Aku pernah mendengar bahwa "kehilangan" akan membuat seseorang lebih dewasa.
Bagi diriku beberapa tahun lalu, hal ini masih menjadi sesuatu yang membingungkan. Bukankah lebih baik mencegah "kehilangan" itu dan membuktikan bahwa dirimu dewasa karena bisa mempertahankan sesuatu?
Bagi diriku beberapa tahun lalu, "kehilangan" adalah sebuah kata yang lebih baik dihindari. Siapa yang ingin kehilangan? Siapa yang membutuhkan kehilangan untuk menjadi lebih dewasa?
Diriku beberapa tahun lalu memang masih kekanak-kanakan.
Kini, usiaku 24 tahun dan hampir menjelang 25, dan aku baru mengerti benar apa itu "kehilangan". Bahkan "kehilangan" yang memang disengaja.
Begini ilustrasi singkatnya:
Sudah lima tahun lebih kau menanam dan menuai apa yang orang bilang cinta, dan proses itu bukannya main-main. Bisa dikatakan, kadang apa yang kau tanam dengan hati-hati ternyata tak berbuah manis. Apa yang kau tanam dengan sungguh-sungguh kadang tak jadi bunga yang mekar. Kadang-kadang. Bukannya aku menafikan ada saat-saat yang bisa kau sebut musim semi, di mana bunga-bunga bermekaran dan semuanya terasa terlahir kembali. Ada pula musim panas saat canda tawa mewarnai udara yang hangat dan langit yang cerah. Tapi aku bicara tentang kadang-kadang, dan hal ini mestilah berimbang dengan adanya musim gugur, saat semua bunga itu berguguran, dan musin dingin, saat matahari bahkan enggan bersinar dan hatimu diliputi kekosongan yang dingin.
Dalam lima tahun itu, musim-musim yang menyenangkan, menjemukan, dan menyedihkan silih berganti kau hadapi, agar ladang tumbuhan dan bebungaan yang kau tanam tetap terpelihara. Tapi sayangnya, pada suatu waktu, kau tertegun melihat betapa banyak luka-luka di tanganmu karena bercocok tanam dengan tanaman yang tak cocok dengan kapasitas dan ketekunanmu, yang malah membuatmu seluruh tubuhmu sakit dan melemah karena memaksakan diri. Kau akui bahwa kau tak sanggup lagi merawat ladangmu; dan akhirnya, begitu sederhana, kau menyerah.
Kau kehilangan semuanya. Harumnya bunga dan manisnya buah-buahan yang sempat kau petik. Dan kau juga kehilangan yang lainnya: rasa sakit karena duri-duri dan kelelahan yang menumpuk dalam merawat ladangmu. Akhirnya kau sadar bahwa semua itu impas.
Kau kehilangan, dengan penuh kesadaran. Kau sudah pertimbangkan baik buruknya meninggalkan ladang itu. Ladang yang selama ini sudah memberi kegembiraan sekaligus rasa sakit dan peluh yang bercucuran. Ada beberapa bekal yang kau ambil sebelum kau tinggalkan ladang itu, untuk mengingatkanmu akan apa yang sudah kau usahakan selama lima tahun tersebut. Bekal yang baik tentu saja; kau tidak perlu repot membawa duri dan semak untuk perjalananmu berikutnya, yang kau tak tahu kapan lamanya, sampai kau bisa membuka ladang baru lagi di tempat lain. Cukup kau ingat saja tanaman berduri apa yang patut kau waspadai agar lain kali kau lebih berhati-hati. Lain kali mungkin kau akan memilih ladang yang berada di medan yang lebih mudah, meskipun kau tahu pasti bahwa musim dingin dan musim gugur itu akan selalu datang. Ladang yang sebelumnya berada di medan yang curam. Angin kadang bertiup sangat kencang di tempat itu. Tidak semua orang bisa menanam di sana, kau pun akhirnya menyerah.
Tak apa-apa. Kau sudah berusaha.
________________________________________________________________________________
Aku yang sekarang sudah mengerti setidaknya, bahwa "kehilangan" bisa jadi sama dengan "kerelaan". Rela mengakui bahwa kau memang tidak bisa terus bertahan dan memberi dirimu kesempatan kedua untuk memulai awal yang baru. Mungkin inilah yang disebut dengan memaafkan dirimu sendiri. Mengizinkan kesalahan yang pernah ada menjadi pengingat namun bukan penghambat; dan membiarkan harapan menjadi penunjuk jalan dan penyemangat saat perjalanan kian sukar. Bukankah membuka ladang baru membutuhkan harapan alih-alih penyesalan?
Before those swollen minds become a great brain-tumor, share it all with joy
Sabtu, 19 Desember 2015
Sabtu, 28 Februari 2015
Prokrastinasiku Kumat Lagi
Selamat datang di dunia kebut semalam.
Selamat datang di dunia beberapa jam menjelang deadline.
Selamat datang di dunia 'melakukan-apapun-untuk-menghindari-melakukan-hal-yang-tidak-disukai'.
Welcome, procrastination.
Selama kuliah, kebiasaan buruk ini benar-benar sulit saya kendalikan. Pernah sih dulu diterapi dengan pendekatan transpersonal...tapi ternyata, untuk saya, terapi itu sepertinya kurang cocok. Beberapa saat setelah terapi emmang efeknya luar biasa. Tapi lama-lama....prokrastinasi itu menyapa lagi. Teman lama yang berkunjung dan menawarkan kebahagiaan semu, sebuah fantasi liburan dari dunia laporan praktik dan tesis. Well, karena kemarin diterapi transpersonal, kayaknya saya jadi amat sangat menerima diri saya yang prokras ini. Saking menerimanya, saya jadi enggan berubah. Ah, entahlah, mungkin ini teori saya sendiri. Tapi yang jelas, hari-hari belakangan saya lalui hanya dengan makan-tidur-mengerjakan tugas teknik penulisan tesis yang juga dikerjakan dengan sistem menunda-minum-bernapas-hidup selo.
Ya, saya akui saya belum selesai dengan masalah prokrastinasi ini...dan self-esteem saya sebagai calon psikolog mulai menurun. Sisi baiknya, saya orang yang selalu percaya bahwa suatu ketika keadaan akan menjadi lebih baik. Jadi, mau prokras seperti apapun, saya pasti bisa menyelesaikan laporan dan tesis.
At least I've got hope, hahahaha.
Selamat datang di dunia beberapa jam menjelang deadline.
Selamat datang di dunia 'melakukan-apapun-untuk-menghindari-melakukan-hal-yang-tidak-disukai'.
Welcome, procrastination.
Selama kuliah, kebiasaan buruk ini benar-benar sulit saya kendalikan. Pernah sih dulu diterapi dengan pendekatan transpersonal...tapi ternyata, untuk saya, terapi itu sepertinya kurang cocok. Beberapa saat setelah terapi emmang efeknya luar biasa. Tapi lama-lama....prokrastinasi itu menyapa lagi. Teman lama yang berkunjung dan menawarkan kebahagiaan semu, sebuah fantasi liburan dari dunia laporan praktik dan tesis. Well, karena kemarin diterapi transpersonal, kayaknya saya jadi amat sangat menerima diri saya yang prokras ini. Saking menerimanya, saya jadi enggan berubah. Ah, entahlah, mungkin ini teori saya sendiri. Tapi yang jelas, hari-hari belakangan saya lalui hanya dengan makan-tidur-mengerjakan tugas teknik penulisan tesis yang juga dikerjakan dengan sistem menunda-minum-bernapas-hidup selo.
Ya, saya akui saya belum selesai dengan masalah prokrastinasi ini...dan self-esteem saya sebagai calon psikolog mulai menurun. Sisi baiknya, saya orang yang selalu percaya bahwa suatu ketika keadaan akan menjadi lebih baik. Jadi, mau prokras seperti apapun, saya pasti bisa menyelesaikan laporan dan tesis.
At least I've got hope, hahahaha.
Minggu, 21 Desember 2014
Own Love, Before You Give Love
Di suatu pagi, kelas Psikologi Positif.
Mahasiswa: "Bu, bisa ga kita memberikan cinta kepada orang lain meskipun kita ga mencintai diri kita sendiri?"
Dosen: (dengan santainya menjawab) "Tidak."
Mahasiswa tersebut agak mengernyitkan wajahnya. Aku mengamati dari tempat dudukku. Tampaknya ekspresinya adalah campuran antara tidak percaya dan kaget. Aku beralih melihat ekspresi dosenku. Wanita itu tersenyum kecil sambil mengangkat alis. Senyum yang khas. Aku selalu merasa beliau menyimpan sesuatu di balik senyum dan tawa cekikikan yang sering ia perdengarkan di depan para mahasiswanya. Setiap beliau tersenyum atau tertawa, aku selalu merasa senyuman atau tawa itu berarti sesuatu yang lebih dalam, seakan-akan ia menyimpan sebuah rahasia atau sebuah kebenaran hidup yang sangat berharga dan tidak ada orang lain yang tahu.
Ia kemudian mengambil beberapa spidol warna-warni di atas meja; ia menggenggam spidol-spidol tersebut dan memberikan mereka kepada seorang mahasiswa yang duduk di dekatnya. Ia berkata, "Coba kamu berikan ke orang di sampingmu."Mahasiswa itu dengan patuh memberikannya kepada mahasiswa lain yang duduk di sampingnya. Kemudian, sang dosen tersebut mengambil semua spidol yang dipegang oleh mahasiswa tersebut, lalu berkata, "Coba kamu kasih spidol ke orang di sampingmu." Sontak mahasiswa tersebut menjawab, "Lah ga bisa Bu, saya ga punya spidol."
Aku melihat ekspresi senyum yang penuh arti itu lagi-lagi membayangi wajah dosenku. Wanita itu berkata pelan dan dramatis, "Persis itu yang saya maksud."
Ia berjalan kembali ke depan kelas dengan santai. "Ketika kalian tidak punya cinta, kalian tidak akan bisa memberi orang lain cinta. Cinta yang kalian punya asalnya darimana? Bisa dari mana-mana, yang membuat kalian merasa dicintai. Ada orang yang mungkin ketika kita melihatnya kita berpikir ia tidak memiliki cinta dalam hidupnya, mungkin hidupnya terlalu mengerikan. Tapi bisa jadi ia bisa memberi cinta kepada orang lain. Kalau begitu, dia pasti memiliki cinta dalam dirinya sendiri. Pasti ada yang mencintainya dan membuatnya merasa dicintai. Entah darimana; mungkin dari sesuatu yang lebih besar darinya."
Kelas hening. Sepoi-sepoi suara hembusan angin buatan dari AC adalah satu-satunya suara yang kami dengar. Semuanya terhenyak ke dalam pertanyaan besar:
Sudahkah kita memiliki cinta, sebelum berusaha memberikan cinta kepada orang lain?
Sudahkah kita merasa dicintai....termasuk oleh diri kita sendiri?
Mahasiswa: "Bu, bisa ga kita memberikan cinta kepada orang lain meskipun kita ga mencintai diri kita sendiri?"
Dosen: (dengan santainya menjawab) "Tidak."
Mahasiswa tersebut agak mengernyitkan wajahnya. Aku mengamati dari tempat dudukku. Tampaknya ekspresinya adalah campuran antara tidak percaya dan kaget. Aku beralih melihat ekspresi dosenku. Wanita itu tersenyum kecil sambil mengangkat alis. Senyum yang khas. Aku selalu merasa beliau menyimpan sesuatu di balik senyum dan tawa cekikikan yang sering ia perdengarkan di depan para mahasiswanya. Setiap beliau tersenyum atau tertawa, aku selalu merasa senyuman atau tawa itu berarti sesuatu yang lebih dalam, seakan-akan ia menyimpan sebuah rahasia atau sebuah kebenaran hidup yang sangat berharga dan tidak ada orang lain yang tahu.
Ia kemudian mengambil beberapa spidol warna-warni di atas meja; ia menggenggam spidol-spidol tersebut dan memberikan mereka kepada seorang mahasiswa yang duduk di dekatnya. Ia berkata, "Coba kamu berikan ke orang di sampingmu."Mahasiswa itu dengan patuh memberikannya kepada mahasiswa lain yang duduk di sampingnya. Kemudian, sang dosen tersebut mengambil semua spidol yang dipegang oleh mahasiswa tersebut, lalu berkata, "Coba kamu kasih spidol ke orang di sampingmu." Sontak mahasiswa tersebut menjawab, "Lah ga bisa Bu, saya ga punya spidol."
Aku melihat ekspresi senyum yang penuh arti itu lagi-lagi membayangi wajah dosenku. Wanita itu berkata pelan dan dramatis, "Persis itu yang saya maksud."
Ia berjalan kembali ke depan kelas dengan santai. "Ketika kalian tidak punya cinta, kalian tidak akan bisa memberi orang lain cinta. Cinta yang kalian punya asalnya darimana? Bisa dari mana-mana, yang membuat kalian merasa dicintai. Ada orang yang mungkin ketika kita melihatnya kita berpikir ia tidak memiliki cinta dalam hidupnya, mungkin hidupnya terlalu mengerikan. Tapi bisa jadi ia bisa memberi cinta kepada orang lain. Kalau begitu, dia pasti memiliki cinta dalam dirinya sendiri. Pasti ada yang mencintainya dan membuatnya merasa dicintai. Entah darimana; mungkin dari sesuatu yang lebih besar darinya."
Kelas hening. Sepoi-sepoi suara hembusan angin buatan dari AC adalah satu-satunya suara yang kami dengar. Semuanya terhenyak ke dalam pertanyaan besar:
Sudahkah kita memiliki cinta, sebelum berusaha memberikan cinta kepada orang lain?
Sudahkah kita merasa dicintai....termasuk oleh diri kita sendiri?
Langganan:
Postingan (Atom)