It is because the world is so full of suffering,
that your happiness is a gift.
It is because the world is so full of poverty,
that your wealth is a gift.
It is becuase the world is so unfriendly,
that your smile is a gift.
It is because the world is so full of war,
taht your peace of mind is a gift.
It is because the world is in such despair,
that your hope and optimism is a gift.
It is because the world is so afraid,
that your love is a gift.
Vision Statement by Robert Holden
Mau tidak mau saya jadi ingat tulisan ini ketika menonton sebuah film yang selalu membuat air mata saya jatuh, walaupun terhitung sudah tiga kali saya menonton film itu: Hotel Rwanda.
Film yang bercerita tentang perang antarsuku di negeri kecil di Afrika tersebut memberi cukup alasan bagi saya untuk bersyukur dengan kehidupan saya yang senantiasa saya keluhkan. Menyedihkan, bahwa kadang-kadang kita harus melihat orang lain menderita terlebih dahulu untuk menyadari betapa beruntungnya nasib kita. Tapi mungkin memang begitulah salah satu cara untuk bersyukur.
Saya menonton Hotel Rwanda ketika SMA, saya lupa kelas berapa. Lewat DVD bajakan (tolong jangan dicontoh). Dan alasan saya menonton ulang lagi film itu adalah mata kuliah Isu-isu Kontemporer Psikologi Klinis. Ceritanya, film ini akan diputar di kelas dan mahasiswa akan mendiskusikan isu-isu psikologis terkait perang antarsuku. Dan saya diminta oleh Pak Dosen untuk bertanggungjawab menyediakan film itu. Jadi, ya, setelah mendapatkan film-nya, saya tonton lagi film itu. Dan saya menangis tanpa suara menontonnya. Saya kira, keesokan harinya, ketika saya, teman-teman, dan dosen menonton film itu di kelas, saya sudah tidak dapat menangis karena bosan. Tapi ternyata tidak. Saya gagal menahan keinginan untuk tidak menangis. Seorang teman perempuan juga mengalami hal serupa dengan saya. Untunglah kelas gelap sehingga tidak terlalu kelihatan kalau mata dan hidung saya memerah seperti tomat.
Saya tidak akan menceritakan selengkapnya isi film itu di sini. Sekedar ingin mengungkapkan perasaan yang campur aduk ketika menontonnya. Anak-anak dan wanita dibunuh. Orang-orang tak bersalah, yang tidak tahu apa-apa, menjadi korban. Perang itu membuat sekitar sejuta orang terbunuh, hanya karena identitas suku mereka. Dan dunia menolak melihatnya. Dunia menolak membantu dan berpura-pura tidak terjadi pembunuhan massal di sana.
Tinggal di Indonesia tentu saja sudah membuat kita akrab dengan berita-berita perang antarsuku. Di tempat kelahiran saya sendiri, Kalimantan Barat, seperti itu. Saya ingat ketika melihat dua orang berbeda suku bertengkar di depan pagar rumah saya, salah satunya menghunus senjata tajam. Saya cuma bisa bengong di depan pintu, tidak tahu apa yang harus dilakukan, bahkan masih bengong ketika ibu saya menarik saya ke dalam rumah dengan ketakutan, dan kami mengintip pertikaian kecil-yang untungnya berhasil didamaikan- itu melalui jendela.
Namun saya bukanlah korban. Saya tidak kehilangan rumah dan anggota keluarga. Saya tidak harus mengungsi. Saya tidak terluka. Dan saya membayangkan, ketika menonton film itu, bagaimana jika saya menjadi korban. Mungkin saya tidak akan kuliah sekarang. Mungkin, saya bahkan sudah kembali menjadi tanah. Dan untuk itu, saya merasa seperti....wow.
Ya. Kadang-kadang kita harus bersyukur bukan karena sesuatu terjadi, tetapi karena sesuatu tidak terjadi. Kadang-kadang kita harus merasa bahagia bukan karena tertimpa anugerah, tetapi karena tidak tertimpa musibah. Kadang-kadang kita harus merasa diberkati bukan karena mendapat sesuatu, tetapi karena tidak kehilangan sesuatu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar