Benci. Ya, itu yang saya rasakan. Sama siapa? Sama mantan saya. Kenapa? Entah. Karena saya sering teringat masa-masa (halah bahasane..) ketika saya masih bersamanya. Karena akhirnya saya jadi teringat kesalahan-kesalahan yang pernah dia buat (yang dulunya sudah saya lupakan tapi sekarang naik lagi ke permukaan. Ternyata ada Hukum Kekekalan Ingatan. Ingatan yang kamu lupakan tidak pernah benar-benar hilang...ia hanya pergi untuk sementara ke suatu tempat bernama "ketidaksadaran"). Karena saya jadi ingat kata-kata manis yang dulu dia ucapkan ke saya, tapi akhirnya...TAADAAA!
Karena saya ingat. Dan ingatan saya cukup kuat. Akhirnya saya jadi sakit hati. Akhirnya saya jadi benci. Karena saya ingat betapa saya berusaha berubah untuknya, dan ya, saya melepaskan beberapa prinsip saya, dan ternyata itu tidak memuaskannya. Saya jadi merasa bodoh. Dan saya jadi benci. Saya rela berubah, ya saya benar-benar mencintainya waktu itu. Tapi setelah dia bilang "kita beda pandangan hidup" saya merasa ditampar, ditonjok malah, di muka. Dia tidak pernah menghargai usaha saya...setidaknya begitulah yang saya tangkap. Dan saya jadi sakit hati. Dan saya jadi benci. Baginya, ternyata, kami tetaplah dua alien yang hidup di planet berbeda..sekeras apapun saya berusaha memahaminya. Karena di lain kesempatan, beberapa hari setelah kami putus, kami sempat makan bareng, ngobrol-ngobrol soal kehidupan, dan dia bilang "kita cocok kok". Padahal saat putus dia bilang apa? Beda pandangan hidup? C'mon. Hanya butuh waktu beberapa hari ya buat mengubah pandangan hidup? Ah, betapa mudahnya ia mengatakan "cocok" dan "tidak cocok", betapa mudahnya ia melepas saya karena kegamangannya sendiri akan prinsip hidup yang abstrak. Dan saya jadi sakit hati. Dan akhirnya jadi benci.
Karena ada yang bilang ke saya kalau dia sebenarnya masih ada perasaan sama saya. Saya jadi benci. Kenapa? Karena yaaa...saya jadi ingin teriak: "Makanya, kalo mau putus, pastikan kamu udah ga suka lagi sama orang itu! Makanya kalo masih sayang jangan dibuang!" Pengen banget rasanya teriak kayak gitu. Sumpah, pengen banget. Tapi sekarang udah ga ada gunanya. Dan ini membuat saya tambah sakit hati. Jadinya benci. Ya ampun, ini jadi seperti rantai setan.
Tadinya saya merasa netral. Tapi lama-lama memori saya seperti merembes keluar dari tempat penyimpanan yang seharusnya, tanpa saya berusaha untuk mengungkit-ungkit. Dan rembesannnya itu beracun. Racun buat hati saya. Jadinya saya benci. Tapi saya tidak butuh kata maaf. Sama sekali tidak. Jutaan kata maaf darinya pun tidak berguna. Saya sadar, sesadar-sadarnya, benci ini bukan lagi urusan saya sama mantan saya, tapi lebih ke urusan saya dan emosi saya. Saya harus lebih dapat mengontrolnya. Harus. Oh God, it's very hard to forgive actually T_T
Luka itu masih kerasa sampai sekarang. Saya memang sudah bergerak maju, tapi masih dengan membawa rasa sakit yang entah kapan sembuhnya. It feels like a pain on my chest. Sakit yang tumpul dan nyeri. Ah, memang, bahasa tubuh tidak pernah bohong. Rasa sakit itu nyata.
Seandainya Jampi Memori kayak di Harry Potter itu benar-benar ada.
Before those swollen minds become a great brain-tumor, share it all with joy
Sabtu, 05 November 2011
Rabu, 26 Oktober 2011
What Is Freedom?
Hari ini seusai kuliah pengganti Metode Penelitian Kualitatif yang menyenangkan, saya beserta seorang teman saya, Afi, yang juga menyenangkan, ngobrol-ngobrol ngalur ngidul di kantin Psikologi. Awalnya kita cuma ngerencanain teknik wawancara ke Sexshop, gimana caranya supaya si penjual mau ngasih tau hal-hal yang dianggap tabu tanpa kita harus mengaku sebagai mahasiswa yang lagi ditugasin bikin laporan tentang Sexshop, hiks :'( (jadi inget tugas ini belum selesai).
Akhirnya, nyasar deh obrolan kami ke hal-hal lain yang ga ada hubungannya dengan toko yang menjual obat kuat dan alat-alat seks itu (-.-)
Kami diskusi soal rokok, perokok, dan merokok. Entah kenapa rokok identik dengan kepribadian seorang perokok yang bebas, keren (kayak di iklan2 rokok yang biasanya berbau adventure itu), dan tampak intelek dengan asap mengepul dari mulut mereka. Peran media. Lalu kebebasan.
Kebebasan. Masih terkait soal rokok juga sih sebenernya. Entah ini cuma asumsi saya atau memang realita, entah ini benar atau tidak, saya merasa orang2 yang merokok itu menganggap diri mereka merdeka. Rokok membuat mereka lepas, bebas (jelas lah asapnya kemana-mana). Bahkan kata salah seorang temen saya yang perokok, rokok membuatnya nggak lapar. Dia seakan sudah "kenyang" hanya dengan menghisap rokok. Masalah untuk sementara terlupakan. Pokoknya hore.
Tapi...saya melihat ironi di sini. Andaikata mereka memang merdeka dari masalah, andaikata emosi negatif lenyap menguap bersama asap dari rokok mereka yang menyala, lalu apa yang terjadi ketika mereka tidak mengkonsumsi rokok dalam 1 hari? Uring-uringan.
Inilah ironi. Bagi saya, seorang pecandu rokok harusnya dikasihani. Mereka tak ubahnya anak kecil yang merasa uring-uringan ketika selimut kesayangannya ketinggalan. Kemerdekaan yang mereka rasakan sama tipisnya seperti asap rokok yang tertiup angin, karena akhirnya mereka terpenjara dalam kebiasaan merokok itu sendiri. Ga ada rokok, stress. Ga ada duit buat beli rokok, stress. Justru, mereka menjadi manusia yang terikat oleh zat candu batangan. Kecanduan bukanlah kebebasan.
Kemudian diskusi kami meliputi konsep kebebasan yang lebih luas lagi. Kebebasan seorang manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Saya terkadang heran melihat orang-orang yang menganggap dirinya merdeka, tanpa norma dan nilai. Please deh, kita hidup dalam realita. Kita terikat norma. Walaupun saya tidak mengatakan saya adalah orang yang selalu patuh pada aturan masyarakat, saya sadar bahwa saya tidak bisa lepas dari itu. Bagi saya, dalam hidup, kita memang punya kebebasan. Kebebasan untuk memilih. Kebebasan untuk melanggar. Cukup itu saja. Tapi kita tidak bisa bebas dari konsekuensi atas pilihan kita, perbuatan kita. Kalo dikaitkan ke soal rokok, ya, kita bebas mau menjadi perokok atau tidak. Tapi kita tidak bebas dari akibat kebiasaan merokok kita. Jelas, dompet menipis. Mulut jadi bau tembakau. Gigi jadi kuning. Memang sih, konsekuensi ini tidak menimpa perokok dalam waktu dekat. Rasa sakit itu akan muncul nanti, setelah mereka cukup dewasa untuk sadar akibat apa yang ditimbulkan rokok bagi diri mereka.
Contoh lagi yang ga ada hubungannya dengan rokok. Ujian aja deh. Kita bebas mau belajar atau tidak. Tapi kita tidak bebas dari konsekuensi kemungkinan mendapat nilai jelek. Tidak ada kebebasan mutlak.
Jadi, kalo ada yang bilang dirinya merdeka, kasihan sebenernya. Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa tetap ada hal-hal yang membuat kita 'terbatas'. Takdir itu ada. dan pilihan pun berlaku untuk menentukan takdir kita. Menurut saya, Tuhan sudah memberikan kita beberapa pilihan di setiap episode hidup. Kalau kita pilih A, jalan hidup kita seterusnya akan begini; kalau pilih B, selanjutnya akan begitu; dan seterusnya. Kita bebas bergerak di dalam sebuah ruangan, namun kita tidak bisa keluar dari ruangan tersebut. Itulah takdir. Dan saat saya yakin bahwa Tuhan itu sudah mengatur hidup saya sedemikian rupa, saat itulah saya bebas. Karena saya yakin ada kekuatan di luar diri saya, dan saya bisa bersandar pada-Nya.
Oke. Kayaknya sudah mblandang terlalu jauh ini diskusinya. Jam sudah menunjukkan pukul 10.30. Afi mau kuliah lagi, dan saya mau bersemedi bersama tugas interpretasi tes grafis saya. Sungguh, tugas ini lebih baik dikerjakan dalam keheningan dan kesunyian =(o___o)= Jadi kami say goodbye dan melanjutkan aktivitas masing2. Dan salah satu hasil semedi saya bukan hanya tugas yang hampir selesai, tapi juga postingan ini, hahaha..share it all with joy! ;)
Akhirnya, nyasar deh obrolan kami ke hal-hal lain yang ga ada hubungannya dengan toko yang menjual obat kuat dan alat-alat seks itu (-.-)
Kami diskusi soal rokok, perokok, dan merokok. Entah kenapa rokok identik dengan kepribadian seorang perokok yang bebas, keren (kayak di iklan2 rokok yang biasanya berbau adventure itu), dan tampak intelek dengan asap mengepul dari mulut mereka. Peran media. Lalu kebebasan.
Kebebasan. Masih terkait soal rokok juga sih sebenernya. Entah ini cuma asumsi saya atau memang realita, entah ini benar atau tidak, saya merasa orang2 yang merokok itu menganggap diri mereka merdeka. Rokok membuat mereka lepas, bebas (jelas lah asapnya kemana-mana). Bahkan kata salah seorang temen saya yang perokok, rokok membuatnya nggak lapar. Dia seakan sudah "kenyang" hanya dengan menghisap rokok. Masalah untuk sementara terlupakan. Pokoknya hore.
Tapi...saya melihat ironi di sini. Andaikata mereka memang merdeka dari masalah, andaikata emosi negatif lenyap menguap bersama asap dari rokok mereka yang menyala, lalu apa yang terjadi ketika mereka tidak mengkonsumsi rokok dalam 1 hari? Uring-uringan.
Inilah ironi. Bagi saya, seorang pecandu rokok harusnya dikasihani. Mereka tak ubahnya anak kecil yang merasa uring-uringan ketika selimut kesayangannya ketinggalan. Kemerdekaan yang mereka rasakan sama tipisnya seperti asap rokok yang tertiup angin, karena akhirnya mereka terpenjara dalam kebiasaan merokok itu sendiri. Ga ada rokok, stress. Ga ada duit buat beli rokok, stress. Justru, mereka menjadi manusia yang terikat oleh zat candu batangan. Kecanduan bukanlah kebebasan.
Kemudian diskusi kami meliputi konsep kebebasan yang lebih luas lagi. Kebebasan seorang manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Saya terkadang heran melihat orang-orang yang menganggap dirinya merdeka, tanpa norma dan nilai. Please deh, kita hidup dalam realita. Kita terikat norma. Walaupun saya tidak mengatakan saya adalah orang yang selalu patuh pada aturan masyarakat, saya sadar bahwa saya tidak bisa lepas dari itu. Bagi saya, dalam hidup, kita memang punya kebebasan. Kebebasan untuk memilih. Kebebasan untuk melanggar. Cukup itu saja. Tapi kita tidak bisa bebas dari konsekuensi atas pilihan kita, perbuatan kita. Kalo dikaitkan ke soal rokok, ya, kita bebas mau menjadi perokok atau tidak. Tapi kita tidak bebas dari akibat kebiasaan merokok kita. Jelas, dompet menipis. Mulut jadi bau tembakau. Gigi jadi kuning. Memang sih, konsekuensi ini tidak menimpa perokok dalam waktu dekat. Rasa sakit itu akan muncul nanti, setelah mereka cukup dewasa untuk sadar akibat apa yang ditimbulkan rokok bagi diri mereka.
Contoh lagi yang ga ada hubungannya dengan rokok. Ujian aja deh. Kita bebas mau belajar atau tidak. Tapi kita tidak bebas dari konsekuensi kemungkinan mendapat nilai jelek. Tidak ada kebebasan mutlak.
Jadi, kalo ada yang bilang dirinya merdeka, kasihan sebenernya. Mereka tidak bisa menerima kenyataan bahwa tetap ada hal-hal yang membuat kita 'terbatas'. Takdir itu ada. dan pilihan pun berlaku untuk menentukan takdir kita. Menurut saya, Tuhan sudah memberikan kita beberapa pilihan di setiap episode hidup. Kalau kita pilih A, jalan hidup kita seterusnya akan begini; kalau pilih B, selanjutnya akan begitu; dan seterusnya. Kita bebas bergerak di dalam sebuah ruangan, namun kita tidak bisa keluar dari ruangan tersebut. Itulah takdir. Dan saat saya yakin bahwa Tuhan itu sudah mengatur hidup saya sedemikian rupa, saat itulah saya bebas. Karena saya yakin ada kekuatan di luar diri saya, dan saya bisa bersandar pada-Nya.
Oke. Kayaknya sudah mblandang terlalu jauh ini diskusinya. Jam sudah menunjukkan pukul 10.30. Afi mau kuliah lagi, dan saya mau bersemedi bersama tugas interpretasi tes grafis saya. Sungguh, tugas ini lebih baik dikerjakan dalam keheningan dan kesunyian =(o___o)= Jadi kami say goodbye dan melanjutkan aktivitas masing2. Dan salah satu hasil semedi saya bukan hanya tugas yang hampir selesai, tapi juga postingan ini, hahaha..share it all with joy! ;)
Selasa, 25 Oktober 2011
Random Week
This week is...I don't know. I cannot give my judgement because it's only Tuesday. There are still 5 days awaiting before I can say "This week. These 7 days I've lived through." But, in these 2 days, I just feel like crap. I get mad easily when I'm disappointed. I blow up when things just don't work as I want it to. I've become a grenade with victims are multiplying just because they unintendedly "touched" me. I've become a time-bomb that I just suddenly blow up anytime and anywhere.
Well, I can say that it's just the symptoms of PMS as I'm a fertile women. But I'm afraid if I have to say that it might be the symptoms of mood disorder. Oh yeah that sounds terrible =______=
Nope. It's only for these 2 exhausting days, right? Maybe tomorrow I'll get much better. Amen.
Still, I name it 'Random Week' because it's one week before we as university students have to face the "wow-it's a lil bit scary" UTS or Ujian Tengah Semester. So, I've predicted these week to be a "Galau Week", but I hope that I won't be "galau" too. I'm ready for the mid semester. Not that "ready" with an image of A-scores written on your exam paper, but it's more like that "ready" with a plain-face and empty hands. I'm ready to be whatever in my mid semester. I'm ready to have all those A-B-C possibilities -...-
Oh, c'mon girl. Be more optimistic.
WELCOME MID SEMESTER! I CAN'T WAIT TO SEE YOU! :*
Give me all those As, baby! :D
Wish me luck.
Well, I can say that it's just the symptoms of PMS as I'm a fertile women. But I'm afraid if I have to say that it might be the symptoms of mood disorder. Oh yeah that sounds terrible =______=
Nope. It's only for these 2 exhausting days, right? Maybe tomorrow I'll get much better. Amen.
Still, I name it 'Random Week' because it's one week before we as university students have to face the "wow-it's a lil bit scary" UTS or Ujian Tengah Semester. So, I've predicted these week to be a "Galau Week", but I hope that I won't be "galau" too. I'm ready for the mid semester. Not that "ready" with an image of A-scores written on your exam paper, but it's more like that "ready" with a plain-face and empty hands. I'm ready to be whatever in my mid semester. I'm ready to have all those A-B-C possibilities -...-
Oh, c'mon girl. Be more optimistic.
WELCOME MID SEMESTER! I CAN'T WAIT TO SEE YOU! :*
Give me all those As, baby! :D
Wish me luck.
Langganan:
Postingan (Atom)