakan hal yang mustahil. Istilahnya, sekarang kamu bisa menjadi ilmuwan yang mempelajari kadar air dalam tanah dan bekerja di laboratorium, besoknya kamu mencoba berkarir di bidang industri kreatif sebagai penyair, lalu lusa kamu ingin bekerja di kantor pemerintahan. Setidaknya gambaran itulah yang saya dapatkan dari salah satu percakapan di buku tersebut.
Orang-orang di sana mencoba banyak hal. Mereka bebas menjadi apa yang mereka inginkan. Mereka bebas mencoba. Hal ini membuat mereka bahagia. Eric bahkan berkata bahwa teori "seniman itu tidak bahagia" tidak berlau di Islandia. Ia melihat banyak seniman yang bahagia, yang juga memelihara sedikit melankolia. Tapi bahagia.
Apa rahasianya?
Jawabannya sederhana, tapi menurut saya luar biasa.
Mereka yakin bahwa kegagalan adalah wajar. Seseorang tidak diharuskan untuk menjadi sukses dalam apa yang mereka lakukan. Seorang tokoh yang Eric wawancarai, seorang seniman, berkata bahwa jika seseorang tidak dibebani dengan keharusan untuk sukses, maka ia bisa bebas mencoba apa saja tanpa rasa takut. Sederhana.
Eric menulis bahwa di Islandia, gagal dalam rangka mencapai tujuan yang baik adalah hal yang baik. Ini yang mungkin orang-orang bilang "yang penting itu prosesnya" dan hal ini terwujud secara utuh, tanpa syarat. Kenapa saya bilang tanpa syarat? Karena bahkan kamu tidak perlu memastikan bahwa 'pada akhirnya' kamu akan sukses setelah serangkaian kegagalan itu. Di Islandia, kegagalan tidak perlu dipermanis dengan 'sukses pada akhirnya'. Sehari-hari, kita sering mendengar cerita inspiratif tentang seseorang yang gagal terus menerus, dalam bisnis misalnya, kemudian setelah usaha keras bertahun-tahun, melewati serangkaian episode kagagalan yang menyakitkan, akhirnya...sukses. Ya, kita -dengan menyakitkan saya katakan- akan bisa menoleransi kegagalan ketika akhirnya kita sukses. Kita punya harapan itu. Orang lain pun sama. Orang akan berpikir kita patut untuk dijadikan contoh, masuk koran atau apapun, ketika kita punya kisah kegagalan yang berahir kesuksesan. Kemudian, tentu bisa ditebak, dengan otomatis kita tidak akan bisa menerima kegagalan. Kita menjadi ambisius karena kita yakin pada akhirnya kita HARUS sukses. Kata Eric dalam bukunya, "kegagalan hanyalah menu pembuka."
Tidak begitu dengan Islandia.
Eric menulis bahwa di negara tersebut, kegagalan adalah menu utama. Menu utama, lho. Ini berarti, orang-orang memang tidak mengharuskan kesuksesan dalam mencoba apapun. Sounds pesimistic, eh? Menurut saya tidak. Ini adalah bentuk kebebasan yang membahagiakan. Toh, menu penutupnya juga belum tentu kegagalan, kan? Jadi ada harapan di ujung sana tentang kemungkinan sukses. Lagipula, coba kamu pikir, siapa yang mengharuskan kamu untuk sukses? Tidak ada. Oh, orangtua mungkin. Atau guru. Atau siapapun yang punya ekspektasi pada dirimu, yang akhirya pandangan dari mereka kamu internalisasi ke dalam dirimu. Tapi bukan kamu, kan? Saya jadi ingat perkataan dosen saya di kelas: Manusia terlahir bebas. Dalam beberapa hal, saya yakin ada batasannya, seperti misalnya ada kewajiban dalam agama yang harus kamu penuhi. Tapi di luar itu, kamu bisa memilih kamu mau jadi apa dan bagaimana. Kalau ada tuntutan, coba tanya lagi pada dirimu sendiri: Siapa yang menuntut? Suara siapa itu?
Dulu, saya adalah orang yang memuja kesuksesan. Saya takut gagal, jujur saja. Dalam kuliah, dalam hal apapun yang bisa dinilai. Saya membuat segala sesuatu di mata saya menjadi sebuah kompetisi. Akibatnya buruk. Harga diri saya mudah hancur ketika saya tidak mencapai 'kesuksesan' dalam standar saya, atau mungkin standar orang lain juga. Ketika saya bangkit untuk kembali berusaha, ambisilah yang menggerakkan saya. Pada akhirnya, memang, saya berhasil. Lalu tepat setelah itu saya kelelahan.
Bebas untuk mencoba tanpa takut gagal. Kedengarannya sangat surgawi bagi saya. Saya membayangkan saya berada di Islandia, betapa bahagianya saya mungkin. Yah...tapi toh itu juga cuma impian saya. Saya masih harus struggling di sebuah lingkungan yang membatasi saya untuk bebas mencoba tanpa takut gagal. Maklum, negara berkembang. Sebuah impian harus dijamin untuk menjadi nyata, karena modal untuk menggapai impian itu mahal sekali di sini. Coba-coba apa saja tanpa ada jaminan kamu sukses di bidang itu, bisa membuatmu bangkrut. Kalau di negara makmur, hidup mereka sudah ditanggung negara. Tidak ada rasa khawatir, bebas mencoba, tidak takut gagal. Coba bandingkan situasinya di sini, di mana seorang anak sudah didoktrin untuk "belajar rajin ya, biar nanti jadi orang sukses." Well, ini sebenarnya sudah salah satu bentuk cinta yang kondisional. Sukses = hebat.
Saya membayangkan, suatu saat nanti, ketika saya punya anak, saya akan mengizinkannya mencoba hal-hal yang ia minati. Kamu tidak perlu takut gagal, Nak. Teruslah berjalan ke depan, jangan terlalu sibuk lihat kiri-kanan takut kalau-kalau ada lubang kegagalan. Karena kalau kamu gagal pun, tetap ada tangan terbuka yang akan menerimamu tanpa syarat. Aseeeekkk....
Begitulah sekelumit renungan saya dari buku yang bahkan belum selesai saya baca. Haha. Cukup sekian dan terima kasih.
*langsung ngelanjutin The Geography of Bliss*
Minggu, 23 Maret 2014
Time Flies
Rasanya belum lama ketika, aku ingat sekali, aku turun naik gedung G lantai 2 dan UKP, sambil membawa berkas pendaftaran S2 dalam dekapan. Rasanya juga belum terlalu lama ketika, pada pagi yang agak kelabu itu, aku mempresentasikan skripsi di depan 3 orang dosen dan kemudian dibombardir dengan berbagai pertanyaan -- yang akhirnya membuatku berhak menerima selembar kertas yang menegaskan tamatnya langkahku di S1.
Time flies.
Sekarang, di atas tempat tidurku yang dipenuhi berbagai buku kuliah S2 -baik yang memang aku baca ataupun yang sekedar aku miliki hanya untuk mendapatkan rasa aman- aku mulai berefleksi tentang proses-proses yang sudah mengantarkanku sampai ke detik ini. Ya, aku lebih sering berefleksi sekarang setelah dijejali berbagai macam perspektif timbulnya gangguan dan masalah pada manusia. Setelah dibawa ke dalam perjalanan transpersonal dan bertemu dengan bagian-bagian diriku yang lain, yang menghambat maupun yang mendukungku untuk maju. Setelah proses membuka diri yang rasanya sakit tapi melegakan.
Aku baru benar-benar belajar sekarang.
Belajar bahwa untuk menjadi kuat kau harus mengakui kelemahanmu dan menerimanya sebagai bagian dari dirimu.
Belajar bahwa kau tidak harus selalu sempurna.
Belajar bahwa hal-hal kecil yang kau lakukan pada orang lain dapat menimbulkan pengaruh yang signifikan, baik secara positif atau pun negatif, sehingga kau lebih menghargai perasaan orang lain; that everybody has his own scars.
Belajar bahwa cara terbaik untuk belajar adalah mengakui kekuranganmu dan mengosongkan kepala dan dadamu dari segala bentuk kesombongan; bahwa dengan mengakui kekurangan, kebingunganm dan kebodohanmu, sebenarnya kau telah membuka pintu ilmu pengetahuan yang sangat lebar ke dalam dirimu.
Belajar bahwa masih banyak, sangat banyak, alasan untuk bersyukur ketika kau menyadari bahwa orang-orang di sekelilingmu yang kau pikir mungkin sempurna dan bebas-masalah, ternyata memiliki beban yang lebih berat daripada yang kau duga.
Belajar untuk tetap tenang melalui segala bentuk perubahan yang mendadak dan tiba-tiba, serta situasi ekstrim yang tidak pernah kau bayangkan akan terjadi; misalnya ujian praktik jam 10 malam (dan lagi-lagi kau semestinya sujud syukur melihat teman-teman yang dapat jadwal jam 1 pagi).
Belajar untuk mendengarkan, dengan hati.
Belajar bahwa sebelum menghadapi orang lain, kau harus berani menghadapi dirimu sendiri.
Belajar untuk tetap tenang dalam situasi sempit, seperti hasil tes dan pemeriksaan psikologis yang belum jadi sementara deadline tinggal 2 jam.
Belajar bahwa terkadang kau tidak bisa mendapatkan segala hal dalam waktu yang bersamaan; jika tugasmu belum selesai dan ada kuliah pagi, kau bisa bolos (entahlah, aku kurang yakin bagian ini bisa kau jadikan teladan yang baik atau sebaliknya).
Belajar bahwa semakin sering kau berhadapan dengan rasa sakitmu, melihatnya, mengakuinya, menerimanya....maka lama kelamaan kau akan merasa luka itu tidaklah sakit. Ketika kau diminta menjadi klien untuk pembelajaran kelas dan harus bercerita di depan sekitar belasan orang; ketika kau melihat kasusmu sendiri, lukamu sendiri, sisi gelapmu, dipresentasikan di depan kelas dan dianalisis bersama oleh dosen dan teman-temanmu....dan pada akhirnya kau sendiri bisa menertawakan dirimu.
Belajar untuk memaafkan orang-orang yang pernah berbuat salah kepadamu; karena mereka mungkin memilliki masalah yang juga mereka tanggung --dan tentunya karena tidak semua orang belajar Psikologi.
Dan mungkin...yang paling penting: belajar untuk melakukan segala sesuatu dengan cinta. Termasuk mengerjakan belasan laporan pemeriksaan psikologis, rancangan intervensi, dan review jurnal yang ketika kau kumpulkan ke dosen kau sudah pasrah apakah akan benar-benar dibaca atau tidak. Kalaupun kau belum bisa mencintai, lakukan saja; siapa tahu cinta itu akan muncul karena terbiasa.
Time flies.
Aku bahkan tidak sadar bahwa sekarang sudah hampir pukul 1 dini hari. Aku harap waktu dan Sang Pemiliknya tidak mengutukku karena aku melanggar jam malam bagi tubuhku sendiri. Entah kenapa aku juga tidak begitu mengantuk.
Tapi, untuk menutup, aku hanya akan menuliskan dua patah kata: Selamat malam.
Time flies.
Sekarang, di atas tempat tidurku yang dipenuhi berbagai buku kuliah S2 -baik yang memang aku baca ataupun yang sekedar aku miliki hanya untuk mendapatkan rasa aman- aku mulai berefleksi tentang proses-proses yang sudah mengantarkanku sampai ke detik ini. Ya, aku lebih sering berefleksi sekarang setelah dijejali berbagai macam perspektif timbulnya gangguan dan masalah pada manusia. Setelah dibawa ke dalam perjalanan transpersonal dan bertemu dengan bagian-bagian diriku yang lain, yang menghambat maupun yang mendukungku untuk maju. Setelah proses membuka diri yang rasanya sakit tapi melegakan.
Aku baru benar-benar belajar sekarang.
Belajar bahwa untuk menjadi kuat kau harus mengakui kelemahanmu dan menerimanya sebagai bagian dari dirimu.
Belajar bahwa kau tidak harus selalu sempurna.
Belajar bahwa hal-hal kecil yang kau lakukan pada orang lain dapat menimbulkan pengaruh yang signifikan, baik secara positif atau pun negatif, sehingga kau lebih menghargai perasaan orang lain; that everybody has his own scars.
Belajar bahwa cara terbaik untuk belajar adalah mengakui kekuranganmu dan mengosongkan kepala dan dadamu dari segala bentuk kesombongan; bahwa dengan mengakui kekurangan, kebingunganm dan kebodohanmu, sebenarnya kau telah membuka pintu ilmu pengetahuan yang sangat lebar ke dalam dirimu.
Belajar bahwa masih banyak, sangat banyak, alasan untuk bersyukur ketika kau menyadari bahwa orang-orang di sekelilingmu yang kau pikir mungkin sempurna dan bebas-masalah, ternyata memiliki beban yang lebih berat daripada yang kau duga.
Belajar untuk tetap tenang melalui segala bentuk perubahan yang mendadak dan tiba-tiba, serta situasi ekstrim yang tidak pernah kau bayangkan akan terjadi; misalnya ujian praktik jam 10 malam (dan lagi-lagi kau semestinya sujud syukur melihat teman-teman yang dapat jadwal jam 1 pagi).
Belajar untuk mendengarkan, dengan hati.
Belajar bahwa sebelum menghadapi orang lain, kau harus berani menghadapi dirimu sendiri.
Belajar untuk tetap tenang dalam situasi sempit, seperti hasil tes dan pemeriksaan psikologis yang belum jadi sementara deadline tinggal 2 jam.
Belajar bahwa terkadang kau tidak bisa mendapatkan segala hal dalam waktu yang bersamaan; jika tugasmu belum selesai dan ada kuliah pagi, kau bisa bolos (entahlah, aku kurang yakin bagian ini bisa kau jadikan teladan yang baik atau sebaliknya).
Belajar bahwa semakin sering kau berhadapan dengan rasa sakitmu, melihatnya, mengakuinya, menerimanya....maka lama kelamaan kau akan merasa luka itu tidaklah sakit. Ketika kau diminta menjadi klien untuk pembelajaran kelas dan harus bercerita di depan sekitar belasan orang; ketika kau melihat kasusmu sendiri, lukamu sendiri, sisi gelapmu, dipresentasikan di depan kelas dan dianalisis bersama oleh dosen dan teman-temanmu....dan pada akhirnya kau sendiri bisa menertawakan dirimu.
Belajar untuk memaafkan orang-orang yang pernah berbuat salah kepadamu; karena mereka mungkin memilliki masalah yang juga mereka tanggung --dan tentunya karena tidak semua orang belajar Psikologi.
Dan mungkin...yang paling penting: belajar untuk melakukan segala sesuatu dengan cinta. Termasuk mengerjakan belasan laporan pemeriksaan psikologis, rancangan intervensi, dan review jurnal yang ketika kau kumpulkan ke dosen kau sudah pasrah apakah akan benar-benar dibaca atau tidak. Kalaupun kau belum bisa mencintai, lakukan saja; siapa tahu cinta itu akan muncul karena terbiasa.
Time flies.
Aku bahkan tidak sadar bahwa sekarang sudah hampir pukul 1 dini hari. Aku harap waktu dan Sang Pemiliknya tidak mengutukku karena aku melanggar jam malam bagi tubuhku sendiri. Entah kenapa aku juga tidak begitu mengantuk.
Tapi, untuk menutup, aku hanya akan menuliskan dua patah kata: Selamat malam.
Senin, 03 Februari 2014
Pekat
Nafas pekat itu berhenti sejenak
Sebelum racunnya menyentuh benak
dan air mata yang bitam kelam itu mengalir, mengandung tuak
Membuat muak
Pikirmu kau bisa berkelit lincah
Lidah-lidah berbisa yang berucap resah
Mengikat membelit segala yang kau inginkan musnah
Hanya karena tak sanggup menahan angan yang buncah
Pikirmu kau seniman ulung
Topeng-topengmu sandiwara bak pemulung
Mengais cinta untuk jiwa yang bingung
dalam ketakutan tanpa ujung
Tapi hatiku sudah bertapa
Ia melihat isyarat tak kasat mata
Sebelum nafas pekat dan air mata kelam itu kau buat senjata
Batinku siaga berjaga-jaga.
Yogyakarta, 2 Februari 2014
di atas kasur yang empuk, seempuk bualan seorang teman yang minta belas kasihan.
Sebelum racunnya menyentuh benak
dan air mata yang bitam kelam itu mengalir, mengandung tuak
Membuat muak
Pikirmu kau bisa berkelit lincah
Lidah-lidah berbisa yang berucap resah
Mengikat membelit segala yang kau inginkan musnah
Hanya karena tak sanggup menahan angan yang buncah
Pikirmu kau seniman ulung
Topeng-topengmu sandiwara bak pemulung
Mengais cinta untuk jiwa yang bingung
dalam ketakutan tanpa ujung
Tapi hatiku sudah bertapa
Ia melihat isyarat tak kasat mata
Sebelum nafas pekat dan air mata kelam itu kau buat senjata
Batinku siaga berjaga-jaga.
Yogyakarta, 2 Februari 2014
di atas kasur yang empuk, seempuk bualan seorang teman yang minta belas kasihan.
Minggu, 23 Juni 2013
BBM....Boring.
Tidak biasanya saya menulis soal kebijakan politik. Tapi karena jengah setiap hari melihat TV, Fesbuk, bahkan Twitter dipenuhi berita tentang BBM (yang sekarang sepertinya merupakan kepanjangan dari Bahan Bakar Masalah, karena perdebatan apapun tentangnya kerap berujung menjadi masalah) yang sekarang naik....berapa? 2000 rupiah? Oke.
Masyarakat terpolarisasi: kubu pro dan kubu kontra. Kata yang pro "gapapa lah, subsidi kemarin malah jatuh ke segelintir orang; orang-orang kaya," lalu "hutang kita sudah banyak, BBM harus dinaikkan" ada juga yang menyerimpetkan hal ini dengan masalah lain seperti "beli rokok aja kuat bung, masa beli bensin ga kuat" atau "beli kendaraan maha aja kuat, masa masih pakai premium, ga rela kalo dinaikkan" bla, bla, bla. Kubu kontra bilang, "oke, kalau sekarang kita harus membayar sendiri subsidi yang kemarin diberikan, semoga uang yang kita bayarkan jatuh ke tangan yang tepat, jangan disalahgunakan lagi. apalagi harga-harga pada naik juga." bla bla bla. Ya, saya dengan harga burjo pun mengikuti kurs minyak dunia dan melonjak seiring naiknya BBM sekarang ini.
Tahu apa yang ada dalam otak saya?
Saya muak dengan segala macam perdebatan, diskusi, dan analisis-analisis baik ilmiah maupun tidak ilmiah, pendapat berkelas maupun ngawur. Bukan muak juga sih, "muak" is a strong word, too strong buat orang yang kurang kritis seperti saya. Bosan, lebih tepatnya. Bosan juga dengan demo-demo bakar ban yang tidak ramah lingkungan dan bikin emosi saking stupid-nya.
Bagi saya, apapun kebijakannya, selama orang-orang masih berwatak curang, culas, kikir, suka korupsi, baik di tingkat rendahan maupun di tingkat atas.....tidak akan ada kebijakan yang bijak.
BBM disubsidi, dinaikkan, diturunkan, dikali, dibagi, dikuadratkan, bla bla bla....jika masih ada pihak yang korup (baik dalam Pemerintahan maupun dari kalangan rakyat sendiri) semua akan berakhir petaka.
Saya mungkin apatis. Tidak pro maupun kontra. Saya hanya bebal semua perdebatan tak berujung, strategi politik yang entah menguntungkan atau merugikan siapa. Bebal dengan demo-demo bakar ban, yang mungkin dilakukan oleh mahasiswa yang kalo di kelas ga tau apa-apa jadinya bakatnya ya bakar ban itu. Saya bersyukur masih ada mahasiswa yang santun menyuarakan pendapatnya.
Ah, yasudahlah. Kesannya kok jadi sewot sekali. Padahal ya saya masih mampu2 aja, fine2 kalo harga2 naik. Bahkan saya berniat untuk ganti Pertamax mulai sekarang. Saya cuma berdoa semoga kebijakan-kebijakan ini dibuat oleh orang-orang yang berakhlak baik dan Tuhan meridhoinya; bukan sebaliknya. Saya khawatir kalau yang terjadi malah sebaliknya.
Selamat hari Minggu. Selamat ganti Pertamax bagi yang tidak setuju Premium naik (kalo dihitung-hitung kayaknya lebih menguntungkan kalau sekalian ganti Pertamax) dan bagi yang setuju, Selamat juga karena akhirnya BBM dinaikkan, kalian pasti senang. Dan bagi yang mungkin kayak saya, golongan yang-sudah-terlalu-malas-untuk-memihak, jalani aja kebijakan baru ini dengan wajah tenang. Keep Calm and Enjoy Your Day. Akhir kata, semoga Tuhan melindungi bangsa ini dari orang-orang yang bahkan tidak adil sejak dalam pikiran.
Well, ternyata saya masih bisa mendoakan bangsa ini. Ternyata saya tidak apatis2 amat :)
Masyarakat terpolarisasi: kubu pro dan kubu kontra. Kata yang pro "gapapa lah, subsidi kemarin malah jatuh ke segelintir orang; orang-orang kaya," lalu "hutang kita sudah banyak, BBM harus dinaikkan" ada juga yang menyerimpetkan hal ini dengan masalah lain seperti "beli rokok aja kuat bung, masa beli bensin ga kuat" atau "beli kendaraan maha aja kuat, masa masih pakai premium, ga rela kalo dinaikkan" bla, bla, bla. Kubu kontra bilang, "oke, kalau sekarang kita harus membayar sendiri subsidi yang kemarin diberikan, semoga uang yang kita bayarkan jatuh ke tangan yang tepat, jangan disalahgunakan lagi. apalagi harga-harga pada naik juga." bla bla bla. Ya, saya dengan harga burjo pun mengikuti kurs minyak dunia dan melonjak seiring naiknya BBM sekarang ini.
Tahu apa yang ada dalam otak saya?
Saya muak dengan segala macam perdebatan, diskusi, dan analisis-analisis baik ilmiah maupun tidak ilmiah, pendapat berkelas maupun ngawur. Bukan muak juga sih, "muak" is a strong word, too strong buat orang yang kurang kritis seperti saya. Bosan, lebih tepatnya. Bosan juga dengan demo-demo bakar ban yang tidak ramah lingkungan dan bikin emosi saking stupid-nya.
Bagi saya, apapun kebijakannya, selama orang-orang masih berwatak curang, culas, kikir, suka korupsi, baik di tingkat rendahan maupun di tingkat atas.....tidak akan ada kebijakan yang bijak.
BBM disubsidi, dinaikkan, diturunkan, dikali, dibagi, dikuadratkan, bla bla bla....jika masih ada pihak yang korup (baik dalam Pemerintahan maupun dari kalangan rakyat sendiri) semua akan berakhir petaka.
Saya mungkin apatis. Tidak pro maupun kontra. Saya hanya bebal semua perdebatan tak berujung, strategi politik yang entah menguntungkan atau merugikan siapa. Bebal dengan demo-demo bakar ban, yang mungkin dilakukan oleh mahasiswa yang kalo di kelas ga tau apa-apa jadinya bakatnya ya bakar ban itu. Saya bersyukur masih ada mahasiswa yang santun menyuarakan pendapatnya.
Ah, yasudahlah. Kesannya kok jadi sewot sekali. Padahal ya saya masih mampu2 aja, fine2 kalo harga2 naik. Bahkan saya berniat untuk ganti Pertamax mulai sekarang. Saya cuma berdoa semoga kebijakan-kebijakan ini dibuat oleh orang-orang yang berakhlak baik dan Tuhan meridhoinya; bukan sebaliknya. Saya khawatir kalau yang terjadi malah sebaliknya.
Selamat hari Minggu. Selamat ganti Pertamax bagi yang tidak setuju Premium naik (kalo dihitung-hitung kayaknya lebih menguntungkan kalau sekalian ganti Pertamax) dan bagi yang setuju, Selamat juga karena akhirnya BBM dinaikkan, kalian pasti senang. Dan bagi yang mungkin kayak saya, golongan yang-sudah-terlalu-malas-untuk-memihak, jalani aja kebijakan baru ini dengan wajah tenang. Keep Calm and Enjoy Your Day. Akhir kata, semoga Tuhan melindungi bangsa ini dari orang-orang yang bahkan tidak adil sejak dalam pikiran.
Well, ternyata saya masih bisa mendoakan bangsa ini. Ternyata saya tidak apatis2 amat :)
Kamis, 20 Juni 2013
Catatan Kecil Kala Kucing Tertidur Di Sampingku
Kadang-kadang aku berpikir betapa hewan peliharaan mempunyai cinta yang begitu tulus kepada majikannya. Aku punya dua ekor kucing yang sangat kusayangi, namun kerap aku harus menyabet mereka dengan kain agar berhenti menyobek-nyobek sofa kesayangan orang tuaku. Tapi, tetap saja, di malam hari salah satu dari mereka -atau bahkan keduanya- akan naik ke tempat tidurku, berbaring melingkar sambil bersandar di perutku, dadaku, dan kadang-kadang juga di belakang punggungku. Hewan yang kita anggap bodoh, namun karena kebodohan itu mereka pun tidak mengingat-ingat kejahatan yang kita lakukan pada mereka. Saat kita mengulurkan tangan membelai kepala mereka, kesalahan kita termaafkan. Begitu kita menyajikan sepiring ikan di depan mereka, mereka akan tetap memakannya tanpa merasa jijik. Entah apakah itu karena mereka tidak punya harga diri –mau saja disuap dengan belaian atau makanan- atau karena mereka pemaaf? Manusia yang punya harga diri lebih tinggi kadang tak bisa menerima perbuatan baik orang lain yang telah melukai mereka. Apakah memang harga diri manusia lebih tinggi? Atau malah terlalu angkuh?
Rabu, 19 Juni 2013
Surat Keterangan Sehat
Karena saya pengen nulis tapi bingung apa yang mau ditulis, jadinya saya sembarang nulis aja.
Ceritanya hari Sabtu lalu saya melipir ke puskesmas kecamatan yang ada di dekat rumah saya. Kurang lebih jam 10.30 saya berangkat dari rumah. Sekitar 5 menit kemudian, saya udah di parkiran puskesmas. Melenggang masuk dengan santai, hati saya tidak segontai langkah saya yang lebar-lebar. Ciut juga rasanya melihat antrian bapak-ibu-balita-lansia di ruang tunggu. Saya mendatangi loket dan bertanya kepada perawat yang ada, "Mbak, kalau mau minta surat keterangan sehat gimana ya...?" Tanpa memandang saya, perawat itu langsung menjawab sekenanya, "Pendaftarannya udah tutup Mba, jam 10 tadi." Saya menoleh ke tempat registrasi dan...ya, saya baru lihat. Tulisannya TUTUP. Duh, kok bisa-bisanya saya lupa kalau hari Sabtu itu jam pelayanan puskesmas lebih singkat dari hari biasa.
Oke deh, saya akhirnya bermotor lagi, tapi entah kenapa saya malas pulang ke rumah. Saya pun dengan sangat impulsif mendatangi rumah sakit swasta yang juga terletak di dekat rumah saya. Siapa tahu bisa minta surat di sana, pikir saya. Lagipula, saya juga ingin tahu bagaimana sih rumah sakit itu. Saya biasanya lewat di depan rumah sakit tersebut dan melihat halamannya yang nyaman, dengan dua kursi taman model klasik yang ditempatkan di bawah pohon mungil. Penasaran, saya jambangi saja rumah sakit itu. Syukur-syukur bisa dapat surat juga.
Lobby sepi. Di kursi penunggu, hanya ada seorang lelaki paruh baya yang saya duga tengah menunggu salah satu keluarganya, mungkin anak atau istri, berobat. Tidak ada karyawan berseragam. Tapi ada seorang wanita yang duduk di depan loket registrasi sambil menggendong bayinya. "Ada yang bisa dibantu, Mba?" tanyanya. Saya bilang saja mau minta surat keterangan sehat. Kata wanita itu saya harus daftar dulu. Begitulah kemudian saya mengisi form pendaftaran dan menunggu sambil melihat acara yang diputar di televisi di ruang tunggu.
Tidak lama kemudian, seorang perawat berwajah ramah memanggil saya dan membawa saya ke ruang periksa. Dia sempat menanyakan,"Minta surat sehat buat apa Mba?" Saya jawab langsung, "Pendaftaran S2 Mba." Kemudian berbincang sedikit tentang kuliah S1 saya sebelumnya. Lalu mulai pemeriksaan pertama: berat badan. Saya naik ke timbangan. 40 kg. "Ya ampun, kecilnya," kata si perawat itu agak kaget. Saya cuma terkekeh. Seterusnya saya disuruh duduk di atas tempat tidur berwarna hijau. Perawat itu memeriksa tekanan darah saya. Saya tahu pasti ada yang aneh dengan tekanan darah saya ketika melihat ekspresi perawat itu. Mengerutkan kening dan mengulangi pemeriksaan sekali lagi. Dua kali lengan saya dililit dan ditekan-tekan dengan alat yang saya lupa namanya itu. "Rendah ya, Mba? Cuma 100/70" katanya. "Oh, memang rendah kayaknya," sahut saya, "sering pusing kalo bangun tidur." "Mau saya tulis normal atau rendah nih?" tanyanya. Sambil tertawa saya menjawab, "Tulis rendah aja gapapa Mba, yang penting masih bisa berfungsi baik dan sehat." "Sering-sering minum air putih ya," katanya. Saya memang jarang minum air putih. Oke, akan saya coba.
Selanjutnya, bertemu dengan dokter. Ternyata dokternya masih muda sekali, sepertinya belum ada 27 tahun. Perawat memberitahukan hasil pemeriksaan tadi. Dokter bertanya, "Tinggi badan?" "155" jawab saya. Lalu saya minta juga sekalian tes buta warna. Dokter itu keluar lagi mengambil alat tes buta warna: Tes Ishihara. Setelah mengetes saya kurang lebih 5 menit, dokter menulis lembar surat keterangan sehat dan...selesai. Saya keluar lagi menunggu surat untuk saya yang sudah jadi.
Begitu nama saya dipanggil di loket pembayaran, saya diberikan kartu pasien dan juga surat keterangan sehat. Selain itu ada rincian pelayanan. Pemeriksaan medis 35.000. Administrasi 15.000. Total 50.000. Padahal kalo di puskesmas cuma 8.000 doang. Ah, yasudahlah. Hitung2 pengalaman juga.
Setelah membayar, saya pulang (ga pulang dink, habis itu saya ke bengkel nyervis motor) dengan tas berisi bukti pembayaran dan sehelai kecil Surat Keterangan Sehat dan Tidak Buta Warna seharga 50.000.....
Ceritanya hari Sabtu lalu saya melipir ke puskesmas kecamatan yang ada di dekat rumah saya. Kurang lebih jam 10.30 saya berangkat dari rumah. Sekitar 5 menit kemudian, saya udah di parkiran puskesmas. Melenggang masuk dengan santai, hati saya tidak segontai langkah saya yang lebar-lebar. Ciut juga rasanya melihat antrian bapak-ibu-balita-lansia di ruang tunggu. Saya mendatangi loket dan bertanya kepada perawat yang ada, "Mbak, kalau mau minta surat keterangan sehat gimana ya...?" Tanpa memandang saya, perawat itu langsung menjawab sekenanya, "Pendaftarannya udah tutup Mba, jam 10 tadi." Saya menoleh ke tempat registrasi dan...ya, saya baru lihat. Tulisannya TUTUP. Duh, kok bisa-bisanya saya lupa kalau hari Sabtu itu jam pelayanan puskesmas lebih singkat dari hari biasa.
Oke deh, saya akhirnya bermotor lagi, tapi entah kenapa saya malas pulang ke rumah. Saya pun dengan sangat impulsif mendatangi rumah sakit swasta yang juga terletak di dekat rumah saya. Siapa tahu bisa minta surat di sana, pikir saya. Lagipula, saya juga ingin tahu bagaimana sih rumah sakit itu. Saya biasanya lewat di depan rumah sakit tersebut dan melihat halamannya yang nyaman, dengan dua kursi taman model klasik yang ditempatkan di bawah pohon mungil. Penasaran, saya jambangi saja rumah sakit itu. Syukur-syukur bisa dapat surat juga.
Lobby sepi. Di kursi penunggu, hanya ada seorang lelaki paruh baya yang saya duga tengah menunggu salah satu keluarganya, mungkin anak atau istri, berobat. Tidak ada karyawan berseragam. Tapi ada seorang wanita yang duduk di depan loket registrasi sambil menggendong bayinya. "Ada yang bisa dibantu, Mba?" tanyanya. Saya bilang saja mau minta surat keterangan sehat. Kata wanita itu saya harus daftar dulu. Begitulah kemudian saya mengisi form pendaftaran dan menunggu sambil melihat acara yang diputar di televisi di ruang tunggu.
Tidak lama kemudian, seorang perawat berwajah ramah memanggil saya dan membawa saya ke ruang periksa. Dia sempat menanyakan,"Minta surat sehat buat apa Mba?" Saya jawab langsung, "Pendaftaran S2 Mba." Kemudian berbincang sedikit tentang kuliah S1 saya sebelumnya. Lalu mulai pemeriksaan pertama: berat badan. Saya naik ke timbangan. 40 kg. "Ya ampun, kecilnya," kata si perawat itu agak kaget. Saya cuma terkekeh. Seterusnya saya disuruh duduk di atas tempat tidur berwarna hijau. Perawat itu memeriksa tekanan darah saya. Saya tahu pasti ada yang aneh dengan tekanan darah saya ketika melihat ekspresi perawat itu. Mengerutkan kening dan mengulangi pemeriksaan sekali lagi. Dua kali lengan saya dililit dan ditekan-tekan dengan alat yang saya lupa namanya itu. "Rendah ya, Mba? Cuma 100/70" katanya. "Oh, memang rendah kayaknya," sahut saya, "sering pusing kalo bangun tidur." "Mau saya tulis normal atau rendah nih?" tanyanya. Sambil tertawa saya menjawab, "Tulis rendah aja gapapa Mba, yang penting masih bisa berfungsi baik dan sehat." "Sering-sering minum air putih ya," katanya. Saya memang jarang minum air putih. Oke, akan saya coba.
Selanjutnya, bertemu dengan dokter. Ternyata dokternya masih muda sekali, sepertinya belum ada 27 tahun. Perawat memberitahukan hasil pemeriksaan tadi. Dokter bertanya, "Tinggi badan?" "155" jawab saya. Lalu saya minta juga sekalian tes buta warna. Dokter itu keluar lagi mengambil alat tes buta warna: Tes Ishihara. Setelah mengetes saya kurang lebih 5 menit, dokter menulis lembar surat keterangan sehat dan...selesai. Saya keluar lagi menunggu surat untuk saya yang sudah jadi.
Begitu nama saya dipanggil di loket pembayaran, saya diberikan kartu pasien dan juga surat keterangan sehat. Selain itu ada rincian pelayanan. Pemeriksaan medis 35.000. Administrasi 15.000. Total 50.000. Padahal kalo di puskesmas cuma 8.000 doang. Ah, yasudahlah. Hitung2 pengalaman juga.
Setelah membayar, saya pulang (ga pulang dink, habis itu saya ke bengkel nyervis motor) dengan tas berisi bukti pembayaran dan sehelai kecil Surat Keterangan Sehat dan Tidak Buta Warna seharga 50.000.....
Senin, 10 Juni 2013
Selera
Kadang masih bingung kenapa ada orang yang disebut punya selera yang tinggi dan selera yang rendah. Apakah selera punya alat ukur tersendiri yang valid dan reliabel? Apa ada "Skala Selera" begitu? Apa ada "Skala Selera Humor", "Skala Selera Berpakaian", atau bahkan "Skala Selera Musik"?
Bukan hanya itu. Sebenarnya apa saja sih aspek-aspek dari selera humor, fashion, musik, dll itu? Kalau mau mengukur suatu variabel. kita pasti harus tahu kan aspek atau indikator apa saja yang ada dalam variabel tersebut?
Bagi saya sih, selera bukan stratifikasi, tapi lebih sebagai diferensiasi. Selera orang berbeda-beda. "Selera tidak dapat diperdebatkan" adalah satu hal yang saya pelajari di mata kuliah Filsafat Umum waktu semester 1 dulu (dan satu-satunya materi yang nyantol di otak saya). Jadi ga perlu ya sepertinya mengukur selera seseorang tinggi atau rendah.
Sepertinya akan lebih tepat jika selera itu dideskripsikan, bukan diukur. Misalnya: "selera humornya cerdas"". Bisa juga "selera musiknya lembut". Mungkin juga bisa kita bilang "selera berpakaiannya unik, seksi, dll".
Ah, trus ngapain juga saya memperdebatkan pengertian "selera" ini?
Selamat menunaikan selera masing-masing :)
Bukan hanya itu. Sebenarnya apa saja sih aspek-aspek dari selera humor, fashion, musik, dll itu? Kalau mau mengukur suatu variabel. kita pasti harus tahu kan aspek atau indikator apa saja yang ada dalam variabel tersebut?
Bagi saya sih, selera bukan stratifikasi, tapi lebih sebagai diferensiasi. Selera orang berbeda-beda. "Selera tidak dapat diperdebatkan" adalah satu hal yang saya pelajari di mata kuliah Filsafat Umum waktu semester 1 dulu (dan satu-satunya materi yang nyantol di otak saya). Jadi ga perlu ya sepertinya mengukur selera seseorang tinggi atau rendah.
Sepertinya akan lebih tepat jika selera itu dideskripsikan, bukan diukur. Misalnya: "selera humornya cerdas"". Bisa juga "selera musiknya lembut". Mungkin juga bisa kita bilang "selera berpakaiannya unik, seksi, dll".
Ah, trus ngapain juga saya memperdebatkan pengertian "selera" ini?
Selamat menunaikan selera masing-masing :)
Jumat, 31 Mei 2013
'Cause Everybody's Changing...
"Semua hal berubah, kecuali perubahan itu sendiri."
Ya, itu benar.
Kita semua berubah, bahkan yang paling konsisten dari kita pun pasti pernah berubah walau tidak signifikan. Kalau kata Dumbledore, bahkan orang yang paling bijaksana pun terkadang perlu menarik kembali perkataannya. Perubahan adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari.
Saya pun begitu.
Kadang-kadang, saya membongkar lemari meja belajar ketika bersih-bersih, dan menemukan diary lama ketika SD, SMP, SMA. Menemukan hasil tes IQ waktu SMP dan SMA. Menemukan kliping-kliping artis idola saya. Lalu saya tersenyum-senyum sendiri.
Betapa saya berubah begitu banyak.
Waktu saya membaca kembali diary ketika SD, ada terbesit sedikit rasa sedih ketika membacanya (tampaknya dulu saya bukan seorang anak yang bahagia; cenderung penyendiri dan kaku, pemurung dan merasa bersalah) namun di sisi lain ada rasa bahagia ketika melihat diri saya sekarang, yang sudah jauh lebih bahagia :)
Begitu juga waktu saya membaca diary SMP dan SMA. Well, harus saya akui, waktu SMP, saya punya pemikiran yang rumit untuk anak seusia saya waktu itu, idealis, anti-mainstream, kaku (yang membuat saya sempat mengalami masa-masa bullying) dan....konsep diri yang buruk. Things got better ketika SMA. Saya sudah menjadi seorang gadis yang sedikit lebih fleksibel, mau membuka diri, dan jauh lebih supel daripada sebelumnya. Perjalanan saya menuju aktualisasi diri baru saja dimulai. Pemikiran-pemikiran saya tentang kehidupan jauh lebih dewasa dan bijaksana, lebih dalam, dan lebih positif. Tapi memang sih, di balik semua perubahan itu, saya masih seorang yang introvert. Hanya saja lebih bisa membawa diri di situasi sosial. Saya ketika SMA adalah seorang gadis yang jauh lebih hangat daripada saya waktu SMP.
Bahkan, hasil tes IQ pun berubah.
Saya melihat IQ saya waktu SMP: 113. Lalu saya bandingkan dengan IQ waktu SMA: 121. Tampaknya saya lebih pintar ketika SMA daripada ketika SMP -.-
Tapi saya tidak tahu IQ saya sekarang berapa. Semoga saja bisa melampaui batas standar tes masuk S2; itu yang utama.
Abova all, walaupun saya berubah, selalu, saya tetaplah saya. Karena manusia berubah. Berubah bukan berarti menjadi orang lain; kamu ya tetap kamu, tapi kamu yang berbeda. Segala aksi yang kamu lakukan tetap dalam kuasa rasio dan emosimu; pikiran dan perasaanmu tetaplah milikmu. Terlalu naif rasanya jika menghakimi perubahan yang mutlak adanya. Hmm...asalkan agama dan keyakinan terhadap Tuhan tidak berubah.
Saya rasa, kata-kata dari novelis Neil Gaiman yang saya kutip dari novelnya yang baru saya baca, The Graveyard Book (novel keren, wajib baca!) ini bisa mejadi penutup buat posting ini:
“You're always you, and that don't change, and you're always changing, and there's nothing you can do about it.”
Minggu, 26 Mei 2013
Finally! :D
Aaaaahhhhh.....sudah lama sekali tidak membuka kotak penyimpanan yang sudah hampir usang ini! :D
Saatnya mengaktifkan kembali sistem-menulis-blog di otak saya. Saya bisa membayangkan bagian otak yang saya gunakan ketika menulis blog mulai berkedap-kedip dengan aktif.
Oke, dimulai dengan kalimat ini:
Resolusi yang saya tulis kemarin akhirnya menjadi kenyataan :D
Kalau belum tahu resolusi yang mana, yaitu resolusi yang saya tulis di beberapa postingan sebelumnya, yang berjudul S(u)atu Resolusi. Lupa? Tinggal scroll-down saja laman blog ini (ra penting).
Finally, skripsi saya sudah selesai. Perjuangan bolak-balik rumah sakit jiwa dan berkelana di rumah sakit lainnya, fotokopi yang mencapai total seratusan angket (yang banyak tersisa di kamar saya dan saya niatkan untuk diloak ketika tiba-tiba jatuh bangkrut), melewati tantangan printer yang rusak, dan juga setelah melewati sidang di pagi hari selama satu setengah jam pada tanggal 25 April 2013......berbuah manis. Keringat yang saya kucurkan terasa manis juga rasanya.
Beberapa hari sebelum sidang, saya sempat dicengkeram rasa cemas. Rasanya seperti jantung saya diremas setiap mengingat tanggal 25 April 2013 pukul 08.00. Perut saya terasa aneh seperti ada sesuatu yang terbang di dalamnya, bukan lagi kupu-kupu, tetapi sesuatu yang lebih besar dan tidak mengenakkan, walaupun tidak membuat saya mual. Tapi, ketika setelah sidang, saya mendengar DPS saya berkata, "Selamat, Nadya. Perjuangan panjang akhirnya selesai...kamu dinyatakan lulus..." (kedua tangan saya mencengkeram tepi meja di ruang sidang ketika mendengar kata ini) "dengan perbaikan."
Wow, rasanya lega. Revisi? Tak apalah. Wajar terjadi.
Namun perjuangan belum selesai. Saya menyelesaikan revisi sekitar seminggu, berburu tanda tangan dosen yang akan segera cus ke Aussie, meminta lembar pengesahan, berburu tanda tangan lagi, menjilid skripsi, menunggu dengan pasrah tanda tangan dari dekan, menyerahkan soft file skripsi ke perpus, mengumpulkan scan sertfikat non-akademik sebagai syarat yudisium, dan.....sekarang saya dalam posisi menunggu keluarnya Surat Keterangan Lulus (SKL) yang akan saya gunakan untuk mendaftar S2. Yah, wisuda saya masih sekitar 3 bulan lagi dan saya sudah membeli kain untuk kebaya wisuda, hahahahahaha. Saya masih galau mau mendesain kebaya yang seperti apa -__-
Anyway, lulus itu ternyata biasa saja, kalau menurut saya sih. Rasa bangga dan gembiranya hanya ketika diumumkan lulus sidang dan mungkin, ketika wisuda nanti. Mmmm, dan ketika saya melihat skripsi saya yang sudah dijilid (wow, keren, ini masterpiece yang saya hasilkan selama kuliah!). Selain itu rasanya biasa saja. Amat biasa saja.
Perjalanan masih panjang untuk diri saya ke depan; saya baru saja memulainya. Hidup tetap berjalan. Target-target akan disusun, harapan-harapan akan dihantarkan lewat doa, dan usaha-usaha yang lebih gigih akan dibutuhkan. Akan ada orang-orang baru untuk dikenal, tempat-tempat baru untuk dijelajahi atau sekedar didatangi, pengalaman-pengalaman baru, pahit dan manis, yang perlu dicecap untu menjadikan saya lebih dewasa. Saya merasa bergairah sekaligus deg-degan.
Selamat datang, petualangan baru :)
Karena saya orang yang seringkali "bejo", saya akan menambahkan: Semoga beruntung!
*cheers!*
Saatnya mengaktifkan kembali sistem-menulis-blog di otak saya. Saya bisa membayangkan bagian otak yang saya gunakan ketika menulis blog mulai berkedap-kedip dengan aktif.
Oke, dimulai dengan kalimat ini:
Resolusi yang saya tulis kemarin akhirnya menjadi kenyataan :D
Kalau belum tahu resolusi yang mana, yaitu resolusi yang saya tulis di beberapa postingan sebelumnya, yang berjudul S(u)atu Resolusi. Lupa? Tinggal scroll-down saja laman blog ini (ra penting).
Finally, skripsi saya sudah selesai. Perjuangan bolak-balik rumah sakit jiwa dan berkelana di rumah sakit lainnya, fotokopi yang mencapai total seratusan angket (yang banyak tersisa di kamar saya dan saya niatkan untuk diloak ketika tiba-tiba jatuh bangkrut), melewati tantangan printer yang rusak, dan juga setelah melewati sidang di pagi hari selama satu setengah jam pada tanggal 25 April 2013......berbuah manis. Keringat yang saya kucurkan terasa manis juga rasanya.
Beberapa hari sebelum sidang, saya sempat dicengkeram rasa cemas. Rasanya seperti jantung saya diremas setiap mengingat tanggal 25 April 2013 pukul 08.00. Perut saya terasa aneh seperti ada sesuatu yang terbang di dalamnya, bukan lagi kupu-kupu, tetapi sesuatu yang lebih besar dan tidak mengenakkan, walaupun tidak membuat saya mual. Tapi, ketika setelah sidang, saya mendengar DPS saya berkata, "Selamat, Nadya. Perjuangan panjang akhirnya selesai...kamu dinyatakan lulus..." (kedua tangan saya mencengkeram tepi meja di ruang sidang ketika mendengar kata ini) "dengan perbaikan."
Wow, rasanya lega. Revisi? Tak apalah. Wajar terjadi.
Namun perjuangan belum selesai. Saya menyelesaikan revisi sekitar seminggu, berburu tanda tangan dosen yang akan segera cus ke Aussie, meminta lembar pengesahan, berburu tanda tangan lagi, menjilid skripsi, menunggu dengan pasrah tanda tangan dari dekan, menyerahkan soft file skripsi ke perpus, mengumpulkan scan sertfikat non-akademik sebagai syarat yudisium, dan.....sekarang saya dalam posisi menunggu keluarnya Surat Keterangan Lulus (SKL) yang akan saya gunakan untuk mendaftar S2. Yah, wisuda saya masih sekitar 3 bulan lagi dan saya sudah membeli kain untuk kebaya wisuda, hahahahahaha. Saya masih galau mau mendesain kebaya yang seperti apa -__-
Anyway, lulus itu ternyata biasa saja, kalau menurut saya sih. Rasa bangga dan gembiranya hanya ketika diumumkan lulus sidang dan mungkin, ketika wisuda nanti. Mmmm, dan ketika saya melihat skripsi saya yang sudah dijilid (wow, keren, ini masterpiece yang saya hasilkan selama kuliah!). Selain itu rasanya biasa saja. Amat biasa saja.
Perjalanan masih panjang untuk diri saya ke depan; saya baru saja memulainya. Hidup tetap berjalan. Target-target akan disusun, harapan-harapan akan dihantarkan lewat doa, dan usaha-usaha yang lebih gigih akan dibutuhkan. Akan ada orang-orang baru untuk dikenal, tempat-tempat baru untuk dijelajahi atau sekedar didatangi, pengalaman-pengalaman baru, pahit dan manis, yang perlu dicecap untu menjadikan saya lebih dewasa. Saya merasa bergairah sekaligus deg-degan.
Selamat datang, petualangan baru :)
Karena saya orang yang seringkali "bejo", saya akan menambahkan: Semoga beruntung!
*cheers!*
Minggu, 31 Maret 2013
Posting Random Untuk Kesekian Kalinya
Sejak beberapa hari lalu, waktu saya banyak tercurahkan untuk skripsi yang selama ini saya enyahkan sementara dari pikiran. Input, analisis data, dan segala macam hal berkaitan dengan skripsi membuat saya berkeringat. Sekarang pun baru saja saya bersantai sejenak dari kegiatan menulis Bab 4.
Memang pada dasarnya saya tidak betah kerja berjam-jam dengan hal yang sama tanpa selingan. Jadi, alih-alih meneruskan, saya meninggalkan tab berjudul "Bab 4" dan membuat tab baru. Menulis sebuah file berjudul "Halaman Motto" -__-
Yah, bagaimana lagi. Daripada bosan, mendingan saya nyicil halaman motto. Setelah itu, saya nyicil nulis Halaman Persembahan, ahahaha.....
Oke. Sudah malam. Waktunya tidur. Sepertinya menulis Bab 4 membuat saya agak korslet.
Memang pada dasarnya saya tidak betah kerja berjam-jam dengan hal yang sama tanpa selingan. Jadi, alih-alih meneruskan, saya meninggalkan tab berjudul "Bab 4" dan membuat tab baru. Menulis sebuah file berjudul "Halaman Motto" -__-
Yah, bagaimana lagi. Daripada bosan, mendingan saya nyicil halaman motto. Setelah itu, saya nyicil nulis Halaman Persembahan, ahahaha.....
Oke. Sudah malam. Waktunya tidur. Sepertinya menulis Bab 4 membuat saya agak korslet.
Minggu, 20 Januari 2013
A Simple Thought
Somehow, I tend to believe that things work in a continuum. Sometimes you're a bad person, sometimes you're a good one. It moves from time to time, either backward or forward. Everything has its own extreme point; either it's positive or negative.
All we can do is to stay in a good point as long as we can; we can move backward, change into a less strong, less stable person than we used to be, we have to take a rest sometimes. But remember, do not waste our time just to make excuses and withdraw from the reality, from the roles we have to take in daily life.
Because no one is too weak to fight for himself. And no one is too bad to be a better person.
All we can do is to stay in a good point as long as we can; we can move backward, change into a less strong, less stable person than we used to be, we have to take a rest sometimes. But remember, do not waste our time just to make excuses and withdraw from the reality, from the roles we have to take in daily life.
Because no one is too weak to fight for himself. And no one is too bad to be a better person.
Rabu, 09 Januari 2013
Kita Romantis
Kemarin, kita berdua datang ke bioskop untuk menonton film yang fenomenal itu: Habibie & Ainun.
Film yang romantis.
Ekspektasiku tentu saja kita juga akan menjadi romantis karena menonton film itu.
Bahkan sebelum menonton pun kita sudah romantis.
Saat di antrian, aku melihat lehermu meliuk ke seberang antrian; sebuah gestur kecil yang agak mencurigakan. Ya, aku tahu di sana berdiri seorang gadis cantik berambut panjang mengenakan mini-dress berwarna biru. Aku pun tadi melihatnya dan berpikir bahwa dia gadis yang cantik. Dalam hati aku tersenyum: tentunya mata lelaki lebih jeli melihatnya.
Aku bertanya padamu: "Hayoo...lagi liat apa?"
Kau menjawab: "Nggak..."
Aku tertawa kecil sambil menambahkan: "Lagi laitin cewek yaaaa...???"
Kau tertawa geli, memandang ke arahku dan berkata: "Yaaahh....ketahuan deh..."
"Nakal ya..." ledekku sambil meninju lenganmu dengan main-main.
Dan kita berdua tertawa.
Bagiku, itu romantis.
Saat film sudah menjelang akhir, keromantisan itu masih ada. Kita melihat Ainun yang divonis kanker dan hendak menjalani operasi. Tiba-tiba kau berkata, berbisik ke telingaku: "Tuh...jadi sakit deh, gara-gara kebanyakan makan choco***** sih..." kau menyebutkan salah satu merek makanan yang menjadi sponsor di film itu, yang kehadirannya sedikit mengganggu jalan cerita yang bersetting jadul. Aku yang tadinya agak sedih karena terbawa suasana kini tertawa terpingkal-pingkal bersamamu sambil menutupi mulutku agar suara tawa kita tidak mengganggu penonton lain.
Bagiku, itu romantis.
Aku tidak begitu paham apakah romantis itu memiliki definisi tersendiri, atau itu tergantung pemaknaan masing-masing. Yang pasti, aku merasa pantas mengatakan bahwa kita romantis, mungkin dalam cara kita sendiri. Bahkan kurasa apapun yang kita lakukan bisa disebut romantis, haha.
Ya, kita romantis :)
Film yang romantis.
Ekspektasiku tentu saja kita juga akan menjadi romantis karena menonton film itu.
Bahkan sebelum menonton pun kita sudah romantis.
Saat di antrian, aku melihat lehermu meliuk ke seberang antrian; sebuah gestur kecil yang agak mencurigakan. Ya, aku tahu di sana berdiri seorang gadis cantik berambut panjang mengenakan mini-dress berwarna biru. Aku pun tadi melihatnya dan berpikir bahwa dia gadis yang cantik. Dalam hati aku tersenyum: tentunya mata lelaki lebih jeli melihatnya.
Aku bertanya padamu: "Hayoo...lagi liat apa?"
Kau menjawab: "Nggak..."
Aku tertawa kecil sambil menambahkan: "Lagi laitin cewek yaaaa...???"
Kau tertawa geli, memandang ke arahku dan berkata: "Yaaahh....ketahuan deh..."
"Nakal ya..." ledekku sambil meninju lenganmu dengan main-main.
Dan kita berdua tertawa.
Bagiku, itu romantis.
Saat film sudah menjelang akhir, keromantisan itu masih ada. Kita melihat Ainun yang divonis kanker dan hendak menjalani operasi. Tiba-tiba kau berkata, berbisik ke telingaku: "Tuh...jadi sakit deh, gara-gara kebanyakan makan choco***** sih..." kau menyebutkan salah satu merek makanan yang menjadi sponsor di film itu, yang kehadirannya sedikit mengganggu jalan cerita yang bersetting jadul. Aku yang tadinya agak sedih karena terbawa suasana kini tertawa terpingkal-pingkal bersamamu sambil menutupi mulutku agar suara tawa kita tidak mengganggu penonton lain.
Bagiku, itu romantis.
Aku tidak begitu paham apakah romantis itu memiliki definisi tersendiri, atau itu tergantung pemaknaan masing-masing. Yang pasti, aku merasa pantas mengatakan bahwa kita romantis, mungkin dalam cara kita sendiri. Bahkan kurasa apapun yang kita lakukan bisa disebut romantis, haha.
Ya, kita romantis :)
Kamis, 03 Januari 2013
S(u)atu Resolusi
Ah, entri pertama di tahun 2013.
Apa yang akan saya isi untuk mengawali tahun yang baru saja berjalan beberapa hari ini? Ya? Apa? Hmm. Oke. Resolusi. Dan apa salah satu resolusi saya? Lulus. Bagaimana caranya lulus? Ya selesaikan skripsimu bocaaah!!!!
Skripsi. Satu kata yang netral. Namun menjadi tidak netral alias bermasalah ketika ada kesenjangan antara idealita dan realita. Awalnya saya menargetkan Januari sudah selesai. Apa mau dikata, banyak halangan, eh maaf, TANTANGAN, di sana-sini. Sebenarnya hati saya pun sudah berbisik "Udah terima aja...molor." It's ok. Sebenarnya saya juga tidak terlalu kecewa. Walaupun idealita dan realita tak sejalan, idealita saya tentang skripsi yang harusnya sudah selesai ini tidak terlalu kaku. Ekspektasi saya toh masih dalam batas wajar. Jadi begitu tahu bahwa saya mungkin akan wisuda Mei, it's alright.
Yang jelas, kapanpun saya mengingat skripsi saya, saya juga mencoba mengingat passion saya yang membuat saya mengambil tema skrpsi yang cukup rumit ini. Lulus cepat dan skripsi yang hebat bukanlah dua hal yang berlawanan; mereka bisa sejalan tanpa ada yang dikorbankan. Akan tetapi, dalam kasus saya, waktu tampaknya harus dikorbankan untuk mendapatkan skripsi yang hebat, yang pada akhirnya, membuat waktu yang saya investasikan di skripsi masterpiece ini terasa berharga. Worth it.
Saya memejamkan mata sesaat dan membayangkan hasil akhir karya saya sebagai mahasiswa S1. Saya tidak ingin itu hanya karya biasa. Saya ingin yang luar biasa. Rasanya sayang jika hasil belajar dan inevstasi orang tua saya di ranah pendidikan saya sejauh ini hanya berakhir dengan jilidan skripsi biasa-biasa saja. Walaupun mungkin orang tua saya tidak begitu peduli kualitas skripsi (tentu saja yang penting lulus), saya juga punya value pribadi, di mana saya ingin menjadikan karya ini menjadi sebuah karya yang bisa dikenang. A masterpiece. Jadi, saya ingin membuat bangga tidak hanya diri saya sendiri, tidak hanya orang tua saya sendiri, melainkan keduanya.
Ini adalah sebuah entri tentang s(u)atu resolusi. Anggaplah ini sebagai sebuah kertas bertuliskan mimpi, yang saya tempel di ruangan pribadi saya. Dan semoga suatu saat, saya bisa membuat sekuel dari entri ini: betapa masterpiece saya telah selesai dan menjadi sebuah karya yang tak terlupakan.
Apa yang akan saya isi untuk mengawali tahun yang baru saja berjalan beberapa hari ini? Ya? Apa? Hmm. Oke. Resolusi. Dan apa salah satu resolusi saya? Lulus. Bagaimana caranya lulus? Ya selesaikan skripsimu bocaaah!!!!
Skripsi. Satu kata yang netral. Namun menjadi tidak netral alias bermasalah ketika ada kesenjangan antara idealita dan realita. Awalnya saya menargetkan Januari sudah selesai. Apa mau dikata, banyak halangan, eh maaf, TANTANGAN, di sana-sini. Sebenarnya hati saya pun sudah berbisik "Udah terima aja...molor." It's ok. Sebenarnya saya juga tidak terlalu kecewa. Walaupun idealita dan realita tak sejalan, idealita saya tentang skripsi yang harusnya sudah selesai ini tidak terlalu kaku. Ekspektasi saya toh masih dalam batas wajar. Jadi begitu tahu bahwa saya mungkin akan wisuda Mei, it's alright.
Yang jelas, kapanpun saya mengingat skripsi saya, saya juga mencoba mengingat passion saya yang membuat saya mengambil tema skrpsi yang cukup rumit ini. Lulus cepat dan skripsi yang hebat bukanlah dua hal yang berlawanan; mereka bisa sejalan tanpa ada yang dikorbankan. Akan tetapi, dalam kasus saya, waktu tampaknya harus dikorbankan untuk mendapatkan skripsi yang hebat, yang pada akhirnya, membuat waktu yang saya investasikan di skripsi masterpiece ini terasa berharga. Worth it.
Saya memejamkan mata sesaat dan membayangkan hasil akhir karya saya sebagai mahasiswa S1. Saya tidak ingin itu hanya karya biasa. Saya ingin yang luar biasa. Rasanya sayang jika hasil belajar dan inevstasi orang tua saya di ranah pendidikan saya sejauh ini hanya berakhir dengan jilidan skripsi biasa-biasa saja. Walaupun mungkin orang tua saya tidak begitu peduli kualitas skripsi (tentu saja yang penting lulus), saya juga punya value pribadi, di mana saya ingin menjadikan karya ini menjadi sebuah karya yang bisa dikenang. A masterpiece. Jadi, saya ingin membuat bangga tidak hanya diri saya sendiri, tidak hanya orang tua saya sendiri, melainkan keduanya.
Ini adalah sebuah entri tentang s(u)atu resolusi. Anggaplah ini sebagai sebuah kertas bertuliskan mimpi, yang saya tempel di ruangan pribadi saya. Dan semoga suatu saat, saya bisa membuat sekuel dari entri ini: betapa masterpiece saya telah selesai dan menjadi sebuah karya yang tak terlupakan.
Jumat, 28 Desember 2012
Kebenaran yang Abu-abu?
Saat ini, sulit rasanya memutuskan mana yang benar dan mana yang salah, relativitas suatu kebenaran kadang-kadang membuat pusing. Atau mungkin sebenarnya kebenaran itu tidak relatif? Mungkin kebenaran tampak relatif hanya karena manusia selalu menggunakan pembenaran versi mereka sendiri? Bisa jadi. Tapi toh belum tentu pendapat saya ini benar. Ah, zona abu-abu yang semakin melebar.
Kini, hampir semua hal berwarna abu-abu. Abu-abu. Ke mana si putih? Ke mana si hitam? Mereka kerap disalahkan. Si putih disalahkan karena terlalu bersih tanpa noda. Si hitam disalahkan karena jelas-jelas tanpa cahaya. Ekstrim. Maka, berbondong-bondong kita pindah ke zona yang tampaknya paling bijaksana, yakni abu-abu. Namun sampai kapan kita nyaman memakai warna abu-abu ini? Gamangkah kita jika terus menerus menjadi abu-abu? Berada di antara hitam dan putih, kadang-kadang terkesan tidak memberikan kejelasan sama sekali.
Ya, mungkin memang benar (mungkin, lagi-lagi karena bisa saja ini tidak benar) bahwa tidak ada hal yang 100% benar dan 100% salah. Tapi apakah kalimat "tidak ada kebenaran 100% dan kesalahan 100% ini benar? Bisa jadi salah. Jadi, intinya, apa itu kebenaran? Apa kebenaran itu adalah sesuatu yang utopis, bahwa sebenarnya dunia yang payah ini tidak menawarkan sedikit pun kebenaran? Jadi, mana yang benar, sebenarnya? Tidak ada? Bingung. Ya, bingung.
Akhir kata: Apakah semua kebingungan saya ini benar atau salah? Kalau ada yang menjawab relatif (suatu komentar abu-abu yang paling mainstream), apakah jawabannya itu benar atau salah?
Saya yakin pertanyaan ini tidak akan bisa dijawab, karena manusia sendiri sedang krisis dalam membedakan benar dan salah. Kita ternyata belum akil-baligh. Oh, tunggu sebentar. Belum tentu yang saya nyatakan ini benar. Mungkin saya hanya memberikan pembenaran atas perkataan saya...
Yah, mungkin inilah sebabnya manusia membutuhkan petunjuk dalam hidupnya. Seperti yang bisa dilihat, semua kebingungan ini sungguh menyesatkan....
Kini, hampir semua hal berwarna abu-abu. Abu-abu. Ke mana si putih? Ke mana si hitam? Mereka kerap disalahkan. Si putih disalahkan karena terlalu bersih tanpa noda. Si hitam disalahkan karena jelas-jelas tanpa cahaya. Ekstrim. Maka, berbondong-bondong kita pindah ke zona yang tampaknya paling bijaksana, yakni abu-abu. Namun sampai kapan kita nyaman memakai warna abu-abu ini? Gamangkah kita jika terus menerus menjadi abu-abu? Berada di antara hitam dan putih, kadang-kadang terkesan tidak memberikan kejelasan sama sekali.
Ya, mungkin memang benar (mungkin, lagi-lagi karena bisa saja ini tidak benar) bahwa tidak ada hal yang 100% benar dan 100% salah. Tapi apakah kalimat "tidak ada kebenaran 100% dan kesalahan 100% ini benar? Bisa jadi salah. Jadi, intinya, apa itu kebenaran? Apa kebenaran itu adalah sesuatu yang utopis, bahwa sebenarnya dunia yang payah ini tidak menawarkan sedikit pun kebenaran? Jadi, mana yang benar, sebenarnya? Tidak ada? Bingung. Ya, bingung.
Akhir kata: Apakah semua kebingungan saya ini benar atau salah? Kalau ada yang menjawab relatif (suatu komentar abu-abu yang paling mainstream), apakah jawabannya itu benar atau salah?
Saya yakin pertanyaan ini tidak akan bisa dijawab, karena manusia sendiri sedang krisis dalam membedakan benar dan salah. Kita ternyata belum akil-baligh. Oh, tunggu sebentar. Belum tentu yang saya nyatakan ini benar. Mungkin saya hanya memberikan pembenaran atas perkataan saya...
Yah, mungkin inilah sebabnya manusia membutuhkan petunjuk dalam hidupnya. Seperti yang bisa dilihat, semua kebingungan ini sungguh menyesatkan....
Kamis, 20 Desember 2012
Karena Manusia Itu Begitu Kecil
Manusia memang kecil.
Kalau saya melihat langit di luar sambil melamun, membayangkan atmosfir yang membungkus bumi, planet lain, rasi bintang lain, galaksi lain....BAM! Saya merasa sangaaaaaaaaat kecil. Tapi saya tidak sedih. Kadang-kadang saya tersenyum sendiri.
Karena kita begitu kecil dan ringan, buat apa kita merasa berat?
Kalau saya melihat langit di luar sambil melamun, membayangkan atmosfir yang membungkus bumi, planet lain, rasi bintang lain, galaksi lain....BAM! Saya merasa sangaaaaaaaaat kecil. Tapi saya tidak sedih. Kadang-kadang saya tersenyum sendiri.
Karena kita begitu kecil dan ringan, buat apa kita merasa berat?
Rabu, 21 November 2012
Coraline Contemplation
"Ayolah. Siapa namamu?" tanya Coraline pada si kucing. "Namaku Coraline. Oke?"
Si kucing menguap perlahan-lahan dengan hati-hati, memperlihatkan mulut dan lidahnya yang sangat merah jambu. "Kucing tidak punya nama," katanya.
"Tidak punya?" kata Coraline.
"Tidak," sahut si kucing. "Kalian, manusia, punya nama. Sebab kalian tidak tahu siapa diri kalian. Kami tahu siapa kami, jadi kami tidak butuh nama."
.....
"Udara penuh dengan tawon-tawon kuning. Tadi kami pasti menginjak sarang tawon yang ada di ranting yang sudah busuk, waktu kami berjalan. Sementara aku lari mendaki bukit, ayahku tetap di tempatnya, disengati tawon, supaya aku sempat melarikan diri. Kacamatanya terjatuh waktu dia lari."
"Nah," kata Coraline, "menjelang sore itu, ayahku kembali ke lapangan kosong tadi, untuk mengambil kacamatanya. Katanya kalau kacamata itu dibiarkannya di situ sehari saja, dia tidak bakal ingat di mana kacamatanya itu jatuh."
"Tidak lama kemudian, dia pulang, sudah menegnakan kacamatanya. Dia bilang dia tidak takut waktu berdiri di sana, disengat tawon-tawon, sambil melihat aku lari. Sebab dia tahu dia mesti memberi cukup waktu padaku untuk kabur, kalau tidak tawon-tawon itu pasti menyerang kami berdua."
"Dam kata ayahku, dia berbuat begitu bukan karena dia berani, berdiri saja di situ, membiarkan tawon-tawon menyengatnya," kata Coraline pada si kucing. "Katanya itu tidak bisa disebut berani, sebab dia tidak merasa takut: hanya itu yang bisa dia lakukan. Tapi tindakannya kembali ke tempat itu untuk mengambil kacamatnya, padahal dia tahu tawon-tawon itu ada di sana, dan dia merasa ketakutan...nah, itu baru berani."
"Kenapa bisa begitu?" tanya si kucing yang kedengarannya tidak terlalu berminat.
"Sebab," kata Coraline, "kalau kau merasa takut, tapi tetap nekat maju terus, itu namanya berani."
....
Si kucing menjatuhkan si tikus di antara kedua kaki depannya. Sambil mendesah, dia berkata dengan nada teramat halus, "Ada yang menganggap kebiasaan kucing mempermainkan mangsanya sebagai kebiasaan yang baik hati- mangsa kecil yang lucu itu jadi punya kesempatan melarikan diri, sekali-sekali. Coba, seberapa sering kau memberi kesempatan kabur pada makan malammu?"
....
Coraline. Sebuah novel karangan Neil Gaiman, yang sebenarnya digolongkan novel untuk anak-anak. Tetapi novel ini membuat saya terkesima; salah satu novel yang paling saya sukai. Novel ini membuat saya banyak merenungkan hal-hal yang tampaknya sepele, tetapi dalam maknanya.
Yang paling membuat saya tergelitik adalah dialog Coraline dengan si kucing tentang manusia. Saya jadi berpikir: Human. Why do we have names? Simply because we cannot recognize who we are. We're lost without names. Menarik, dan menyentil dengan cara yang jenaka.
Kemudian, arti keberanian. Saya belajar bahwa keberanian bukannya keadaan tanpa rasa takut. Berani bukan berarti tidak merasa takut. Bukan manusia namanya jika tidak memiliki rasa takut. Berani adalah melawan ketakutanmu, menolaknya menyeretmu mundur dari arena pertempuran, dan dengan gagah berani mendorong dirimu ke depan untuk menghadapi tantangan. Itulah keberanian.
Sebagai contoh, orang yang tidak takut dengan laba-laba bukan belum tentu seorang pemberani. Bisa jadi, baginya, laba-laba hanyalah sekedar serangga. Di lain sisi, seseorang yang fobia laba-laba, namun berusaha menyembuhkan ketakutannya dengan menghadapi laba-laba...saya kira kita semua tahu mana yang memerlukan kekuatan lebih besar antara dua orang tersebut. Itu hanya contoh kecil yang konkret.
Bagian terakhir, yang juga membuat saya terkekeh sendirian ketika membaca novel ini, adalah bagian tentang "makan malam". Seberapa sering kita membiarkan makanan kita kabur? Manusia jauh lebih ganas daripada hewan. Kita merupakan "pembunuh" yang paling efektif dan efisien.
Oh iya, bagi yang suka dengan seni rupa, saya cukup yakin akan menyukai ilustrasi Dave McKean dalam novel ini. Gothic, dan agak "seram"; tidak seperti ilustrasi buku anak-anak pada umumnya. Dark, but it's beautiful. I love it :) Sangat cocok dengan ceritanya yang juga dark.
Anyway, saya sangat menyukai buku ini dan merekomendasikan kepada siapapun yang ingin menemukan hiburan yang bermakna di waktu senggangnya. Tidak tebal, hanya 228 halaman.
Selamat membaca! Ingat, Co-ra-line, bukan Ca-ro-line ;)
Jumat, 17 Agustus 2012
KKN: Antara Mitos dan Fakta
Setelah sebulan KKN, ada beberapa hal yang harus saya benahi kembali dalam otak saya, terkait skema awal saya tentang KKN. Ternyata, KKN itu...
#1
Mitos:
KKN biasanya di daerah terpencil dan sangat terbelakang.
Fakta:
Lokasi KKN saya tidak jauh dari kota. Memang sih, di atas bukit dan jalanannya turun-naik curam gitu, berbatu, banyak lubang, becek, dan licin kalo hujan. Tapi keluar dari gerbang kelurahan, belok dikit, turun bukit, sreeet...15 menit kemudian sampe deh ke kota besar. Saya sudah sempet beberapa kali ke swalayan terdekat :p Sempet juga mampir ke ATM dan ngambil duit buat jajan2 di swalayan itu...hahaha
#2
Mitos:
Biasanya kalo KKN itu satu tim ga tinggal di berdekatan, pada disebar ke rumah penduduk-penduduk.
Fakta:
Tim saya tinggal di sebuah pondokan milik Pak Dusun. Beliau punya 2 rumah. Nah, rumahnya yang baru dibangun ini dijadiin pondokan buat tim KKN saya, beliau tinggal di rumahnya yang lain. Rumah ini ada 2 bagian (bentuknya kayak rumah couple gitu). Satu bagian dipake sama anggota KKN yang cowok (ada 16 orang). Yang cewek (ada 7 orang termasuk saya) tinggal di sebelahnya, yang ditinggali sama anak Pak Dusun sekeluarga. Ehm, lebih tepatnya, yang cewek-cewek ini tinggal di kamar, bukan rumah. Berhubung yang cewek-cewek ini harus berbagi dengan keluarga anaknya Pak Dusun, kami tinggal di satu kamar dan keluarga Pak Dusun di kamar yang lain.
Jadi, bisa dibilang, tim kami hanya terpisah satu tembok aja, haha. Dan uniknya, ga ada plafon di rumah yang kami tinggali. Di langit-langit langsung keliatan seng dan kayu-kayu. Akibatnya, suara dari satu ruangan ke ruangan lain kedengeran jelas, udah kayak siaran langsung. Kalo ada yang lagi gosipin temennya, langsung kedengaran ke kamar sebelah. Kalo ada yang lagi mandi sambil nyanyi-nyanyi, kedengeran juga. Kalo ada yang boker, hmm...kadang-kadang kedengeran. Komunikasi kami berjalan dengan sangat mudah.
#3
Mitos:
Biasanya mahasiswa KKN itu ga masak sendiri. Dimasakin sama pemilik pondokan. Atau beli langsung.
Fakta:
Salah besar! Berhubung KKN saya di Kalimantan, yang notabene harganya mahal-mahal, kalau mau beli makanan yang langsung jadi itu minimal per orang menghabiskan Rp30.000 dalam sehari, untuk 3 kali makan. Belum sama minum. Memang sih, saya KKN selama bulan puasa, tapi jelas butuh makan buat sahur dan buka juga, itu pasti. Ada temen saya yang survei kalo-kalo ada warga yang bisa masakin, ternyata agak berat juga. Dan jatuhnya juga mahal. Akhirnya, untuk menghemat, hampir setiap hari kami masak sendiri. Baik buat sahur dan buat buka. Untung ada teman-teman se-tim saya yang asli Kalimantan. Mereka udah kayak toko kelontong dan supermarket logistik. Di dapur kami sudah ada modal minyak, beras, indomie, dll :') Hitung-hitung, belanja dan masak sendiri jatuhnya memang lebih hemat lho, apalagi setelah adanya sumbangan logistik dari para genk Kalimantan di tim saya. Selain itu, skill memasak para anggota tim pun mulai terasah. Udah muncul bibit-bibit jagoan bikin sambel, es dan koktail, bubur manado, sup jagung, bakwan jagung, tumis kangkung, sanggar (pisang garing a.k.a pisang goreng), fuyunghai, dan banyak jagoan lagi.
Pernah juga sih, beberapa kali kami ikut buka bersama di sekolah dan di rumah tetangga. Ada juga tetangga yang -bahkan hampir menjelang malam buta- nganterin makanan dan cemilan buat kami :') Bener-bener rezeki yang tak terduga di malam hari.
Pas buka bersama di rumah tetangga juga asyik. Kami dijamu dengan berbagai macam makanan (saya sampai bingung milih lauk dan sayurnya, semua pengen disikat). Nah, ada satu momen yang ga akan saya lupakan waktu nyiapin buber di rumah tetangga ini: NGULITIN BEBEK! Agak ga tega juga sih awalnya, nyabutin bulu binatang sampai botak. Padahal beberapa minggu sebelum buber saya masih melihat itu bebek berenang-renang di empang :'(
#4
Mitos:
KKN itu pasti sibuk.
Fakta:
Ah...yang bener? Banyak kesempatan di mana saya mengalami 'mager day' alias malas gerak seharian. Seharian cuma guling-guling di kasur, ke kiri, ke kanan, roll depan, roll belakang. Trus siangnya bantuin masak atau belanja ke pasar tradisional, turun ke kota dengan aroma tubuh khas orang belum mandi (di lokasi KKN saya air susah, cuma ngalir 3 kali seminggu, dan warnanya kayak cofeemix, jadi mandi dihemat-hemat lah yaa). Trus sorenya TPA. Udah, gitu aja.
Tapi ada juga sih hari-hari di mana saya bener-bener merasa berguna. Kayak pas nyiapin acara Bioskop Edukasi di sekolah, koordinasi dengan Pemerintah setempat, ikut bantuin temen ngajarin ibu-ibu bikin kerajinan dari kain flanel, ikut arisan pemuda sampai tengah malem (walaupun ga ngapa-ngapain, ngantuk di pojokan), nyiapin penyuluhan buat warga dan pernah jadi pembicara juga pas penyuluhan, ngajar TPA plus ta'jilan bareng anak-anak TPA, ngajarin anak2 SD berhitung dan membaca...(well, percaya atau ga, di lokasi KKN saya, anak-anak banyak yang belum bisa baca walaupun udah SD...ngitung pun masih pake jari...dan masih sering salah...tambah kurang pun belum bisa...perkalian apalagi...ngajarinnya harus ekstra sabaaar T~T)
Ya...paling nggak, masih ada kesempatan di mana saya merasa ga jadi sampah KKN.
#5
Mitos:
Salah satu hal yang berkesan di hati mahasiswa KKN adalah: warganya ramah-ramaaaah <3
Fakta:
Hmm...hal pertama yang tim saya rasakan di sini adalah: kok dicuekin dan ga dianggep ya?
Jujur aja, pas kami dateng ke lokasi, ga ada yang bantuin kami packing barang ke pondokan. Penduduk yang melihat cuma sekedar melihat di depan rumah mereka, ga ada yang ikut bergerak. Paling cuma Pak Dusun sekeluarga.
Suatu saat, saya dan teman-teman saya berjalan-jalan keliling dusun, dan menebar senyuman serta sapaan ke warga. Dan warga yang kami sapa hanya menatap kami dengan ekspresi datar .__.
Pas penghijauan, teman saya yang ikut melakukan kegiatan dari awal sampai akhir, cerita kalau ga banyak warga yang membantu mereka menyangkul dan menanam. Hanya menonton saja. Yang bantu malah anak-anak kecil :)
Tapi pada akhirnya, selemah dan serapuh apapun itu, tetap ada ikatan yang kami rasakan terhadap warga-warga yang telah banyak membantu kami di lokasi, pada anak-anak yang hampir tiap hari memenuhi pondokan kami (yang kadang-kadang membuat kami kelimpungan juga karena sudah seperti day-care untuk balita dan anak-anak). Tetap ada kenangan yang indah bersama warga, secuek apapun kesan pertama yang kami dapatkan saat pertama kali menginjakkan kaki di dusun berbukit itu :)
#6
Mitos:
KKN adalah saat di mana benih-benih cinta muncul karena terbiasa.
Fakta:
Nah...kalo yang ini sih, saya percaya! Sebenarnya saya bukan orang yang cepat percaya soal pepatah, kalo belum ada buktinya. Tapi berhubung di tim KKN saya sudah mulai tercium bau-bau orang jadian, well, saya mengakui, pepatah itu memang benar. Banyak temen-temen saya yang jomblo yang digosipin dan dijodoh-jodohin. Ada yang ga digosipin, eh ujung-ujungnya jadian, ahahaha....ada-ada aja romansa KKN ini...
N.B: Buat sepasang temenku, entah kalian beneran jadian atau tidak, hanya Tuhan dan kalian yang tahu. Aku hanya berdoa semoga apa pun yang terjadi adalah yang terbaik bagi kalian :3
Yak...itulah sekilas mitos dan fakta selama KKN. Pengalaman tiap orang bisa berbeda, maka harap maklum jika mitos dan fakta versi saya ini sangat subjektif...namanya juga versi saya, dari pengalaman saya.
Yang belum pernah KKN, mungkin bisa dijadiin bahan persiapan menghadapi medan KKN, haha :p
Banyak hal tak terduga menanti kalian.
Trust me :p
#1
Mitos:
KKN biasanya di daerah terpencil dan sangat terbelakang.
Fakta:
Lokasi KKN saya tidak jauh dari kota. Memang sih, di atas bukit dan jalanannya turun-naik curam gitu, berbatu, banyak lubang, becek, dan licin kalo hujan. Tapi keluar dari gerbang kelurahan, belok dikit, turun bukit, sreeet...15 menit kemudian sampe deh ke kota besar. Saya sudah sempet beberapa kali ke swalayan terdekat :p Sempet juga mampir ke ATM dan ngambil duit buat jajan2 di swalayan itu...hahaha
#2
Mitos:
Biasanya kalo KKN itu satu tim ga tinggal di berdekatan, pada disebar ke rumah penduduk-penduduk.
Fakta:
Tim saya tinggal di sebuah pondokan milik Pak Dusun. Beliau punya 2 rumah. Nah, rumahnya yang baru dibangun ini dijadiin pondokan buat tim KKN saya, beliau tinggal di rumahnya yang lain. Rumah ini ada 2 bagian (bentuknya kayak rumah couple gitu). Satu bagian dipake sama anggota KKN yang cowok (ada 16 orang). Yang cewek (ada 7 orang termasuk saya) tinggal di sebelahnya, yang ditinggali sama anak Pak Dusun sekeluarga. Ehm, lebih tepatnya, yang cewek-cewek ini tinggal di kamar, bukan rumah. Berhubung yang cewek-cewek ini harus berbagi dengan keluarga anaknya Pak Dusun, kami tinggal di satu kamar dan keluarga Pak Dusun di kamar yang lain.
Jadi, bisa dibilang, tim kami hanya terpisah satu tembok aja, haha. Dan uniknya, ga ada plafon di rumah yang kami tinggali. Di langit-langit langsung keliatan seng dan kayu-kayu. Akibatnya, suara dari satu ruangan ke ruangan lain kedengeran jelas, udah kayak siaran langsung. Kalo ada yang lagi gosipin temennya, langsung kedengaran ke kamar sebelah. Kalo ada yang lagi mandi sambil nyanyi-nyanyi, kedengeran juga. Kalo ada yang boker, hmm...kadang-kadang kedengeran. Komunikasi kami berjalan dengan sangat mudah.
#3
Mitos:
Biasanya mahasiswa KKN itu ga masak sendiri. Dimasakin sama pemilik pondokan. Atau beli langsung.
Fakta:
Salah besar! Berhubung KKN saya di Kalimantan, yang notabene harganya mahal-mahal, kalau mau beli makanan yang langsung jadi itu minimal per orang menghabiskan Rp30.000 dalam sehari, untuk 3 kali makan. Belum sama minum. Memang sih, saya KKN selama bulan puasa, tapi jelas butuh makan buat sahur dan buka juga, itu pasti. Ada temen saya yang survei kalo-kalo ada warga yang bisa masakin, ternyata agak berat juga. Dan jatuhnya juga mahal. Akhirnya, untuk menghemat, hampir setiap hari kami masak sendiri. Baik buat sahur dan buat buka. Untung ada teman-teman se-tim saya yang asli Kalimantan. Mereka udah kayak toko kelontong dan supermarket logistik. Di dapur kami sudah ada modal minyak, beras, indomie, dll :') Hitung-hitung, belanja dan masak sendiri jatuhnya memang lebih hemat lho, apalagi setelah adanya sumbangan logistik dari para genk Kalimantan di tim saya. Selain itu, skill memasak para anggota tim pun mulai terasah. Udah muncul bibit-bibit jagoan bikin sambel, es dan koktail, bubur manado, sup jagung, bakwan jagung, tumis kangkung, sanggar (pisang garing a.k.a pisang goreng), fuyunghai, dan banyak jagoan lagi.
Pernah juga sih, beberapa kali kami ikut buka bersama di sekolah dan di rumah tetangga. Ada juga tetangga yang -bahkan hampir menjelang malam buta- nganterin makanan dan cemilan buat kami :') Bener-bener rezeki yang tak terduga di malam hari.
Pas buka bersama di rumah tetangga juga asyik. Kami dijamu dengan berbagai macam makanan (saya sampai bingung milih lauk dan sayurnya, semua pengen disikat). Nah, ada satu momen yang ga akan saya lupakan waktu nyiapin buber di rumah tetangga ini: NGULITIN BEBEK! Agak ga tega juga sih awalnya, nyabutin bulu binatang sampai botak. Padahal beberapa minggu sebelum buber saya masih melihat itu bebek berenang-renang di empang :'(
#4
Mitos:
KKN itu pasti sibuk.
Fakta:
Ah...yang bener? Banyak kesempatan di mana saya mengalami 'mager day' alias malas gerak seharian. Seharian cuma guling-guling di kasur, ke kiri, ke kanan, roll depan, roll belakang. Trus siangnya bantuin masak atau belanja ke pasar tradisional, turun ke kota dengan aroma tubuh khas orang belum mandi (di lokasi KKN saya air susah, cuma ngalir 3 kali seminggu, dan warnanya kayak cofeemix, jadi mandi dihemat-hemat lah yaa). Trus sorenya TPA. Udah, gitu aja.
Tapi ada juga sih hari-hari di mana saya bener-bener merasa berguna. Kayak pas nyiapin acara Bioskop Edukasi di sekolah, koordinasi dengan Pemerintah setempat, ikut bantuin temen ngajarin ibu-ibu bikin kerajinan dari kain flanel, ikut arisan pemuda sampai tengah malem (walaupun ga ngapa-ngapain, ngantuk di pojokan), nyiapin penyuluhan buat warga dan pernah jadi pembicara juga pas penyuluhan, ngajar TPA plus ta'jilan bareng anak-anak TPA, ngajarin anak2 SD berhitung dan membaca...(well, percaya atau ga, di lokasi KKN saya, anak-anak banyak yang belum bisa baca walaupun udah SD...ngitung pun masih pake jari...dan masih sering salah...tambah kurang pun belum bisa...perkalian apalagi...ngajarinnya harus ekstra sabaaar T~T)
Ya...paling nggak, masih ada kesempatan di mana saya merasa ga jadi sampah KKN.
#5
Mitos:
Salah satu hal yang berkesan di hati mahasiswa KKN adalah: warganya ramah-ramaaaah <3
Fakta:
Hmm...hal pertama yang tim saya rasakan di sini adalah: kok dicuekin dan ga dianggep ya?
Jujur aja, pas kami dateng ke lokasi, ga ada yang bantuin kami packing barang ke pondokan. Penduduk yang melihat cuma sekedar melihat di depan rumah mereka, ga ada yang ikut bergerak. Paling cuma Pak Dusun sekeluarga.
Suatu saat, saya dan teman-teman saya berjalan-jalan keliling dusun, dan menebar senyuman serta sapaan ke warga. Dan warga yang kami sapa hanya menatap kami dengan ekspresi datar .__.
Pas penghijauan, teman saya yang ikut melakukan kegiatan dari awal sampai akhir, cerita kalau ga banyak warga yang membantu mereka menyangkul dan menanam. Hanya menonton saja. Yang bantu malah anak-anak kecil :)
Tapi pada akhirnya, selemah dan serapuh apapun itu, tetap ada ikatan yang kami rasakan terhadap warga-warga yang telah banyak membantu kami di lokasi, pada anak-anak yang hampir tiap hari memenuhi pondokan kami (yang kadang-kadang membuat kami kelimpungan juga karena sudah seperti day-care untuk balita dan anak-anak). Tetap ada kenangan yang indah bersama warga, secuek apapun kesan pertama yang kami dapatkan saat pertama kali menginjakkan kaki di dusun berbukit itu :)
#6
Mitos:
KKN adalah saat di mana benih-benih cinta muncul karena terbiasa.
Fakta:
Nah...kalo yang ini sih, saya percaya! Sebenarnya saya bukan orang yang cepat percaya soal pepatah, kalo belum ada buktinya. Tapi berhubung di tim KKN saya sudah mulai tercium bau-bau orang jadian, well, saya mengakui, pepatah itu memang benar. Banyak temen-temen saya yang jomblo yang digosipin dan dijodoh-jodohin. Ada yang ga digosipin, eh ujung-ujungnya jadian, ahahaha....ada-ada aja romansa KKN ini...
N.B: Buat sepasang temenku, entah kalian beneran jadian atau tidak, hanya Tuhan dan kalian yang tahu. Aku hanya berdoa semoga apa pun yang terjadi adalah yang terbaik bagi kalian :3
Yak...itulah sekilas mitos dan fakta selama KKN. Pengalaman tiap orang bisa berbeda, maka harap maklum jika mitos dan fakta versi saya ini sangat subjektif...namanya juga versi saya, dari pengalaman saya.
Yang belum pernah KKN, mungkin bisa dijadiin bahan persiapan menghadapi medan KKN, haha :p
Banyak hal tak terduga menanti kalian.
Trust me :p
Selasa, 03 Juli 2012
Karena Ibu Tidak Perlu Minta Maaf Soal Ulang Tahun
Hari ini, dua teman di kelompok KKN saya ulang tahun. Beberapa hari yang lalu, adiknya pacar saya ulang tahun. Akhir-akhir ini banyak ya yang berulang tahun *mikir*
Ah, ngomong-ngomong soal ulang tahun...
Ulang tahun saya bulan April. Dan biasanya dilalui dengan biasa-biasa saja. Mengadakan traktiran dengan beberapa sahabat. Simpel. Pernah dirayakan sampai saya berumur 12 tahun. Sebelum usia 12 tahun, orang tua saya pernah lupa sama ulang tahun saya. Sekali. Terungkapnya ketika saya menelpon beberapa teman SD saya untuk main-main di rumah. Ibu saya bertanya: "Kenapa besok pada mau main?". Saya menjawab: "Kan Rini ulang tahun."
Setelah usia 12 tahun, orang tua saya lupa lagi kalau saya berulang tahun. Kali ini saya biarkan saja. Saya tidak mengungkit-ungkit apapun di depan mereka. Teman-teman SMP saya yang tahu saya berulang tahun, dengan bercanda meminta saya mentraktir mereka. Saya bilang: "Duh, kapan-kapan lah ya. Orang tuaku aja ga inget kalau aku ultah." --> berusaha terdengar cool walau merasa nggerus dalam hati.
Salah satu teman saya, Putri namanya, sampai geram mendengar bahwa ada orang tua yang lupa ulang tahun anaknya. Teman saya mengirim sms ke orang tua saya, bernada memprotes kenapa mereka bisa lupa ulang tahun saya, teman karibnya. Sepertinya, sms Putri itu menjadi shock therapy buat orang tua saya. Sampai sejauh ini, walaupun masih tetap tidak bisa bersikap hangat dan manis, serta cenderung kikuk ketika mengucapkan "selamat ulang tahun", orang tua saya tidak pernah lupa ulang tahun saya. Makasih ya, Putri :)
Tapi, sebenarnya, bukan ulang tahun yang menjadi inti posting saya ini. Kita belum sampai di klimaks, saudara-saudara. Klimaksnya terjadi ketika, tidak sengaja, saya menemukan buku agenda milik ibu saya yang biasa digunakan untuk mencatat kerjaan kantor dan semacamnya. Saya melihat, saat itu sekitar seminggu sebelum ulang tahun saya, ada catatan:
Bentar lagi Mbak In ulang tahun. Belum sempat cari kado. Maafin ibu ya, Mbak.
Saya tersenyum kecil, sendu, ketika membacanya.
Ibu, engkau tidak perlu minta maaf, batin saya saat itu.
Semua yang Ibu berikan sudah cukup, mungkin lebih. Hanya lupa hari ulang tahun, tidak memberi kado, ah, semua urusan sepele itu bukan ukuran besar kecilnya kasih sayangmu.
Ibu sudah memberikan yang terbaik yang bisa ibu berikan. Walaupun kadang-kadang aku tak puas, itu semua cukup. Percayalah :')
Itu klimaksnya saudara-saudara.
*nangis, ngambil tisu, ngusap air mata, mem-publish, keluar dari Blogger*
Ah, ngomong-ngomong soal ulang tahun...
Ulang tahun saya bulan April. Dan biasanya dilalui dengan biasa-biasa saja. Mengadakan traktiran dengan beberapa sahabat. Simpel. Pernah dirayakan sampai saya berumur 12 tahun. Sebelum usia 12 tahun, orang tua saya pernah lupa sama ulang tahun saya. Sekali. Terungkapnya ketika saya menelpon beberapa teman SD saya untuk main-main di rumah. Ibu saya bertanya: "Kenapa besok pada mau main?". Saya menjawab: "Kan Rini ulang tahun."
Setelah usia 12 tahun, orang tua saya lupa lagi kalau saya berulang tahun. Kali ini saya biarkan saja. Saya tidak mengungkit-ungkit apapun di depan mereka. Teman-teman SMP saya yang tahu saya berulang tahun, dengan bercanda meminta saya mentraktir mereka. Saya bilang: "Duh, kapan-kapan lah ya. Orang tuaku aja ga inget kalau aku ultah." --> berusaha terdengar cool walau merasa nggerus dalam hati.
Salah satu teman saya, Putri namanya, sampai geram mendengar bahwa ada orang tua yang lupa ulang tahun anaknya. Teman saya mengirim sms ke orang tua saya, bernada memprotes kenapa mereka bisa lupa ulang tahun saya, teman karibnya. Sepertinya, sms Putri itu menjadi shock therapy buat orang tua saya. Sampai sejauh ini, walaupun masih tetap tidak bisa bersikap hangat dan manis, serta cenderung kikuk ketika mengucapkan "selamat ulang tahun", orang tua saya tidak pernah lupa ulang tahun saya. Makasih ya, Putri :)
Tapi, sebenarnya, bukan ulang tahun yang menjadi inti posting saya ini. Kita belum sampai di klimaks, saudara-saudara. Klimaksnya terjadi ketika, tidak sengaja, saya menemukan buku agenda milik ibu saya yang biasa digunakan untuk mencatat kerjaan kantor dan semacamnya. Saya melihat, saat itu sekitar seminggu sebelum ulang tahun saya, ada catatan:
Bentar lagi Mbak In ulang tahun. Belum sempat cari kado. Maafin ibu ya, Mbak.
Saya tersenyum kecil, sendu, ketika membacanya.
Ibu, engkau tidak perlu minta maaf, batin saya saat itu.
Semua yang Ibu berikan sudah cukup, mungkin lebih. Hanya lupa hari ulang tahun, tidak memberi kado, ah, semua urusan sepele itu bukan ukuran besar kecilnya kasih sayangmu.
Ibu sudah memberikan yang terbaik yang bisa ibu berikan. Walaupun kadang-kadang aku tak puas, itu semua cukup. Percayalah :')
Itu klimaksnya saudara-saudara.
*nangis, ngambil tisu, ngusap air mata, mem-publish, keluar dari Blogger*
Langganan:
Postingan (Atom)