This week is...I don't know. I cannot give my judgement because it's only Tuesday. There are still 5 days awaiting before I can say "This week. These 7 days I've lived through." But, in these 2 days, I just feel like crap. I get mad easily when I'm disappointed. I blow up when things just don't work as I want it to. I've become a grenade with victims are multiplying just because they unintendedly "touched" me. I've become a time-bomb that I just suddenly blow up anytime and anywhere.
Well, I can say that it's just the symptoms of PMS as I'm a fertile women. But I'm afraid if I have to say that it might be the symptoms of mood disorder. Oh yeah that sounds terrible =______=
Nope. It's only for these 2 exhausting days, right? Maybe tomorrow I'll get much better. Amen.
Still, I name it 'Random Week' because it's one week before we as university students have to face the "wow-it's a lil bit scary" UTS or Ujian Tengah Semester. So, I've predicted these week to be a "Galau Week", but I hope that I won't be "galau" too. I'm ready for the mid semester. Not that "ready" with an image of A-scores written on your exam paper, but it's more like that "ready" with a plain-face and empty hands. I'm ready to be whatever in my mid semester. I'm ready to have all those A-B-C possibilities -...-
Oh, c'mon girl. Be more optimistic.
WELCOME MID SEMESTER! I CAN'T WAIT TO SEE YOU! :*
Give me all those As, baby! :D
Wish me luck.
Before those swollen minds become a great brain-tumor, share it all with joy
Selasa, 25 Oktober 2011
Sabtu, 15 Oktober 2011
Makan Nasi
I've just realized that yesterday, I just ate one hamburger and a half-portion of Indomie, and also a little bit bubur ayam. With those food I had to spend my day and night. Nah, jadinya sekarang saya baru sadar kenapa saya merasa lemas, ga karuan, dan....lapar.
Saya cuma makan sedikit....tidak ada nasi padat yang benar-benar nasi dalam menunya.
Baguslah, ini tandanya saya masih orang Indonesia tulen yang hidupnya (atau perutnya?) hampa tanpa nasi.
Dan sekarang saya pengen makan nasi.
Sekian dan terima kasih.
Saya cuma makan sedikit....tidak ada nasi padat yang benar-benar nasi dalam menunya.
Baguslah, ini tandanya saya masih orang Indonesia tulen yang hidupnya (atau perutnya?) hampa tanpa nasi.
Dan sekarang saya pengen makan nasi.
Sekian dan terima kasih.
Kamis, 13 Oktober 2011
Saya (Pandai Berpura-pura) Sabar
Suatu hari, teman SD saya pernah berkata: "Wah...Nadya (ini nama asli saya, hihi) ga bisa marah."
Suatu saat, teman SMP saya mencoba mengusili saya dan berkata, sambil bercanda, "Ayo, Nad...marah Nad!"
Tapi, saya cuma tersenyum. Jelas, tidak marah.
Suatu ketika, guru SMA saya pernah nyeletuk, "Nadya kelihatan keibuan banget...lembut, penyabar..."
(saya cuma tertawa karena tidak tahu harus bilang apa 0_0)
Jadi, anggap saja kesimpulan ini reliabel: Saya adalah orang yang sabar.
Tapi tunggu dulu. Tidak, tidak, saya tidak bermaksud menyanggah pendapat orang-orang itu. Ya, saya akui saya bukan orang yang kasar dan pemarah. Tapi, yang saya ingin luruskan adalah: Bukan berarti saya pantas disebut penyabar.
Seandainya saya diusili, dimarahi, ditegur dengan tidak hormat, dilecehkan, dinina, dikhianati, dan di-di- berbau negatif lainnya, saya juga MARAH. Seperti orang pada umumnya. Tapi, jikalau sabar di sini diartikan secara kasar sebagai "tidak pernah atau tidak bisa marah", saya tidak akan bisa dimasukkan dalam kategori tersebut. Saya bisa MARAH. Apalagi jika melihat orang-orang yang lelet di saat genting, saya bisa MARAH. Tapi, memang sih, saya tidak menunjukkan kemarahan itu secara mencolok. Paling-paling saya hanya berkata dengan sinis, sedkit meledak-ledak, tapi tidak pernah terlihat "seram" sampai-sampai orang ketakutan sama saya. Ya, beneran ini, saya bisa MARAH. Saya bisa marah sambil tersenyum. Saya bisa marah sambil tertawa. Saya pandai bertindak layaknya orang yang sabar, walaupun sebenarnya saya orang yang cukup mudah marah dan meledak. Saya pandai berpura-pura sabar.
Sekarang saya bertanya: Salahkah ini? Apa dengan memasang wajah sabar ini saya munafik? Atau malah ini perbuatan terpuji, karena ini berarti saya dapat mengontrol emosi dengan baik?
Saya tidak berusaha menjawabnya.
Kalau saya pribadi menganggap, selama tidak menimbulkan kerusakan baik bagi diri saya maupun orang lain, maka tidak ada salahnya saya melakukan sesuatu, termasuk berpura-pura sabar (siapa tahu saya bisa jadi orang sabar tulen). Tapi mungkin saja ada yang menganggap saya orang yang penuh kepalsuan. Entahlah.
Ada satu hal lagi yang juga ingin saya luruskan. Bagi saya, sabar bukan berarti tidak pernah marah, tetapi dapat mengontrol emosinya ketika ia marah. Sabar adalah ketika ia menghadapi sesuatu yang mengguncang perasaannya sedemikian rupa, ia mampu bertahan untuk tetap stabil, berpikir jernih, dan mengambil keputusan dengan bijaksana. Sabar adalah soal kontrol emosi. Bukan peniadaan emosi. Jadi, kalau ada yang menganggap orang sabar berarti "tidak pernah atau tidak bisa marah", well, berarti harus kita pertanyakan lagi yang disebut itu beneran orang (manusia) atau malaikat? Karena saya yakin, semua manusia pasti pernah marah. Jika tidak, maka mereka belum pernah berinteraksi. Jika tidak, maka mereka telah kehilangan kemampuan untuk merasa. Jika tidak, maka mereka pasti tidak memiliki pengalaman sama sekali, setidaknya pengalaman buruk (tapi saya ragu ada manusia yang tidak pernah berada di bawah).
Nah, jadi, ketika saya tidak menunjukkan ekspresi marah saat ada orang yang bermaksud "menggoda" saya, bukan berarti saya penyabar. Bisa jadi saya memang tidak menganggap perbuatan orang itu sebagai suatu hinaan, atau stimulus negatif, yang harus saya respon. Bisa jadi saya tidak marah karena saya juga merasa fine-fine saja dengan keadaan saya. Lain halnya ketika saya merasa sakit hati namun saya tetap bertindak hangat dan penuh maaf, itu baru sabar namanya.
Dan saya merasa masih sangaaaat jauh dari kata sabar.
Tapi setidaknya saya bisa, dan di beberapa kesempatan, pandai berpura-pura sabar.
Jikalau ini masih berupa topeng pun, saya harap ini dapat menjadi wajah saya seutuhnya. Oh, maaf, tidak seutuhnya mungkin. Karena saya butuh marah juga, haha. Memendam emosi tanpa pernah meluapkannya juga tidak baik ;)
Jadi....selamat bersabar! :D
Suatu saat, teman SMP saya mencoba mengusili saya dan berkata, sambil bercanda, "Ayo, Nad...marah Nad!"
Tapi, saya cuma tersenyum. Jelas, tidak marah.
Suatu ketika, guru SMA saya pernah nyeletuk, "Nadya kelihatan keibuan banget...lembut, penyabar..."
(saya cuma tertawa karena tidak tahu harus bilang apa 0_0)
Jadi, anggap saja kesimpulan ini reliabel: Saya adalah orang yang sabar.
Tapi tunggu dulu. Tidak, tidak, saya tidak bermaksud menyanggah pendapat orang-orang itu. Ya, saya akui saya bukan orang yang kasar dan pemarah. Tapi, yang saya ingin luruskan adalah: Bukan berarti saya pantas disebut penyabar.
Seandainya saya diusili, dimarahi, ditegur dengan tidak hormat, dilecehkan, dinina, dikhianati, dan di-di- berbau negatif lainnya, saya juga MARAH. Seperti orang pada umumnya. Tapi, jikalau sabar di sini diartikan secara kasar sebagai "tidak pernah atau tidak bisa marah", saya tidak akan bisa dimasukkan dalam kategori tersebut. Saya bisa MARAH. Apalagi jika melihat orang-orang yang lelet di saat genting, saya bisa MARAH. Tapi, memang sih, saya tidak menunjukkan kemarahan itu secara mencolok. Paling-paling saya hanya berkata dengan sinis, sedkit meledak-ledak, tapi tidak pernah terlihat "seram" sampai-sampai orang ketakutan sama saya. Ya, beneran ini, saya bisa MARAH. Saya bisa marah sambil tersenyum. Saya bisa marah sambil tertawa. Saya pandai bertindak layaknya orang yang sabar, walaupun sebenarnya saya orang yang cukup mudah marah dan meledak. Saya pandai berpura-pura sabar.
Sekarang saya bertanya: Salahkah ini? Apa dengan memasang wajah sabar ini saya munafik? Atau malah ini perbuatan terpuji, karena ini berarti saya dapat mengontrol emosi dengan baik?
Saya tidak berusaha menjawabnya.
Kalau saya pribadi menganggap, selama tidak menimbulkan kerusakan baik bagi diri saya maupun orang lain, maka tidak ada salahnya saya melakukan sesuatu, termasuk berpura-pura sabar (siapa tahu saya bisa jadi orang sabar tulen). Tapi mungkin saja ada yang menganggap saya orang yang penuh kepalsuan. Entahlah.
Ada satu hal lagi yang juga ingin saya luruskan. Bagi saya, sabar bukan berarti tidak pernah marah, tetapi dapat mengontrol emosinya ketika ia marah. Sabar adalah ketika ia menghadapi sesuatu yang mengguncang perasaannya sedemikian rupa, ia mampu bertahan untuk tetap stabil, berpikir jernih, dan mengambil keputusan dengan bijaksana. Sabar adalah soal kontrol emosi. Bukan peniadaan emosi. Jadi, kalau ada yang menganggap orang sabar berarti "tidak pernah atau tidak bisa marah", well, berarti harus kita pertanyakan lagi yang disebut itu beneran orang (manusia) atau malaikat? Karena saya yakin, semua manusia pasti pernah marah. Jika tidak, maka mereka belum pernah berinteraksi. Jika tidak, maka mereka telah kehilangan kemampuan untuk merasa. Jika tidak, maka mereka pasti tidak memiliki pengalaman sama sekali, setidaknya pengalaman buruk (tapi saya ragu ada manusia yang tidak pernah berada di bawah).
Nah, jadi, ketika saya tidak menunjukkan ekspresi marah saat ada orang yang bermaksud "menggoda" saya, bukan berarti saya penyabar. Bisa jadi saya memang tidak menganggap perbuatan orang itu sebagai suatu hinaan, atau stimulus negatif, yang harus saya respon. Bisa jadi saya tidak marah karena saya juga merasa fine-fine saja dengan keadaan saya. Lain halnya ketika saya merasa sakit hati namun saya tetap bertindak hangat dan penuh maaf, itu baru sabar namanya.
Dan saya merasa masih sangaaaat jauh dari kata sabar.
Tapi setidaknya saya bisa, dan di beberapa kesempatan, pandai berpura-pura sabar.
Jikalau ini masih berupa topeng pun, saya harap ini dapat menjadi wajah saya seutuhnya. Oh, maaf, tidak seutuhnya mungkin. Karena saya butuh marah juga, haha. Memendam emosi tanpa pernah meluapkannya juga tidak baik ;)
Jadi....selamat bersabar! :D
Langganan:
Postingan (Atom)