Emosi Cerdas, Hidup Sejahtera:
Antara Emotional
Intelligence dan Well-Being
Nadya Anjani Rismarini
09/283173/PS/05735
Sekian
tahun lamanya, kita telah dibuat percaya bahwa kecerdasan intelektual seseorang
(yang diukur sebagai IQ- intelligence
quotient) adalah prediktor utama kesuksesan. Masyarakat menilai bahwa orang
yang ber-IQ tinggi akan memiliki pencapaian lebih banyak dalam hidup.
Bagaimanapun, 10 tahun terakhir ini para peneliti menemukan bahwa kecerdasan
emosional (EQ- emotional quotient)
seseorang bisa jadi menjadi prediktor kesuksesan yang lebih utama dari IQ
(Thibodeaux & Bond, 2007).
Lalu apa sebenarnya yang dimaksud dengan kecerdasan
emosional? Pada awal tahun 90an, Dr. John Mayer, Ph.D. dan Dr. Peter Salovey,
Ph. D. memperkenalkan istilah tersebut
di dalam Journal of Personality
Assessment. Kecerdasan emosional digambarkan sebagai kemampuan seseorang
untuk memahami emosinya sendiri dan emosi orang lain, dan bertindak dengan tepat/sesuai
berdasarkan pemahamannya tersebut. Pada tahun 1995, psikolog Daniel Goleman
mempopulerkan istilah kecerdasan emosional dalam bukunya, Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. Kecerdasan
emosional adalah tentang memiliki empati bagi orang lain; membela apa yang anda
yakini dengan cara yang terhormat; tidak langsung melompat ke kesimpulan,
melainkan mendapatkan gambaran keseluruhan sebelum bertindak. Kunci dari kecerdasan emosional adalah
memahami emosi anda dan emosi orang lain, dan bertindak dengan cara yang paling
sesuai berdasarkan pemahaman anda tersebut.
Goleman (2001) membandingkan IQ dan EQ dalam ranah
emosi dan kognitif. IQ, menurutnya, adalah kemampuan yang murni bersifat
kognitif. Sedangkan kemampuan lainnya mengintegrasikan pemikiran dan perasaan
dan masuk ke dalam domain “kecerdasan emosi”, sebuah istilah yang menekankan
pentingnya peran emosi dalam pelaksanaannya. Semua kemampuan terkait kecerdasan
emosional melibatkan keterampilan pada domain afektif, dan juga mengandung
elemen-elemen kognitif. Kecerdasan emosional telah diajukan sebagai prediktor
fungsi manusia yang positif (Mayer & Salovery, 1997, dalam Spences, Oades,
& Caputi, 2004). Kecerdasan emosional telah dihubungkan dengan beberapa
faktor seperti kepuasan hidup, psychological
well-being, kesuksesan dalam pekerjaan dan performansi kerja (Adeyemi &
Adeleye, 2008; Bar-On, 1997 & 2005; Salovey & Mayer, 1990).
Memiliki
kecerdasan emosi yang sehat merupakan hal yang penting agar manusia dapat hidup
bahagia dan sukses (Thibodeaux & Bonds, 2007). Kecerdasan emosional
berhubungan dengan aksi manusia yang efektif dan aktualisasi diri, yang
berhubungan pula dengan aksi manusia yang optimal (Bar-On, 2001 dalam Spences,
Oades, & Caputi, 2004). Pernyataan-pernyataan tersebut menegaskan bahwa
kecerdasan emosional memang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan manusia,
bagaimana manusia menjalani kehidupannya dengan positif dan optimal.
Konsep
“fungsi optimal manusia” ini ternyata berkaitan dengan konsep well-being atau kesejahteraan. Para
psikolog klinis seringkali mendiskripsikan well-being
melalui beberapa teori (Ryff & Keyes, 1995), di antaranya adalah teori needs (kebutuhan) dari Maslow (1968) yang mana aktualiasi diri (self-actualization) menjadi needs
yang berada di tingkat paling tinggi. Selain itu ada pula teori dari Rogers
(1961) tentang fully functioning person. Menurutnya,
terdapat beberapa ciri manusia yang berfungsi optimal, antara lain terbuka
terhadap pengalaman, bebas mengekspresikan perasaan, bertindak secara
independen, kreatif, dan memiliki hidup yang “kaya”; the good life. Bagi Rogers, inilah kondisi manusia yang ideal.
Seperti Maslow, Ia juga menyatakan adanya tendensi manusia untuk
mengaktualisasikan diri.
Secara
umum, well-being adalah sebutan bagi
kualitas hidup yang bagus (good life).
Well-being juga dapat dirumuskan
sebagai apa yang diperbuat oleh seseorang dalam kondisi aktual kehidupannya.
Apa yang diperbuat orang terhadap kondisi tersebut (Michalos, 2007). Apa yang
mereka persepsi dari kondisi tersebut, apa yang mereka rasakan dan pikirkan
dari kondisi tersebut adalah fungsi dari well-being
mereka. Jika tindakan, persepsi, perasaan, dan pemikiran mereka negatif,
maka kualitas hidup mereka akan rendah, dengan kata lain: well-being yang rendah.
Apapun
definisi tentang well-being, pada umumnya
semua merujuk ke satu arah, di mana seseorang memiliki hidup yang berkualitas
tinggi. Hidup bahagia, sukses, atau “kaya” seperti yang dikatakan Rogers.
Konsep the good life ini tidak hanya
meliputi faktor materi saja, tetapi juga psikologis: emosi yang positif,
hubungan interpersonal yang berkualitas, dll. Dalam semua aspek ini, yang
melibatkan banyak domain afektif, kecerdasan emosional menunjukkan pengaruhnya.
Ada
satu contoh sederhana yang diutarakan oleh Martins, Ramalho, dan Morin (2010)
tentang bagaimana kecerdasan emosi dapat menghambat kesuksesan. Misalnya saja
seorang siswa yang merasa cemas karena akan megikuti ujian. Jika ia tidak
bertindak tepat dalam mengatasi emosinya tersebut, ia akan benar-benar sakit.
Jika ia tidak bisa melakukan tindakan yang tepat terhadap rasa cemas yang ia
rasakan, ia bisa gagal ujian. Saya jadi membayangkan contoh seorang pelamar
kerja yang akan mengikuti wawancara. Jika ia tidak memahami bagaimana harus
menyiasati rasa cemasnya, performanya dalam wawancara bisa separah rasa cemas
yang ia rasakan, dan hasilnya? Bisa saja ia gagal diterima. Ia gagal
mengaktualisasikan dirinya. Tidak heran jika kecerdasan emosional juga banyak
dihubungkan dengan kesuksesan dalam pekerjaan, yang lagi-lagi, juga termasuk
salah satu aspek dalam well-being.
Tanpa
kemampuan untuk mengetahui dan memahami emosi pribadi dan emosi orang lain
(empati), tanpa kemampuan untuk bertindak berdasarkan pengetahuan tersebut,
akan sulit bagi seseorang untuk menjalin hubungan interpersonal yang memuaskan.
Tanpa kemampuan untuk menimbang, seseorang akan menjadi ceroboh dalam
bertindak. Tanpa kecerdasan emosi, bahkan hanya ketiadaan beberapa aspek
kecerdasan tersebut, kesejahteraan dan kepuasan hidup seseorang akan terganggu.
Maka, tidaklah berlebihan jika kepopuleran EQ sebagai prediktor kesuksesan
hidup yang mengarah kepada well-being kini
mengalahkan popularitas IQ. Dengan emosi yang cerdas, hidup pun akan sejahtera.
Referensi:
Goleman, D. (2001). The Emotionally Intelligent Work[place (Chapter
Two: Emotional Intelligence: Issues in Paradigm Building). Jossey-Bass
Martins, A; Ramalho, N; Morin, E. (2010). A Comprehensive
Meta-Analysis of The Relationship Between Emotional Intelligence and Health. Personality and Individual Differences, 49, 554-564
Michalos,
A. C. (2007). Education, Happiness and Wellbeing. Paper written for the International Conference on “Is Happiness
Measurable and What Do Those Measures Mean for Public Policy?
Ryff, C.
D; Keyes, C.L.M. (1995). The Structure of
Psychological Well-Being Revisited. Journal of Personality and Social
Psychology, 69(4), 719-727
Spences,
G; Oades, L.G; Caputi, P. (2004). Trait Emotional Intelligence and Goal Self-Integration:
Important Predictors of Emotional Well-Being? Personality and Individual Differences, 37, 449-461
Thibodeaux,
J.B; Bond, D.S. (2007). What is Your Emotional Intelligence Quotient?
(article) retrieved from http://www.nenetwork.org/roundtables/EmotionalIntelligenceQuotient.pdf
on April 11, 2012, 13.38
http://www.wynja.com/personality/rogersff.html diakses
12 April 2012, 22.45
diakses 12 April 2012, 21.56
Tidak ada komentar:
Posting Komentar