Before those swollen minds become a great brain-tumor, share it all with joy
Rabu, 15 Februari 2012
Menyederhanakan Keinginan
Sore itu, beberapa hari lalu, saya kembali
berkunjung ke rumah dokter gigi saya. Kawat gigi saya sudah berantakan; satu bracket-nya
lepas dan letak kawat di rahang bawah saya bergeser, menimbulkan rasa ngilu.
Akhirnya, setelah dua puluh menit bermotor di bawah naungan langit kelabu, saya
kembali berada di rumah antik bergaya Belanda itu.
Bu Dokter sedang duduk di ruang
tamu ketika saya memandang ke dalam pintu berjendela itu sambil tersenyum dan
memencet bel yang ada di luar. Sambil tersenyum ia bangkit dari kursinya,
berjalan ke arah pintu, dan membukakannya untuk saya. Saya kembali berada dalam
ruang tamu yang penuh berisi foto dan furnitur unik itu, kemudian mengikuti Bu
Dokter ke ruang prakteknya.
Beberapa menit kemudian saya sudah berbaring
sambil menengadah dengan mulut terbuka dan tersumpal kapas. Dan seperti biasa,
Bu Dokter mulai bercerita tentang bermacam-macam hal: teman-temannya,
pekerjaannya,keluarga besarnya, anaknya (yang bukan anak kandungnya), sampai
dengan suaminya. Ya, jika banyak yang membayangkan bahwa sesi kontrol gigi
adalah aksi berbaring diam sambil membuka mulut selama setengah sampai satu
jam, dengan sang dokter gigi mendandani gigi-gigimu dalam kebisuan, kenyataan yang
terjadi dalam sesi-sesi saya bersama Bu Dokter ini jauh berbeda. Bu Dokter
adalah orang yang gemar bercerita, salah satu dokter paling ramah dan santai
yang pernah saya temui.
Jika Bu Dokter bebas bercerita
sembari tangannya mengikis lapisan lem di gigi saya, menempeli bracket, menyemprot
gigi saya dengan cairan tertentu, serta memasang dan memotong kawat, saya tidak
sebebas itu. Susah bagimu untuk berbicara selama mulutmu harus terbuka dan
disumpal kapas di beberapa bagian. Jadilah saya hanya bisa menanggapi dengan
“hmm”, “ya”, dan beberapa patah kata yang samar-samar dan susah payah saya
ucapkan. Hanya beberapa saat saya bisa berbicara S-P-O-K lengkap; ketika proses
mendandani gigi selesai, atau setelah saya diberi kesempatan berkumur.
Pada sesi kontrol kali ini, Bu
Dokter banyak bercerita tentang keluarganya dan kehidupannya di masa lalu.
Bahwa dulu ia dan adiknya berjualan manisan salak untuk menambah uang saku
karena ia tak tega meminta uang pada orang tuanya. “Saya tuh dulu ga tega kalo
harus minta uang orang tua untuk beli baju baru, soalnya saya tau, untuk biaya
kos dan kuliah saja orang tua sudah banyak pengeluaran,” katanya dari balik
masker hijau yang menutupi hidung dan mulutnya. Saya mengeluarkan suara
menggeram pelan yang saya maksudkan sebagai “hmm, iya, saya mengerti”.
Cerita meloncat lagi ketika orang
tuanya membangun sebuah rumah baru yang bagus untuk keluarganya, yang
diselesaikan dengan susah payah. “Orang tua saya dulu idealis; mungkin karena
masih muda ya. Pengennya punya rumah yang ya...bagus, terutama ibu saya.
Pengennya yang dari kayu jati...kayak gitulah. Bapak saya pun pengennya begitu.
Padahal rumah seperti itu ya mahal kalo untuk ukuran zaman dulu. Nekat tapi
orang tua saya, termasuk nekat kalo mau bangun rumah kaya gitu. Tapi ya
akhirnya tercapai. Memang harus nekat kadang-kadang. “ Saya kembali menimpali
dengan kata-kata pendek seperti “oh”, “hmm, begitu”, dan “iya sih,
kadang-kadang harus nekat biar tujuan tercapai”.
“Tapi sekarang kok saya pikir
sebenernya bisa aja loh kalo rumah yang lama dibobol ruang tamunya, ditambah
ruangannya, ya udah bisa jadi rumah yang bagus. Tapi yo wis lah,” katanya lagi
sambil tertawa. Kemudian Bu Dokter melanjutkan, “Kalo saya sih sekarang
pengennya menyederhanakan keinginan saja, Nadya. Dulu saya itu pengen punya
mobil, pengennya Honda Stream, gitu, Stream tuh kan ya anggun gitu
kelihatannya. Tapi sekarang ya, sederhana aja pengennya...”
