Pada awalnya kupikir aku hanya membutuhkan sedikit hiburan dari kesepian. Sekedar pengalih perhatian akan tuntutan yang menekan, melihat begitu banyak teman yang sudah berlabuh di pelaminan. Ah, tidak. Mungkin itu bukan tuntutan; diriku saja yang merasa tak aman. Tapi gelombang was-was kerap menyapa, dan itu nyata adanya.
Pada awalnya kuyakinkan diriku bahwa aku
hanya mencari pelarian; tidak ada yang namanya cinta. Temanku pun bilang aku
hanya kesepian saja, jadi aku enyahkan suara kecil yang kerap berbisik,
"Hei, memang begini rasanya jatuh cinta." Yah, lebih aman rasanya
mendengar nasihat temanku karena diriku sendiri kadang ragu dengan perasaanku.
Lagipula, aku takut dipandang terlalu percaya diri. Menakutkan memang, betapa
lemahnya persepsi kita terhadap perasaan dan pikiran kita sendiri.
Jadi, aku menjauh darimu, dan berharap
perlahan-lahan bayanganmu akan semakin samar dan hilang. Aku tantang diriku
untuk merasa biasa saja. Aku paksa diriku untuk percaya bahwa tidak ada apa-apa
di antara kita. Aku hanya takut kehilangan logika. Kau tahu, logika adalah
caraku bertahan untuk tetap waras selama mengalami hantaman-hantaman emosi yang
luar biasa beberapa tahun belakangan. Aku tak mau kehilangan logika yang
menjadi kekuatanku selama ini.
Tidakkah kau lihat ironinya? Aku paksa
diriku untuk biasa saja. Bukankah itu sebuah penyangkalan? Tidak, aku tidak
merasa biasa saja. Aku memikirkanmu hampir setiap hari. Butuh kesibukan ekstra
untuk membuatku mengalihkan fokusku dari khayalan babu yang sebagian besar
berupa bayangan masa depan kita, yang kita lalui bersama.
Tapi, tentu saja, aku tak punya pilihan
yang lebih aman selain berusaha biasa saja. Kau sudah menjadi milik orang lain. Aku
bisa apa? Kadang-kadang aku ingin tertawa, betapa aku merasa takdir telah
membuat lakon komedi parah dalam hidupku, dengan kita sebagai pemeran utamanya.
Betapa perasaan yang begitu indah dan menghangatkan ternyata bisa menimbulkan
luka yang mengerikan, hanya karena waktu yang tidak tepat. Seperti menyalakan
api unggun dan tiba-tiba angin kencang membuat serpihan kayu yang menyala masuk
ke bola matamu, membuatnya perih dan mengeluarkan air mata.
Tidak, aku tidak merasa biasa saja. Semakin
sering aku menyangkalnya hanya membuatnya semakin merajalela. Seperti mencabut
bulu kaki saja; mereka malah tumbuh lebih lebat, bahkan semakin cepat jika
semakin sering dicabut.
Jadi, kuputuskan untuk menerimanya saja.
Menerima kondisiku yang membingungkan dan terkatung-katung. Menerima perasaanku
yang tidak biasa saja. Menerima pikiran tentangmu yang kerap mengetuk kepalaku.
Menerima bahwa sesungguhnya aku mencintaimu di waktu yang salah. Lalu memaafkan
diriku karena toh perasaan ini tak akan muncul tanpa kekuasaan Tuhan.
Maka aku
maafkan diriku yang lemah, dan menerima bahwa perasaan ini mungkin adalah suatu
ujian dari-Nya. Entah aku tak tahu apa mata kuliahnya. Mungkin tentang
kesabaran? Aku masih berharap penantian diam-diam ini kelak berbuah manis. Atau
mungkin lagi-lagi tentang merelakan? Jika memang begitu, aku berharap suatu hari Ia akan
mempertemukanku dengan yang terbaik, setelah aku merelakanmu. Dan karena aku
sendiri tidak tahu ini ujian tentang apa, kusimpulkan bahwa ini kemungkinan
besar tentang penerimaan terhadap ketidakpastian.
Jadi, beginilah sekarang. Aku berjalan
pelan-pelan di atas jembatan rapuh yang bergoyang. Menjaga perasaan dan
pikiranku tetap dalam keseimbangan agar diriku tidak terpeleset dan terjatuh.
Menjaga rasa cintaku agar tetap dalam kadar sedang-sedang saja, dengan selalu
mengingat bahwa semua ini, termasuk perasaan yang kupendam ini, adalah milik
Tuhan, jadi tak perlu rasanya kutelan semua bulat-bulat. Sembari aku
menyeberang, aku akan tetap mencintaimu dengan cara yang paling santun yang
bisa aku lakukan. Cukuplah kau merasakan bahwa bagiku kau lebih dari sekedar
teman. Aku tak begitu peduli bagaimana akhirnya. Aku telah melepaskan semua
ekspektasi. Aku hanya akan hidup untuk saat ini: membiarkan cintaku untukmu
tetap menyala, tanpa membakar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar