"Nobu-san melepasmu, Sayuri. Aku tak mengambil apa-apa darinya."Percakapan antara Sayuri dan Ketua, dikutip dari novel "Memoirs of A Geisha", karya Arthur Golden, 1997.
Dalam kebingungan perasaanku, aku tak bisa cukup memahami apa yang dimaksudkannya.
"Ketika aku melihatmu di sana bersama Pak Menteri, tatapanmu menyiratkan sesuatu yang persis seperti yang kulihat bertahun-tahun lalu di tepi Sungai Shirakawa," dia memberitahuku. "Kau tampak sangat putus asa, seakan kau akan tenggelam kalau tak ada yang menyelamatkanmu. Setelah Labu memberitahuku bahwa kau memaksudkan adegan itu untuk dilihat Nobu, aku memutuskan untuk memberitahunya apa yang telah kulihat. Dan ketika dia bereaksi sangat marah... yah, jika dia tidak bisa memaafkanmu untuk apa yang telah kaulakukan, jelas bagiku dia bukan takdirmu yang sesungguhnya."
Before those swollen minds become a great brain-tumor, share it all with joy
Rabu, 04 Juli 2012
Love is Forgiveness
Selasa, 03 Juli 2012
Karena Ibu Tidak Perlu Minta Maaf Soal Ulang Tahun
Hari ini, dua teman di kelompok KKN saya ulang tahun. Beberapa hari yang lalu, adiknya pacar saya ulang tahun. Akhir-akhir ini banyak ya yang berulang tahun *mikir*
Ah, ngomong-ngomong soal ulang tahun...
Ulang tahun saya bulan April. Dan biasanya dilalui dengan biasa-biasa saja. Mengadakan traktiran dengan beberapa sahabat. Simpel. Pernah dirayakan sampai saya berumur 12 tahun. Sebelum usia 12 tahun, orang tua saya pernah lupa sama ulang tahun saya. Sekali. Terungkapnya ketika saya menelpon beberapa teman SD saya untuk main-main di rumah. Ibu saya bertanya: "Kenapa besok pada mau main?". Saya menjawab: "Kan Rini ulang tahun."
Setelah usia 12 tahun, orang tua saya lupa lagi kalau saya berulang tahun. Kali ini saya biarkan saja. Saya tidak mengungkit-ungkit apapun di depan mereka. Teman-teman SMP saya yang tahu saya berulang tahun, dengan bercanda meminta saya mentraktir mereka. Saya bilang: "Duh, kapan-kapan lah ya. Orang tuaku aja ga inget kalau aku ultah." --> berusaha terdengar cool walau merasa nggerus dalam hati.
Salah satu teman saya, Putri namanya, sampai geram mendengar bahwa ada orang tua yang lupa ulang tahun anaknya. Teman saya mengirim sms ke orang tua saya, bernada memprotes kenapa mereka bisa lupa ulang tahun saya, teman karibnya. Sepertinya, sms Putri itu menjadi shock therapy buat orang tua saya. Sampai sejauh ini, walaupun masih tetap tidak bisa bersikap hangat dan manis, serta cenderung kikuk ketika mengucapkan "selamat ulang tahun", orang tua saya tidak pernah lupa ulang tahun saya. Makasih ya, Putri :)
Tapi, sebenarnya, bukan ulang tahun yang menjadi inti posting saya ini. Kita belum sampai di klimaks, saudara-saudara. Klimaksnya terjadi ketika, tidak sengaja, saya menemukan buku agenda milik ibu saya yang biasa digunakan untuk mencatat kerjaan kantor dan semacamnya. Saya melihat, saat itu sekitar seminggu sebelum ulang tahun saya, ada catatan:
Bentar lagi Mbak In ulang tahun. Belum sempat cari kado. Maafin ibu ya, Mbak.
Saya tersenyum kecil, sendu, ketika membacanya.
Ibu, engkau tidak perlu minta maaf, batin saya saat itu.
Semua yang Ibu berikan sudah cukup, mungkin lebih. Hanya lupa hari ulang tahun, tidak memberi kado, ah, semua urusan sepele itu bukan ukuran besar kecilnya kasih sayangmu.
Ibu sudah memberikan yang terbaik yang bisa ibu berikan. Walaupun kadang-kadang aku tak puas, itu semua cukup. Percayalah :')
Itu klimaksnya saudara-saudara.
*nangis, ngambil tisu, ngusap air mata, mem-publish, keluar dari Blogger*
Ah, ngomong-ngomong soal ulang tahun...
Ulang tahun saya bulan April. Dan biasanya dilalui dengan biasa-biasa saja. Mengadakan traktiran dengan beberapa sahabat. Simpel. Pernah dirayakan sampai saya berumur 12 tahun. Sebelum usia 12 tahun, orang tua saya pernah lupa sama ulang tahun saya. Sekali. Terungkapnya ketika saya menelpon beberapa teman SD saya untuk main-main di rumah. Ibu saya bertanya: "Kenapa besok pada mau main?". Saya menjawab: "Kan Rini ulang tahun."
Setelah usia 12 tahun, orang tua saya lupa lagi kalau saya berulang tahun. Kali ini saya biarkan saja. Saya tidak mengungkit-ungkit apapun di depan mereka. Teman-teman SMP saya yang tahu saya berulang tahun, dengan bercanda meminta saya mentraktir mereka. Saya bilang: "Duh, kapan-kapan lah ya. Orang tuaku aja ga inget kalau aku ultah." --> berusaha terdengar cool walau merasa nggerus dalam hati.
Salah satu teman saya, Putri namanya, sampai geram mendengar bahwa ada orang tua yang lupa ulang tahun anaknya. Teman saya mengirim sms ke orang tua saya, bernada memprotes kenapa mereka bisa lupa ulang tahun saya, teman karibnya. Sepertinya, sms Putri itu menjadi shock therapy buat orang tua saya. Sampai sejauh ini, walaupun masih tetap tidak bisa bersikap hangat dan manis, serta cenderung kikuk ketika mengucapkan "selamat ulang tahun", orang tua saya tidak pernah lupa ulang tahun saya. Makasih ya, Putri :)
Tapi, sebenarnya, bukan ulang tahun yang menjadi inti posting saya ini. Kita belum sampai di klimaks, saudara-saudara. Klimaksnya terjadi ketika, tidak sengaja, saya menemukan buku agenda milik ibu saya yang biasa digunakan untuk mencatat kerjaan kantor dan semacamnya. Saya melihat, saat itu sekitar seminggu sebelum ulang tahun saya, ada catatan:
Bentar lagi Mbak In ulang tahun. Belum sempat cari kado. Maafin ibu ya, Mbak.
Saya tersenyum kecil, sendu, ketika membacanya.
Ibu, engkau tidak perlu minta maaf, batin saya saat itu.
Semua yang Ibu berikan sudah cukup, mungkin lebih. Hanya lupa hari ulang tahun, tidak memberi kado, ah, semua urusan sepele itu bukan ukuran besar kecilnya kasih sayangmu.
Ibu sudah memberikan yang terbaik yang bisa ibu berikan. Walaupun kadang-kadang aku tak puas, itu semua cukup. Percayalah :')
Itu klimaksnya saudara-saudara.
*nangis, ngambil tisu, ngusap air mata, mem-publish, keluar dari Blogger*
...Tenyata, Ada Yang Melihat Saya :)
Sore itu, ketika mau keluar dari tempat parkiran, saya menyerahkan STNK kepada Pak Penjaga Parkiran. Tiba-tiba beliau tersenyum lebar dan terjadilah percakapan ini:
"Mbak, ikut paduan suara, kan?" :D
"Iya Pak...kok Bapak tahu?" :O
"Saya sering lihat Mbak kalo wisuda, di barisan paduan suara. Saya biasanya main gamelan..." :)
"Ooh..." :)
Ternyata, ada yang melihat saya. Sebuah percakapan yang sangat pas terjadi, ketika saat itu saya merasa tertekan, kesepian, dan terasing :')
God does have a perfect timing.
"Mbak, ikut paduan suara, kan?" :D
"Iya Pak...kok Bapak tahu?" :O
"Saya sering lihat Mbak kalo wisuda, di barisan paduan suara. Saya biasanya main gamelan..." :)
"Ooh..." :)
Ternyata, ada yang melihat saya. Sebuah percakapan yang sangat pas terjadi, ketika saat itu saya merasa tertekan, kesepian, dan terasing :')
God does have a perfect timing.
Senin, 02 Juli 2012
Pendekatan Instrumental Dalam Regulasi Emosi: Emosi Positf vs Emosi Negatif
Lagi-lagi, saya iseng memposting hasil tulisan saya untuk UTS. Kali ini tentang emosi. Saya yakin semua sudah tahu apa itu emosi positif, apa itu emosi negatif. Tapi, sebenarnya bukan hal simpel dalam menggolongkan bahwa marah itu negatif, bahagia itu positif. Ada pertimbangan yang lebih dalam terkait penggolongan emosi. Monggo disimak kalau mau tahu lebih lanjut, kalau tidak tertarik ya nggak papa... :)
Pendekatan Instrumental Dalam
Regulasi Emosi: Emosi Positif vs Emosi Negatif
Nadya
Anjani Rismarini
09/
283173/ PS/ 05735
Abstrak
Selama ini kita mengenal istilah
emosi positif dan emosi negatif. Emosi positif biasanya mengacu pada
kebahagiaan, sedangkan emosi negatif mengacu pada kesedihan, ketakutan, atau
kemarahan. Akan tetapi tidak selamanya manusia ingin merasakan emosi positf dan
tidak selamanya emosi positif itu bernilai positif. Studi telah menunjukkan
adanya pendekatan instrumental dalam regulasi emosi, ketika seseorang mungkin
ingin merasakan emosi negatif tertentu agar tujuannya tercapai. Di sisi lain,
emosi positif seperti kebahagiaan pun tidak selamanya bernilai positif.
Regulasi Emosi: Sebuah Pendekatan
Instrumental
Dalam
kesehariannya, manusia seakan diarahkan untuk merasakan emosi yang bernilai
positif. Wajah-wajah tersenyum dan memancarkan kesenangan lebih diharapkan dan
lebih bisa diterima oleh lingkungan daripada wajah-wajah murung yang
memancarkan kesedihan, atau, wajah-wajah marah yang memancarkan permusuhan.
Emosi, yang aslinya bersifat refleks, alami, dan bebas dari penilaian, layaknya
menjadi sesuatu yang dapat dibedakan dan dinilai berdasarkan dua kubu: positif
dan negatif, di mana yang negatif haruslah dihindari.
Akan
tetapi, anggap saja emosi positif itu memang berdampak positif, dan emosi
negatif itu memang berdampak negatif, bagaimana kita dapat menjelaskan orang
yang merasa senang dan lega sehabis menangis? Bukankah menangis (bersedih) itu
emosi negatif? Mengapa ada orang yang marah dan mengumpat lalu setelah itu
merasa lega? Tampaknya, orang-orang tidak selalu ingin merasakan emosi yang
positif.
Di
dalam teori psikoanalisa, dikenal istilah pleasure
principle, yang mana manusia dipandang sebagai makhluk hedonis, cenderung
mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit. Pertanyaan yang muncul adalah: Benarkah
begitu jika dikaitkan dengan emosi? Apakah manusia ingin selalu merasakan
kesenangan atau emosi-emosi lain yang tergolong positif? Jika benar, lalu apa gunanya
kapasitas alami kita untuk merasakan berbagai macam emosi selain emosi positif?
Kita dapat berpikir ulang mengenai makna positif dan negatif yang biasanya
dilekatkan pada emosi: bisa jadi, positif dan negatif itu situasional dan tidak
sesederhana yang dipaparkan dalam seminar-seminar motivasi diri.
Regulasi
sendiri berarti “mengatur”, sehingga jika dikaitkan dengan emosi, regulasi
emosi dapat berarti pengaturan, pengelolaan emosi. Regulasi emosi sering kita
kaitkan dengan kestabilan emosi, adaptasi, dan lain-lain. Hal ini tidaklah
salah, karena regulasi emosi memiliki konsekuensi yang penting bagi kesehatan
dan fungsi adaptif (Tamir, 2011). Bagaimana pun, paradigma regulasi emosi yang
ditinjau dari pendekatan instrumental barangkali membawa angin segar bagi
pengetahuan kita akan emosi.
Pendekatan
instrumental terhadap regulasi emosi menyatakan bahwa manusia mengatur emosi
mereka agar dapat sukses meraih tujuan instrumental (Bonanno, 2001; Parrott,
1993; Tamir, 2009a dalam Tamir, 2011). Jadi, regulasi emosi bukanlah
semata-mata ditujukan untuk merasakan emosi tertentu, akan tetapi regulasi ini
digunakan untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan ini dapat diartikan sebagai
target perubahan pada fisiologi, kognisi, motivasi, perilaku, atau lingkungan
sosial. Maka tidak dapat kita simpulkan secara sederhana bahwa regulasi emosi berarti
mengubah perasaan menjadi positif. Ada hal-hal yang jauh lebih kompleks
daripada sekedar mencari kesenangan.
Lebih
jauh lagi, emosi apa yang ingin dirasakan oleh seseorang tergantung pula oleh pleasure dan utility. Pleasure merujuk pada emosi yang positif, kesenangan;
sedangkan utility merujuk pada
manfaat emosi tertentu untuk pencapaian tujuan. Ketika manusia ingin mencapai
tujuan instrumental, yang bersifat jangka panjang (long-term benefits), manusia rela menunda pleasure demi mendapatkan apa yang mereka inginkan. Dengan kata
lain, manusia tak hanya mengejar pleasure,
tetapi juga cenderung memilih emosi yang dirasa bermanfaat bagi mereka, dan
emosi ini tidak harus selalu positif.
Tamir
(2011) mencontohkan situasi ketika mahasiswa belajar untuk ujian. Mereka rela
merasakan emosi tidak menyenangkan seperti stres dan lelah, menunda rencana
bermain mereka, dengan harapan mendapatkan hasil yang baik. Mereka juga
menginginkan pleasure, namun mereka
mengutamakan ‘penderitaan’ terlebih dulu agar mendapatkan long-term benefits, yakni pleasure
yang tertunda sebagai hasil dari kesuksesan dalam mencapai tujuan.
Istilahnya, “bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian”.
Preferensi Emosi dan Personality Trait
Setiap
individu mempunyai kepribadian yang berbeda. Kepribadian yang berbeda-beda ini
pun menyebabkan adanya perbedaan kecenderungan dalam berperilaku, dan tentunya
perbedaan kecenderungan preferensi emosi. Seseorang mungkin senang menyendiri
di kamar yang tertutup sambil mendengarkan lagu-lagu sedih, sementara seorang
lainnya berkelana di pesta-pesta sambil bercanda dan tertawa.
Berdasarkan
Behavioral Concordance Model oleh
Cote & Moskowitz, 1998, orang-orang cenderung lebih menyukai pengalaman
yang konsisten dengan personality trait
mereka. Individu mencari validasi self-theory
mereka karena teori tersebut membuatnya mengerti dan dapat mengontrol
realitas sosialnya, dengan kata lain indvidu akan mencari pengalaman yang
konsisten dengan aspek karakteristiknya (Epstein, 1973, dalam Tamir, 2009). Preferensi
emosi merupakan salah satu fungsi dari personality
trait.
Sebagai
bukti, data terbaru menunjukkan bahwa neoroticism
berasosiasi dengan preferensi trait-consistent
(Tamir, 2005 dalam Tamir, 2009) yang mana individu dengan neuroticism tinggi cenderung memiliki
kekhawatiran dan kecemasan yang lebih tinggi (Watson, 2000 dalam Tamir, 2009)
dan lebih termotivasi menghindari ancaman. Di lain sisi, individu yang memiliki
extraversion tinggi merasakan emosi
positif (misalnya kebahagiaan) yang lebih besar (Costa & McCrae, 1980 dalam
Tamir, 2009) dan termotivasi untuk mendapatkan reward (Carver, dkk., 2000; Elliot & Thrash, 2002 dalam Tamir,
2009). Orang dengan extraversion rendah mengalami yang
sebaliknya.
Adanya
preferensi emosi yang terkait dengan personality
trait ini dapat kita rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Bayangkan jika
Anda adalah seorang introvert. Berada
di tengah orang banyak dalam suatu pertemuan tidak membuat Anda merasa nyaman.
Maka emosi yang ingin Anda rasakan adalah emosi yang sekiranya membuat orang
ingin menjauhi Anda, misalnya jengkel. Sebaliknya, jika Anda adalah seorang ekstrovert yang suka keramaian dan suka bertemu
dengan orang-orang baru, Anda cenderung merasakan emosi yang membuat
orang-orang ingin berada di dekat Anda. Anda akan merasakan semangat dan
kesenangan, yang terpancar dari sikap yang ramah dan luwes, sehingga akhirnya
banyak orang yang mendekati Anda.
Selain
itu, kita cenderung merasakan emosi yang mendukung ekspektasi kita terhadap
sesuatu atau situasi tertentu. Misalnya, emosi marah yang muncul ketika kita
diremehkan seseorang. Kita tanpa sadar ingin merasakan emosi marah karena
adanya perasaan ingin melawan. Emosi marah ini diperlukan sebagai “bahan bakar”
dalam menghadapi lawan. Atau ketika seseorang baru saja putus dari kekasihnya.
Ia mungkin lebih suka merasakan kebencian karena emosi ini barangkali dapat
membantunya untuk berhenti mencintai dan mengharapkan pasangannya untuk
kembali.
Emosi Negatif dan Positif: Kapan?
Emosi
adalah respon bagi keadaan-keadaan tertentu. Orang-orang merasakan kebahagiaan
sebagai respon dari tercapainya tujuan, ketakutan sebagai respon dari adanya
ancaman, dan kemarahan sebagai respon dari hinaan (Lazarus, 1991 dalam Gruber,
Mauss, & Tamir, 2011). Bisa dibilang, emosi itu situasional. Ketika kita
merasakan emosi yang tidak sesuai dengan situasi, emosi tersebut bisa saja
bernilai negatif. Ketakutan dan kemarahan dapat bernilai positif jika muncul di
situasi yang tepat. Hal yang sama pun dapat terjadi pada kebahagiaan.
Kebahagiaan
akan bernilai negatif ketika tidak lagi berada dalam derajat yang normal, tidak
lagi berada dalam situasi yang tepat, diraih dengan cara yang tidak semestinya,
dan termasuk ke dalam tipe kebahagiaan yang salah. Seorang maniak merasa
bahagia, namun tidak dalam derajat yang sewajarnya. Merasa bahagia ketika
seorang teman menderita tentu bukan hal yang terpuji. Bahkan sebuah studi
menunjukkan, pengejaran kebahagiaan (pursuit
of happiness) dapat berujung pada hasil yang maladaptif karena dapat
menyebabkan kekecewaan. Menginginkan kebahagiaan bukan saja dapat menurunkan
kesejahteraan (well-being) seseorang,
tetapi juga dapat membuatnya kesepian (Gruber, Mauss, & Tamir, 2011). Kata-kata
bijak “yang terlalu itu tidak baik” berlaku di sini. Terlalu bahagia bukan hal
yang menyehatkan, sama halnya dengan berusaha terlalu keras mengejar kebahagiaan.
Jika
ditinjau dari pendekatan instrumental yang sudah dibahas di atas, tampaknya
nilai positif dan negatif itu sendiri juga tergantung dari dampak emosi
tersebut terhadap pencapaian tujuan instrumental individu. Jika merasakan
sebuah emosi dapat mendukung tujuannya, maka emosi tersebut bernilai positif,
dan sebaliknya. Saya membayangkan seorang anak yang menangis agar orang tuanya
mau memberikan barang yang ia inginkan, yang mana emosi negatif (sedih,
menangis) menjadi cara agar ia dipedulikan dan keinginannya dituruti. Di sini,
emosi negatif bernilai positif.
Tidak selamanya emosi yang dianggap positif
itu memang positif dan emosi yang dianggap negatif itu memang negatif.
Pemberian label positif terhadap emosi-emosi seperti senang dan bahagia, serta
pemberian label negatif terhadap emosi-emosi seperti marah dan takut sebenarnya
merupakan pembatasan yang sempit akan dimensi emosi manusia yang sesungguhnya sangat
luas. Jika ditanya apakah marah itu emosi negatif, atau apakah senang itu emosi
positif, jawabannya adalah “tergantung”. Tergantung situasi, tergantung
derajatnya, serta tergantung apakah emosi tersebut berguna bagi pencapaian
tujuan kita atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Tamir,
M. (2011). The Maturing Field of Emotion Regulation. Emotion Review, 3, 1, 3-7. Retrieved
September 14, 2011, from https://www2.bc.edu/~tamirm/download/Tamir_2011.pdf
Gruber, J., Mauss, I. B., Tamir, M. (2011). A Dark
Side of Happiness? How, When, and Why Happiness Is Not Always Good. Perspectives on Psychological Science, 6, 3,
222-233. Retrieved November 7, 2011 from http://yalepeplab.com/pdf/GruberMaussTamir_2011_DarkSideHappiness.pdf
Tamir, M.
(2009). What Do People Want to Feel and Why? Pleasure and Utility in Emotion
Regulation. Current Directions in
Psychological Science, 18, 2, 101-105. Diakses pada Retrieved September
14, 2011 from https://www2.bc.edu/~tamirm/download/Tamir_CDir_2009.pdf
Tamir, M.
(2009). Differential Preferences for Happiness:
Extraversion and Trait-Consistent Emotion Regulation. Journal of Personality, 77, 2, 447-470. Retrieved September
14, 2011 from https://www2.bc.edu/~tamirm/download/Tamir_JP_2009.pdf
Minggu, 01 Juli 2012
Mendadak Mellow
Kepadamu, sayangku:
Aku pernah berkata padamu, bahwa terkadang aku merasa mual melihat jejeran nilai A yang memenuhi riwayatku sebagai mahasiswa. Semua itu tak berarti apa-apa ketika aku tak bisa membuatmu mendapatkan kembali semangatmu. Kau tahu, aku merasa gagal. Walaupun kau pernah bilang kau tak pernah membandingkan diriku dengan kuliahku. Kau bilang kau melihatku hanya sebagai "aku". Namun, dalam cuaca dingin yang rentan menebarkan virus mellow ini, aku merasakan kembali perasaan yang pernah kurasakan dulu: Bahwa aku merasa gagal.
Aku merasa gagal ketika aku tak bisa membuatmu tersenyum dan memandang dunia dengan lebih positif. Sebagai seorang mahasiswa psikologi, aku merasa gagal.
Aku merasa bersalah karena ketidakmampuanku dan ketidakpekaanku sehingga kau terjatuh.
Bahkan sesekali ada ragu untuk menggapai citaku: Pantaskah seseorang seperti aku menjadi psikolog?
Aku merasa tidak berdaya ketika aku tak bisa menjawab pertanyaanmu, kapan semua ini berakhir, kapan kau bisa keluar dari terowongan dan melihat cahaya. Aku tidak tahu, sayang. Aku hanya memiliki keyakinan bahwa keadaan akan menjadi lebih baik. Tuhan pasti akan memberi jalan.
Jadi, tidakkah kau lihat, bahwa kita sebenarnya sama-sama sedang membangun rasa percaya diri? Perasaanmu bahwa masa depan akan semendung mega di kala hujan dapat aku rasakan, kadang-kadang. Masa depanku pun akan terlihat gelap bagi diriku sendiri, jika aku tidak bisa membantumu menghapus semua kepesimisanmu.
Maafkan aku jika kadang berhenti menyemangatimu. Maafkan aku kala itu, ketika aku marah karena lelah menggandengmu. Maafkan aku, karena terkadang aku begitu lemah dan tak sabaran.
Aku hanya bisa memberimu doa dan menyediakan, selalu, waktu untukmu. Untuk kita. Aku berharap di setiap pertemuan kita, hatimu terisi kebahagiaan dan keyakinan bahwa hidup tidaklah semuram itu. Sekali lagi, jangan pernah menyerah. Kata-kata ini pun kutujukan kepada diriku sendiri.
Kita sama-sama berjalan, bukan? Walau kau melihat waktu berlalu begitu cepat di sekelilingku; percayalah sebenarnya aku berjalan di sampingmu.
Aku tak akan kemana-mana jika kau menghendakiku menunggu.
Aku pernah berkata padamu, bahwa terkadang aku merasa mual melihat jejeran nilai A yang memenuhi riwayatku sebagai mahasiswa. Semua itu tak berarti apa-apa ketika aku tak bisa membuatmu mendapatkan kembali semangatmu. Kau tahu, aku merasa gagal. Walaupun kau pernah bilang kau tak pernah membandingkan diriku dengan kuliahku. Kau bilang kau melihatku hanya sebagai "aku". Namun, dalam cuaca dingin yang rentan menebarkan virus mellow ini, aku merasakan kembali perasaan yang pernah kurasakan dulu: Bahwa aku merasa gagal.
Aku merasa gagal ketika aku tak bisa membuatmu tersenyum dan memandang dunia dengan lebih positif. Sebagai seorang mahasiswa psikologi, aku merasa gagal.
Aku merasa bersalah karena ketidakmampuanku dan ketidakpekaanku sehingga kau terjatuh.
Bahkan sesekali ada ragu untuk menggapai citaku: Pantaskah seseorang seperti aku menjadi psikolog?
Aku merasa tidak berdaya ketika aku tak bisa menjawab pertanyaanmu, kapan semua ini berakhir, kapan kau bisa keluar dari terowongan dan melihat cahaya. Aku tidak tahu, sayang. Aku hanya memiliki keyakinan bahwa keadaan akan menjadi lebih baik. Tuhan pasti akan memberi jalan.
Jadi, tidakkah kau lihat, bahwa kita sebenarnya sama-sama sedang membangun rasa percaya diri? Perasaanmu bahwa masa depan akan semendung mega di kala hujan dapat aku rasakan, kadang-kadang. Masa depanku pun akan terlihat gelap bagi diriku sendiri, jika aku tidak bisa membantumu menghapus semua kepesimisanmu.
Maafkan aku jika kadang berhenti menyemangatimu. Maafkan aku kala itu, ketika aku marah karena lelah menggandengmu. Maafkan aku, karena terkadang aku begitu lemah dan tak sabaran.
Aku hanya bisa memberimu doa dan menyediakan, selalu, waktu untukmu. Untuk kita. Aku berharap di setiap pertemuan kita, hatimu terisi kebahagiaan dan keyakinan bahwa hidup tidaklah semuram itu. Sekali lagi, jangan pernah menyerah. Kata-kata ini pun kutujukan kepada diriku sendiri.
Kita sama-sama berjalan, bukan? Walau kau melihat waktu berlalu begitu cepat di sekelilingku; percayalah sebenarnya aku berjalan di sampingmu.
Aku tak akan kemana-mana jika kau menghendakiku menunggu.
Langganan:
Postingan (Atom)