Saya pun menimpali “Dibikin simpel gitu ya
keinginannya..”
“Ya,” jawabnya. “Sekarang kan ya udah punya
mobil, bukan Stream memang, tapi ya itu...”
Saya berkomentar lagi, “Yang penting mobil lah
ya ...”
“He’eh. Ya jangan ribet-ribet lah. Dapatnya itu
ya itu. Keinginannya disederhanakan.” Bu Dokter kemudian tenggelam dengan
kesibukannya menutak-atik kawat di gigi saya, membuat saya mendapat sejenak
waktu untuk berpikir.
Hmm...menyederhanakan keinginan.
Saya suka istilah yang diberikan Bu Dokter. Mungkin kalo saya menyebutnya make
it simple. Ya, hidup memang tidak perlu dibuat susah. Saya merelasikan
“menyederhanakan keinginan” tadi ke dalam target-target yang saya buat dalam
hidup. Kadang-kadang kamu perlu merincikan impianmu dengan sangat detail supaya
langkah-langkahmu dalam mencapainya semakin jelas dan terarah. Tapi kadang-kadang,
saya merasa keterlalutelitian dan keterlalusaklekan itu malah membuatmu
frustrasi. Sedikit saja melenceng, kamu mungkin merasa ada sesuatu yang salah,
padahal keadaan tidak seburuk itu. Lalu kemudian, kamu beralih ke Plan B, Plan
C, sampai Plan Z yang telah kamu buat jauh-jauh hari sebagai strategi
alternatif mewujudkan mimpimu.
Itu bagus. Antisipasi tidak pernah
berdosa dan menjatuhkan kamu. Tapi, entahlah, ini mungkin hanya perasaan dan
pemikiran saya saja, begitu lelahnya kalau kamu terus menerus berkutat dengan
rencana, rencana, dan rencana. Terlalu detail tidak baik. Terlalu loose tanpa
rencana pun bisa mendatangkan bencana (mengalirlah seperti air tapi hati-hati
karena mungkin kamu akan banyak melewati comberan dan pembuangan limbah).
Jadi ya, sedang-sedang saja. Saya
cenderung kaku, tapi sekarang saya ingin sedikit lebih fleksibel. Terkadang
saya merasa tidak bisa memperlakukan hidup seperti sebuah perang yang terus
menerus membutuhkan strategi. Saya merasa ada waktunya ketika lebih baik
dijalani saja, memetik buah kehidupan di setiap detik saya hidup. Buatlah
rencana, hidupkanlah sebuah keinginan dan harapan, sebuah mimpi, yang sekiranya
tidak akan membuatmu frustrasi. Kembangkanlah sebuah keinginan dan harapan yang
menyalakan semangatmu untuk menjalani hidup, bukan sebuah keinginan dan harapan
yang membuatmu was-was dan tidak bisa menikmati hidup. Sederhanakan keinginan.
Akan lebih mudah melafalkannya ketika kamu berdoa, akan lebih mudah melafalkannya
ketika kamu membutuhkan semangat agar terus berjuang. Kalimat panjang “Saya
ingin menjadi seorang ini yang begini begitu dan begono.........” malah
membuatmu sulit mengingat tujuanmu yang sebenarnya. Dalam pelajaran bahasa,
kalimat yang panjang itu punya inti. Berpegang teguhlah pada intinya, hehe.
Saya ingin menyederhanakan
keinginan saya:
“Menjadi psikolog klinis.”
Sounds good :)
Entah nanti saya akan memiliki biro
konsultasi pribadi atau tidak, hal itu tidak perlu terlalu saya risaukan sekarang.
Saya sudah memiliki inti dari salah satu keinginan terbesar dalam hidup saya:
Menjadi psikolog klinis. Langkah selanjutnya setelah saya menjadi psikolog
klinis dapat saya susun kemudian. Saya memang punya banyak rencana lain setelah
menjadi psikolog klinis, tapi semua itu dapat berjalan jika saya sudah memenuhi
impian terdasar tadi. Hidup akan berjalan. Saya akan tahu apa yang harus saya
lakukan nantinya. Tuhan sudah punya rencana :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar