Saya pernah mengikuti kuliah Dasar-dasar Intervensi. Saya ingat waktu itu pembahasan tentang Freud dan Interpretation of Dreams yang ia tulis. Di sela kuliah, dosen saya memutarkan film tentang Freud dan interpretasi mimpi. Dalam film itu, dapat saya ambil kesimpulan bahwa mimpi adalah salah satu cara alam bawah sadar merepresentasikan isinya dengan imej yang bisa kita terima. Dalam bermimpi pun ternyata ada sitem sensornya, saudara-saudara. Mengapa? Karena kadang-kadang yang tersembunyi di alam bawah sadar kita tidak bisa kita terima. Mungkin terlalu mengerikan. Mungkin terlalu kasar. Karena itulah di dalam mimpi biasanya ceritanya tidak gamblang menggambarkan apa yang kita tekan ke alam bawah sadar; konten mimpi seringkali berupa simbol, tidak eksplisit. Kita harus menerjemahkan sendiri.
Dosen saya sempat bilang bahwa ada pentingnya memahami mimpi, agar kita bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi di dalam diri kita. Mengungkap rahasia diri (ceile). Kemudian beliau beralih dengan menanyakan soal Johari Window. "Ada yang tahu?" tanyanya. Kemudian saya dengan spontan -karena pernah membaca soal itu sebelumnya- berkata, "Oh, yang itu." Sang dosen menoleh ke arah saya dan berkata puas sambil sedikit tersenyum. "Kalau begitu tolong dijelaskan nanti ya. Saya beri break dulu."
Sial.
Saat Pak Dosen keluar dan memberi break 5 menit untuk kelas, saya langsung meminjam laptop teman saya yang sedang onlen untuk memastikan ingatan saya akan teori itu. Hmm, oke, ya. Saya mengerti. Pak Dosen masuk kelas. Kelas kembali tenang. Kemudian ia berkata: "Silakan mbak dipresentasikan soal Johari Window."
Saya maju, meminjam spidol yang dipegang Pak Dosen, dan menggambar 4 kotak seperti jendela. "Kepribadian kita terdiri atas 4 bagian," ujar saya keras, "yang pertama ada bagian: Saya Tahu, Orang Lain Tahu" sambil menulis, lalu melanjutkan lagi, "...lalu Saya Tidak Tahu, Orang Lain Tahu," spidol saya bergerak cepat di papan tulis, "kemudian ada bagian Saya Tahu, Orang Lain Tidak Tahu, dan terakhir...yang paling terpendam, adalah bagian Saya Tidak Tahu, Orang Lain Tidak Tahu." Saya menambahkan contoh untuk tiap bagian kemudian mengalihkan pandangan ke Pak Dosen dan bertanya, "Boleh saya sambungkan dengan teori mimpi, Pak?" Pak Dosen menjawab, "Oh ya, boleh, silahkan."
Saya menarik napas. "Tadi disebutkan bahwa mimpi berguna sebagai cara kita memahami diri sendiri. Kalau saya hubungkan dengan Johari Window ini, mimpi mungkin dapat membantu kita untuk bergerak dari area ini," saya menunjuk bagian Saya Tidak Tahu Orang Lain Tidak Tahu, "...ke area ini." Spidol saya berhenti di area Saya Tahu Orang Lain Tidak Tahu. "Dengan mimpi, mungkin kita bisa mencoba mengenali bagian diri kita yang mungkin tidak kita dan orang lain sadari. Setelah kita sadar akan bagian tersembunyi itu, kita bisa melangkah ke area Saya Tahu Orang Lain Tidak Tahu. Paling tidak, kita menjadi tahu apa yang tadinya tersembunyi, walaupun orang lain tidak perlu tahu akan hal itu. Kita menjadi lebih sadar akan siapa diri kita sebenarnya." Vin. Pak Dosen mengangguk. Kelas bertepuk tangan. Saya kembali ke tempat duduk saya.
Ya. Itu yang saya katakan di kelas beberapa bulan lalu. Tapi sebenarnya saya belum benar-benar paham akan mimpi dan kepribadian. Saya harus lebih banyak membaca, terutama tentang Psikoanalisa / Psikodinamika. Ah, pokoknya berbau Freudian. Memang sih, teori itu sudah kuno dan dinilai tidak empiris, tapi buat saya, teori mbah Freud itu sebenarnya menarik dan mengasyikkan.
Setelah itu, dosen pun memberi saya dan teman-teman saya tugas yang
sangat unik: interpretasi mimpi selama seminggu! Nah loh. Ini jadi
masalah buat saya. Karena saya jarang bermimpi. Jarang. Kalaupun iya,
saya biasanya agak lupa mimpi saya seperti apa, tentang apa, karena
ceritanya sama sekali tidak jelas. Bahkan imejnya pun tidak terlalu
jelas atau vivid. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk mencatat mimpi saya begitu saya terbangun. Demi tugas ini.
Dan hasilnya nihil.
Pertama, saya malas mencatatnya dan lebih memilih ngebo lagi setelah terbangun.
Kedua, saya juga cuma ingat samar-samar saja isi mimpi saya -__-
Anyway, saya jadi berpikir. Bodohnya saya tidak terpikir
untuk menanyakan hal ini ke dosen waktu itu: Apakah jarang bermimpi itu
adalah tanda bahwa tidak banyak hal ditekan ke alam bawah sadar? Saya
jadi penasaran. Suatu saat saya akan menanyakan hal ini kepada mereka
yang mengerti.
Psikoanalisa memang mengasyikkan. Hal yang berbau alam bawah sadar selalu menarik untuk dibahas, karena kita akan banyak menebak-nebak di situ, haha. Sesuatu yang tidak bisa kita lihat akan selalu membuat penasaran :3
Before those swollen minds become a great brain-tumor, share it all with joy
Kamis, 28 Juni 2012
Rabu, 27 Juni 2012
Balada Jaket
Jogja begitu dingin malam ini. Jaket yang kupakai ketika bermotor tadi tak mempan menangkis sengatan beku yang kini menyerangku, membuatku bergelung seperti trenggiling di atas tempat tidur. Ah, aku rindu kehangatan jaket yang kau pinjamkan padaku -atau lebih tepatnya, aku pinjam darimu- beberapa hari lalu. Aku tahu jaket itu berbahan tebal, mungkin sengaja didesain untuk suhu di pegunungan (karena kau pernah memakai jaket itu saat mendaki). Tapi aku curiga jaket itu terasa lebih hangat karena kau yang memakainya.
Hmm, akankah jaket itu sama hangatnya untukku ketika orang lain yang memakainya dan bukan dirimu? Haha. Aku jadi terlalu sentimentil, sepertinya. Jogja yang dingin ini membuatku galau.
Aku rindu jaket hitam-hijau itu. Dan orang yang memakainya :)
N.B. Tampaknya aku mengerti mengapa jaket itu begitu hangat. Ia menyelimutiku dari dalam. Terima kasih.
Hmm, akankah jaket itu sama hangatnya untukku ketika orang lain yang memakainya dan bukan dirimu? Haha. Aku jadi terlalu sentimentil, sepertinya. Jogja yang dingin ini membuatku galau.
Aku rindu jaket hitam-hijau itu. Dan orang yang memakainya :)
N.B. Tampaknya aku mengerti mengapa jaket itu begitu hangat. Ia menyelimutiku dari dalam. Terima kasih.
Senin, 25 Juni 2012
Sebuah Monolog Tentang Sesuatu
Aku pernah berpikir bahwa, seandainya, suatu saat kau akan meninggalkanku lagi, aku tidak akan merasa sedih dan kehilangan. Toh aku sudah pernah kehilanganmu sekali waktu. Kita berdua sudah pernah merasakan pahitnya perpisahan, bukan?
Namun tetap saja, tiap kali ingatanku kembali ke waktu itu, masih ada sedikit nyeri yang menusuk jantungku, walau rasa sakitnya tak setajam dulu. Hanya sedikit nyeri, sedikit sekali. Bagaimanapun, aku mensyukuri rasa sakit itu. Rasa sakit itulah tanda bahwa aku sangat menyayangimu. Dan mungkin itulah tanda bahwa kau masih, dan akan selalu, menjadi bagian dari diriku.
Masih banyak misteri tentang bagaimana kita bisa kembali seperti saat ini. Aku pun tak mengerti; entah itu adalah kesadaran yang tulus untuk memperbaiki semuanya, atau sekedar kegilaan. Namun kegilaan pun bisa jadi sebuah kejujuran. Ah, tapi di antara deru pertanyaan yang kadang-kadang kita lontarkan, kita tampaknya sepakat bahwa tak ada gunanya mencari alasan. Percayalah bahwa ini adalah takdir.
Aku tidak tahu bagaimana perasaanku nanti, jika -aku sungguh tak berharap ini terjadi- kita berpisah untuk yang kedua kalinya. Namun aku bisa membayangkan akan ada kekosongan menyedihkan di salah satu ruang di hatiku; seperti melihat sebuah rumah tua yang dulunya berpenghuni. Akan selalu ada jejakmu dalam sejarahku.
Bola kristal sejernih apapun tak akan bisa meramal masa depan yang penuh tanya. Yang aku tahu, aku ingin selalu ada untukmu. Ku harap itu cukup bagimu.
Namun tetap saja, tiap kali ingatanku kembali ke waktu itu, masih ada sedikit nyeri yang menusuk jantungku, walau rasa sakitnya tak setajam dulu. Hanya sedikit nyeri, sedikit sekali. Bagaimanapun, aku mensyukuri rasa sakit itu. Rasa sakit itulah tanda bahwa aku sangat menyayangimu. Dan mungkin itulah tanda bahwa kau masih, dan akan selalu, menjadi bagian dari diriku.
Masih banyak misteri tentang bagaimana kita bisa kembali seperti saat ini. Aku pun tak mengerti; entah itu adalah kesadaran yang tulus untuk memperbaiki semuanya, atau sekedar kegilaan. Namun kegilaan pun bisa jadi sebuah kejujuran. Ah, tapi di antara deru pertanyaan yang kadang-kadang kita lontarkan, kita tampaknya sepakat bahwa tak ada gunanya mencari alasan. Percayalah bahwa ini adalah takdir.
Aku tidak tahu bagaimana perasaanku nanti, jika -aku sungguh tak berharap ini terjadi- kita berpisah untuk yang kedua kalinya. Namun aku bisa membayangkan akan ada kekosongan menyedihkan di salah satu ruang di hatiku; seperti melihat sebuah rumah tua yang dulunya berpenghuni. Akan selalu ada jejakmu dalam sejarahku.
Bola kristal sejernih apapun tak akan bisa meramal masa depan yang penuh tanya. Yang aku tahu, aku ingin selalu ada untukmu. Ku harap itu cukup bagimu.
Langganan:
Postingan (Atom)